Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an
nizhôm al iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada:
bertujuan dalam suatu perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan
uang atau tidak boros sebagaimana tertera di buku Lisanul Arab milik Ibnu
Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang mempelajari tentang segala
sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam sehubungan dengan al iqtishâd dalam
3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq.
Dengan bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam berarti analisa
tentang hal-hal seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum syariah.
Sebagaimana ketika istilah ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan
mengandung analisa perkara perkonomian ditinjau dari segi-segi fiqhnya.
Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada zaman Rasul,
melainkan baru ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah. Tetapi meskipun begitu
substansi dari istilah tersebut sudah muncul bersamaan dengan tumbuhnya
hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian pada zaman ini walau tidak
mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada prakteknya fokus mereka
sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek utama dari
pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian tidak jauh
dari sejarah perkembangan fiqh itu sendiriHal itu tidak lain karena asas dari
ekonomi Islam adalah mu’amalah yang disyariahkan dalam Qur’an dan Sunnah.
Tetapi yang perlu dicatat adalah beberapa buku yang memuat tentang
perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi sudah banyak dikarang
oleh para ulama.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Sistem Ekonomi Islam?
2. Karakteristik Ekonomi Islam
3. Pengertian ekonomi Islam?
4. Fungsi dan Peran Ekonomi Islam.
5. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam
6. Lembaga-Lembaga Dalam Ekonomi Islam

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Agar Mengetahui Sejarah Ekonomi Islam .
2. Agar Mengetahui Karakteristik Ekonomi Islam
3. Agar Mengetahui Pengertian ekonomi Islam?
4. Agar Mengetahui Fungsi dan Peran Ekonomi Islam.
5. Agar Mengetahui Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam
6. Agar Mengetahui Lembaga-Lembaga Dalam Ekonomi Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sistem Perekonomian Islam


Dengan hancurnya komunisme dan system ekonomi sosialis pada awal
tahun 90-an membuat system ekonomi kapitalis disanjung sebagai satu-satunya
system ekonomi yang sahih, tetapi ternyata system ekonomi kapitalis membawa
akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak Negara miskin bertambah miskin
dan Negara kaya yang jumlahnya relative sedikit semakin bertambah kaya.
Dengan kata lain kapitalis gagal meningkatkan harkat hidup orang banyak
terutama dinegara-negara berkembang, bahkan menurut joseph E. stiglitz (2006)
kegagalan ekonomi amerika decade 90-an karena keserakahan kapitalisme ini,
ketidak berhasilan secara penuh dari system-sistem ekonomi yang ada disebabkan
karena masing-masing system ekonomi mempunyai kelemahan atau kekurangan
yang lebih besar dibandingkan dengan kelebihan masing-masing. Kelemahan atau
kekurangan dari masing-masing system ekonomi tersebut lebih menonjol
ketimbang kelebihannya. Itulah yang menyebabkan timbulnya pemikiran baru
tentang system ekonomi islam/syariah terutama dikalangan Negara-negara
muslim atau Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam.
Negara-negara yang berpendudukkan masyarakat muslim mencoba untuk
mewujudkan suatu system ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan hadits
yaitu system ekonomi syariah.

2.2 Karakteristik Ekonomi Islam


Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian
banyak jenis mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan
kaidah-kaidah Islam. Dari sini bias dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam
mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri. Dr. Dawabah menyebutkan
setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam, yaitu :

3
1) Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang
merujuk semua perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak
hanya merujuk, bahkan segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang
bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan sistem-sistem
ekonomi konvensional yang tujuannya hanya member kepuasan pada diri
tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab
dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi
perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa manusia merupakan
pemimpin di muka bumi sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Kemudian
dilanjutkan dengan ayat “Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)
dan menjadikan kamu pemakmurnya.” Ditambah lagi dengan firmanNya
“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan
kamu menguasainya.”
Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan
dari sistem ekonomi islam, yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga
nantinya dapat menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang
perkonomiannya.
2) Keseluruhan (syumûliah)
Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari
ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan
sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di
dalamnya aspek perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai salah
satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen
yang memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia
juga pasti mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen
tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal
membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan

