Anda di halaman 1dari 21

PEMBEDAHAN TERBUKA PADA BPH

PENDAHULUAN
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang
menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah
histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat
Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka
ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam
jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai
bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar
prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat
menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi
pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali
berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan
merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara
BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi
dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang
diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH
tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi
normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin),
diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi selsel
kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor – faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan
dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu
meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein
growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang
terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan
melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan
sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian dokter di daerah terpencilpun
diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya. Penyusunan guidelines di
berbagai negara maju ternyata berguna bagi para dokter maupun spesialis urologi dalam
menangani kasus BPH dengan benar6.

PIRANTI DIAGNOSIS BPH


Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan pemeriksaan
tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang
menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan
jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5th International Consultation on BPH
(IC-BPH)3 membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi: pemeriksaan awal
(recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional), sedangkan guidelines yang
disusun oleh EAU membagi pemeriksaan itu dalam: mandatory, recommended, optional, dan not
recommended.
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara yang
cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu
meliputi.
 Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera,
infeksi, atau pembedahan)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
 Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi
akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA
telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi. Skor ini
berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7
pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat
lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan
pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut.
 Skor 0-7: bergejala ringan
 Skor 8-19: bergejala sedang
 Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal
mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan
jawaban.
Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada
pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan
adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada
pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran
sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata
hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini
dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis,
status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu
pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan reflex bulbokavernosus yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada busur reflex di daerah sakral.
Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang
sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang
menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada
pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya
karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah
mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak
manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan
kateter.
Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun
bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata
13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering
dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8%
jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin
serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific.
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika
kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan
oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan
prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl
laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan
kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami
peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai yang
dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi
urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:
 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi kelompok usia
BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok
dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma
prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi
kemungkinan adanya karsinoma prostat9. Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai
negara merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH,
meskipun dengan syarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien.
Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga
jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.
Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang
tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran
maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran
maksimum, dan lama pancaran Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai
untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan
terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran
urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot
detrusor2. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun
demikian sebagai patokan, pada IC BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan
derajat BOO sebagai berikut:
 Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
 Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
 Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang mengeluh
LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak
berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya
disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik setelah pembedahan 13.
Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga
digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor
IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO 24. Nilai Qmax
dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat variasi induvidual yang
cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan
diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif
Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al
(1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidaknya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran
pancaran urine 4 kali.
Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam
buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan
rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari
5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL. Pemeriksaan
residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa
urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan
mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih
akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan
cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia. Pengukuran
dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang cukup tinggi,
yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang
sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang
cukup bermakna. Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine
yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120
ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli urologi beranggapan
bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu
dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu
menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat
menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun, bagaimanapun adanya residu urine
menunjukkan telah terjadi gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat
residual urine yang cukup banyak (Wasson et al 1995), demikian pula pada volume residual urine
lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa
biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa
merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan
untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi,
pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG
transabdominal.
Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian
atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan
oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:
(a) kelainan pada saluran kemih bagian atas,
(b) divertikel atau selule pada buli-buli,
(c) batu pada buli-buli,
(d) perkiraan volume residual urine, dan
(e) perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata 70-75%
tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang
menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan
berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal
diketemukan adanya:
(a) hematuria,
(b) infeksi saluran kemih,
(c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG),
(d) riwayat urolitiasis, dan
(e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya prostat atau
mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih
berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai
bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan
ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak
menjalani terapi:
(a) inhibitor 5-α reduktase,
(b) termoterapi,
(c) pemasangan stent,
(d) TUIP atau
(e) prostatektomi terbuka.
Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal
(TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG
melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma
prostat.
Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli. Terlihat
adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-
buli, selule, dan divertikel buli-buli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur
volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien,
bias menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak
dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH. Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan
dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau
prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan
adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada bulibuli.
Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran urine
yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow
study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher buli-
buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk
pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien
bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor
sehingga pada keadaan ini tindakan disobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemeriksaan
urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun
merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik
dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu
tindakan pembedahan. Menurut Javle et al (1998), pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%,
spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika pada
BPH adalah: berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual
urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedah an radikal pada daerah pelvis,
setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli buli neurogenik.

