Anda di halaman 1dari 12

Pendekatan Klinis pada Laki-Laki 60 Tahun dengan Penurunan Kesadaran

Elisabeth Elida Elyus Mandalahi


102015062 / A1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara nomor 6, Jakarta Barat, Indonesia 11510. Telepon : (021) 5694-2061

Abstrak
Kekurangan cairan elektrolit yang banyak dari tubuh seperti natrium, disebabkan karena diare yang
terus menerus akan membuat pasien menjadi lemas, bahkan koma. Kekurangan natrium dari dalam
tubuh disebut hiponatremia. Dan hiponatremia adalah hilangnya natrium dari dalam tubuh lebih
dari kadar yang seharusnya normal dalam tubuh. Selain itu tubuh tidak bisa menkompensasi nya
dengan menganti cairan lain untuk masuk, akan tetapi cairan elektrolit lain seperti kalium juga bisa
ikut untuk banyak keluar. Akan tetapi pada kasus tertentu seperti diare itu, adalah hyponatremia
yang hipovolemic.

Kata kunci: natrium, hyponatremia, hypovolemic.

Abstract

Disadvantages of many electrolyte fluids from the body such as sodium, caused by continuous
diarrhea will make patients become weak, even coma. A deficiency of sodium from the body is
called hyponatremia. And hyponatremia is the loss of sodium from the body over the levels that
should be normal in the body. In addition the body can not compensate it by replacing other fluids
to enter, but other electrolyte fluids such as potassium can also come for many out. However, in
certain cases such as diarrhea, it is hypovolemic hyponatremia.

Keywords : sodium, hyponatremia, hypovolemic.

Pendahuluan

Dalam tubuh tentu kita memiliki cairan tubuh yang berguna untuk menjaga keseimbangan
metabolisme tubuh kuta. Apabila keseimbangan tubuh kita terganggu akan menyebabkan rusaknya
metabolisme tubuh kita. Dikarenakan metabolisme mengantur baik atau tidaknya suatu organ
tubuh yang berperan. Organ tubuh kita bekerja satu sama lain dan itu telah diatur secara
berkesinambungan dengan cairan tubuh kita. Cairan tubuh kita terdiri dari air, darah, dan cairan

1
elektrolit yang terdiri dari natrium, kalium, dll. Dan yang paling membuat bahaya adalah dimana
saat cairan elektrolit tersebut banyak yang keluar dari tubuh. Sehingga bisa membuat tubuh
kekurangan cairan. Kurangnya cairan bisa berdampak buruk bagi tubuh karena dapat
mengakibatkan banyak hal terjadi seperti lemas, mual, muntah, bahkan koma. Beberapa istilah
seperti hiponatremia yang mana kurangnya cairan elektrolit natrium, atau hipernatremia yang
kelebihan cairan elektrolit natrium bisa membuat tubuh menjadi lemas, dan membuat beberapa
komplikasi. Keadaan seperti diare bisa membuat cairan elektrolit banyak keluar dari tubuh. Maka
dari itu di makalah akan membahas mengenai hal tersebut.

Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal yang penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui
riwayat penyakit dan juga menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan lengkap dan
teratur. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan riwayat
perjalanan penyakit. Anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis. Pasien ini laki-laki berumur 60
tahun dibawa oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu.
Pada anamnesis ditemukan bahwa laki-laki ini sudah sejak 3 hari yang lalu mengalai diare dengan
frekuensi 5-7 kali per hari, feses berwarna kuning cair, disertai adanya mual dan muntah, ada
penurunan nafsu makan. Demam tidak ditemukan, sesak napas, dan sakit kepala. 6 jam
sebelumnya sebelum masuk rumah sakit, pasien semakin lemas, waktu tidur semakin memanjang,
dan sulit dibangunkan. Namun keluhan diare sejak dibawa ke rumah sakit membaik, BAB sudah
padat 1 kali per hari. Tidak adanya trauma pada kepala, riwayat penyakit dahulu adalah hipertensi
sejak 10 tahun yang lalu, mengkonsumsi obat rutin HCT 25 mg 1 kali sehari. Pasien mengatakan
bahwa dirinya adalah perokok selama 20 tahun dengan jumlah rokok 1 bungkus per hari.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pertama-tama dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital pasien.
Dimana pada tanda-tanda vital pasien antara lain tekanan darah 120/70, frekuensi nadi 90 kali per
menit, frekuensi napas 20 kali per menit, dan suhu 360C. Pasien terlihat tampak sakit berat, stupor.
Pada pemeriksaan mata ditemukan pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya langsung dan tidak
langsung (+). Pemeriksaan thoraks dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen ditemukan saat
inspeksi perutnya datar, dan normoaktif/normoperistaltik. Extremitas ditemukan reflek fisiologis
dalam batas normal.

