Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan salah satu hal penting untuk menentukan maju

mundurnya suatu bangsa. Pendidikan diartikan sebagai usaha manusia membina

kepribadian sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan budaya. Dalam

pendidikan memerlukan usaha yang optimal untuk dapat menghasilkan siswa

yang siap menyongsong perubahan dan perkembangan zaman (Romadhoni dalam

Watti, 2015: 1).

Soetomo (Romadhoni dalam Watti, 2010) menyatakan untuk mencapai hasil

belajar yang optimal diperlukan keterlibatan siswa untuk memperoleh pengalaman

belajar yang diperoleh dari interaksi antara individu dengan lingkungannya berupa

pengetahuan dan keterampilan yang bersifat mendidik.

Belajar adalah perubahan kemampuan seseorang yang dicapai melalui upaya

orang itu dan perubahan itu tidak diperoleh secara langsung dari dirinya secara

alamiah (Gagne dalam Ngatmini, 2013: 35). Keberhasilan belajar peserta didik

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa faktor yang

berasal dari diri peserta didik, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar, seperti

orang tua, masyarakat, dan sekolah (Ngatmini, 2013: 36).


2

Hasil riset dari National Training Laboratories di Bethel, Maine (1954),

Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam kelompok pembelajaran berbasis

guru (teacher-centered learning) mulai dari ceramah, tugas membaca, presentasi

guru dengan audiovisual dan bahkan demonstrasi oleh guru, siswa hanya dapat

mengingat materi pembelajaran maksimal sebesar 30%. Dalam pembelajaran

dengan metode diskusi yang tidak didominasi oleh guru (bukan diskusi kelas,

whole class discussion, dan guru sebagai pemimpin diskusi), siswa dapat

mengingat sebanyak 50%. Jika para siswa diberi kesempatan melakukan sesuatu

(doing something) mereka dapat mengingat 75%. Praktik pembelajaran belajar

dengan cara mengajar (learning by teaching) menyebabkan mereka mampu

mengingat sebanyak 90% materi (Warsono dan Hariyanto, 2014:12).

Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah, kesulitan

pembelajaran kimia terletak pada kesenjangan yang terjadi antara pemahaman

konsep dan penerapan konsep yang ada sehingga menimbulkan asumsi sulit untuk

mempelajari dan mengembangkannya. (Nopiyanita, Tri.dkk.2013:136).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru kimia kelas X di SMA

Negeri 1 Mawasangka mengenai kemampuan siswa dalam memahami materi

kimia siswa seringkali dihadapkan dengan bermacam-macam masalah. Salah satu

masalah yang dihadapi siswa adalah sulitnya memahami materi kimia mengenai

“stoikiometri”. Banyak siswa menganggap mata pelajaran kimia mengenai


3

“stoikiometri” sulit untuk dipahami karena materi kimia stoikiometri umumnya

bersifat abstrak, dan siswa masih banyak mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan soal bila soal diubah sedikit bentuknya dari contoh soal. Selain

itu, berdasarkan data empirik yang diperoleh yaitu hasil belajar siswa berupa nilai

ulangan semester 1 kelas X1, X2, dan X3 menunjukkan bahwa 17% siswa

mendapat nilai di atas 70; 33,1% siswa mandapat nilai 65-69; dan 49,9% siswa

mendapat nilai 60-64. Dengan demikian perlu diupayakan penanaman konsep

yang disajikan secara mantap kepada siswa yaitu dengan menggunakan sistem

pembelajaran yang tepat sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan

efektif. Oleh karena itu kreativitas guru sangat menentukan sehingga siswa dapat

berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran banyak upaya yang dapat dilakukan

oleh guru salah satunya dengan menerapkan cara pembelajaran dengan

pendekatan pembelajaran yang sesuai. Pendekatan pembelajaran yang diterapkan

oleh guru dimaksudkan untuk lebih memberikan kesempatan yang luas kepada

siswa untuk aktif belajar. Pendekatan pembelajaran tersebut mengupayakan agar

pembelajaran yang terpusat pada guru (teacher oriented) berubah menjadi

terpusat kepada siswa (student oriented) salah satunya yaitu dengan cara

menerapkan model pembelajaran kooperatif struktur bertelepon.