PILIHAN TERAPI PASIEN BPH


Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang
ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi
obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari:
(1) tanpa terapi (watchful waiting),
(2) medikamentosa, dan
(3) terapi intervensi
Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan
pengobatan terpilih untuk pasien BPH.
Tabel 1 Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
OBSERVASI MEDIKAMENTOSA TERAPI INTERVENSI
PEMBEDAHAN INVASIF MINIMAL
Prostatektomi terbuka TUMT
Watchful waiting Antagonis adrenergik-α
Endourologi: HIFU
Inhibitor reduktase-5α
TURP Stent uretra
Fitoterapi TUIP TUNA
TULP ILC
Elektrovaporisasi

Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan
dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah: pembedahan
terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternative
adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra.

Pembedahan
Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah pembedahan,
yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi. Cara ini memberikan
perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju pancaran urine. Hanya saja
pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit pada saat operasi maupun pasca
bedah. Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya
adalah:
(1) retensi urine karena BPO,
(2) infeksi saluran kemih berulang karena BPO,
(3) hematuria makroskopik karena BPE,
(4) batu buli-buli karena BPO,
(5) gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO, dan
(6) divertikulum buli-buli yang cukup besar karena BPO.
Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada
BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra (TURP).
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien di
antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan
terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh
Hryntschack dan pendekatan retropubik yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika
hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli
multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka dianjurkan pada
prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3. Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka
menimbulkan komplikasi striktura uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan
dengan TURP ataupun TUIP. Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan
prostat pada pasien BPH. Menurut Wasson et al (1995) pada pasien dengan keluhan derajat
sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan
trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih
singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%. Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%,
dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit
biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-
IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%. Penyulit yang
timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%,
striktura uretra 0,5- 6,3%, kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang
berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari
pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-
84 tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang
lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi
berangsur-angsur menurun. TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion)
direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai
pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik
ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral
insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli sampai ke
verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat,
dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu
memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP. Cara
elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball
yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi
kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat
operasi, dan masa mondok di rumah sakit lebih singkat.

INDIKASI PROSTATEKTOMI

Secara umum indikasi prostatektomi adalah

1. Retensi urine akut.


2. Infeksi saluran kemih rekuren atau persisten.
3. Adanya tanda-tanda obstruksi bladder outlet secara nyata atau berkepanjangan.
4. Hematuri mendadak atau berulang yang disebabkan oleh prostat hiperplasi.
5. Perubahan patofisiologi saluran kemih yaitu ginjal, ureter, kandung kemih yang
disebabkan olch obstruksi prostat.
6. Menurunnya aliran kencing dengan atau tanpa peningkatan tekanan intravesikal.
7. Raw bull sekunder oleh karena obstruksi

INDIKASI PROSTATEKTOMI TERBUKA

1. Berat jaringan prostat diperkirakan lebih dari 50 gram.


2. Terdapat divertikel bull yang harus dioperasi.
3. Terdapat batu buli yang besar.
4. Pembesaran prostat bersamaan dengan kelainan pada uretra.
5. Penderita mengalami ankilosis sendi papa, sehingga tidak bisa dalam posisi litotomi.
6. Bersamaan dengan adanya hernia inguinalis baik tunggal maupun bilateral.

KONTRA INDIKASI PROSTATEKTOMI TERBUKA

1. Kelenjar prostat yang kecil.


2. Kelenjar prostat yang fibrotik.
3. Pernah prostatektomi sebelurnnya.
4. Pernah operasi pelvis sehingga mernpersulit akses ke kelenjar prostat.
5. Karsinoma prostat.

TRANSVESIKAL (SUPRAPUBIK) PROSTATEKTOMI (TVP)

Transvesikal (suprapubik) prostatektomi (TVP) adalah suatu tindakan enukleasi prostat


hiperplasi yang dilakukan melalui insisi ekstraperitoneal dari dinding bull bagian anterior bawah.
Dengan metode ini tidak akan mengeluarkan seluruh jaringan prostat sebab satu lapisan jaringan
antara adenoma prostat dengan jaringan prostat yang tertekan tetap utuh. Tehnik ini mula-mula
diperkenalkan oleh Eugene Fuller di New York USA tahun 1894, kemudian dipopulerkan oleh
Peter Freyer di London Inggris dan selanjutnya dilakukan modilikasi olch Walker, Haris dan
Haryntschak.
PERSIAPAN PENDERITA

1. Riwayat adanya prostatismus dan pemeriksaan fisik (colok dubur).


2. Laboratorium : Darah rutin, CT, BT, urin rutin, ureum, kreatinin, elektrolit dan PSA.
Bila urin steril diberikan antibiotika profilaksis perioperatif.

