Anda di halaman 1dari 8

Hubungan antara Tingkat Stres dengan Kejadian Dispepsia di RSUD

Koja

Joseph Nelson Leo, Yenny Maria Angelina, Florence Clarissa Benyamin, Nisa Kamila, Leopold
Karsa Prapaskalis,1 Suzanna Ndraha2

1
Kepaniteraan Bidang Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Koja
2
SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Koja

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 6 Tel. 56942061 (Hunting), Fax. 5631731, Jakarta 11510

Abstrak
Dispepsia menjadi keluhan klinis yang paling sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari.
Di Negara-negara barat, populasi orang dewasa yang dipengaruhi oleh dispepsia sekitar 14-38%
diantaranya memiliki resolusi spontan dalam satu tahun serta prevalensi yang stabil dari waktu
ke waktu. Dispepsia berada pada urutan ke-10 dengan proporsi sebanyak 1,5% dalam kategori 10
jenis penyakit terbesar untuk pasien rawat jalan disemua rumah sakit di Indonesia. Sindrom
dispepsia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sekresi cairan asam
lambung, psikologi (stress), serta faktor diet dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara stres dengan kejadian dispepsia. Penelitian ini
menggunakan metode analitik dengan desain case control. Sampel tersebut terdiri dari 20 sampel
pasien di poliklinik penyakit dalam RSUD Koja dan 20 orang sebagai responden kontrol. 51
Penelitian ini mendapatkan hasil analisis sebesar p=0,049 (p<0,05), sehingga menunjukan
terdapat hubungan antara stres dengan kejadian dispepsia pada pasien di poliklinik penyakit
dalam RSUD Koja.

Kata kunci : tingkat stress, sindrom dispepsia, RSUD koja

1
Abstract

Keywords:

Pendahuluan
Dispepsia menjadi keluhan klinis yang paling sering dijumpai dalam praktik klinik
sehari-hari. Penyebab sindrom atau keluhan ini beragam, berbagai penyakit termasuk juga
didalam penyakit yang sering mengenai lambung, atau yang lebih sering dikenal sebagai maag,
kerap dikaitkan dengan sindrom atau keluhan ini. Di Negara-negara barat, populasi orang dewasa
yang dipengaruhi oleh dispepsia sekitar 14-38% diantaranya memiliki resolusi spontan dalam
satu tahun serta prevalensi yang stabil dari waktu ke waktu.1,2 Dispepsia berada pada urutan ke-
10 dengan proporsi sebanyak 1,5% dalam kategori 10 jenis penyakit terbesar untuk pasien rawat
jalan disemua rumah sakit di Indonesia. Dari 50 daftar penyakit, dyspepsia berada pada urutan
ke-15 kategori pasien rawat inap terbanyak di Indonesia pada tahun 2008 dengan proposi 1,3%
serta menempati posisi ke-35 dari 50 daftar penyakit yang mengakibatkan kematian dengan PMR
0,6%.2

Sindrom dyspepsia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sekresi
cairan asam lambung, psikologi (stress), serta faktor diet dan lingkungan.3 Pada penelitian ini
akan dibahas mengenai hubungan stress dan dyspepsia. Stress adalah reaksi atau respon terhadap
stressor psikososial, baik berupa tekanan mental ataupun beban kehidupan. Adanya stress dapat

2
mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan ada orang sehat. Hal ini
disebabkan karena asam lambung yang berlebihan dan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sental.4,5 Pada tahun 1950-an, Harold
Wolff mengamati bahwa fisiologi saluran gastrointentinal tampak berhubungan dengan keadaan
emosional khusus.5 Karena stress yang bersifat konstan dan terus-menerus akan mempengaruhi
kerja kelenjar adrenal dalam memproduksi hormone. Hampir semua jenis stress akan
menyebabkan peningkatan yang nyata dan segera dalam sekresi Adenocorticotropic hormone
(ACTH), yang akan diikuti dengan peningkatan pada sekresi kortisol korteks adrenal dalam
beberapa menit.5

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui adanya hubungan antara stres dengan kejadian dispepsia pada pasien
di poliklinik Penyakit Dalam RSUD Koja

Metodologi Penelitian
Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Non Probability Sampling. Metode
Non Probability Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Pada Purposive
Sampling ini peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subyektif dan praktis,
bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab
pertanyaan penelitian.

Cara Kerja
Peneliti mengurus izin penelitian dari institusi terkait. Setelah itu peneliti menyediakan formulir
penelitian yang akan digunakan dan menyediakan kuesioner yang telah teruji validasinya dan
reliabilitasnya. Peneliti akan menjelaskan kepada responden mengenai maksud dan tujuan
penelitian, menyerahkan format persetujuan kesediaan untuk mengisi kuesioner (tiap orang
mengisi satu kuesioner) dan membagikan kuesioner untuk diisi oleh responden. Peneliti akan
mengumpulkan kuesioner yang sudah diisi oleh responden dan akan mengolah data tersebut
dengan SPSS.