4

Dasar pemikiran tentang pembelajaran kooperatif struktur bertelepon ini

adalah mendorong siswa untuk berpikir secara mandiri, menyimak presentasi guru

secara teliti dan hati-hati, terbiasa mengajari temannya yang lain serta pecaya

kepada orang lain. Dengan kata lain, pembelajaran dengan pembelajaran

kooperatif struktur bertelepon merupakan suatu pembelajaran yang memanfaatkan

siswa untuk memahami materi secara cermat yang kemudian mengajarkan

kepada siswa yang kurang mengerti. Dengan demikian daya ingat siswa terhadap

materi pembelajaran mencapai 90%. Hal ini sejalan dangan hasil riset National

Training Laboratories dan kerucut pengalaman Edger Dale yang menyatakan

bahwa kemampuan mengingat siswa meningkat 90% jika siswa berpartisipasi

aktif dalam proses pembalajaran yang meliputi bermain peran, studi kasus, dan

praktik.

Dengan pembelajaran kooperatif struktur bertelepon, diharapkan siswa

dapat berpikir secara mandiri, memahami materi yang diajarkan guru melalui

teman yang mengajarinya, sehingga dalam kegiatan pembelajaran siswa banyak

telibat dan mampu memahami serta mengingat materi yang telah diajarkan.

Berdasarkan latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengambil judul

“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Struktur Bertelepon (Telephone)

untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa terhadap Materi Stoikiometri di Kelas X

SMA Negari 1 Mawasangka”.


5

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat diuraikan sebagai

berikut : “Bagaimana Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Struktur

Bertelepon (telephone) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Terhadap Materi

stoikiometri di Kelas X SMA Negeri Mawasangka?

C. TUJUAN PENULISAN

Untuk mengetahui Penerapan Pembelajaran kooperatif struktur bertelepon

(telephone) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Terhadap Materi

stoikiometri di Kelas X SMA Negeri 1 Mawasangka.

D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan acuan bagi penulis

dan pembaca untuk lebih memahami pembelajaran kooperatif struktur bertelepon

(telephone).

E. PENJELASAN ISTILAH

Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam penulisan ini maka perlu

dijelaskan beberapa istilah sebagai berikut:


6

1. Belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri orang itu yang mungkin

disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan,

keterampilan, atau sikapnya.

2. Model pembelajaran kooperatif struktur bertelepon adalah model

pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir secara mandiri,

menyimak presentasi guru secara teliti dan hati-hati, terbiasa mengajari

temannya yang lain serta percaya kepada orang lain.

3. Stoikiometri adalah salah satu ilmu kimia yang membahas tentang

hubungan massa antarunsur dalam suatu senyawa (stoikiometri senyawa)

dan antarzat dalam suatu reaksi (stoikiometri reaksi).


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DESKRIPSI TEORITIS

1. Pemahaman Konsep Kimia

Ilmu kimia, cabang dari IPA merupakan ilmu yang sangat berguna

bagi kehidupan manusia, didalamnya tersaji konsep, fakta, prinsip, dan

prosedural yang terjadi dalam fenomena ilmiah. Pada tingkat sekolah

menengah materi pelajaran tersusun secara hirarki dan berkelanjutan mulai

dari pengenalan beberapa konsep dasar kimia pada tingkat SMP dan

dilanjutkan pada materi-materi yang lebih sulit di tingkat SMA. Karena itu,

siswa harus memahami secara benar dasar-dasar kimia yang dipelajari di

SMP untuk dapat lebih mudah mempelajari materi yang lebih sulit di tingkat

SMA. Sejak 2013 telah diberlakukan kurikulum 2013. Ada beberapa

perubahan penting pada kurikulum 2013 diantaranya adalah :1) pola

pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada

peserta didik, 2) pola pembelajaran satu arah (interaksi gurupeserta didik)

menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik masyarakat,

lingkungan alam, sumber/media lainnya), 3) pola pembelajaran pasif menjadi

pembelajaran aktif-mencari, untuk itu diperlukan perubahan dalam proses

pembelajaran (Kemendikbud 2012). (Hal 89)


