Anda di halaman 1dari 23

Pendekatan Klinis pada Pasien dengan Keluhan Batuk Darah

Stevani
102015030, E4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
stevani.2015fk030@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Batuk merupakan mekanisme perlindungan normal untuk membersihkan
tracheobronchial dari sekret dan benda asing. Batuk dimulai dengan inspirasi dalam diikuti
dengan menutupnya glotis, relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan penutupan glotis
yang menyebabkan tekanan intratoraks meningkat. Saluran pernapasan dimulai dari rongga
hidung sampai saluran – saluran kecil alveoli paru. Pada setiap saluran ini terdapat pembuluh
darah. Umumnya penyebab terjadinya perdarahan sehingga terjadi batuk darah adalah karena
robeknya lapisan saluran pernapasan sehingga pembuluh darah di bawahnya ikut sobek dan
darah mengalir keluar. Adanya cairan darah kemudian dikeluarkan oleh adanya refleks batuk.
Batuk darah atau hemoptysis adalah salah satu gejala yang paling penting pada
penyakit paru. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang
dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena
dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu kestabilan hemodinamik
penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.1
Dalam makalah ini saya akan membahas etiologi, epidemiologi, gejala klinis,
patogenesis dan penatalaksanaan pada tuberkulosis paru, kanker paru, bronkiektasi,
pneumonia, mikosis paru, PPOK (bronkitis kronik), dan abses paru, yang berkaitan dengan
kasus skenario mengenai penyakit-penyakit khususnya yang berhubungan dengan paru saat
pasien datang dengan keluhan batuk darah.
Skenario 2
Seorang laki-laki berusia 56 tahun datang ke RS dengan keluhan batuk darah sekitar
setengah gelas air mineral sejak satu hari yang lalu.
Anamnesis
Pemeriksaan pada pasien dimulai dengan wawancara atau anamnesis. Anamnesis
adalah wawancara antara dokter, pasien atau keluarga pasien yang mempunyai hubungan
dekat dengan pasien, mengenai semua data tentang penyakit. Dalam anamnesis, harus
diketahui adalah identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan dahulu,
riwayat kesehatan keluarga, riwayat pribadi dan riwayat ekonomi. Dalam rekam medik, perlu
ada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis kerja, penatalaksanaan
dan prognosis. Maka seorang dokter sering menemukan informasi penting tentang
kemungkinan penyebab gejala melalui sebuah diskusi tentang riwayat kesehatan pasien. Hal
tersebut juga berguna dalam membangun hubungan antara dokter dan pasien sehingga dapat
membawa kepada keterbukaan dan kerjasama dari pasien untuk tahap-tahap pemeriksaan
selanjutnya.1
Identitas
Ditanyakan nama lengkap, usia, tempat tinggal dan pekerjaan. Ada 2 jenis anamnesis
yang umum dilakukan, yakni autoanamnesis dan alloanamnesis. Pada umumnya anamnesis
dilakukan dengan teknik autoanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan langsung terhadap
pasiennya. Anamnesis yang didapat dari informasi orang lain serta ahli keluarga disebut
alloanamnesis.
- Keluhan utama dalam kasus ini : Datang dengan keluhan batuk darah setengah gelas air
mineral sejak 1 hari yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang :


- Batuk dialami sejak 4 bulan terakhir
- Pasien merasa semakin kurus dalam 3 bulan terakhir.
- Batuk terdapat sedikit dahak, terdapat nyeri dada, tetapi pasien tidak merasa sesak.
- Pasien juga sering merasa badannya terasa hangat hilang-timbul selama 1 bulan
terakhir.

Riwayat penyakit dahulu


- Pasien belum pernah berobat sebelumnya untuk keluhan tersebut

Riwayat penyakit keluarga


- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa tidak ada.

Riwayat sosial
Lingkungan dan kebersihan rumah bagaimana? Apakah sering terpapar dengan orang
yang batuk-batuk. Apakah pasien mempunyai kebiasaan merokok?

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Kulit thoraks dilihat, apakah terdapat benjolan, pelebaran kapiler (spider naevi),
perubahan warna kulit dan sebagainya. Bentuk thoraks diperhatikan, apakah simetri atau
asimetri, perhatikan deformitas yang tampak, pectus excavatum (funnel chest), pectus
carinatum (pigeon chest), barrel chest, kyphoscoliosis dan lain-lain.