Bila terjadi infeksi saluran kemih antibiotika diberikan 24-36 jam sebelum operasi.

3. Bila terjadi retensio urin dipasang kateter.


4. Pemeriksaan EKG.
5. Perneriksaan USG prostat.
6. Pemeriksaan sisitoskopi merupakan bagian dari evaluasi preoperatif, tetapi tidak rutin
dilakukan.

ALAT-ALAT YANG DIPERLUKAN

1. Transfusi set tipe Y dan cairan infuse untuk iv line.


2. Transfuse set tipe I dan NaCI 0,9% untuk drip kateter.
3. Infuse set untuk drain.
4. Foley kateter 3 jalur no. 22 F atau 24 F dan urine bag.
5. Scapel dan pisau.
6. Pinset anatomis dan pinset sirurgis.
7. Gusting jaringan dan gunting benang.
8. Retraktor.
9. Nalpouder, jarum dan benang (side 3/0, dexon 2/0 dan chromic 2/0)
10. Klein arteri, Ellis klem, kocher, pean bengkok dan Langenbeck.
11. Suction dan cauter.
12. Kassa steril, roll kass dan darm kass.
13. Glass spuit 200 cc dan disposible spuit 20 cc.

PROSEDUR OPERASI
A. Anestesi
Dilakukan dengan spinal anestesi atau epidural anestesi. Bila terdapat kontraindikasi obat-
obat spinal atau epidural anestesi dapat dikerjakan dengan general anestesi.

B. Posisi Penderita
Penderita dalam posisi tcrlentang dengan pemberian bantalan pada pantat, hal tersebut untuk
mempermudah gerakan tangan dan memperjelas penampakan daerah retropuhik. Tetapi ada
heberapa ahli yang tidal: setuju dengan pemasangan bantal pada pantat karena posisi tersebut
tidak berpengaruh pada saat enukleasi kelenjar prostat.

C. Tehnik Operasi
1. Operator right handed berdiri di kiri penderita.
2. Desinfeksi dengan povidon iodine 10 % pada daerah perut batas umbilikus, penis,
skrotum sampai pertengahan paha dan dipersempit dengan duk steril.
3. Insisi kulit vertikal midline / median di antara umbilikus dan simpisis, diperdalam sampai
dengan linea alba dan perdarahan subkutis dirawat.
4. M. rectus abdominis displitting ke kiri dan kanan secara tumpul sampai tampak daerah
prevesikal.
5. Refleksi peritoneum dan jaringan lemak prevesikal yang menutupi sebagian permukaan
anterior buli disingkirkan ke kranial secara tumpul dan hati-hati. Kemudian dipasang
retraktor otomatik.
6. Pasang kateter melalui uretra untuk melakukan irigasi bull kemudian masukkan NaCl
atau air steril sebanyak 200-250 cc, kemudian kateter dilepas dan dilakukan ikatan ringan
pada penis.
7. Dibuat teugel 2 jahitan di bagian anterior buli kiri dan kanan. Jahitan tersebut juga
herfungsi sebagai penggantung sementara dinding buli pada saat dibuka, untuk mencegah
dinding buli anterior berdekatan dengan dinding buli posterior pada saat pembukaan
dinding buli.
8. Dinding buli dibuka kecil dengan cauter diantara jahitan teugel tersebut pada daerah
avaskuler, selanjutnya diperlebar dengan pean bengkok. Cairan dalam buli yang keluar
disuction.
9. Langenbeck ditempatkan pada lubang dinding buli yang telah diperlebar dengan pean
bengkok, kemudian ditarik kekanan dan kekiri untuk membuka buli secara tumpul untuk
mengurangi perdarahan. Ikatan ringan pada penis dilepas. (Gb. 2)
10. Pasang hak atau retraktor Deaver / Malleable ukuran medium untuk menarik buli kearah
superior dan menahan peritoneum serta organ intraperitoneal supaya tidak menghalangi
lapangan operasi atau menjadikan cedera organ tersebut.
11. Inspeksi keadaan buli secara keseluruhan untuk mencari apakah ada keadaan yang
patologis.
12. Dibuat insisi semisirkuler kira-kira 1 cm dari orifisium uretra interna (bladder neck)
dengan menggunakan elektrocauter pada jam 4 – 8 sampai terbuat rongga antara
adenoma dengan kapsul prostat.
13. Retraktor dilepas untuk memberi lapangan gerak tangan.
14. Selanjutnya jari telunjuk kanan dimasukkan ke dalam uretra prosatika untuk memulai
enukleasi. Menekan ke arah anterior untuk memisahkan uretra dan kommisura anterior
prostat, dengan demikian didapatkan ruang antara adenoma prostat dan kapsul prostat,
kemudian dilakukan pembebasan secara tumpul dengan gerakan jari melingkar untuk
tindakan enukleasi.
Kelenjar prostat yang telah dienukleasi akan keluar melalui insisi semisirkuler tersebut.

