Anda di halaman 1dari 21

ARGUMEN TENTANG TUHAN: SEBUAH TINJAUAN

FILSAFAT KETUHANAN (TEOLOGI METAFISIK)


A. Pendahuluan

Teologi metafisik merupakan wilayah kajian metafisika yang membicarakan tentang Tuhan.
Tuhan sebagai obyek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua obyek metafisika lainnya.
Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama
tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indera.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk
membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil
Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu memandang
Tuhan sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan
pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan,
disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak
disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami akal.
Dari hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha
membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi,
moral, Henelogical argument dan ini sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat dibanding dari
pendekatan agama maupun ilmu di atas. Ilmu terbatas pada pembuatan deskripsi yang didasarkan
atas pengalaman empirik sedangkan agama berangkat dari keyakinan terhadap satu dokrin.

B. Argumentasi Tentang Tuhan Dalam Perspektif Filsuf Barat

Seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan diatas tentang beberapa macam
pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi,
kosmologi, teleologi, moral, dan Henelogical argument, maka filsuf Barat dalam melakukan pembuktian
menuju Tuhan memakai pendekatan tersebut. Adapun filsuf Barat yang melakukan pembuktian tentang
Tuhan sebagai berikut:

a.Via Ontologis Anselmus


Pembuktian ini diperkenalkan oleh Anselmus (1033-1109) untuk memenuhi permintaan
seseorang biarawan untuk menyusun argumen yang membuktikan adanya Tuhan atas dasar rasio dan
tidak atas dasar kitab suci. Memenuhi permintaan ini, Anselm menyusun argumen yang terkenal
dengan sebutan “argumen ontologi”. Secara kongkrit ajaran Anselmus Van Canterburi tentang
kepercayaan dan akal telah dipergunakan sewaktu ia mengemukakan pembuktiannya tentang adanya
Tuhan. Anselmus beranggapan untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Tuhan
adalah yang tertinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Anselmus menginginkan
kepercayaan atau keyakinan yang ditimbulkan oleh agama tumbuh menjadi pengertian dalam sebuah
landasan keilmuan. Untuk memperoleh pendasaran epistemologis mengenai kepercayaan (intelectus
Fidei) ini, Anselmus mulai dengan satu pokok pangkal, yaitu bahwa bagi setiap orang Tuhan itu berarti
Yang Maha Tinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Menurut Anselmus yang Maha Besar (yang Maha Tinggi) dari segala sesuatu yang dapat
dipikirkan itu mustahil hanya terdapat di dalam alam pikiran saja. Sebab andai kata demikian halnya,
sudah barang tentu dapat dipikirkan pula bahwa yang Maha Besar itu juga terdapat di dalam alam
kenyataan, hingga dengan demikian yang Maha Besar itu makin menjadi yang Terbesar. Jadi tidak
boleh tidak yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu harus ada pula di dalam kenyataan. Dari hal inilah
titik tolak argumen Anselmus melalui jalan ontologis untuk menuju Tuhan.
Menurut Anselmus suatu pernyataan adalah jelas dari dirinya kalalu predikatnya sudah
tercakup dalam subyek (pernyataan analitis), apalagi untuk pernyataan yang predikatnya bertepatan
dengan subyek (pernyataan identik). Dalam pernyataan Allah itu Ada, subyeknya: Allah atau Eksistensi
Substansial Ilahi, sudah memuat predikat Ada, karena di situ termuat totalitas kesempurnaan-
kesempurnaan; Tidak seorangpun menyangkal bahwa Eksistensi Tuhan sungguh-sungguh identik
dengan essensi-Nya, bahkan lebih lagi eksistensi itu adalah secara formal adalah essensinya. Jadi
nampaknya pernyataan Allah itu Ada, bagi yang mengerti artinya perkataan itu mempunyai kejelasan
langsung yang sama dengan pernyataan ini, Kuadrat itu mempunyai empat sudut atau lingkarang itu
bulat. Hanya saja essensi Tuhan, pada diri-Nya sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita. Akibatnya
kebenaran dari adanya itu tetap sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita, Akibatnya kebenaran dari
adanya itu tetap tinggal tidak jelas secara langsung. Untuk menunjukkannya, kita memerlukan suatu
perantaraan, suatu proses rasional.[1]