8

Kimia sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang dipelajari di

tingkat SMA, termasuk dalam kelompok sains yang berkembang berdasarkan

hasil percobaan untuk menghasilkan fakta. Dalam pengajaran kimia guru

harus mangupayakan bagaimana caranya agar siswa memahami konsep-

konsep ilmu kimia, bukan hanya menghafal materi yang diberikan tanpa

pemahaman konsep yang benar. Konsep ilmu kimia dapat dipahami dalam 3

level representasi, yaitu level makroskopis, level sub mikroskopis, dan level

simbolik (Sirhan, 2007; Talanquer, 2011). Ketiga level representasi tersebut

harus saling terintegrasi sehingga informasi yang diperoleh siswa tersimpan

dalam long term memory mereka. Dengan demikian, kapan pun informasi

tersebut dibutuhkan, siswa masih ingat dan dapat menjelaskannya kembali.

Jika pembelajaran kimia dilakukan hanya dengan mengutamakan salah satu

dari ketiga level representasi di atas, maka kimia akan menjadi bidang studi

yang sulit dipahami siswa secara utuh. Siswa cendrung untuk menghafal

konsep ilmu yang diberikan tanpa memahaminya dan informasi yang

diperoleh tersimpan dalam short term memory mereka, sehingga jika

sewaktu-waktu informasi diperlukan kembali, maka mereka tidak akan ingat

lagi tentang apa yang sudah mereka pelajari tersebut. Namun, dalam

pembelajaran disekolah saat ini, penyampaian konsep ilmu kimia melalui 3

level representasi ini masih jarang dilakukan. Guru sering mengajar

menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga pembelajaran lebih

terpusat pada guru (teacher centered). (Hal 119) kebanyakan sekolah tidak
9

memiliki laboran tetap, sehingga guru harus mempersiapkan sendiri

kelengkapan yang dibutuhkan selama praktikum mulai dari alat dan bahan,

prosedur kerja, serta lembar kegiatan siswa. Keadaan sepeti ini

mengakibatkan praktikum yang sudah dirancang tidak terlaksana dengan

baik. Kalaupun kegiatan praktikum dapat dilaksanakan, tentu siswa hanya

akan memahami konsep secara makroskopis dan simbolik saja, sedangkan

pemahaman konsep secara mikroskopis belum dilakukan.(hal 120)

Secara umum pelajaran kimia membahas mengenai hukum dan teori

suatu atom maupun molekul yang tidak dapat dilihat, yang dapat diketahui

hanyalah gejala dari atom maupun molekul tersebut. Penanaman konsep-

konsep yang harus dipahami oleh siswa harus dikondisikan dengan proses

pembelajaran yang tepat, sehingga pelajaran kimia menjadi mudah dan

senang dipelajari [3]. Berdasarkan Kurikulum 2013, pelajaran kimia yang

diajarkan di sekolah menengah atas (SMA) yaitu pada kelas X merupakan

pelajaran lanjutan dari sekolah menengah pertama (SMP). Di dalam silabus

pembelajaran kimia tersebut terdapat materi kimia dalam kehidupan sehari-

hari yang dipelajari pada awal semester I kelas X. Sebenarnya siswa kelas X

SMA sudah mengenal pelajaran kimia, namun karena kurangnya variasi

media mengakibatkan siswa kurang termotivasi dan sulit memahami materi

pelajaran dengan baik.(hal 101)


10

Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah, kesulitan

pembelajaran kimia terletak pada kesenjangan yang terjadi antara pemahaman

konsep dan penerapan konsep yang ada sehingga menimbulkan asumsi sulit

untuk mempelajari dan mengembangkannya. (Nopiyanita, Tri.dkk.2013:136).

siswa seringkali dihadapkan dengan bermacam-macam masalah. Salah satu

masalah yang dihadapi siswa adalah sulitnya memahami materi kimia

“stoikiometri”. Banyak siswa menganggap mata pelajaran kimia

“stoikiometri” sulit untuk dipahami karena materi kimia stoikiometri

umumnya bersifat abstrak. Dengan demikian perlu diupayakan penanaman

konsep yang disajikan secara mantap kepada siswa yaitu dengan

menggunakan sistem pembelajaran yang tepat sehingga proses pembelajaran

dapat berjalan dengan efektif . Oleh karena itu kreativitas guru sangat

menentukan sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran.