Barrel chest Pectus carinatum Pectus excavatum


Gambar. 1 menunjukkan kelainan patologis paru dan dada.
Toraks penderita diamati selama inspirasi dan ekspirasi berulang–ulang. Dan
perhatikan apakah toraks tampak simetris kanan dan kiri, apakah ada bagian yang tertinggal
waktu inspirasi maupun ekspirasi. Sela iga diperhatikan, terutama pada pergerakan selama
pernafasan, apakah ada retraksi sela iga yang biasa dijumpai pada penyakit asma berat, COPD
dan obstruksi jalan nafas.
Palpasi
Permukaan toraks, dan sela iga diraba apakah pasien mengeluh adanya rasa nyeri
pada saat palpasi. Rasa nyeri pada sela iga dapat terjadi di daerah pleura yang mengalami
inflamasi. Selanjutnya lakukanlah pemeriksaan fisik seperti yang dilakukan dahulu untuk
mengenal gerakan ekspansi paru pada saat nafas. Kemudian dilanjutkan pula dengan
pemeriksaan fremitus, bila terdapat fremitus yang melemah atau menghilang maka dipikirkan
kemungkinan adanya obstruksi bronkus, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease),
efusi pleura, fibrosis pleura, pneumotoraks, inflitrasi tumor atau dinding dada yang sangat
tebal.2,3
Perkusi
Perkusi normal pada paru terdengar sonor pada kedua lapangan paru, kecuali dearah
jantung. Bila pada perkusi terdengar pekak (dullness) pada salah satu bagian paru, maka hal
ini dapat disebabkan adanya cairan atau jaringan solid yang menggantikan jaringan paru.

Auskultasi
Suara nafas patologis harus dikenal seperti:
 Vesikuler : melemah, ekspirasi memanjang
 Bronkial-vesikular : suara antara vesikuler dan bronkial disertai ekspirasi memanjang
dan mengeras.
 Ronchi kering : suara vibrasi melengking karena penyempitan lumen dan adanya
sekret kental, bila nada suara makin tinggi, panjang dan makin melengking, maka
suara tersebut menjadi wheezing.
 Ronchi basah : suara berbisik, percikan air, terputus-putus yang terjadi karena adanya
udara yang melalui cairan. Ronchi basah terdiri dari ronchi basah halus, sedang dan
kasar. Ronchi basah sedang kasar dapat dibedakan lagi antara nyaring atau tidak.
 Ronchi halus.

Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB
dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan
struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas
bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak napas tertinggal,
keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis
tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di daerah leher kadang disertai
adanya skrofuloderma.2

Diferrential diagnosis
Tuberkulosis Paru (TB paru)
Pemeriksaan penunjang:4
1. Pemeriksaan darah: Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah
mulai turun ke arah normal lagi.
2. Tes serologis: Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif
atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Menggunakan
suatu fosfatida kaolin. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya penggumpalan atau
aglutinasi.
3. Pemeriksaan radiologis: terdapat cavitas paru dan scar infiltrat.
Gambar 1. Konsolidasi kavitasi
pada lobus atas kiri, Tuberkulosis
Aktif.
4. Pemeriksaan sputum: dilakukan melalui pewarnaan tahan asam. Kriteria sputum BTA
positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu
sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.

Gejala klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam, tetapi ada juga
pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan
yang sering ditemui adalah:1,4
(1) Demam. Biasanya subfebril atau menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberkulosis yang masuk.
(2) Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah
penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-
bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah
pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
(3) Sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
(4) Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
(5) Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul
secara tidak teratur.

Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3/um. Sebagian besar dinding kuman
terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan
asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan
hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam
lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Di dalam jaringan
kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat kuman ini
adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih
tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis.

Epidemiologi
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
tetap menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. Indonesia adalah negeri dengan
prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Berdasarkan survei kesehatan
rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3
sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.4

Patogenesis
Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang
buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel bisa masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh netrofil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.4
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.
Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang dijaringan
paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pluera. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian
paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan muncul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:4,5
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan kurang
lebih 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
 Berkomplikasi dan menyebar secara: a).perkontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya, b).secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar
ke usus, c).secara limfogen ke organ tubuh lainnya, d).secara hematogen ke organ
tubuh lainnya.

Tuberkulosis sekunder
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,
alkohol, penyakit malignan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis sekunder ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior
atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.4
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel datia-langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan
berbagai jaringan ikat. TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:5
 Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini
mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang
terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.