4
lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam
Islam.
3) Fleksibilitas (murûnah)
Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa
makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan
dalam berbagai dimensi waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat
dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat (hal yang
masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam agama
dan furu’nya (cabang). Dengan model yang disebutkan tadi berbagai
macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada.
Tapi fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi.
Dr. Rif’at Audhy di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al
Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam
mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi
yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan
dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional.
Karena yang seperti itu sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum
Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan bukannya keadaan yang
merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa diterima adalah
ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu
menghukumi perkembangan zaman.
Dr. Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam
dengan bahasan ahkam taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan
bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang
semakna dengan al ‘afwu dalam hadis Rasul
‫س ّكت عنه فهو عفو‬
ُ ‫وما‬
Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua
jenis: ibadah yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat
kebiasaan yang dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan
adanya pokok-pokok syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang
ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang

5
ditetapkan syariah. Adapun adat adalah hal yang biasa dilakukan oleh
manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak adanya larangan (al
ashlu fîhi ‘adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang olehNya.
Dengan kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang
ada di ekonomi Islam berasaskan ibâhah atau al ‘afwu. Maka dari
penjelasan singkat Dr. Rif’at tadi semakin memperluas ranah perkonomian
Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.
4) Keseimbangan (tawâzun)
dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan
antara dua sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan
akhiratdan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian serta
keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga memberi keselarasan
antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang
sesuai antara keduanya.
Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap
yang tidak condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya
kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara keduanya
dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan
sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari
makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara
kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat
menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual
karena hal itu dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena
kepemilikan individual ini merupakan pemeran utama dalam kinerja
produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-saat
tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam
menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep
kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme
ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian

6
mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk
berproduksi.
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga
Islam yang mengatur hubungan antara individual dan negara dalam ranah
perkonomian. Islam menyatakan bahwa keduanya itu saling melengkapi,
dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi masing-masing
hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang
saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan
ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara
bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi
pemerintah dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam,
negara bukanlah suatu unsur yang bertentangan ataupun pengganti dari
unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan hal-hal yang
sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan jalan,
jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting
layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di
suatu daerah.
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah
sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia
menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa
disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh
individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati bukan
saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan
kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang
pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.
5) Keuniversalan (‘âlamiyyah)
Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas
bumi, karena tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi
seluruh alam. Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas setelah
datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada

7
tahun 2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan
ekonomi Islam. Bahkan salah satu yang pertama kali menerapkannya
adalah vatikan sendiri sebagaimana yang ditegaskan dalam salah satu surat
kabar resmi milik mereka yang bernama L’osservatore Romano edisi 6
Maret 2009.
Selain itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah
majalah Prancis menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral
dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal itu tak jauh beda dengan yang
diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi majalah Le Journal des
Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah Wall Street siap
untuk menerima prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini bermula dari
pendapat dia tentang pentingnya penerapan hukum Islam di ranah
perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru dunia.

2.3 Pengertian Ekonomi Islam


A. Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang
diambil dari Al-Quran dan Sunah Rasulullah serta dari tatanan ekonomi yang
dibangun di atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah.
(lingkungan) dan setiap zaman. Pada definisi tersebut terdapat dua hal
pokok yang menjadi landasan hukum sistem ekonomi islam, yaitu Al-Quran
dan Sunah Rasulullah. Hukum-hukum yang diambil dari kedua landasan
pokok tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah
kapan pun dan dimana saja), tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi
serta kondisi tertentu bisa saja berlaku luwes atau murunah dan ada pula
yang tidak mengalami perubahan.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 1 Ayat
1, ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang per
orang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial
dan tidak komersial menurut prinsip syariah.

8
B. Definisi Ekonomi Islam Menurut beberapa Ahli
Berikut pengertian ekonomi Islam menurut beberapa ahli, untuk
memperdalam pemaknaan pembaca akan pengertian ekonomi Islam yang kami
ambil dari berbagai sumber:
1. Yusuf Qardhawi:
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang didasarkan pada ketuhanan. Sistem
ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan
menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
2. M. Syauqi Al-Faujani:
Ekonomi Islam merupakan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-
aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang
ekonomi.
3. S.M. Hasanuzzaman:
Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-
aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan
pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi
manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban
mereka terhadap Allah dan masyarakat.
2.4 Fungsi dan Peran Ekonomi Islam
Fungsi ekonomi Islam dan perannya terhadap perkembangan zaman
sangatlah besar, melalui system ekonomi Islam pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan Negara bisa meningkat. Hal ini tercatat dalam sejarah saat
kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahwa pada saat itu kota Baghdad
yang berada dalam kepemimpinannya mengalami sesuatu yang sangat
menakjubkan yaitu kesulitan para muzakki (pemberi zakat) mencari penerima
zakat. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa telah terjadi sebuah
kecemerlangan system ekonomi dalam mengatur Negara. dan ekonomi Islamlah
satu-satunya yang dapat membuatnya menjadi kenyataan. Adapun pada masa
kini, pertumbuhan ekonomi Negara yang mengambil system ekonomi Islam
misalnya Saudi Arabia tidak mengalami kerugian yang berarti saat terjadi krisis
moneter pada tahun 90an. Hal ini membuktikan betapa harusnya negara terutama

9
negara Islam seperti Indonesia untuk menjadikan Ekonomi Syariah sebagai
tonggak dasar pertumbuhan ekonomi Negara.