2. Pembelajaran Kooperatif Sruktur Bertelepon (Telephone)

a. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah metode pembelajaran yang

melibatkan sejumlah kelompok kecil siswa yang mempunyai latar belakang,

kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Seperti yang

diungkapkan oleh Spencer Kagan (1992) menyatakan bahwa pembelajaran


11

kooperatif terdiri dari teknik-teknik pembelajaran yang memerlukan saling

ketergantungan positif antara pebelajar agar pembelajaran berlangsung baik.

(Warsono dan Hariyanto, 2014:161)

Model pembelajaran kooperatif adalah sebagai bentuk belajar siswa

aktif merupakan cara mewujudkan keaktifan belajar siswa sehingga tercapai

keberhasilan pembelajaran. Berbagai pola pengajaran dikembangkan dalam

rangka meningkatkan kualitas pengelolaan pengajaran. Pembelajaran aktif

hanya bisa terjadi bila ada partisipasi aktif peserta didik. Demikian juga peran

serta aktif peserta didik tidak akan terjadi bilamana guru tidak aktif dan

kreatif dalam melaksanakan pembelajaran. Terdapat berbagai cara untuk

melakukan proses pembelajaran yang memicu dan melibatkan peran serta

aktif peserta didik serta dapat mengasah ranah kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Proses pembelajaran aktif dalam memperoleh informasi,

ketrampilan, dan sikap serta perilaku positif dan terpuji akan terjadi melalui

suatu proses pencarian dari diri peserta didik. Hal ini akan terwujud bila

peserta didik dikondisikan sedemikian rupa sehingga berbagai tugas dan

kegiatan yang dilaksanakan sangat memotivasi mereka untuk berpikir, dan

bekerja dalam kehidupan nyata (Fathonah, Kuni, 2012:3 & 4).

Pembelajaran kooperatif biasanya diimplementasikan dengan struktur

tertentu. Pengertian dari struktur pembelajaran kooperatif adalah pola-pola

interaksi yang dilakukan siswa dalam pembelajaran kooperatif. Dari beberapa


12

struktur pembelajaran kooperatif, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tindakan kelas mengenai struktur bertelepon (telephone) yang dikembangkan

oleh Spencer Kagan, salah satu ahli pembelajaran kooperatif tahun 1980-an

(Fathonah, Kuni. 2014:9).

b. Struktur Bertelepon (telephone)

Struktur dapat diartikan sebagai strategi, teknik atau langkah-langkah

yang harus dilakukan dalam pembelajaran kooperatif. Unsur Struktur adalah

tindakan atau interaksi dari sebuah struktur yang terjadi di dalam kelas.

Struktur bertelepon (telephone) terdiri dari tiga unsur yaitu proses

pembelajaran, tutor sebaya, dan pengujian individu. Apabila struktur dan

unsur digabung dengan isi, maka akan menciptakan pengalaman

pembalajaran yang disebut aktivitas. Seperti halnya struktur yang merupakan

kerangka untuk menjaga isi. Struktur bertelepon (telephone) terdiri dari lima

unsur desain yaitu : murid keluar ruangan, menunggu siswa diberi instruksi,

siswa kembali, siswa kembali diberi instruksi oleh pemateri, tes kembali.

Aktivitas dalam struktur bertelepon mendorong siswa untuk berpikir

secara mandiri, menyimak presentasi guru secara teliti dan hati-hati, terbiasa

mengajari temannya yang lain serta percaya kepada orang lain. Aktivitas

dalam mengajari temannya tentang materi yang telah dipeajari memerlukan

suatu kemampuan mengkomunikasikan dengan baik agar materi yang


13

diajarkan mudah dimengerti dan dipahami, dengan demikian struktur

bertelepon dapat meningkakan komunikasi antar anggota komunitas

pembelajaran. Selain itu, dengan adanya tes tentang materi yang sudah

dipelajari terhadap siswa yang diajari oleh teman satu kelompok mendorong

siswa untuk membangun kebersamaan sebagai anggota tim dan dukungan

dari rekan sebaya untuk memperoleh nilai yang baik, karena nilai yang

diperoleh oleh siswa tersebut akan menjadi nilai seluruh anggota

sekelompoknya.

