Anda di halaman 1dari 8

Pembelajaran Kooperatif “Make A Match”

3 Desember 2008 at 0:16 112 komentar

69 Votes

Pembelajaran terpusat pada guru sampai saat ini masih menemukan beberapa

kelemahan. Kelemahan tersebut dapat dilihat pada saat berlangsungnya proses pembelajaran

di kelas, interaksi aktif antara siswa dengan guru atau siswa dengan siswa jarang terjadi.

Siswa kurang terampil menjawab pertanyaan atau bertanya tentang konsep yang diajarkan.

Siswa kurang bisa bekerja dalam kelompok diskusi dan pemecahan masalah yang diberikan.

Mereka cenderung belajar sendiri-sendiri. Pengetahuan yang didapat bukan dibangun sendiri

secara bertahap oleh siswa atas dasar pemahaman sendiri. Karena siswa jarang menemukan

jawaban atas permasalahan atau konsep yang dipelajari.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa ternyata dengan pendekatan

pembelajaran seperti itu hasil belajar siswa dirasa belum maksimal. Hal ini tampak pada

pencapaian nilai akhir siswa. Dalam satu tahun belakangan ini siswa yang memperoleh nilai

60 ke atas tidak lebih dari 25%.

Rendahnya pencapaian nilai akhir siswa ini, menjadi indikasi bahwa pembelajaran yang

dilakukan selama ini belum efektif. Nilai akhir dari evaluasi belajar belum mencakup

penampilan dan partisipasi siswa dalam pembelajaran, hingga sulit untuk mengukur

keterampilan siswa.
Untuk memperbaiki hal tersebut perlu disusun suatu pendekatan dalam pembelajaran

yang lebih komprehensip dan dapat mengaitkan materi teori dengan kenyataan yang ada di

lingkungan sekitarnya. Atas dasar itulah peneliti mencoba mengembangkan pendekatan

kooperatif dalam pembelajaran dengan metode make a match.

Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah

ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Lie, 2003:27). Sedangkan menurut

Ibrahim (2000:2) model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang

membantu siswa mempelajari isi akademik dan hubungan sosial. Ciri khusus pembelajaran

kooperatif mencakup lima unsur yang harus diterapkan, yang meliputi; saling ketergantungan

positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota dan evaluasi

proses kelompok (Lie, 2003:30).

Model pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi guru. Model

pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya

kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat

kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota

kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan

jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan

permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai

tujuan pembelajaran.

Guna meningkatkan partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelas, guru menerapkan

metode pembelajaran make a match. Metode make a match atau mencari pasangan

merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan metode ini

dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan

jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin.
Teknik metode pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh

Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil

belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Langkah-

langkah penerapan metode make a match sebagai berikut:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok
untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2. Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.
3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
4. Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya:
pemegang kartu yang bertuliskan nama tumbuhan dalam bahasa Indonesia akan
berpasangan dengan nama tumbuhan dalam bahasa latin (ilmiah).
5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
6. Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak dapat
menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan hukuman, yang telah
disepakati bersama.
7. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda
dari sebelumnya, demikian seterusnya.
8. Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang
cocok.
9. Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.

Hasil Penerapan Make a Match pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Pembelajaran kooperatif make a match mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pada

tes awal rata-rata hasil belajar siswa mencapai 55, siklus I rata-rata 63,08, siklus II rata-rata

75,08, dan tes akhir rata-rata 80,73. Kenaikan hasil belajar ini digambarkan pada grafik

berikut ini.
Grafik 1: Peningkatan Hasil Belajar Siswa

Grafik di atas menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan terjadi

dari sebelum dilakukan tindakan sampai akhir tindakan pada setiap siklus kenaikan

pencapaian hasil belajar siswa cukup tajam, yakni sebelum dilakukan tindakan hasil belajar

siswa rata-rata hanya 55,00 setelah akhir tindakan pada siklus I rata-rata 63,08, siklus II rata-

rata 75,08, dan tes akhir rata-rata 80,73. Kenaikan tersebut merupakan suatu realita bahwa

pembelajaran kooperatif metode make a match dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa

Indonesia siswa.

Ditinjau dari pencapaian persentase ketuntasan belajar pada tes awal adalah 20%, siklus

I adalah 67,50%, siklus II adalah 87,50%, dan tes akhir adalah 87,50%. Kenaikan persentase

pencapaian ketuntasan belajar siswa ini digambarkan pada grafik berikut ini.
Grafik 2: Peningkatan Persentase Ketuntasan Belajar Siswa

Grafik di atas menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan terjadi

dari sebelum dilakukan tindakan sampai akhir tindakan pada setiap siklus kenaikan

pencapaian hasil belajar siswa cukup tajam, yakni sebelum dilakukan tindakan hasil belajar

siswa hanya 20% setelah akhir tindakan pada siklus II menjadi 87,50%. Kenaikan tersebut

merupakan suatu realita bahwa pembelajaran kooperatif make a match dapat meningkatkan

hasil belajar Bahasa Indonesia siswa

Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif make a match

pada siklus I belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh guru

belum memberikan penekanan secara khusus terhadap proses pembelajaran. Misalnya: tugas-

tugas yang harus dikerjakan oleh siswa belum disertai dengan penjelasan yang lebih rinci.