2
Pemeriksaan Penunjang

Untuk mendukung diagnosis kerja, selain anamnesis, pemeriksaan fisik, perlu dilakukan
juga pemeriksaan penunjang. Yang mana pemeriksaan penunjang yang hendak dilakukan adalah

1. Darah lengkap
yang mana pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan sebagai berikut
 Hemoglobin (Hb) yaitu ditemukan normal pada pasien ini dengan hasil normal
berkisar 13-16 g/dl
 Hematokrit (Ht) ditemukan normal pada pasien ini berkisar 40-48 %
 Eritrosit ditemukan tidak ada kelainan, yaitu normal sekitr 4,5-10 juta / ul
 Trombosit dalam keadaan normal yaitu 150.000-400.000 /ul
 Leukosit dalam keadaan normal yaitu 5000-10.000 / ul
2. SGPT/SGOT dalam keadaan normal dimana pada pasien ini ditemukan hasil rujukan nya
adalah berkisar 0-50 ul.1
3. Pemeriksaan Gula darah
adalah pemeriksaan yang meliputi dua macam yaitu
 pemeriksaan gula darah sewaktu adalah pemeriksaan gula darah yang dilakukan
setiap waktu sepanjang hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan
dan kondisi tubuh orang tersebut.2
 pemeriksaan gula darah puasa adalah pemeriksaan glukosa darah puasa adalah
pemeriksaan glukosa yang dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam.2
 pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah pemeriksaan yang dilakukan 2
jam dihitung setelah pasien menyelesaikan makan.2
Metode Kadar Gula Darah
Pengukuran Normal DM IGT IFG
Glukosa darah <6,1 mmol/L > 7,0 mmol/L < 7,0 mmol/L <6,1 mmol/L
puasa (fasting (< 110 mg/dl) (>126 mg/dl) (<126 mg/dl) (<10 mg/dl)
glucose)

<7,8 mmol/L >11,1 mmol/L <11,1 mmol/L <7,8 mmol/L


(<140 mg/dl) (> 200 mg/dl) (<200 mg/dl) (140 g/dl)

3
Glukosa darah 2
jam setelah makan
(2-hglucose)
Tabel 1. Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar glukosa darah.2

Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan dan kembali
normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal pada pagi hari setelah malam
sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-
140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung glukosa maupun
karbohidrat lainnya. Pada pemeriksaan untuk pasien ini adalah ditemukan gula darah sewaktu nya
adalah 130 mg/dl, yang mana interpretasinya adalah normal.2

4. Analisa Gas Darah

suatu pemeriksaan untuk mengetahui tekanan gas karbondioksida (CO2), oksigenasi, kadar
bikarbonat, saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa (Severinghaus John, 2010).
Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mengetahui keadaan oksigen dalam metabolisme sel, efisiensi
pertukaran oksigen dan karbondioksida, mengetahui kemampuan Hb dalam melakukan
transportasi oksigen ke jaringan, mengetahui tekanan oksigen dalam darah arteri dan jaringan
secara terus menerus.3 Pemeriksaan darah yang diperiksa antara lain adalah pH, PO2, PCO2, dan
HCO3-. Dimana pemeriksaan ini menunjukkan interpretasi normalnya dan juga pada saat
pemeriksaan kepada pasien, sebagai berikut:

Analisa Gas Darah4 Normal4 Pemeriksaan Pasien


pH 7,35-7,45 7,4 (normal)
HCO3- 22-28 mmol/L 24 mmol/L (normal)
PCO2 35-45 mmhg 40 mmhg (normal)
PO2 80-100 mmhg 94 mmhg (normal)

5. Pemeriksaan Elektrolit

Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang bermuatan
(ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan negatif disebut
anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai elektronetralitas.5 Sebagian besar proses

4
metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal
dapat menyebabkan banyak gangguan.6 Pemeliharaan homeostasis cairan tubuh merupakan proses
penting bagi kelangsungan hidup semua organisme. Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi
beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama empat elektrolit mayor, yaitu
natrium (Na+), kalium (K+), klorida (Cl-), dan bikarbonat (HCO3-).7 Pemeriksaan keempat
elektrolit mayor tersebut dalam klinis dikenal sebagai ”profil elektrolit”.8