Secara keselurahan akan terdapat 3 macam sarang yakni:


1). Sarang yang sudah sembuh, sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
2). Sarang aktif eksudatif, sarang bantuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna.
3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan,
tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberikan
pengobatan yang sempurna juga.5
Penatalaksanaan
Medikamentosa
 INH (Isoniazid): dosis 5-10 mg/KgBB/hr. Dosis max 300-600 mg/hr. Efek samping:
neuritis perifer, neurotoksisitas, urtikaria, vaskulitis, agranulositosis trombositopenia,
ikterus, nekrosis hati multilobuler.
 Rifampisin: dosis 450-600 mg/hr. Efek samping: cairan tubuh seperti urin, feses,
keringat jadi warna merah, flu like syndrome, trombositopenia, ikterus, penyakit hati
kronik, pemberian secara intermittent menyebabkan timbulnya sindroma hepatorenal.
Isufisiensi renal akut, hipersensitifitas, kelainan hematologik, gangguan saraf.
 Etambutol: dosis 15 mg/kgBB/hr. Efek samping neuritis retrobular meliputi buta
warna, lapang pandang berkurang, skotoma. Nyeri sendi, peningkatan asam urat.
 Streptomisin: dosis 20 mg/kgBB/hr. Efek samping: ototoksisitas, nefrotoksik.
 Pirazinamid: dosis 15-40 mg/KgBB/hr. Efek samping : gangguan fungsi hati antara
lain ikterus dan peningkatan SGOT dan SGPT. Keadaan berat bisa nekrosis hati.
Peningkatan asam urat.4,5

Non-medikamentosa
Faktor penting untuk keberhasilan pengobatan adalah ketaatan pasien minum regimen
obat. DOTS (Directly Observed treatment Short Course strategy) adalah salah satu cara
memastikan bahwa pasien taat menjalankan pengobatan. Dengan DOTS, pekerja perawat
kesehatan atau seseorang ditunjuk. Mengawasi pasien menelan masing-masing dosis
pengobatan Tb. Langkah-langkah seperti DOTS dipilih untuk meningkatkan ketaatan dan
memastikan bahwa pasien meminum obat yang dianjurkan.4

Kanker paru
Pemeriksaan penunjang:6
1. Radiologi: Foto thorax posterior – anterior (PA) dan lateral serta topografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru.
Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada
bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra. Bronkhografi,
untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium: Sitologi untuk melihat tahapan karsinoma dan pemeriksaan fungsi paru
untuk mengukur seberapa besar kapasitas paru yang masih berfungsi baik.
3. Pemeriksaan histopatologi adalah standart emas diagnosis kanker paru, untuk
mendapatkan spesimennya didapat dengan cara biopsi.
4. Petanda tumor: seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainnya tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan biologi molekuler: cara paling sederhana dapat menilai ekspresi beberapa
gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru, seperti protein p53, bcl2, dan
lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukkan
prognosis penyakit.

Gejala klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah
menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat :6,7
 Lokal (tumor tumbuh setempat) yaitu batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk
kronis, hemoptisis, mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas,
kadang terdapat kavitas seperti abses paru, dan atelektasis.
 Invasi lokal: nyeri dada, dispnea karena efusi pleura, invasi ke pericardium sehingga
terjadi temponade atau aritmia, sindrom vena cava superior, sindrom Horner, dan
suara serak karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent.
 Gejala penyakit metastasis: pada otak, tulang, hati, adrenal, limfadenopati servikal dan
supraklavikula (sering menyertai metastasis)
 Sindrom paraneoplastik, terdapat pada 10% kanker paru dengan gejala: Sistemik:
penurunan berat badan, anoreksia, demam. Hematologi: leukositosis, anemia,
hiperkoagulasi. Hipertrofi osteoartropati, Neurologik: dementia, ataksia, tremor,
neuropati perifer. Neuromiopati, Endokrin: sekresi berlebihan hormon paratiroid
(hiperkalsemia), Dermatologik: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tubuh, Renal:
syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH).
 Asimptomatik: sering terdapat pada perokok pada PPOK yang terdeteksi secara
radiologis, dan terdapat kelainan berupa nodul soliter.

Etilogi dan epidemiologi


Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari kanker paru belum
diketahui, tetapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik
merupakan faktor penyebab utama, disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
genetik, dll. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928), telah melaporkan
tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan degan yang tidak merokok. Laki-
laki adalah kelompok kasus terbanyak meskipun angka kejadian pada perempuan cendrung
meningkat, hal itu berkaitan dengan gaya hidup (merokok) .Prevalensi kanker paru di negara
maju sangat tinggi. Insiden puncak kanker paru terjadi antara usia 55 – 65 tahun.6

Patogenesis
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen menyebabkan cilia hilang dan
deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan
karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang
disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul
efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang
letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan
obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala – gejala
yang timbul dapat berupa batuk, hemoptisis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing
unilateral dapat terdengar pada auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan
biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat
bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus,
pericardium, otak, tulang rangka.6