3
Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, didapatkan 40 sampel yang terdiri dari 20 orang sebagai kelompok
kontrol dan 20 orang pasien rawat jalan dan rawat inap departemen Penyakit Dalam RSUD Koja
periode 9 April–28 Mei 2018.
Tabel 1 Sebaran Jenis Kelamin Sampel
Jenis Frekuensi (orang) Persentase
Kelamin (%)
Pria 10 25.0
Wanita 30 75.0
Total 40 100.0
Berdasarkan tabel 4.1, persentase responden didapatkan pria berjumlah 10 orang dengan
persentase 25.0% dan wanita berjumlah 30 orang dengan persentase 75.0%. Penelitian yang
dilakukan oleh Muya di Sumatra Barat juga menunjukan kemiripan hasil bahwa responden
wanita lebih banyak yaitu sebanyak 27 orang (64,3%) dan pria sebanyak 15 orang (35,7%).

Tabel 2 Sebaran Usia Sampel


Usia Frekuensi Persentase
(Tahun) (orang) (%)
17-25 2 5.0
26-35 5 12.5
36-45 7 17.5
46-55 12 30.0
56-65 14 35.0
Total 40 100.0

Berdasarkan tabel 2, persentase responden berdasarkan usia didapatkan usia dengan


responden terbanyak adalah usia 56-65 tahun dengan jumlah 14 orang (35.00%). Penelitian yang
dilakukan oleh Harahap di Medan juga mendapatkan hasil bahwa responden kelompok usia lebih
dari 40 tahun sebanyak 107 orang dan responden usia kurang dari sama dengan 40 tahun
sebanyak 96 orang.
Tabel 3 Sebaran Gambaran Tingkat Stres berdasarkan DAAS Skor
Tingkat Stres Frekuensi (orang) Persentase (%)
Normal 8 20.0
Depresi Ringan 9 22.5
Depresi Sedang 11 27.5
Depresi Berat 8 20.0
Depresi Sangat 4 10.0
Berat
Total 40 100.0

4
Dari tabel 3, didapatkan sampel yang masuk ke dalam tingkat stres normal berjumlah 8
orang (20.0%), tingkat stres ringan berjumlah 9 orang (22.5%), sampel terbanyak memiliki tingkat
stress sedang dengan jumlah 11 orang (27.5%), tingkat stres berat berjumlah 8 orang (20.0%),
sampel terendah terdapat pada tingkat stres sangat berat dengan jumlah 4 orang (10.0%).
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmaika mengatakan stress pada pasien dispepsia lebih tinggi
dibandingkan dengan tidak dispepsia.
Tabel 4 Hasil Uji Hipotesis dengan Independent sample T-Test

Levene's t-test for Equality of t-test for Equality of Means


Test for Means 95% IK
Equality of Mean Std. Error
Variances Difference Difference
F Sig. t df Sig. Lower Upper
Skor daas Equal
- - -
responden variances 0.769 0.386 38 0.049 -5.75 2.834
2.029 11.486 0.014
assumed
Equal
variances - - -
36.268 0.05 -5.75 2.834
not 2.029 11.495 0.005
assumed

Dari hasil uji T-test didapatkan hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian
dispepsia dengan nilai p sebesar 0.049 (p<0.05). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rahmaika yang menyimpulkan terdapat hubungan yang kuat antara stres dengan
kejadian dispepsia dengan nilai p sebesar 0,009 (p<0,05).

Pembahasan
Karakteristik responden pada penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi pasien
berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkatan stress dengan skor DASS. Berdasarkan hasil
distribusi jenis kelamin pada tabel 4.1 terlihat bahwa sebagian besar responden adalah wanita
yaitu 30 orang (75%). Hal ini karena pada wanita lebih rentan untuk mengalami stress tentang
urusan rumah tangga atau keuangan, pola makan sering tidak teratur atau sering menjalankan
program diet yang salah, dan dapat akibat menggunakan obat-obatan pelangsing atau obat-obat
anti nyeri yang justru membuat produksi asam lambung terganggu.6 Diet ketat dengan hanya
mengkonsumsi buah-buahan atau sayur-sayuran saja akan menimbulkan gangguan pencernaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Farejo dkk mengatakan bahwa wanita memiliki ekspektasi yang
berbeda terhadap perasaan tidak nyaman ketika mengalami gejala seperti perut kembung atau