Plasma Cairan Interstitial Cairan Intraseluler


Na+ 140 148 13
K+ 4,5 5,0 140
Ca2+ 5,0 4,0 1x10-7
Mg2+ 1,7 1,5 7,0
Cl- 104 115 3,0
HCO3- 24 27 10
SO42+ 1,0 1,2 --
PO42+ 2,0 2,3 107
Protein 15 8 40
Anion Organik 5,0 5,0 --
Tabel 2. Kadar elektrolie dalam cairan ekstrasel dan intrasel6

Dimana pada pemeriksaan elektrolit yang dilakukan pada pasien menunjukkan bahwa kadar
elektrolit Natrium adalah 110 meq/L, dan kadar elektrolit Kaliam adalah 3,5 meq/L. Yang mana
dari hasil ini menunjukkan terjadinya penurunan kadar natrium dan kalium pada pasien ini.

6. Fecalisis : belum ada specimen

7. CTscan kranial non kontras dalam keadaan normal

Working Diagnosis

Metabolic encephalophaty et causa Hyponatremia yang mana pada pasien ini dikatakan
hiponatremia, apabila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya turun lebih dari dibawah nilai
normal (135-145 mEq/L) dan apabila konsentrasi natrium plasma meningkat di atas normal.
Hiponatremia biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas dan hipernatremia berkaitan dengan
hiperosmolalitas.7 Hyponatremia sendiri penyebabnya adalah hilangnya natrium klorida pada
5
cairan ekstrasel atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstrasel yang akan
menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya
terjadi pada dehidrasi hipoosmotik yang pada keadaan berkeringat selama aktivias berat
berkepanjangan, juga berhubungan pada penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, munta-
muntah, dan penggunaan diuretic yang berlebihan.8

Etiologi

Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan anamnesa dan melakukan


pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala, bedah saraf, abdominal symptoms and signs ,
pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit Addison), riwayat obat, dll. Status cairan pasien sangat
penting untuk diagnosis dan pengelolaan selanjutnya.8

Epidemiologi

Kejadian hiponatremia dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa adavsebesar 31,3% (21 orang
dari 67) selama periode 6 bulan dan 62% kasus hiponatremia berhubungan dengan pemasangan
osmostat kembali.9

Patofisiologi

Penyebab hiponatremia dapat diklasifikasikan menurut status cairan pasien


(euvolemik,hipovolemik, atau hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan ketika ada
pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau protein dalam plasma, atau karena
hiperglikemia (dimana pergerakan air bebas terjadi ke dalam ruang ekstraselular dalam
menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler). Sistem klasifikasi menyoroti pentingnya menilai
status cairan. Sebagai contoh, pasien dengan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
Secretion (SIADH) harus euvolemik, sedangkan pasien dengan cerebral salt wasting dapat
memiliki gambaran yang identik dengan SIADH (natrium serum rendah, natrium urin tinggi
dengan konsentrasi urin yang tidak tepat) kecuali pasien akan menjadi hipovolemik. 10

Hiponatremia hipovolemik yang mungkin paling sering terlihat di UGD, hasil dari hilangnya air
dan natrium, tetapi relatif lebih banyak natrium. Ada tiga penyebab utama hypervolaemic
hiponatremia: congestive cardiac failure (CCF), gagal ginjal dan sirosis hati. Dalam kasus ini
jumlah natrium tubuh meningkat tetapi jumlah total air dalam tubuh tidak proporsional lebih besar

6
mengarah ke hiponatremia dan edema. Penurunan curah jantung di CCF menyebabkan penurunan
aliran darah ginjal, merangsang produksi ADH dan resorpsi air di collecting ducts. Penurunan
aliran darah ginjal juga merangsang sistem reninangiotensin, menyebabkan retensi natrium dan
air. Hiponatremia di CCF juga dapat diperburuk oleh penggunaan diuretik. Ini telah ditunjukkan
dalam beberapa penelitian bahwa hiponatremia di CCF adalah faktor prognosis yang buruk. Sirosis
hati merupakan salah satu faktor menyebabkan hiponatremia. Ini termasuk pengurangan volume
sirkulasi, hipertensi portal menyebabkan ascites, dan kegagalan hati untuk metabolisme zat
vasodilatasi. Perubahan ini mengakibatkan stimulasi sistem renin-angiotensin dan retensi natrium
dan air. Hiponatremia terjadi karena konsumsi berlebihan air dan ekskresi natrium yang relatif
lebih rendah (seperti pada pelari maraton), tetapi mekanisme lain yang dijelaskan dalam literature
lain meliputi peningkatan ADH, dan menurunnya motilitas usus.10