b.Via Kosmologi
Albertus Magnus (1193-1280) juga menolak argumen ontologi Anselmus dan sebagai gantinya
ia mengajukan argumen kosmologi. Secara kongkrit, argumen ini mengatakan bahwa pembuktian ini
pada dasarnya diperoleh mlalui observasi langsung terhadap alam semesta. Pembuktian ini sangat
beragam, baik segi pendekatan maupun data-data yang diolah. Tetapi yang jelas pembuktian ini
berangkat dari problematika yang terjadi di alam semesta, baik keteraturan, kejadian, peristiwa yang
berlangsung di alam, sesungguhnya bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi ada yang mengatur.
Pada akhirnya argumen ini sampai pada kesimpulan puncak bahwa yang mengatur itu adalah Tuhan
Yang Maha pengatur.
Via kosmologis ini pertama kali dicetuskan oleh Plato dengan melakukan pembuktian adanya
tuhan berdasarkan dua macam gerakan yang ada di dunia ini. Yaitu gerakan asli dan gerakan yang
digerakan. Gerakan asli hanya bisa dilakukan oleh wujud yang hidup, sedangkan gerakan yang
digerakan tergantung pada gerakan dari wujud yang hidup. Plato menyatakan bahwa seluruh gerak
alam semesta ini secara mutlak disebabkan oleh aktivitas sesuatu yang berjiwa. Wujud yang berjiwa
inilah yang mengatur dan memelihara, sehingga disebut Maha pemelihara dan bersifat Maha bijaksana.
Wujud yang hidup itu adalah Tuhan.
Pembuktian Aristoteles secara Kosmologis tentang adanya Tuhan, sebagaimana dalam
karyanya Metaphysics adalah bahwa Tuhan dipandang sebagai penggerak pertama. Teori ini pada
dasarnya berpangkal dari pemikirannya mengenai Hylemorphism, yaitu materi (hyle) dan bentuk
(Morphe). Materi bersifat potensial, yakni mempunyai kemungkinan untuk berubah-ubah. Sedangkan
bentuk bersifat aktual, tetap, tidak berubah-ubah dan yang memberi gerak pada materi.
Keduanya dihubungkan dengan gerak. Adanya gerak karena adanya penggerak pertama yang tidak
bergerak dan merupakan wujud yang tidak digerakkan. Semua tergantung dari diri-Nya, maka ia
pastilah Tuhan.[2]

c. Via Teleologi
Pembuktian teolologis merupakan pembuktian yang lebih spesifik dari pembuktian kosmologis.
Pembuktian ini pada dasarnya berangkat dari kenyataan tentang adanya aturan-aturan yang terdapat
dalam alam semesta yang tertib, rapi dan bertujuan. Dengan demikian, secara sederhana, pembuktian
ini beranggapan adalah: 1). Serba teraturnya alam memiliki tujuan, 2). Serba teraturnya dan
keharmonisan alam ini tidaklah oleh kemampuan alam itu sendiri, 3) Di balik alam ini ada sebab yang
maha bijak.
Apa yang bisa dicapai oleh pembuktian ini hanyalah adanya arsitek alam yang dibatasi pada
adanya persediaan materi alam, dan bukan adanya pencipta alam dimana segala sesuatunya tunduk
kepadanya. Berangkat dari realitas tersebut di atas, maka dengan memperhatikan setiap susunan alam
semesta yang sangat tertib dan bertujuan dapat kita pastikan bahwa terdapat suatu zat yang Maha
pengatur dan Pemelihara, sekaligus menjadi tempat tujuan dari alam semesta.[3]Bukti teologis ini
dianggap oleh para teolog maupun filosof sebagai bukti yang cukup kuat diantara bukti-bukti klasik
lainnya.[4]