Pada saar ini Peran ekonomi Islam di Indonesiapun mulai mengalami


pertumbuhan yang cepat, hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya berbagai
macam Lembaga Ekonomi Syariah. Respon masyarakatpun menyambut baik hal
ini, karena dalam ekonomi syariah kedua belah pihak, baik pihak pembeli
maupun penjual mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan
menggunakan ekonomi kapitalisme yang menyuburkan lahan riba
2.5 Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada
Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya
dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa
dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar
dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep
kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan
individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi
kepentingan umum.. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah
kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang
bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.

1. Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah
dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan
firmanNya surat ar Rum ayat 30 “30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal
yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah,

10
maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau
Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala
aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan
dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan
Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun
para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari
‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu
jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim
disebutkan “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi
harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi
jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual.
Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama sebagai mana yang ada pada
kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi.
Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas,
ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling
melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada
pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan
harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan
mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu
belum termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali
tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan
kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi
sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “Tiadakah kamu mengetahui
bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah

11
Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan.
Adapun posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas
bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan
kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh
beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah
mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân
dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu
dan ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan
Yang Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan
al ‘ilmu yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada
manusia tidak lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan
dari sifat tadi karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
2. Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan
kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan
kepemilikan individual. Di sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual
menjadi:
a. Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan
negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik
negara. Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma
serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang
pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam
mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang
pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa
yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber
pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah
menggunakannya untuk hal-hal yang mengandung maslahat umum.
b. Kepemilikan majemuk dari masyarakat

12
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari
beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan
kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa
dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu
individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah
jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber daya lain yang
sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa kepemilikan
majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut
campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut
bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah
sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi
pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata
“barang siapa yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia
datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku
penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya
dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah,
yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang
kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil
dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi
pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan
individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan
antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan
zakat, kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era
kegemilangan Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah
kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan dasar
ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh
amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah
baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.

13
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang
berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada
masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa
dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta
dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim
menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa
memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis
keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.
2.6 Lembaga-Lembaga dalam Ekonomi Islam
Sistem perekonomian ummat manusia tersebut perlu diatur sedemikian
rupa sebab hal ini adalah merupakan kebutuhan utama yang tidak dapat ditawar-
tawar keberadaannya. Seluruh ummat manusia di mana dan kapan saja dia berada,
pastilah akan mengalami dan berinteraksi dengan orang lain dalam rangka system
perekonomian ini. Sebab hal ini adalah merupakan sebuah keharusan yang tidak
dapat ditawar-tawar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup umat manusia.
Sistem perekonomian tersebut banyak macam ragamnya baik yang diatur secara
langsung oleh Allah swt, maupun yang telah ada sebelumnya, namun
keberadaannya dilegitimasi oleh ajaran agama. Sistem-sitem perekonomian
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat adalah merupakan sebuah lembaga keagaamaan
yang beregerak dalam bidang perekonomian yang salah satu tugas pokoknya
adalah mengentaskan masyarakat khususnya ummat Islam dari kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan. Pembentukan lembaga ini adalah didasarkan
atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Badan Amil Zakat diharuskan dibentuk secara berjenjang mulai dari tingkat
Pusat sampai dengan tingkat kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar potensi
ummat Islam dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqah dapat diberdayakan
secara maksimal sehingga berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dirasa
sangat penting sebab zakat, infaq dan shodaqah adalah merupkan potensi
ummat Islam yang dapat komplementer dengan pembangunan nasional, sebab