Euvolaemic Hypovolaemic Hypervolaemic Lain-lain


SIADH GIT loss: CCF Hyperglycaemia
Psychogenic Diarrhoea and Liver cirrhosis Mannitol
Polydipsia vomiting Nephrotic administration
Bowel Syndrome
obstruction
GI sepsis
Renal loss:
Addison’s
disease
Renal tubular
acidosis
Salt wasting
nephropathy
Diuretic use
cerebral salt
wasting
Tabel 3: Klasifikasi Hiponatremia10

7
Different Diagnosis

 Hipoglikemia

adalah suatu suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah dibawah normal (<70mg/dl).
Hipoglikemia adalah efek samping yang paling sering terjadi akibat terapi penurunan glukosa
darah pada pasien DM dan pengontrolan glukosa darah secara intensif selalu meningkatkan risiko
terjadinya hipoglikemia berat. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada DM tipe 1 dengan angka
kejadian 10% - 30% pasien per tahun dengan angka kematian nya 3% - 4%, sedangkan pada DM
tipe 2 angka kejadiannya 1,2 % pasien per tahun. Rata-rata kejadian hipoglikemia meningkat dari
3.2 per 100 orang per tahun menjadi 7.7 per 100 orang per tahun pada penggunaan insulin. Menurut
penelitian lain didapatkan data kejadian hipoglikemia terjadi sebanyak 30% per tahun pada pasien
yang mengonsumsi obat hipoglikemik oral seperti sulfonylurea. Sebagai penyulit akut pada DM
tipe 2, hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan insulin dan sulfonylurea. 11

 Hipernatremia

didefinisikan sebagai konsentrasi Na+ plasma >145 mmol/L. Dimana natrium dan anion-anion
penyertanya adalah osmol CES yang paling efektif makan hypernatremia adalah suatu keadaan
dimana hiperosmolalitas. Kadar natrium pada hasil tes diagnostic untuk hypernatremia sendiri
adalah <40 mEq/24 jam, dan terjadi osmolalitas urine yang tinggi. Hipernatremia akibat
kehilangan air non-osmotik melalui ginjal yang biasanya disebabkan oleh 1) diabetes insipidus
sentral yang ditandai oleh gangguan sekresi VIP atau 2) diabetes insipidus nefrogenik akibat
resistensi Akibat hipertonisitas, air yang berpindah keluar sel, membuat kontraksi volume CES.
Penurunan volume sel otak yang berkaitan dengan meningkatnya resiko pendarahan subaraknoid
atau intraserebum. Oleh karena itu, gejala utama hypernatremia bersifat neurologic, dan berupa
perubahan status mental, kelemahan otot, iritabilitas neuromuskulus, deficit neurologic fokal dan
kadang mau koma atau kejang. Pasien juga mungkin mengeluh polyuria atau haus.12

Manifestasi klinis

 kedutan dan kelemahan otot akibat pembengkakan osmotik sel


 letargi, konflusi, setangan kejang, dan koma akibat perubahan neurotransmisi
 hipotensi dan takikardia akibat penurunan volume sirkuslasi ekstrasel

8
 nausea, vomitus, dan kram abdomen akibat edema yang memengaruhi reseptor dalam otak
dan pusat muntah pada batang otak
 oliguria atau anuria akibat disfungsi ginjal13

Pasien juga mungkin asimtomatik atau mengeluh mual dan malese. Seiring dengan penurunan
konsentrasi Na+ plasma, gejala bertambah berat menjadi nyeri kepala, letargi, disorientasi, dan
mengantuk. Stupor dan kejang, juga koma biasanya tidak terjadi kecuali konsentrasi Na+ plasma
turun secara akut dibawah 120 mmol/L atau menurusn cepat.12