d. Via Moral
Pembuktian moral mengenai adanya Tuhan merupakan pembuktian yang paling sahih dan
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional-intelektual diantara bukti-bukti lainnya tentang adanya
Tuhan. Pembuktian moral ini pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant yang merasakan bahwa
pembuktian logis tentang Tuhan berdasarkan pada fakta kosmologis tidak dapat membawa pada
kesimpulan yang cukup valid bahwa Tuhan itu ada. Itulah kritikan Kant tentang pembuktian Kosmologis.
Untuk itu, Kant memberikan solusi melalui pembuktian moral. Menurut Kant perasaan manusialah yang
dapat membuktikan dengan memuaskan tentang adanya Tuhan.
Selanjutnya, Kant memberikan penjelasan yang sistematis mengenai akal teoritis dan akal
Praktis. Menurut Kant ada dua cara akal berhubungan dengan obyeknya. Pertama, akal mampu
menangkap objek luar diri. Ini adalah akal teoritik. Kedua, akal dapat menciptakan konsep atau ide
menjadi riel. Ini adalah akal praktis yang fungsinya mengadakan pilihan-pilihan moral dan
merealisasikannya sesuai aturan-aturan moral yang ditetapkan oleh dirinya sendiri. [5] Akal praktis
atau the will of the rational being bertujuan mencapai summum bonum, yakni suatu kebaikan yang
sempurna yang meliputi kabajikan dan kebahagiaan. Menurut Kant, Summum bonum adalah tujuan
akhir yang ditetapkan sendiri oleh akal secara a priori, dan untuk mencapai itu manusia harus tunduk
kepada moral. Setiap orang menyadari dirinya benar-benar terikat oleh aturan-aturan moral.[6]
Aturan-aturan moral itu menuntut terpenuhinya summum bonum, dan hanya Tuhan saja yang
bisa menjamin terpenuhinya ini dan itu pun tidak terjadi dalam kahidupan sekarang ini melainkan dalam
kahidupan setelah sekarang ini. Oleh sebab itu, Tuhan pastilah ada. Tuntutan moral akan kehidupan
bahagia membawa kita kepada keyakinan akan adanya eksistensi yang menjadi sebab bisa
terpenuhinya tuntutan moral ini. Atau dengan kata lain, tuntutan moral bagi terwujudnya summum
bonum memastikan adanya Tuhan sebagai Author atau Being yang mewujudkan summum bonum.
Kesadaran bahwa Tuhan ini bersifat immanen (fitrah diri) yang berbeda di dalam kesadaran moral dan
ini merupakan bukti yang cukup akan adanya Tuhan. [7]
Dengan demikian, pembuktian moral secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut :
bahwa manusia memiliki perasaan moral yang telah tertanam dalam jiwanya sejak ia dilahirkan.
Manusia merasa mempunyai kewajiban untuk menjauhi, perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan
baik. Perintah yang terdapat di sanubarinya ini bersifat mutlak dan universal karena perintah ini
dirasakan oleh seluruh manusia, sehingga adanya kebajikan itu bersifat universal. Adanya perasaan
universal ini membuat kita akan mampu melakukan ataupun menjauhi sesuatu yang baik dan buruk.
Adanya perasaan ini membuat manusia melakukan kebajikan karena adanya zat yang akan
memberikan balasan. Zat yang memberikan balasan inilah yang disebut Tuhan.