Penatalaksanaan
 Bedah: Bedah yang dilakukan adalah dengan membuang 1 lobus paru (kadang lebih)
tempat ditemukannya tumor dan juga membuang semua kelenjar getah bening
mediastinal.
 Kemoterapi: Kemoterapi adalah memberikan obat anti-kanker pada pasien dengan
cara diinfuskan. Pada kemoterapi diberikan lebih dari 1 jenis obat antikanker dan
biasanya 2 macam, tujuannya agar lebih banyak sel kanker yang dapat dibunuh dengan
jalur yang berbeda.
 Obat Anti Kanker: karboplatin, golongan taxan, gemsitabine, capecitabine dengan
dosis sangat kecil sehingga tidak mempunyai efek sistemik.6,7

Bronkiektasis
Pemeriksaan penunjang:8
1. Foto toraks dada. Tidak sensitif dalam mendeteksi derajat dari penyakit
(ringan/sedang). Dari foto polos dapat terlihat gambaran seperti jalur tram, cincin,
garis pararel dan struktur tubular. Pada bronkiektasis sakular, terdapat gambaran ruam
kistik, air fluid level atau gambaran honeycomb.
2. CT-scan, standar baku dalam mendiagnosis bronkiektasis. Lebih sensitif dibandingkan
foto polos dada menggambarkan dilatasi saluran napas pada kedua lobus dan lingual.
Karasteristik: bronchial tapering menurun, bronkus terihat 1 cm pada tepi paru, rasio
ukuran bronkoarteri meningkat.
3. Pemeriksaan sputum, kultur sputum, pewarnaan, dapat ditemukan neurtofilia dan
kolonisasi. Selain itu dapat dilakukan tes resistensi antibiotik (terutama pada infeksi
pseudomonas aeroginosa).

Gejala klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas
dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri
khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis
dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat, dan tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan. Bronkiektasis yang
mengenai lobus atas sering dan memberikan gejala. Keluhan-keluhan pada bronkiektasis
meliputi:8 (1) Batuk. Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik, dan frekuensi mirip seperti bronchitis kronik (bronchitic-like symptoms),
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada
perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada infeki sekunder sputumnya
mukoid, sedangkan apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulent, dan dapat
memberikan bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore). (2) Hemoptisis. Hemoptisis atau
hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis
atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul perdarahan.
Perdarahan yang terjadi bervariasi. (3) Sesak napas (dispnea), mengi. Pada sebagian besar
pasien (50%) ditemukan keluhan sesak napas. (4) Demam berulang. Bronkiektasis merupakan
penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun paru,
sehingga sering timbul demam (demam berulang). Jika disertai penyakit sistemik berat
lainnya dapat terjadi hipoksemia kronik, kor pulmonal, atau gagal ventrikel kanan.
Etiologi dan Epidemiologi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau ireversibel.
Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus
berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-
pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil (medium size),
sedangkan bronkus besar umumnya jarang. Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih
belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul
secara kongenital maupun didapat. Insiden bronkiektasis meningkat seiring bertambahnya
usia, sekitar 272 per 100.000 orang dengan usia >75 tahun. Sering ditemui pada perempuan
usia > 50 tahun yang tidak merokok. Insidens perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-
laki.8,9

Patogenesis
Bronkiektasis merupakan penyakit pada bronkus dan bronkiolus, yang melibatkan
infeksi transmural dan reaksi radang. Penyakit tersebut bersifat kronik dengan eksaserbasi
akut sepanjang perjalanannya. Infeksi, biasanya Pseudomonas aeruginosa atau Haemophilus
influenza, menyebabkan proses peradangan dan merusak dinding bronkus. Infeksi, khususnya
oleh kedua mikroorganisme tersebut, menghasilkan pigmen, protease, dan toksin yang dapat
merusak epitel pernapasan dan klirens mukosilier. Proses inflamasi dan gangguan klirens
mukosilier menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi infeksi berulang
yang akan terus menyebabkan proses inflamasi dan gangguan klirens mukosilier. Proses
tersebut dikenal dengan hipotesis “Vicious Cycle’. Tersebut menyebabkan neutrofil dan
mediator lain keluar dan menyebabkan kerusakan epitel yang semakin berat, obstruksi,
kerusakan jalur napas, dan infeksi berulang.
Penatalaksanaan bronkiektasis:8,9
Pengelolaan pasien bronkiektasis terdiri atas dua kelompok yaitu pengobatan
konservatif dan pengobatan pembedahan
Pengobatan konservatif
1. Pengelolaan umum
 Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien. Contoh: membuat ruangan
hangat, udara kering, mencegah atau menghentikan merokok, dan mecegah atau
menghindari asap rokok, debu, dan sebagainya.
 Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik dikerjakan sebagai berikut:
melakukan drainase postural, mencairkan sputum yang kental, mengatur posisi tempat
tidur pasien, dan mengontrol infeksi saluran napas
2. Pengelolaan khusus
 Kemoterapi pada bronkiektasis
 Drainase secret dengan bronkoskop
3. Pengobatan simptomatik
 Pengobatan pembedahan, bertujuan untuk mengangkat (reseksi) segme/lobus paru
yang terkena atau terdapat bronkiektasis