Struktur bertelepon (telephone) merupakan salah satu struktur

pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spencer Kagan, salah satu

pakar pembelajaran kooperatif pertengahan tahun 1980-an. Struktur

bertelepon (telephone) yaitu suatu pola interaksi siswa yang digunakan dalam

pembelajaran kooperatif dimana siswa terbagi dalam beberapa kelompok

yang masing-masing terdiri dari 4 orang ( diberi nomor 1-4), setelah itu guru

memanggil salah satu nomor yang harus keluar dan mempelajari materi

secara mandiri yang nantinya akan dipanggil (ditelepon) untuk kembali ke

kelompoknya dan diajari oleh temannya dalam satu kelompok mengenai

materi yang telah dipelajari didalam kelas ( tutor teman sebaya), kemudian

masing-masing nomor yang keluar tadi mengerjakan soal yang diberikan oleh

guru, nilai yang diperoleh oleh temannya tersebut secara otomatis akan

menjadi nilai seluruh anggota dalam kelompoknya. Dengan demikian siswa


14

yang berada dikelas harus mengikuti proses pembelajaran secara teliti dan

hati-hati agar dapat mengajari temannya yang berada di luar ruangan,

sehingga masing-masing anak dalam setiap kelompok akan mempunyai

ketergantungan positif, yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab

individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap

anggota kelompok. Disamping itu, yang menarik dari pembelajaran

kooperatif struktur bertelepon (telephone) yaitu jika ada salah satu siswa dari

anggota kelompok tersebut yang merasa tidak puas dengan nilai yang

diperoleh dalam kelompoknya, maka siswa tersebut diperbolehkan untuk

menjalani tes mandiri untuk mencoba nilai yang lebih baik.

Adapun sintaks atau cara kerja model pembelajaran kooperatfi

struktur bertelepon adalah sebagai berikut:

1. Siswa dikelompokkan dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari 4

orang, diberi nomor 1 sampai 4.

2. Guru memanggil salah satu nomor. Nomor yang dipanggil keluar dari

ruang kelas dan mengerjakan tugas khusus dari guru secara mandiri

misalnya di teras depan ruang kelas.

3. Sementara nomor yang dipanggil berada di luar kelas, guru mulai

mengajarkan materi baru yang sebelumnya belum pernah dijelaskan.

4. Siswa lainnya (siswa yang masih tinggal di kelas) dalam setiap kelompok

mencatat dan memahami apa yang diterapkan oleh guru.


15

5. Untuk mengontrol apakah yang sudah diajarkan dipahami oleh siswa

yang tinggal, guru sengaja melontarkan 3-5 pertanyaan, sekedar untuk

menguji.

6. Siswa yang keluar kelas tadi dipanggil kembali “ditelepon” untuk masuk

kembali ke dalam kelompok asalnya, dan kemudian diajar tentang materi

baru tadi oleh teman-temannya satu kelompok.

7. Siswa dengan nomor yang tadi dipanggil untuk keluar kelas itu, kemudian

menjalani ujian dari guru, nilai yang diperolehnya akan menjadi nilai

seluruh anggota kelompokknya.

Catatan : jika ada seorang siswa yang tidsk puas terhadap nilai yang

diperoleh kelompoknya, ia diperbolehkan menjalani tes mandiri untuk

memcoba memperoleh nilai yang lebih baik.

B. KERANGKA BERPIKIR

Ilmu kimia, cabang dari IPA merupakan ilmu yang sangat berguna

bagi kehidupan manusia, didalamnya tersaji konsep, fakta, prinsip, dan

prosedural yang terjadi dalam fenomena ilmiah. Secara umum pelajaran

kimia membahas mengenai hukum dan teori suatu atom maupun molekul

yang tidak dapat dilihat, yang dapat diketahui hanyalah gejala dari atom

maupun molekul tersebut. Penanaman konsep-konsep yang harus dipahami

oleh siswa harus dikondisikan dengan proses pembelajaran yang tepat,

sehingga pelajaran kimia menjadi mudah dan senang dipelajari.