5. Via derajat kesempurnaan Thomas Aquinas


Pembuktian mengenai adanya Tuhan yang dilontarkan Thomas Aquinas bisa disebut
juga Henological Argument, sebenarnya merupakan kritikan Thomas Aquinas terhadap gagasan Santo
Anselmus. Pandangan Anselmus bagi Thomas Aquinas tanpa ragu-ragu ditolaknya dan mengkritik
pembuktian ontologis dalam Proslogion sebagaimana dipahaminya. Thomas Aquinas tidak menerima
bahwa hanya dari pengertian tentang ada, yang Maha Tinggi atau dari yang Tertinggi yang dapat
dipikirkan.[8] Kritik Thomas Aquinas terhadap pembuktian ontologis Anselmus meliputi tiga hal :
a. Santo Thomas Aquinas menyanggah ekuivalensi antara konsep tentang Allah yang tertinggi yang
dapat dipikirkan: ”Barangkali orang yang mendengar kata Tuhan, dia sama sekali tidak membayangkan
suatu ada yang sedemikian sehingga yang lebih besar dari pada itu tidak dapat dibayangkan lagi”.
b. Eksistensi Tuhan, yang jelas dirinya sendiri tidak jelas lagi bagi kita yang tidak merasakan essensi-
Nya. Kita mengetahui jawaban tersebut. Jawaban itu ditujukan lebih-lebih bagi mereka yang melihat
adanya suatu pernyataan yang secara langsung jelas, dalam putusan ini “Tuhan Ada” dan bukannya
ditujukan kepada Anselmus, yang mengakui kejelasan ini lewat suatu penalaran, tetapi karena
penalaran ini tidak mempunyai tujuan lain selain untuk membuktikan adanya suatu evidensi yang
tersembunyi dalam bahasa, maka kritik Thomas Aquinas pun mengena untuk membuktikan Tuhan
secara ontologis versi Anselmus.
c. Akhirnya, jawaban yang menjadi klasik dan seperti yang pertama menyanggah Anselmus. Marilah kita
setujui bahwa Tuhan dipahami sebagai yang tertinggi yang dapat dipikirkan. Dari fakta bahwa saya
memikirkan ini ternyata bahwa yang tertinggi dapat dipikirkan itu berada dalam pemikiran saya, tetapi
bukan berarti bahwa ia ada dalam realitas. Pertama-tama harauslah dibuktikan bahwa obyek yang
demikian itu yang lebih besar daripada itu tak mungkin dapat dibayangkan.[9]
Pembuktian mengenai adanya Tuhan yang dilontarkan Thomas Aquinas bisa disebut
juga Henological Argument. Pemikiran Aquinas tentang Tuhan merupakan pusat dari hampir seluruh
pemikirannya. Hal ini didasarkan atas keyakinannya bahwa Tuhan adalah awal dan akhir segala
kebijakan. Semua realitas itu dibimbing Tuhan. Tanpa bimbingan Tuhan manusia tidak mengetahui
apa-apa. Aquinas mendasarkan pemikirannya pada kepastian adanya Tuhan. Keberadaan Tuhan itu,
menurutnya dapat diketahui oleh akal. Untuk membuktikan pendapatnya itu, ia menunujukkan lima
argumen sebagai berikut: [10]
Pertama argumen gerak. Argumen ini diangkat dari sifat alam dan segala sesuatu yang ada
di dalamnya yang selalu bergerak. Setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu yang lain.
Sebab tidak mungkin suatu potensialitas bergerak keaktualitas tanpa ada penyebabnya; dan
penyebab itu tidak mungkin ada pada dirinya sendiri. Kemudian, timbul persoalan bila demikian
berarti penggerak itupun memerlukan penggerak di luar dirinya. Akhirnya akan terdapat penggerak
berangkai yang tidak terbatas, yang konsekwensinya berarti tidak ada penggerak. Menjawab
persoalan ini Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka harus ada penggerak pertama,
yaitu penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, itulah Tuhan. Kesimpulan ini nampaknya sama
persis dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles.[11]
Kedua argumen sebab yang mencukupi. Di dunia ini tidak ada sesuatu yang mempunyai
sebab pada dirinya sendiri. Karena bila demikian ia mesti menjadi lebih dulu dari dirinya. Sedangkan
itu tidak mungkin. Dalam kenyataannya yang adalah adalah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh
sebab berurutan secara teratur : Sebab pertama menghasilkan musabab, dan musabab ini
menghasilkan musabab yang lain, dan seterusnya. Membuang sebab sama dengan membuang
musabab. Artinya, menurut Aquinas bila tidak ada sebab pertama tentu tidak akan ada rangkaian
sebab tersebut, dan itu berarti tidak akan ada apa-apa. Sedangkan kenyataannya; “apa-apa itu ada”.
Berarti memang ada sebab pertama, ialah Tuhan.
Ketiga argumen kemungkinan dan keharusan. Adanya alam ini bersifat mungkin, dan segala
sesuatu yang ada di dalamnya juga bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan itu
diambil dari kenyataan bahwa alam dan isinya ini dimulai dari tisdak ada, lalu muncul, berkembang,
rusak dan menghilang. Konsekwensinya alam ini tidak mungkin selalu ada, karena ada dan tidak ada
tidak mungkin menjadi sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Kenyataannya alam dan
isinya itu ada, Berarti harus ada sesuatu yang ada, karena tidak mungkin muncul yang ada itu apabila
ada pertama tidak ada. Ada pertama itu harus ada karena alam dan isinya itu kenyataannya ada.
Yang ada pertama itu Dialah Tuhan.
Keempat argumen tingkatan. Isi alam ini memiliki tingkatan, dalam hal keindahan, kebaikan,
dan sebagainya. Misalnya ada yang indah, lebih indah, dan terindah. Tinggi, lebih tinggi, dan tertinggi
atau maha tinggi. Tingkatan tertinggi menjadi sebab adanya tindakan di bawahnya. Begitu juga
tentang ada. Tuhan memiliki sifat ada yang tertinggi. “Ada” yang ada di bawahnya disebabkan oleh
ada yang tertinggi tersebut.
Kelima argumen keteraturan alam. Isi alam dari jenis yang tidak berakal, kenyataannya dapat
bergerak menuju tujuan tertentu secara teratur, dan pada umumnya berhasil mencapai tujuannya.
Padahal mereka itu tidak mempunyai pengetahuan tentang tujuan tersebut. Berarti ada sesuatu di
luar dirinya yang mengatur itu semua. Karena sesuatu yang tidak berakal tidak mungkin dapat
mencapai tujuan, tanpa ada yang mengaturnya. Sesuatu yang mengatur alam dan isinya itu harus
ada, harus berakal, dan harus berpengetahuan. Itulah Tuhan. [12]