Pneumonia
Pada perkembangannya pengelolaan pneumonia telah dikelompokkan pneumonia
yang terjadi dirumah sakit – Pneumonia Nosokomial (PN) kepada kelompok pneumonia yang
berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV), dan yang didapat di pusat perawatan
kesehatan (PPK). Dengan demikian pneumonia saat ini dikenal dengan dua kelompok utama
yaitu pneumonia di rumah perawatan (PN) dan pneumonia komunitas (PK) yang didapat di
masyarakat. Pneumonia dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan manifestasi
infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) lainnya misalnya sebagai perluasan bronkiektasis
yang terinfeksi. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.10
Pemeriksaan penunjang
1.Pemeriksaan radiologis. Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan "air bronchogram", penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas.
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae.
Pseudomonas aeruginosa sering memperihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia. Klebsiela pneumoniae sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada
lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

Gambar 2. Gambaran Radiologis Pneumonia Bakteri


2.Pemeriksaan laboratorium: leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri,
peningkatan jumlah lekosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul.
hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri. peningkatan LED. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, dan pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.10

Gejala klinis
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran nafas atas akut selama
beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai
40oC, sesak nafas, nyeri dada, dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna
merah karat (untuk streptococcus pneumoniae), merah muda (untuk staphylococcus aureus),
atau kehijauan dengan bau khas (untuk pseudomonas aeruginosa). Pada sebagian penderita
juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala.10
Etiologi.10,11
Kemungkinan kuman penyebab
Pneumonia Nosokomial (PN) S. Aureus ,MRSA, Ps. Aeruginosa
Anaerob, Acinobachter spp.

Pneumonia Komunitas (PK) Str. Pneumoniae, M. Pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, H.


Infuenzae, S. aureus, Ps. Aeruginosa

Pneumonia Aspirasi kuman anaerob obligat (41-46%), peptococcus ,klebsiella


pneumoniae, stafilococcus, Fusobacterium nucleatum,
Bacteriodes melaninogenicus, Peptostreptococcus

Gangguan imun yg mendasari : a. Gangguan imunitas humoral à infeksi kuman


b.Gangguan imunitas selular à virus, jamur,
mikobakterium, dan protozoa

waktu terjadinya penyakit : a. Terjadi 2-4 minggu setelah transplantasi à bakteri


b. Bila beberapa bulan à P.carinii, virus( CMV), jamur
(aspergilus)

Epidemiologi
Penyebaran kasus pneumonia dipengaruhi oleh lingkungan hidup pasien, pekerjaan,
riwayat perjalanan, pajanan dengan binatang pelihaaan, dan adanya kontak dengan individu
yang sakit. Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas dan
semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia dan sering terjadi bersama penyakit paru
obstruktif kronik. Kebanyakan kasus pneumonia didahului dengan adanya satu atau lebih
penyakit dasar yang menganggu daya tahan tubuh.10

Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imuitas) inang,
mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.
Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat
ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari
pasien. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang infuse oleh
Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemasangan ventilator oleh Pseudomonas
aeruginosa dan Enterobacter.11
Penatalaksanaan:10,11
 Non medikamentosa : istirahat, hidrasi untuk mengencerkan sekret, Teknik bernapas
untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan menurunkan resiko atlektasis.
 Medika mentosa: terapi antimikroba pada dewasa

Penyakit Penyebab Antimikroba

Pneumonia aspirasi Anaerob, aerob S. aureus Penisilin


Klindamisin
komunitas dan RS gram (-) enterik
Tetra-klavulanat

Pneumonia nosokomial Bakteri gram negatif Piperasilin –


Tazobaktam
karbapenem

Penyakit jamur paru (mikosis paru)


Pemeriksaan penunjang:12
1. Pemeriksaan mikroskopis; Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan laritan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India. Teknik pewarnaan
dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor,
maupun deteksi antibodi monoklonal dengan pewarnaan imunofluoresens.
2. Biakan; menggunakan medium Sabarout Dextrose Agar. Pemeriksaan biakan
membutuhkan waktu beberapa hari sampai minggu, tetapi penting dilakukan untuk
identifikasi spesies secara konvensional maupun uji kepekaan jamur terhadap obat-
obat antijamur.
3. Serologi; Uji ini didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan ke
aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur berproliferasi.