14
potensi zakat, infaq dan shodaqah apabila dapat diberdayakan secara
maksimal, maka akan mendatangkan dana yang cukup besar yang dapat
dipergunakan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dan Negara.
2. Badan Perwakafan Nasional
Wakaf merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup
dikenal di Indonesia, namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini
belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberlangsungan bangsa
dan Negara. Hal ini disebabkan karena wakaf sebagai aset berharga ummat
Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara maksimal dan belum
menghasilkan secara optimal. Potensi wakaf yang sangat besar tersebut
kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan tersebut belum
bersifat produktif, sehingga dengan demikian maka jadilah harta-harta wakaf
itu dalam bentuk lahan tidur yang tidak dapat menghasilkan secara ekonomis.
3. Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul Maal wat Tamwil adalah merupakan sebuah lembaga Negara
yang bergerak dalam bidang penampungan harta ummat Islam dan Negara.
Semua dana yang terkumpul apakah itu dari pajak maupun dari yang lainnya,
kesemuanya dikumpul pada lembaga yang disebut dengan Baitul Maal Wat
Tamwil. Baitul Maal Wat Tamwil ini adalah semacam Kas Negara ataupun
Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan
mengelola keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada
public secara transfaran dan akuntable.
Baitul Maal Wat Tamwil adalah pertama sekali diprakarsai oleh
Rasulullah saw sebagai sebuah lembaga keuangan Negara pada abad ketujuh
masehi yang mempunyai tugas yakni semua hasil pengumpulan Negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan
kebutuhan Negara. Status harta pengumpulan itu adalah milik Negara dan
bukan milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan tertentu,
pemimpin negara dan pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk
mencukupi kebutuhan peribadinya. Hal ini tentu berada di luar jalur dan
ketentuan yang berlaku.

15
Pada masa pemerintahan Rasulullah saw, Baitul Maal bertempat di
Masjid Nabawi yang ketika itu dipergunakan sebagai kantor pusat Negara
yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-
binatang yang merupakan perbendaharaan Negara tidak disimpan di Baitul
Maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di
lapangan terbuka. Namun harta Negara seperti uang dan lain sebagainya yang
dapat disimpan, ditempatkan di Baitul Maal yang adalah merupakan
perbendaharaan dan Kas Negara.
4. Bank Syariah
Perbankan syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang
berdasarkan hukum Islam yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang
amat penting danm strategis peranannya dalam mengatur perekonomian dan
mensejahterakan umat Islam. Kehadiran lembaga perbankan bukan hanya
dapat mengatur perekonomian masyarakat, akan tetapi kehadirannya dapat
juga menghancurkan perekonomian sebuah Negara sebagaimana yang
dialami bangsa Indonesia decade delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Oleh karena itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi
syariah sehingga dapat melindungi uang si penanam modal dan juga
memberikan keuntungan bagi si pemiunjam modal. Pada keduanya terjalin
hubungan yang sinergis dan saling menguntungkan, serta kesepakatan
bersama apabila terjadi kerugian yang tidak diinginkan bersama. Apabila
terjadi keuntungan, maka sesungguhnya hal itu mudah diatur, akan tetapi
apabila terjadi kerugian ataupun jatuh pailit, maka timbullah percekcokan.
Dalam kaitan dengan ini, hukum Islam telah memberikan aturan main yang
saling menguntungkan dan tidak saling merugikan.
Bank Islam ataupun Bank Syariah sebagaimana disebutkan oleh Fuad
Mohammad Fakhruddin adalah bank dimana kebanyakan pendirinya adalah
orang yang beragama Islam dan seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya
kepunyaan orang Islam sehingga dengan demikian maka kekuasaan dan
wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai yang lainnya
terletak di tangan orang Islam.

16
Sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank
Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan
syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam
adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Dari definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bank
Islam ataupun Bank Syariah adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian
besar sahamnya milik orang Islam dan beroferasi dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan syariah Islam (al-Quran dan al-Sunnah) yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.
5. Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank perkreditan
rakyat yang melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut
juga bank perkreditan rakyat yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-
prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat dibentuk dengan badan hukum
berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Daerah.
6. Asuransi Syariah
Asuransi dalam Islam lebih dikenal dengan istilah takaful yang
berarti saling memikul resiko di antara sesama orang Islam, sehingga antara
satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.
Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan
dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarruk)
yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dalam pengertian
tersebut sesuai dengan surat al-Maidah (5) : 2 “Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Asuransi seperti ini disebut dengan
Asuransi Syariah.
Asuransi Syariah sebagaimana tersebut di atas mempunyai prinsip
prinsip pokok sebagai berikut :
I. Saling bekerjasama dan saling membantu.
II. Saling melindungi dari berbagai kesusahan.

