Anda di halaman 1dari 7

PEMBESARAN PROSTAT JINAK

Novrizal Saiful Basri, Margaretta Limawan, Odetta Natatilova, Rachmawati


Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Desember 2011

ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki usia 73 tahun datang ke RS dengan keluhan buang air kecil (BAK) tidak
lancar sejak 2 tahun. Pancaran BAK dirasakan melemah, kadang-kadang sulit keluar (hanya
menetes) dan sering tidak lampias. Terdapat riwayat BAK merah, nyeri di akhir BAK dan
peningkatan frekuensi BAK terutama malam hari, dengan total IPSS (International Prostate
Symptom Score) 27 Keluhan nyeri pinggang, riwayat BAK keruh, demam, mual dan muntah
disangkal. Pasien pernah mengalami stroke dua kali. Riwayat penyakit kencing manis dan
tekanan darah tinggi disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan darah 160/90 mmHg,
pemeriksaan daerah Costo Vertebro Angle (CVA) tidak teraba massa, tidak terdapat nyeri
tekan maupun nyeri ketuk. Tidak terdapat massa dan nyeri tekan pada daerah supra simfisis,
dengan kesan buli kosong. Pada orificium uretra eksterna tidak ditemukan adanya stenosis.
Pada Rectal Touche diperoleh Tonus Sfingter Ani (TSA) baik, prostat teraba rata dan simetris
dengan konsistensi kenyal, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba nodul dan Taksiran Berat
Prostat 40 gram.
Hasil pemeriksaan Darah Perifer Lengkap dan fungsi ginjal (ureum/kreatinin) dalam batas
normal, asam urat 9.4 mg/dl, PSA total 10.01 mg/dl. Urinalisis dalam batas normal. Pada
pemeriksaan BNO didapatkan kesan batu vesica ukuran 35x25 mm, pemeriksaan USG ginjal
diperoleh batu ginjal kiri dan batu vesica.
Hasil pemeriksaan uroflowmetri sebagai berikut Q max 6.7 mL/detik; Q average 4.7
mL/detik; Void Volume 72 cc. Dari pemeriksaan USG prostat diperoleh hasil Rest Volume
30 cc; Prostate Protrusion 9.59 mm; Volume Prostat 110 cc (gambar 1). Hasil pemeriksaan
patologi anatomi adalah hiperplasia prostat.
Pasien ini didiagnosis BPH dan vesicolithiasis, dengan rencana terapinya adalah sistoskopi
dan biopsi, sectio alta, dan open prostatectomy.
Gambar 1. Pemeriksaan USG prostat

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Epidemiologi
Pembesaran prostat jinak/BPH merupakan istilah histopatologis untuk menunjukkan proses
hiperplastik sejati dengan peningkatan jumlah sel yang dimulai ada daerah transisi dari
kelenjar. Kondisi yang berkaitan erat dengan peningkatan usia ini dapat dialami oleh sekitar
70% pria di atas usia 60 tahun dan angka ini meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas
80 tahun. Di Departemen Urologi RSCM Jakarta, seriap tahun ditemukan antara 200 sampai
300 penderita baru dengan pembesaran prostat. Walaupun sifatnya tidak mengancam nyawa,
manifestasi klinisnya yang berupa lower urinary tract symptoms (LUTS) mengganggu
aktivitas sehari-hari sehingga mengurangi kualitas hidup pasien.

Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan.
Salah satu pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat
pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS) (Gambar 2). Dengan
colok dubur atau digital rectal examination (DRE) dapat diperkirakan adanya pembesaran
dan konsistensi prostat, adanya nodul yang merupakan salah satu tanda keganasan prostat,
diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan
adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.
Gambar 2. Kuesioner International Prostate Symptom Score (IPSS)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis BPH antara lain
pemeriksaan urinalisis, faal ginjal, Prostate Specific Antigen (PSA), catatan harian miksi
(voiding diaries), uroflometri, urine residu atau post voiding residual urine (PVR), pencitraan
traktus urinarius, uretrosistoskopi dan urodinamika (pressure flow study). Pemeriksaan
sederhana untuk menegakkan diagnosis BPH yaitu pemeriksaan klinis dan colok dubur,
urinalisis dan USG prostat.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Pilihannya
adalah (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi
(pembedahan atau minimal invasif), tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
Pilihan terapi watchful waiting ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS di bawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan
terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter, pasien
juga diberi penjelasan mengenai hal-hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya.
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai tahap tertentu.
Sebagai patokan jika skor >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau
terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat (pembedahan
terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi) dan teknik instrumentasi alternatif
(interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra).
Gambar 3. Prostatektomi terbuka suprapubik

Prostatektomi terbuka (gambar 3) merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling
efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH 98%.
Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal dan pendekatan
retropubik.
Pada pasien ini dilakukan identifikasi prostat, orificium uretra internum (OUI) dan muara
ureter. Selanjutnya insisi mukosa pada samping OUI dari arah jam 6-12. Kemudian dilakukan
frakturasi pada prostat kemudian enukleasi prostat, dan keluar prostat seberat 74 gram.

Glossary
Nocturia :[nox malam + -uria] urinasi yang berlebihan pada malam hari
Urgency :dorongan mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urine
Prostatectomy :[postate + -ectomy] operasi pengangkatan prostat/sebagian dari kelenjar itu
Cystoscopy :pemeriksaan visual langsung pada traktus urinarius dengan cystoscope

Daftar pustaka
1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. [diakses
tanggal 20 Oktober 2011]. Tersedia di: http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf.
2. Roehrborn CG. Benign prostatic hyperplasia: etiology, pathophysiology, epidemiology,
and natural history. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors.
Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 2556-96.
3. Han M, Partin AW. Retropubic and suprapubic open prostatectomy. In: Wein AJ, Kavoussi
LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 2695-703.
4. Syahputra FA, Umbas R. Diagnosis dan tatalaksana pembesaran prostat jinak: Peran
antagonis reseptor adrenergik-α dan inhibitor 5-α reduktase. Dalam: Birowo P, Syahputra FA,
Ririmasse MP, Ismet MF, editor. Common Urologic Problems in Daily Primary Practice
(CUPID) 2010. Ed 2. Jakarta: PLD FKUI dan Departemen Urologi FKUI RSCM; 2010. h.74-
80.
5. Rahardjo D. Prostat: kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. Jakarta: Sub
Bagian Urologi Bagian Bedah FKUI; 1999. h.15-60.
6. AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of benign prostatic
hyperplasia. Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. American Urological
Association 2010.
7. Dorland, WA Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Huriawati Hartanto et al, editor.
Edisi 29. Jakarta: EGC; 2002.

Anda mungkin juga menyukai