Gejala Klinis
Secara klinis gejala mikosis paru sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala berarti
sampai dengan gejala paling berat yang bisa menimbulkan kematian. Gejala utama yang
sering dijumpai adalah sama dengan gejala penyakit paru yang lainnya yaitu berupa batuk,
batuk kronik dengan dahak, kadang-kadang sesak napas, batuk darah, sakit dada, dan
demam.12,13
Etiologi dan Epidemiologi
Penyakit paru karena jamur (mikosis paru) termasuk ke dalam mikosis sistemik.
Kekerapan dan masalah yang ditimbulkan mikosis paru juga meningkat. Penyebab terbanyak
adalah Candida albicans 36,67%, kemudian Aspergillus fumigatus 27,33%, Candida sp. dan
A.flavus masing-masing 11,6%, Rhizopus sp. 5,56%, A.niger 3,70%, Mucor sp. 1,85%, dan
Nocardia sp. 1,85%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ternyata dijumpai 3,35%
mikosis paru pada pasien dengan gejala batuk kronik dan berdahak.12

Penatalaksanaan
Pada saat ini anti jamur yang digunakan untuk pengobatan mikosis sistemik adalah
amfoterisin B, flusitosin, ketokonasol, itrakonasol dan flukonasol. Untuk penyakit jamur yang
tidak mengancam jiwa, pilihan jatuh pada flukonasol. Bila flukonasol tidak aktif terhadap
jamur penyebab, pilih itrakonasol. Untuk infeksi jamur sistemik berat, mula-mula diberikan
amfoterisin B sebagai terapi awal, kemudian baru diteruskan denan flukonasol atau
itrakonasol.12

PPOK (Bronkitis kronik)


Pemeriksaan penunjang:14
1.Tes Spirometri: menghitung Forced Expiratory Volume (FEV1) dan Forced Vital Capacity
(FVC), yaitu volume ekspirasi maksimal yang dapat dihembuskan dalam detik pertama dan
tarikan napas maksimal yang dapat dihirup dalam satu kali tarikan napas yang dalam.rasio
FEV1/FVC minimal mencapai angka 70%. Pada pasien PPOK rasio akan menurun dibawah
70%.
2.COPD Assessment Test; pasien mengisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan PPOK
seperti sifat batuk, sputum, dyspnea, sesak dada, dll. Jawaban pasien dinilai berdasarkan skor
yang telah ditentukan (0-40) dan semakin tinggi skor maka tingkat keparahan penyakit akan
semakin tinggi.
3.Pemeriksaan radiologis; dapat dilakukan dengan x-ray. Penampakan yang paling umum
terjadi adalah hiperinflasi paru, peningkatan udara retrosternal, dan adanya bulla.

Gejala klinis
Gejala utama bronkitis kronik adalah batuk berdahak yang menetap. Selama bertahun-
tahun, tidak ada gangguan pernapasan lain, tetapi akhirnya pasien mengalami sesak jika
beraktivitas (berolahraga). Dengan berlalunya waktu, dan biasanya dengan berlanjutnya
merokok, elemen-elemen lain PPOK mulai muncul, termasuk hiperkapnia, hipoksemia, dan
sianosis ringan. Bronchitis kronik berat yang telah berlangsung lama sering menyebabkan kor
pulmonale dan gagal jantung. Kematian juga dapat disebabkan oleh memburuknya fungsi
pernapasan akibat infeksi bakteri akut berulang.13,14