16

Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah, kesulitan

pembelajaran kimia terletak pada kesenjangan yang terjadi antara pemahaman

konsep dan penerapan konsep yang ada sehingga menimbulkan asumsi sulit

untuk mempelajari dan mengembangkannya. (Nopiyanita, Tri.dkk.2013:136).

siswa seringkali dihadapkan dengan bermacam-macam masalah. Salah satu

masalah yang dihadapi siswa adalah sulitnya memahami materi kimia

“stoikiometri”. Banyak siswa menganggap mata pelajaran kimia

“stoikiometri” sulit untuk dipahami karena materi kimia stoikiometri

umumnya bersifat abstrak. Dengan demikian perlu diupayakan penanaman

konsep yang disajikan secara mantap kepada siswa yaitu dengan

menggunakan sistem pembelajaran yang tepat sehingga proses pembelajaran

dapat berjalan dengan efektif . Oleh karena itu kreativitas guru sangat

menentukan sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Dengan keadaan tersebut, diperlukan penerapan model pembelajaran

yang menyenangkan dan pendekatan yang efektif sehingga mendorong siswa

termotivasi dalam pembelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu

model pembelajaran yang menyenangkan dengan struktur yang bemacam-

macam. Salah satunya adalah struktur bertelepon (telephone).

Struktur bertelepon adalah model pembelajaran yang mendorong

siswa untuk berpikir secara mandiri, menyimak presentasi guru secara teliti

dan hati-hati, terbiasa mengajari temannya yang lain serta percaya kepada

orang lain. Pembelajaran ini dikembangkan oleh Spencer Kagan dimana


17

mempraktikan gagasan kerucut pengalaman Edgar Dale bahwa dengan

mengajari temannya yang lain daya ingat para siswa akan mencapai rata-rata

90% dari bahan yang diajarka oleh guru.

Berdasarkan pemaparan dan kajian teori mengenai pembelajaran

kooperatif struktur bertelepon dan pemahaman konsep kimia serta hubungan

antara keduanya, peneliti dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut :

“diduga bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif struktur bertelepon

(telephone) dapat meningkatkan pemahaman dan daya ingat siswa terhadap

materi stoikiometri”.

C. HIPOTESIS

Berdasarkan deskripsi teoritik dan kerangka berpikir sebelumnya

maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : “penerapan

model pembelajaran kooperatif struktur bertelepon (telephone) dapat

meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi stoikiometri”


18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. TIPE PENELITIAN

Tipe penelitian ini adalah penelitian dekriptif yaitu menjelaskan gejala,

peristiwa, atau kejadian pada saat penelitian yang bersifat eksploratif bertujuan

menggambarkan keadaan atau status fenomena dalam arti mengetahui hasil

belajar (Arikonto dalam La Nirwan, 2014:29).

B. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi adalah peserta didik kelas X SMA Negeri 1 Mawasangka tahun

ajaran 2015/2016 dengan jumlah peserta didik sebanyak 97 orang yang terdiri

dari 47 siswa dan 50 siswi. Jumlah kelas X keseluruhan ada tiga kelas.

Sedangkan yang menjadi sampel terdiri dari dua kelas yaitu kelas X1 sebagai

eksperimen dengan jumlah peserta didik 30 orang. Dan kelas X2 sebagai kelas

kontrol, dengan jumlah peserta didik 33 orang.

C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Tempat penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Mawasangka

Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, sedangkan waktu penelitian


19

dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 dari tanggal 18

November-9 Desember 2015.

D. VARAIBEL PENELITIAN

1. Variabel bebas : Penerapan pembelajaran kooperatif struktur bertelepon

(telephone)

2. Variabel terikat : Pemahaman materi stoikiometri

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Instrumen Tes

Instrumen tes yang digunakan berupa butir soal pilihan ganda dan uraian,

digunakan untuk tes awal dan akhir.

2. Intrumen Non Tes

Instrumen non tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Lembar Kerja Siswa (LKS) dgunakan untuk penilaian selama proses

belajar mengajar berlangsung (aspek kognitif).

b. Lembar observasi yang berisi penilaian afektif untuk menilai kemampuan

sikap siswa selama proses pembelajaran dan psikomotor untuk mengamati

aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar berlangsung (Ladiu,

Filti, 2015:23&24).
20

F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Teknik tes

a. Tes awal (pre test)

Tes ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman awal siswa pada

materi stoikiometri sebelum menggunakan model cooperative learning

struktur bertelepon.

b. Tes akhir (formatif)

Tes akhir dilakukan setelah proses belajar mengajar berlangsung, tes

ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman siswa setelah materi

diberikan dengan menggunakan model cooperative learning struktur

bertelepon.