15. Perdarahan prostatik bad ditampon dengan rool kass kruang lebih 5 menit untuk
mengurangi perdarahan (hemostatik).
Perdarahan yang terjadi biasanya dari arteri prostatika yang masuk ke kapsul prostat pada
leher buli, yaitu pada jam 5 dan 7, juga sedikit dari dalam fossa prostatika.

16. Hemostatik dilakukan memakai metode jahit ikat “8” (eight figure) dengan benang
chromic catgut nomon 00 dan memakai jarum ukuran 5/8.

17. Setelah hemostatik selesai, dimasukkan kateter folley 3 jalur no. 22 F melalui uretra
dengan isi balon 30 cc, kemudian dilakukan traksi ringan dari arah keluarnya kateter di
penis dengan paha distal penderita.
18. Luka dinding buli ditutup secara kedap air dengan jahitan kontinyu whole layer memakai
benang polyglycosilat acid (dexon) no. 000 atau chromic catgut 2/0 atau vicryl 2/0.
19. Dilakukan tes buli dengan memasukkan NaCI atau air steril kira-kira 150-200 cc, bila
masih terdapat kebocoran dapat ditambah jahitan.
20. Dipasang drain dengan infuse set pada cavum Retzii yang dialirkan ke luar melalui luka
kulit di sebelah insisi luka operasi.
21. Otot dijahit aproksimasi dengan chromic catgut 2/0.
22. Linea alba dijahit kontinyu dengan benang dexon no. 1
23. Kemudian kulit dijahit dengan side no. 000.

PERAWATAN POST OPERASI

1. Dilakukan pemeriksaan Hemoglobin.


2. Pemberian antihiotika dan analgetik.
3. Drain dilepas setelah hari kedua post operasi atau produksi minimal.
4. Traksi ringan kateter dilakukan 6-24 jam.
5. Irigasi bull tetesan cepat bila urin yang keluar dart kateter kemerahan.
6. Bila urin yang keluar jernih, irigasi dengan tetesan pelan atau bahkan dihentikan.
7. Kateter dilepas pada hari ke 5-7 post operasi.
8. Selanjutnya penderita boleh pulang dan melakukan kegiatan fisik secara bertahap untuk
kembali ke kegiatan normal sesudah 4-6 minggu post operasi. Minum harus 2-3 lt per hari
dan hindari terjadinya konstipasi.

KOMPLIKASI

1. Perdarahan. Perdarahan pada operasi dipengaruhi oleh derajat sklerosis vaskuler, perubahan
inflamasi, besarnya adenoma dan yang kurang penting adalah proses fibrinolitik.
2. Infeksi terdapat pada luka bull-bull, uretra, ginjal, epidedemis, pubis dan pelvis.
3. Inkontinen. Biasanya terjadi segera setelah operasi. Inkontinen yang perpanen biasanya
jarang (kurang dari 1 %).
4. Fistula urin. Jarang terjadi, hal ini terjadi karena penutupan kapsul prostat atau buli yang
tidak baik. Keadaan roll diperberat dengan tidak lancarnya kateter. Jika kateter lancar maka
fistel akan cepat sembuh.
5. Stenosis leher buli. Karena pada penyernbuhan terjadi banyak jaringan librous yang
timbulnya dipacu oleh infeksi pada buli.
6. Striktur uretra. Timbul pada uretra posterior sebesar 2-5 %.
7. Kerusakan pada ureter. Terjadi karena terikatan ureter pada waktu melakukan ikatan
hemostasis.
8. Impotensi Ini terjadi bila ada kerusakan kapsul. Lebih banyak pada penderita tua.
9. Retrograd ejakulasi.
10. Hiperplasi sisa prostat, biasanya timbul sesudah 10-20 tahun post operasi

EKSTRAVESIKAL RETROPUBIK PROSTATEKTOMI (TERRANCE MILLIN


PROSTATEKTOMI = TMP)

Tehnik ini pertama kali dilakukan oleh Von Stockum tahun 1909 dan dipopulerkan oleh
Terrance Millin tahun 1945. Tindakan operasi ini dilakukan pada prostat hiperplasi yang tidak
disertai kelainan atau patologi didalam buli.