Etiologi dan epidemiologi


Dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti merokok, pajanan lingkungan pekerjaan,
polusi udara, hiperresponsivitas bronkial, faktor genetik, penyakit autoimun, dan eksaserbasi
akut. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus sehingga
drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan sumber bakteri
yang dapat menyerang dinding bronchus. Dilatasi bronchus (bronchiectasis) menyebabkan
gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. Kedua
jenis kelamin dan semua usia dapat terkena, tetapi bronkitis kronik paling sering dijumpai
pada pria usia pertengahan. Bronkitis kronik 4 sampai 10 kali lebih sering pada perokok berat
tanpa memandang jenis kelamin, usia, pekerjaan, atau tempat tinggal.14
Patogenesis
Faktor primer atau pemicu dalam pembentukan bronkitis kronik adalah iritasi kronik
oleh bahan-bahan yang terhirup, misalnya asap rokok (90% pasien adalah perokok) dan padi-
padian, kapas, dan debu silika. Infeksi bakteri dan virus merupakan hal penting yang dapat
memicu eksaserbasi akut penyakit.
Gambaran paling dini dari bronchitis kronik adalah hipersekresi mucus di saluran
napas besar karena terjadinya hipertrofi kelenjar submukosa di trakea dan bronkus. Protease
yang dikeluarkan dari neutrofil serta metalloproteinase matriks, merangsang terjadinya
hipersekresi mucus. Seiring dengan menetapnya bronkitis kronik, juga terjadi peningkatan
mencolok jumlah sel goblet di saluran napas kecil-bronkus kecil dan brokiolus sehingga
terjadi produksi mucus yang berlebihan yang ikut menyebabkan obstruksi saluran napas.
Diperkirakan bahwa, baik hipertrofi kelenjar submukosa maupun peningkatan sel goblet
adalah suatu reaksi metaplastik protektif terhadap asap rokok atau polutan lain (misalnya
sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Hipersekresi mucus di saluran napas besar adalah
penyebab pembentukan berlebihan sputum. Peran infeksi tampaknya hanya sekunder. Infeksi
tifdak memicu bronchitis kronik, tetapi berperan dalam menimblkan eksaserbasi akut. Asap
rokok mempermudah terjadi infeksi, dapat dengan mengganggu kerja silia epitel saluran
napas, dapat secara langsung merusak epitel saluran napas, dan menghambat kemampuan
leukosit bronkus dan alveolus membersihkan bakteri. Infeksi virus juga dapat menyebabkan
eksaserbasi bronkitis kronik.14

Penatalaksanaan
 Non-medikamentosa: dapat dilakukan dengan pemberian rehabilitasi, terapi oksigen,
ventilator.
 Medikamentosa
1. pemberian Bronkodilatator; merupakan obat utama untuk mengurangi gejala
klinis seperti dyspnoe.
2. Obat golongan simpatomimetik; beta adrenergik selektif menyebabkan
relaksasi otot polos bronkus dan memperbaiki mucocilliary clearence.
3. Golongan antikolinergik; menghambat secara kompetitif reseptor kolinergik
otot polos bronkus sehingga menyebabkan bronkodilatasi
4. Golongan metilxantin; juga menyebabkan bronkodilatasi
5. Kortikosteroid; sebagai antiinflamasi yang bekerja dengan cara menurunkan
permeabilitas kapiler sehingga jumlah mucus berkurang, menghambat aktifitas
enzim proteolitik, dan menghambat prostaglandin.
6. Antibiotik; hanya diberikan pada kasus eksaserbasi yang diseababkan oleh
karena bakteri.14

Abses paru
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nana (pus) dalam parenkim paru pada
satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada tuberculosis paru.
Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi pada
usia tua.15
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium, hitung leukosit tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan hitung jenis
bergeser kekiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama netrofil yang
immature. Bila abses berlangsung lama sering ditemuka adanya anemia dan
peningkatan LED.
2. Radiologi, foto dada PA lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk
abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran
opak dari satu atau lebih segmen paru atau hanya berupa gambaran densitas homogen
yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam baying
infiltrat yang padat.
Gambaran klinis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut bila
terjadinya kurang dari4-6 minggu. Umumnya pasien memiliki riwayat perjalan penyakit 1-3
minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu
tubuh mencapai 39,40C atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru.
Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses tersebut
menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam sampai dengan
beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami gangren. Sputum yang
berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anearob dan disebut
dengan putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri diatas tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan
keterlibatan pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang massif. Pada
beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan sputum yang berjumlah
banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal lobus atas. Sedangkan abses paru
sekunder seperti yang disebabkan oleh septiK emboli paru dan infark. Abses sudah bisa
timbul hanya dalam waktu 2-3 hari.15

Patogenesis
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya
tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses
paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai
adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda
asing, tumor, dan striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan
terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan infeksi pada daerah distal obstruksi
tersebut. Abses seperti ini banyak terjadi pada psien bronkitis kronik karena banyanya mukus
pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media yang sangat baik bagi organisme
yang teraspirasi.
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai
fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya seperti
tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses
multiple dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar. Secara
umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai 5 cm. atau lebih. Disebut
abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal,
sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai
kondisi seperti obstruksi, dronkiektasis dan gangguan imunitas.
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang menyebabkan
terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan organism
penyebabnya paling sering adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia dan grup
Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya multiple dan berukuran kecil-kecil (<2cm). Bula
atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.14,15