5
nyeri perut. Hal ini karena penyakit ini dianggap subjek sensitive dan kondisi memalukan yang
mungkin lebih sulit bagi wanita untuk mengatasinya sehingga wanita lebih sering datang kontrol
ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan keluhannya.7
Dilihat dari proporsi usia (tabel 4.2), didapatkan angka prevalensi terbanyak adalah pada
rentang usia 56-65 tahun yaitu sebanyak 14 orang. Pada dilihat pula pada tabel tersebut frekuensi
responden meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
pengaruh faktor ketahanan tubuh itu sendiri, bertambahnya usia seseorang maka semakin rentan
terhadap kejadian penyakit.7 Pertambahan usia seseorang seringkali dihubungkan dengan
penurunan aktivitas olahraga rutin dan penurunan aktivitas hormonal fisiologis seseorang. Hal ini
yang dipercaya dapat meningkatkan kejadian dispepsia.8
Distribusi terakhir menurut stress. Skala pengukuran tingkat stress dapat kita ukur dengan
DASS (Depression Anxiety Stress Scale). Instrumen ini digunakan untuk mengukur status
emosional dari depreis, kecemasan, dan stres. DASS dibentuk tidak hanya untuk mengukur
secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk
pemahaman, pengertian dan pengukuran yang berlaku dimanapun dari status emosional, secara
signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. dinyatakan stres jika skornya > 14 dan tidak
stress jika skornya 0-14.9
Dalam penelitian ini hasil stres pada pasien dispepsia lebih tinggi dibandingkan yang
tidak dispepsia (tabel 4.3). Adanya stress dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat salah satunya dispepsia. Hal ini disebabkan karena asam
lambung yang berlebihan dan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
jekuhan mual setelah stimulus stress sentral. Selain itu, stress mengubah sekresi asam lambung,
motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan.10
Dari hasil uji T-test didapatkan hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian
dispepsia dengan nilai p sebesar 0.049 (p<0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Wayan
menyimpulkan bahwa dispepsia lebih mudah terjadi pada individu dengan kepribadian yang
pencemas, temperamental, mengasihani diri sendiri, emosional, dan rentan terhadap gangguan
stres. Sedangkan mereka yang tidak mengalami dispepsia cenderung lebih tenang, rileks, tidak
emosional, memiliki daya tahan terhadap stres, merasa aman, dan puas atas diri sendiri. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa mereka yang mengalami dispepsia merupakan orang-orang yang
memiliki sifat mudah khawatir, gugup, mudah marah, merasa tidak aman, tidak mampu dan

6
mudah panik, dan kurang kontrol diri.6 Oleh karena itu, meminimalkan stres diperlukan untuk
mencegah timbulnya gangguan-gangguan kesehatan akibat perubahan fisiologis mamupun
biokemis akibat stres, termasuk dispepsia.
Kebanyakan orang yang mengalami stres menjadi perantara terjadinya depresi. Mereka
cenderung banyak memakan yang tinggi karbohidrat untuk mengurangi gejala depresi tersebut.
Keadaan stres yang berat dikaitkan dengan asupan tinggi lemak, kurang buah dan sayuran,
kecenderungan mengkonsumsi makanan pedas dan asam, lebih banyak cemilan, dan juga
penurunan frekuensi sarapan pagi, sehingga pada pola makan yang tidak teratur tersebut dapat
menyebabkan dispepsia.9
Kelemahan dalam penelitian ini antara lain banyaknya kriteria yang dieksklusikan
sehingga memerlukan waktu untuk mencari subjek yang tidak masuk dalam kriteria eksklusi,
serta kurang dijelaskan faktor lain yang berpengaruh terhadap stres maupun dispepsia.

Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara stress dengan
kejadian dispepsia pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSUD Koja. Stress merupakan salah
satu faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya dispepsia. Dimana gangguan atau penyakit
yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan kelainan
fungsional suatu organ dengan atau tanpa gejala objektif yang berkaitan erat dengan stressor atau
peristiwa psikososial tertentu.

Daftar Pustaka
1. Armi. Hubungan stres dengan kejadian dispepsia pada karyawan perum peruri di Karawang
Barat 2014. Jakarta. http:/studylib.com/diakses: 07-01-2018.
2. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2008. p. 28-29.
3. Djojonigrat D. Dispepsia fungsional. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2,edisi 6.
Jakarta. Interna Publishing.2014.h.1807-15.
4. Bentarisukma DR. Hubungan stres dengan kejadian dispepsia di Puskesmas Purwodiningrat
Jebres Surakarta. Jurnal Kedokteran. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
2014.

7
5. Copetta L. Prevalance and characteristic of dyspepsia. Scandinavia Journal of Work,
Environment and Health. 34(5). h. 396-400.
6. Westa IW. Pengaruh big five personality traits dengan dispepsia fungsional pada pasien di
poliklinik penyakit dalam di RS Umum Pusat Sanglah Denpasar. Binarupa Aksara
Publisher. Denpasar 2013;h.56-60.
7. Farejo A, Welen K, Thomas F. Fungsional dyspepsia affects woman more than men in daily
life: A case-control study in primary care. Gender Medicine 2009;1(5):h.62-73.
8. Muya Y, Murni AW, Herman RB. Karakteristik penderita dispepsia fungsional yang
mengalami kekambungan di bagian ilmu penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang,
Sumatra Barat Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas. Padang 2015;4(2):h.490-6.
9. Asfiana NW. Hubungan tingkat penghasilan dengan tingkat stress kepala keluarga penduduk
Dukuh Klile Desa Karangasem kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo. Naskah Publikasi
Universitas Muhammadiah Surakarta. Surakarta 2015:h.9-11.
10. Rahmaika BD. Hubungan antara stres dengan kejadian dispepsia di puskesmas
Purwodiningratan Jebres Surakarta. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiah Surakarta.
Surakarta 2014:h.8-13.

Anda mungkin juga menyukai