PERSIAPAN PENDERITA

1. Riwayat adanya prostatismus dan pemeriksaan fisik (colok dubur).


2. Laboratorium : Darah rutin, CT, BT, urin rutin, ureum, kreatinin, elektrolit dan PSA.
Bila urin steril diberikan antibiotika profilaksis perioperatif.

Bila terjadi infeksi saluran kemih antibiotika diberikan 24-36 jam sebelum operasi.

3. Bila terjadi retensio urin dipasang kateter.


4. Pemeriksaan EKG.
5. Pemeriksaan USG prostat.
6. Pemeriksaan sisitoskopi merupakan bagian dari evaluasi preoperatif, tetapi tidak rutin
dilakukan.
ALAT-ALAT YANG DIPERLUKAN

1. Transfusi set tipe Y dan cairan infuse untuk iv line.


2. Transfusi set tipe 1 dan NaCl 0,9% untuk drip kateter.
3. Infuse set untuk drain.
4. Foley kateter 3 ja1ur no. 22 F atau 24 F dan urine bag.
5. Scapel dan pisau.
6. Pinset anatornis dan pinset sirurgis.
7. Gunting jaringan dan gunting benang.
8. Retraktor.
9. Nalpouder, jarum dan benang (side 3/0, dexon. 2/0 dan chromic 2/0).
10. Klem arteri Ellis klem, kocher, pean hengkok dan Langenbeck.
11. Suction dan cauter.
12. Kassa steril, roll kass dan darm kass.
13. Glass spuit 200 cc dan disposible spuit 20 cc.

PROSEDUR OPERASI

A. Anestesi
Dilakukan dengan spinal anestesi atau epidural anestesi. Bila terdapat kontraindikasi obat-
obat spinal atau epidural anestesi dapat dikerjakan dengan general anestesi.

B. Posisi Penderita
Penderita dalam posisi terlentang dengan pemberian bantalan pada pantat, hal tersebut untuk
mempermudah gerakan tangan dan memperjelas penampakan daerah retropubik. Tetapi ada
beberapa ahli yang tidak setuju dengan pemasangan bantal pada pantat karena posisi tersebut
tidak berpengaruh pada saat enukleasi kelenjar prostat.

C. Teknik Operasi
1. Operator right handed berdiri di kiri penderita.
2. Desinfeksi dengan povidon iodine 10 % pada daerah perut batas umbilikus, penis,
skrotum sampai pertengahan paha dan dipersempit dengan duk steril.
3. Insisi kulit vertikal midline/ median di antara umbilikus dan simpisis, atau modifikasi
insisi Pfannensteil 2 cm diatas simpisis pubis diperdalam, sampai dengan linea alba dan
perdarahan subkutis dirawat.
4. M. rectus abdominis displitting ke kiri dan kanan secara tumpul sampai tampak daerah
prevesikal.
5. Refleksi peritoneum dan jaringan lemak prevesikal yang menutupi sebagian permukaan
anterior buli diisingkirkan ke kranial secara tumpul dan hati-hati. Kemudian dipasang
retraktor otomatik.
6. Identifikasi dan raba leher buli.
7. Dipasang kassa kiri dan kanan di daerah prostat, sehingga kelenjar prostat tampak
semakin menenjol.
8. Ligasi vena pada permukaan anterior prostat dan pasang teugel di kranial dan kaudal
tempat insisi kapsul prostat
9. Insisi transversal dengan elektrokauter 1 cm kaudal leher buli diantara ligasi vena
tersebut selebar pembesaran prostat atau hingga adenoma prostat tampak jelas.
10. Retraktor dilepas untuk memberi lapangan gerak tangan.
11. Selanjutnya jari telunjuk kanan dimasukkan ke dalam uretra prostatika melalui insisi
tersebut mulai dari puncak adenoma prostat, kemudian dilakukan pembebasan secara
tumpul dengan gerakan jari melingkar untuk tindakan enukleasi. Kelenjar prostat yang
telah dienukleasi akan keluar melalui insisi tersebut.
12. Perdarahan prostatik bad ditampon dengan rool kass kurang lebih 5 menit untuk
mengurangi perdarahan (hemostatik). Perdarahan yang terjadi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan tehnik TVP.
13. Setelah hemostatik selesai, dimasukkan kateter folley 3 jalur no. 22 F melalui uretra
dengan isi balon 30 cc, kemudian dilakukan traksi ringan dari arah keluarnya kateter di
penis dengan paha distal penderita.
14. Dilakukan penjahitan antara mukosa leher bull dengan kapsul prostat dengan jahitan
interupted atau kontinyu menggunakan benang chromic 2/0 atau dexon 00 yang sekaligus
berfungsi sebagai hemostatik.
15. Dilakukan tes buli dengan memasukkan NaCI atau air steril kira-kira 150-200 cc, bila
masih terdapat kebocoran dapat ditambah jahitan.
16. Dipasang drain dengan infuse set pada cavum Retzii yang dialirkan ke luar melalui luka
kulit di sebelah insisi luka operasi.
17. Otot dijahit aproksimasi dengan chromic catgut 2/0.
18. Linea alba dijahit kontinyu dengan benang dexon no. 1.
19. Kemudian kulit dijahit dengan side no. 000.