Penatalaksanaan

Manajemen terdiri dari mengobati penyebab yang mendasari dan memperbaiki hipertonisitas
tersebut. Seperti dengan hiponatremia, aturan umum adalah untuk memperbaiki tingkat natrium
pada tingkat di mana ia naik. Jika natrium tersebut diperbaiki terlalu cepat ada risiko
mengakibatkan edema serebral. Saran yang baik adalah bertujuan untuk 0,5 mmol / l / jam dan
maksimal 10 mmol / l / hari dalam semua kasus kecuali onsets sangat akut. Dalam hipernatremia
akut (≤ 48 jam) natrium dapat diperbaiki dengan cepat tanpa menimbulkan masalah. Namun, jika
ada keraguan untuk tingkat onset, natrium harus diperbaiki perlahan selama setidaknya 48 jam.9

Komplikasi

 Terapi Diuretik

Obat-obatan diuretik terutama golongan tiazid sering menyebabkan hiponatremia. Furosemid juga
dapat menyebabkan hiponatremia dengan cara menghambat reabsorbsi natrium pada ascending
limb pada loop henle (namun jarang). Sering terjadi terutama pada pasien gagal jantung.13

 Cerebral Salt Wasting

Merupakan sindrom yang pasca pendarahan subaraknoid, cedera kepala, dan operasi bedah syaraf.
Terjadi akibat stimulus baroreseptor yang memicu sekresi AVP. Pada 187 kasus hiponatremia pada
bedah syaraf hanya 3,7% yang mengalami CSW.13

 Exercised-Associated Hyponatremia (EAH)

Pelari maraton dengan EAH akan mengeluarkan volume urin yang lebih banyak berbeda dengan,
pelari dengan normonatremia yang akan mengeluarkan volume urin yang lebih pekat. Menurunnya

9
kadar natrium serum setelah olahraga berbanding dengan peningkatan berat badan. Pada pelari
maraton, indeks masa tubuh yang rendah, lama latihan > 4 jam, konsumsi cairan tiap mil, minum
sebanyak mungkin selama berlari memiliki resiko untuk terjadi EAH. Atlit wanita lebih berisiko
untuk mengalami EAH. Atlit dengan EAH cenderung overhidrasi.Dalam beberapa tahun terakhir,
beberapa pelari maraton meninggal akibat minum terlalu banyak, kondisi yang berbahaya yang
disebut hiponatremia atau keracunan air. Sebuah survei kedua dilakukan oleh para peneliti di
Loyola University Medical Center dan telah diterbitkan dalam British Journal of Sport Medicine
pada bulan Juni 2011. Survei tersebut mencapai kesimpulan bahwa, hampir setengah dari pelari
dapat minum terlalu banyak selama perlombaan yang mereka ikuti. Hanya setengah dari pelari
yang disurvei oleh para peneliti Loyola melaporkan bahwa, mereka hanya minum ketika merasa
haus. Yang lain minum sesuai jadwal yang telah ditetapkan, dan hampir 10 persen mengatakan
kepada peneliti bahwa mereka minum sebanyak mungkin.13

 Gagal Jantung dan Sirosis

Dalam situasi normal terdapat beberapa reflek atrium-ginjal yang mengatur eksresi Na dan air.
Peningkatan tekanan pada atrium akan merangsang pelepasan AVP dan menyebabkan diuresis
yang dikenal dengan nama refleks Gauer-Henry. Beroreseptor terdapat pada ventrikel kiri, arteri
karotis, app juktaglomerulus. Normalnya, inhibisi dari stimuasi adrenergik terjadi melalui N.vagus
dan N.Glosofaringeus melalui baroreseptor arteri pada karotis dan arkus aorta.Pada gagal jantung,
terjadi penurunan pada baroreseptor, sehingga proses inhibisi sentral ini menghilang, sehingga
terjadi peningkatan aktivitas adrenergic, sekresi renin, pelepasan AVP. Efek dari aktivasi sistem
neurohormonal ini menyebabkan terjadinya vasokonstriksi renal dengan vasodilatasi
sistemikPatogenesis hiponatremia pada sirosis berkaitan dengan hipertensi porta dan adanya
dilatasi pada sirkulasi splancnik. Selanjutnya mekanisme mirip dengan gagal jantung.13

 Adaptasi Otak terhadap Hiponatremi

Terapi hiponatremia harus selalu berdasarkan patofisiologi kelainan. Saat hiponatremia terjadi
dengan cepat (beberapa jam), kemampuan otak untuk beradaptasi menjadi terbatas, sehingga akan
menyebabkan edema otak. Sehingga pada pasien dengan hiponatremi (<48 jam) dapat terjadi
perubahan status neurologis bahkan pasien dapat meninggal akibat herniasi otak. Pada kondisi
hiponatremi kronis, sel otak akan mengeluarkan solute (zat terlarut) dari dalam sitoplasma, untuk