2. Teknik Non tes

a. Lembaran observasi

Lembar observasi digunakan untuk menilai kemampuan siswa dalam

aspek afektif dan psikomotor selama proses belajar mengajar

berlangsung.

b. Lembar kerja siswa (LKS)

Pada lembaran kerja ini, siswa akan menjawab setiap pertanyaan dan

guru akan memberikan nilai sesuai dengan skor yang ada pada LKS.
21

G. TEKNIK ANALISIS DATA

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif untuk memperoleh nilai akhir (NA). Analisis deskriptif digunakan

untuk mengetahui hasil belajar dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor

dengan berpatokan pada sistem penilaian pada KTSP dan pada penilaian acuan

patokan (PAP), dimana kriteria ketuntasan minimal (KKM) individual 65 dan

klasikal 75.

Adapun langkah-langkah analisis sebagai berikut :

a. Skor pencapaian hasil pengamatan kognitif, psikomotor dan afektif

menggunakan rumus :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖


Skor pencapaian = x 100
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

b. Rata-rata pencapaian pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif dapat

ditulis sebagai berikut :


𝑆𝑃𝐾 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 1+𝑆𝑃𝐾 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 2
Rata-rata kognitif = 2

Keterangan :

SPK = Skor Pencapaian Kognitif


𝑆𝑃𝑃 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 1+𝑆𝑃𝑃 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 2
Rata-rata psikomotor = 2

Keterangan :
22

SPP = Skor Pencapaian Psikomotor


𝑆𝑃𝐴 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 1+𝑆𝑃𝐴 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 2
Rata-rata afektif = 2

Keterangan :

SPA = Skor Pencapaian Afektif

Nilai Proses (NP) diperoleh dalam rumus :

𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑜𝑔𝑛𝑖𝑡𝑖𝑓+𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑝𝑠𝑖𝑘𝑜𝑚𝑜𝑡𝑜𝑟+𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑎𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓


NP = 3

c. Tes akhir (tes formatif) menggunakan rumus

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖


Skor Pencapaian = x 100
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

d. Nilai Akhir (NA)

Nilai kognitif, afektif dan psikomotor merupakan nilai proses. Arikunto,

menyatakan bahwa guru mempunyai pendapat tersendiri tentang cara

penentuan nilai akhir (hasil belajar), yang dipengaruhi oleh pandangan

tentang pentingnya bagian-bagian kegiatan, maka nilai akhir (NA) yang

menggambarkan tingkat penguasaan individu terhadap materi

stoikiometri dari segi hasil maupun proeses diperoleh dengan rumus :

2(𝑅𝑟𝑁𝑎𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓)+2(𝑅𝑟𝑁𝑝𝑠𝑖𝑘𝑜𝑚𝑜𝑡𝑜𝑟)+3(𝑅𝑟𝑁𝑘𝑜𝑔𝑛𝑖𝑡𝑖𝑓)+3(𝑁𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑡𝑖𝑓)
NA = 10

Keterangan : NA adalah nilai akhir

RrN adalah rata-rata nilai

NF adalah nilai tes formatif


23

Selajutnya nilai tes awal, tes formatif, RrNaf, RrNpsik, RrNkog,NA ditentukan

predikatnya dengan berpatokan pada tebel predikat dengan berpatokan pada tabel

berikut ini :

Tabel kualifikasi skor pencapaian

Interval Skor Pencapaian Kualifikasi

85-100 Sangat Baik

70-84 Baik

65-69 Cukup

<65 Gagal

Kriteria ketercapaian pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran

kooperatif struktur bertelepon pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Wa

Heni, 2014:34-37).

Keterangan :

1. Jika siswa memiliki nilai ≥ 65 dapat dikategorikan tuntas (T).

2. Jika siswa memiliki nilai < 65 dapat dikategorikan tidak tintas (TT).

Anda mungkin juga menyukai