Etiologi
Abses paru dapat disebabkan oleh:
1. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi:
Bacteriodes melaninogenus, Bacteriodes fragilis, Peptostreptococcus species,
Bacillus intermedius, Fusobacterium nucleatum dan Microaerophilic streptococcus.
Bakteri anaerobic meliputi 89% penyebab abses paru.
2. Kelompok bakteri aerob: Staphylococcus aureus, Streptococcus microaerophilic,
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumonia, Klebsiella pneumonia,
Pseudomonas aeroginosa, Escherichia coli, dll.
3. Kelompok jamur: mucoracea, aspergilus species

Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari patogen
penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari empiema, dan
pencegahan komplikasi yang terjadi. Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dengan
pegobatan antibiotik yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak
dan darah diambil untuk dikultur dan tes sensitivita. Kebanyakan abses paru yang disebabkan
bakteri anerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti, sehingga pengobatan diberikan
secara empirik. Antibiotik yang paling baik adalah klindamisin oleh karena mempunyai
spectrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Klindamisin diberikan mula-mula dengan
dosis 3x600 mg intravenous, kemudian 4x300 mg oral/hari. Regimen alternatif adalah
penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang sampai memberikan 25 juta unit atau lebih/hari,
dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4x500-750
mg/hari. Antibiotic parenteral diganti keoral bila pasien tidak panas lagi dan merasa sudah
baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan metronidazol 2 g/hari dengan dosis
terbagi (untuk penyebab bakteri anaerob) yang diberikan selama 10 hari. Kemudian antibiotic
diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas, abses paru yang disebabkan oleh stafilokokus
harus diobati dengan penisilinase resistant penicillin atau sefalosporin generasi pertama,
sedangkan untuk Staphylococcus aureus yang methicillin resistant pilihannya adalah
vankomisin. Abses paru amubik diberikan metronidazol 3x750 mg, sedangkan bila
penyakitnya serius dan terjadi rupture dari abses harus ditambahkan emetin parenteral pada 5
hari pertama. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu
dengan pemberian antibiotic oral sebagai pasien rawat jalan.15

Kesimpulan
Batuk darah merupakan gejala/tanda dari suatu penyakit sehingga etiologinya harus
dicari dengan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat. Beberapa penyakit paru juga
bergejala batuk darah, penyakit tersebut antara lain TBC paru, bronkiektasis, kanker paru,
pneumonia, mikosis paru, bronkitis kronik, dan abses paru. Penatalaksanaannya dengan
mempertahankan jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi cairan. Setelah keadaan stabil
pasien baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari sumber perdarahan dan
penyebab perdarahan misalnya dengan foto toraks, CT scan, bronkoskopi dan beberapa
pemeriksaan lainnya. Pada kasus ini, dikarenakan hasil pemeriksaan penunjang yang spesifik
yang diminta yaitu pemeriksaan BTA belum keluar, maka pasien belum dapat didiagnosis
dengan pasti.
Daftar Pustaka
1. Alsagaff H, Wibisono MJ. Batuk darah. Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru
FK Unair – RSUD Dr. Soetomo; 2010. Hal. 74-87.
2. Drake RL, Vogl AW, Mitchell ADM. Thoraks : In : Grays Anatomy For Students. 2 nd
ed. Canada : Churchill Livingstone Elsevier, 2010. p310-312
3. Shape of thorax. Cited on : 2015 July 07. Available from
https://ratedmedicine.wordpress.com/barrel-chest/
4. Wardhani DP, Uyainah A. Tuberkulosis. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA, penyunting. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.

5. Adimata TY. Tuberkulosis, masalah dan perkembangannya. Jakarta:Departemen


Kesehatan Republik Indonesia;2008.h.61-72.
6. Pradipta EA, Wardhani DP, Uyainah A. Kanker paru. Dalam: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA, penyunting. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014
7. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004.h.1-20.
8. Rahmatullah P. Bronkiektasis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K,
Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
publishing;2014.h.1608-72.
9. Wardhani DP, Uyainah. Bronkiektasis. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta
EA, penyunting. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.h.284-6.
10. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K,
Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
publishing;2014.h.1608-12
11. Djojodibroto RD. Respirologi. 1st ed. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
h.107-18
12. Tanjung A, Keliat EN. Mikosis paru. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata K, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6.
Jakarta: Interna publishing;2014.h.1658-64
13. Hariadi S, Amin M, Wibisono MJ, Hasan H, editors. Dasar-dasar diagnostik fisik paru.
Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; 2008. Hal. 7-8.
14. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-
7. Jakarta: EGC;2007.
15. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K,
Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
publishing;2014.h.1651-7.

Anda mungkin juga menyukai