10
menyamakan osmolalitas intraseluler dan plasma. Sehingga pada hiponatremia (>48 jam) kejadian
edema otak menjadi minimal.13

 Osmotic Demyelination Syndrome

Sindrom ini ditandai dengan pola bipasik, dimana pada awalnya pasien akan mengalami perbaikan
neurologis dengan koreksi hiponatremi, namun satu atau beberapa hari setelahnya pasien akan
mengalami deficit neurologi yang proresif. Hal ini terjadi akibat pengeluaran air dari jaringan otak
yang terlalu cepat, padahal sebelumnya otak telah melakukan adaptasi. Review pada beberapa
literature menunjukkan bahwa peningkatan [Na+] serum sebesar 4-6 mmol/L cukup untuk
mengatasi manifestasi serius akibat hiponatremiaPada pasien dengan Hiponatremia Kronis, gejala
sequel neurologis lebih disebabkan karena koreksi yang cepat. Semua peneliti sepakat koreksi
cepat hiponatremia akan berisiko kerusakan otak iatrogenic. Telah lebih dari 25 tahun disepakati
bahwa koreksi natrium >25 mmol/L dalam 48 jam adalah berlebihan. Koreksi 12 mmol/L per hari
disepakati pada berbagai penelitian. Pada kondisi hiponatremi kronis, dimana koreksi natrium
normal baru bisa tercapai dalam beberapa hari, maka dsepakati koreksi pada hari pertama
diberikan dengan proporsi yang lebih besar. Dengan demikian sebagian besar peneliti
menganjurkan koreksi Na sebesar 6-8 mmol/L per hari. Namun tentu saja target ini tidak bisa
tercapai pada semua fasilitas. Jika terjadi koreksi yang berlebih pada hari pertama, maka koreksi
untuk hari kedua dapat dihentikan untuk mencegah koreksi yang berlebihan. Komplikasi terapi
sering terjadi pada pasien dengan auto koreksi selama terapi. Kondisi ini sering terjadi pada pasien
dengan hipovolumia, defisiensi kortisol, atau terapi thiazide. Pada pasien dengan gejala yang berat
target terapi harus tercapai dalam 6 jam.13

Kesimpulan

Pada kasus laki-laki yang berumur 60 tahun dengan keluhan penurunan kesadaran setelah
mengalami diare 6 jam sebelumnya, dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk mendiagnosisnya ditemukan bahwa yang terjadi pada laki-laki tersebut adalah
metabolic encephalopathy ec Hyponatremia.

11
Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Airlangga; 2005
2. Bickley. LynnS. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Dwijayanti
L, editor. Hartono A, Alih Bahasa. Edisi 8. Jakarta: EGC, 2009.h.333-6, 350-1
3. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2007.
4. Sreedharan R, Anver ED. Chapter 529: Acute Renal Failur. In: Kliegman RM, Stanton BF,
Geme JW, Schor NF, Behrman RE (ed).2011. Nelson’s Textbook of Pediactric.
Philadelphia: Saunders. 19th
5. Wilson LM. Gagal Ginjal Akut. Dalam : Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Volume 2.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 2005.h.992-1000
6. Pudjiadi A, Yuniar I. Bab 14: Gagal Ginjal Akut; dalam: Pudjiadi AH, Latief A,
Budhiwardhana N. 2013. Buku Ajar Pediatri Gawat Darura. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
7. Andreoli Sp. Acute Kidney injury in children. Pediatri Nephorl (2009) 24:253-263
8. Chan JCM, William DM, Roth KS. Kidney failure in infants and children. Pediatrics in
review.2002; 23 (2):59
9. respository.usu.ac.id [homepage on internet]. Indonesia. Hiponatremia [cited November 1st
2017] available form:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41453/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4
10. The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008 [homepage on internet].
11. repository.ugm.ac.id [homepage on internet]. Indonesia [citied November 1st 2017] .
available from: etd.repository.ugm.ac.id/.../S1-2016-336160-introduction.pd
12. Jameson, J.Larry, Loscalzo, Joseph. Harrison: Nefrologi dan Gangguan Asam-Basa. Bab
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGD: 2016
13. The American Journal of Medicine (2013) : Diagnosis, Evaluation and Treatment of
Hyponatremia Expert Panel Recommendations.

12

Anda mungkin juga menyukai