PERAWATAN POST OPERASI

1. Dilakukan pemeriksaan Hemoglobin.


2. Pemberian antibiotika dan analgetik.
3. Inj. Furosemid 20 mg iv, diulang 30-60 menit hingga produk urin baik.
4. Drain dilepas setelah hari kedua post operasi atau produksi minimal.
5. Traksi ringan kateter dilakukan 4-24 jam.
6. Bila urin yang keluar jernih, irigasi dengan tetesan pelan atau bahkan dihentikan.
7. Kateter dilepas pada hari ke 5-7 post operasi.
8. Selanjutnya penderita boleh pulang dan melakukan kegiatan secara fisik secara bertahap
untuk kembali ke kegiatan normal sesudah 4-6 minggu post operasi. Minum harus 2-3 lt per
hari dan hindari terjadinya konstipasi.

KOMPLIKASI

1. Perdarahan. Perdarahan pada operasi dipengaruhi oleh derajat sklerosis vaskuler, perubahan
inflamasi, besarnya adenoma dan yang kurang penting adalah proses fibrinolitik.
2. Infeksi pada luka leher buli, uretra, ginjal, epidedemis, pubis dan pelvis.
3. Inkontinen. Biasanya terjadi segera setelah operasi. Inkontinen yang perpanen biasanya
jarang (kurang dari 1%).
4. Fistula urin. Jarang terjadi, hal ini terjadi karena penutupan kapsul prostat atau buli yang
tidak baik. Keadaan ini diperberat dengan tidak lancarnya kateter. Jika kateter lancar maka
fistel akan cepat sembuh.
5. Stenosis leher buli. Karena pada penyembuhan terjadi banyak jaringan fibrous yang
timbulnya dipacu oleh infeksi pada buli.
6. Striktur uretra.
Timbul pada uretra posterior sebesar 2-5%.

7. Impotensi. Ini terjadi bila ada kerusakan kapsul. Lebih banyak pada penderita tua.
8. Retrograd ejakulasi.
9. Hiperplasi sisa prostat, biasanya timbul sesudah 10-20 tahun post operasi.

KEPUSTAKAAN

1. Oesterling JE. Retropubic and suprapubic prostatectomy. In : Campbell’s urology. Ed


seventh. WB Sauders Company, Philadelphia. 1998; 1529-41.
2. Banowsky LHW. Suprapubic prostatectomy. In : Stewart’s operative urology Ed. Second.
Williams & Wilkins-Baltimore. 1989; 601-7.
3. Straffon RA. Simple retropubic prostatectomy. In : Stewart’s operative urology. Ed second.
Williams & Wilkins-Baltimore 1989; 616-20.
4. Sidharta S. Penanganan prostat hiperplasi dengan cara operasi. Sug bagian bedah urologi FK
Undip Semarang.
5. Peter HCL. The management of post prostatectomy incontinence. Medical Progress Januari
2000; 11-14.

Anda mungkin juga menyukai