Selain itu, para siswa masih banyak belum memahami cara mengisi kartu soal dan jawaban

ke dalam LKS. Namun demikian, pada siklus II guru melakukan perbaikan dan perubahan.

Perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan pada siklus II ini seperti lebih menekankan

secara khusus mengenai teknik mengisi LKS, dan dilanjutkan dengan melakukan pengamatan

terhadap pokok-pokok pikiran dalam wacana. Pada bagian ini penulis menjelaskan kembali

materi pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari. Kegiatan yang dilakukan ini telah
membuat suasana belajar menyenangkan dan lebih menarik. Sebagian siswa tampak aktif

mengikuti berbagai kegiatan yang harus dikerjakan oleh siswa. Meskipun di antara siswa

masih ada yang belum menjawab pertanyaan secara benar, bagi siswa tersebut guru

menganjurkan untuk mendiskusikan jawabannya ke dalam kelompoknya. Setelah para siswa

berdiskusi akhirnya siswa tersebut dapat menjawab pertanyaan dengan baik, siswa mampu

bersaing antar kelompok.

Dari uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif metode make

a match memberikan manfaat bagi siswa, di antaranya sebagai berikut:

1. mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan


2. materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa
3. mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar secara
klasikal 87,50%.

Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif metode make

a match berdasarkan temuan di lapangan mempunyai sedikit kelemahan yaitu:

1. diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan


2. waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermain-main
dalam proses pembelajaran.
3. guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai

Berdasarkan kegiatan proses belajar mengajar, siswa nampak lebih aktif mencari

pasangan kartu antara jawaban dan soal. Dengan metode pencarian kartu padangan ini siswa

dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya dan

menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama.

Pada saat guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi konsep/topik tentang mencari

pikiran utama dan pikiran penjelas dalam wacana untuk sesi review (satu sisi berupa kartu

soal dan sisi sebaliknya berupa kartu jawaban). Setelah guru memerintahkan siswa untuk

mengambil kartu tampak sebagian besar siswa bersemangat dan termotivasi untuk menarik
satu kartu soal. Setelah siswa mendapatkan kartu soal, masing-masing tampak memikirkan

jawaban atau soal dari kartu yang dipegang. Kelompok dengan pasangannya ingin saling

mendahului untuk mencari pasangan dan mencocokkan dengan kartu (kartu soal atau kartu

jawaban) yang dimilikinya. Di sinilah terjadi interaksi antar kelompok dan interaksi antar

siswa di dalam kelompok untuk membahas kembali soal dan jawaban. Guru membimbing

siswa dalam mendiskusikan hasil pencarian pasangan kartu yang sudah dicocokkan oleh

siswa.

Pada penerapan metode make a match, diperoleh beberapa temuan bahwa metode make

a match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan

kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak

sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa

tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Hal ini merupakan

suatu ciri dari pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukan oleh Lie (2002:30) bahwa,

“Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong royong dan

kerja sama kelompok.”

Kegiatan yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian

sehingga pada akhirnya dapat menciptakan keaktifan dan motivasi siswa dalam diskusi. Hal

ini sejalan dengan pendapat Hamalik (1994:116), “Motivasi yang kuat erat hubungannya

dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran

tertentu, dan motivasi belajar dapat ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila

motivasi yang dimiliki oleh siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh kegiatan kreatif.”

Selanjutnya, penerapan metode make a match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja

sama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal ini sesuai

dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan
proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa;

mengembangkan keingintahunan dan imajinasi; memiliki semangat mandiri, bekerja sama,

dan kompetensi; menciptakan kondisi yang menyenangkan; mengembangkan beragam

kemampuan dan pengalaman belajar; karakteristik mata pelajaran.

Hasil temuan lapangan telah memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang pernah

dilakukan oleh Widyaningsih, dkk (2008) yang melakukan penelitian dengan judul Kel. 3

Cooperative Learning sebagai Model Pembelajaran Alternatif untuk Meningkatkan Motivasi

Siswa pada Mata Pelajaran Matematika. Penelitian Widyaningsih mengambil tiga tipe

pembelajaran kooperatif yaitu STAD, Jigsaw, dan Make a Match. Penerapan Cooperative

Learning menurut hasil penelitian Widyaningsih dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

cooperative learning dalam pembelajaran matematika dapat menggunakan berbagai model

serta efektif jika digunakan dalam suatu periode waktu tertentu. Susana positif yang timbul

dari cooperative learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran

dan guru matematika. Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan siswa merasa lebih

termotivasi untuk belajar dan berpikir. Namun tidak menutup kemungkinan kericuhan

didalam kelas akan terjadi.

Kepustakaan:

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Cet. ke-3. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Ibrahim, H. Muslimin. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press

Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-


Ruang Kelas. Jakarta: PT. Grasindo.

Widyaningsih, Wahyu. 2008. Kel. 3 Cooperative Learning sebagai Model Pembelajaran


Alternatif untuk Meningkatkan Motivasi Siswa pada Mata Pelajaran Matematika.
Makalah dipbulikasikan melalui http://tpcommunity05.blogspot.com. Diakses pada
tanggal 26 April 2008).

________________

Anda mungkin juga menyukai