17
III. Saling bertanggungjawab.
IV. Menghindari unsur gharar, maysir, dan riba.
7. Obligasi Syariah
Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat
jangka panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh
kewajiban yang timbul akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut
syarat dan ketentuan tertentu serta membayar sejumlah manfaat secara
priodik menurut akad.
Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi
Konvensional adalah terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah
ditentukan di awal transaksi jual beli, sedangkan pada obligasi syariah saat
perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga, yang ditentukan adalah
berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di masa
mendatang.
Obligai syraiah sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi kepada
jenis-jenis obligasi syariah sebagai berikut :
I. Obligasi Mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad
mudharabah (akad kerjasama antara pemilik modal / sahohibul maal
/ investor yang menyediakan dana penuh 100 % dan tidak boleh aktif
dalam pengelolaan usaha dan pengelola / mudhorib / emiten
mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-
persyaratan tertentu.
II. Obligasi Ijarah, yaitu obligasi berdasarkan akad ijarah (suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian) artinya
pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan obyek dengan
manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik obyek.
Dalam akad ijarah disertai adanya perpindahan manfaat tetapi tidak
perpindahan kepemilikan.
8. Pegadaian Syariah
Pegadaian syariah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn.
Rahn secara bahasa berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas

18
(jaminan). Secara istilah rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang
berharga sebagai jaminan hutang dengan dasar bisa diambil kembali oleh
orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.
Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut telah berdiri dan beroperasi
di Indonesia pada 9 Kantor wilayah, 22 pegadaian unit syariah, dan 10 kantor
gadai syariah. Jumlah pegadaian tersebut masih jauh dari mencukupi dan
memadai sebab jumlah itu baru 2,9 % dari total 739 perum pegadaian cabang
di seluruh Indonesia. Idealnya di mana ada perum pegadaian, maka di situ
pula ada perum pegadaian syariah, sehingga tersedia alternative pilihan bagi
masyarakat.
9. Reksadana Syariah
Salah satu produk investasi yang sudah menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan syariah adalah reksadana. Produk investasi ini bisa menjadi
alternativ yang baik untuk menggantikan produk perbankan yang pada saat
ini dirasakan memberikan hasil yang relativ kecil.
Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut
ketentuan dan prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal
sebagai pemilik harta dengan manejer investasi sebagai wakil shohibul maal,
maupun antara manejer investasi sebagai wakil shohibul maal dengan
pengguna investasi. Reksadana syariah dan reksadana konvensional
sebenarnya hampir sama pengertian dan bentuknya, hanya saja berbeda dari
sisi pengelolaan, kebijaksanaan invesatasi, akad, pelaksanaan investasi dan
pembagian keuntungan.
10. Badan Arbitrase Syariah Nasional
Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu badan yang dibentuk
oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas untuk menyelesaaikan perkara
perbankan di luar pengadilan umum.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagaimana tersebut di atas memiliki
tujuan sebagai berikut :
I. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan / sengketa-sengketa
keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha

19
perdamaian / islah sebagaimana yang dimaksud dalam Surat al-
Nisa ayat 128 dan al-Hujurat ayat 9.
II. Meneyelasaikan sengketa bisnis yang operasionalnya
mempergunakan hukum Islam.
3.Menyelesaikan kemungkinan adanya sengketa di antara bank-
bank syariah.
4.Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa
muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, jasa,
industri dan lain sebagainya.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Sistem ekonomi Islam tidak sama dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Ia
berbeda dengan sistem ekonomi yang lain. Ia bukan dari hasil ciptaan akal
manusia seperti sistem kapitalis dan komunis. Ia adalah berpandukan wahyu dari
Allah SWT.

Sistem ciptaan akal manusia ini hanya mengambil kira perkara-perkara lahiriah
semata-mata tanpa menitikberatkan soal hati, roh dan jiwa manusia. Hasilnya,
matlamat lahiriah itu sendiri tidak tercapai dan manusia menderita dan tersiksa
kerananya. Berlaku penindasan, tekanan dan ketidakadilan. Yang kaya bertambah
kaya dan yang miskin bertambah miskin. Ekonomi Islam pula.sangat berbeda.

3.2 Saran

Sistem Ekonomi Islam merupakan perwujudan dari paradigma Islam.


Pengembangan Sistem Ekonomi Islam bukan untuk menyaingi sistem ekonomi
kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu
sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi
kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke
muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan
ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai
ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh
umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat
memnuhi kebutuhan hidup secara limpah ruah di dunia,tetapi juga dapat
memenuhi kebutuhan sebagai bekal di akhirat nanti.jadi harus ada keseimbangan
dalam memenuhi kebutuhan di dunia maupun di akhirat nanti.

21

Anda mungkin juga menyukai