C. Argumen Tentang Tuhan Dalam Perspektif Filsuf Muslim

Pembuktian adanya Tuhan tidak hanya menjadi perbincangan para filosof Barat, tetapi juga
menjadi pembicaraan para filosof dan teolog Muslim, seperti yang dilakukan oleh para filosof dan
teolog Muslim yang menjadi pengikut Mu’tazilah maupun al-Asy’ariyah. Pembuktian-pembuktian
tersebut dibedakan menjadi 3 dalil, yaitu :

a. Dalil Kebaharuan (Dalil al-Huduts)

Argument a novitate mundi (dalil al-huduts), yang pada dasarnya menekankan


kesementaraan alam semesta, sebenarnya telah digunakan secara populer oleh mutakallimun (teolog-
teolog Muslim) ketimbang para filosof muslim (falasifah). Dan “prosedur umum yang digunakan para
mutakallimun dalam membuktikan temporalitas alam semesta, “ kata Majid Fakhry, “ialah dengan cara
menunjukkan bahwa alam yang mereka definisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, itu terdiri dari
atom-atom dan aksiden-aksiden. Aksiden-aksiden tersebut dikenal dengan ‘ardl yaitu bahwa semua
benda mengalami perubahan keadaan yang bermacam-macam, baik yang berupa bentuk, warna,
gerakan, bergantian, surut dan perubahan-perubahan lainnya. [13]
Setiap aksiden hanya bisa bertahan sesaat, dan harus dicipta secara terus menerus oleh
Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Menurut Al-Kindi, yang mana beliau seorang
filosof yang berorientasi teologi, menolak dengan tegas konsep apapun yang mengimplikasikan
keabadian alam semesta, yang dengan lekat di pertahankan oleh Aristoteles dan para
pengikutnya [14] dan sampai taraf tertentu juga oleh kaum Neo-Platonis Muslim setelah Al-Kindi.
Penolakan itu diwujdukan al-Kindi melalui karya agungnya, Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang
filsafat pertama) yaitu: pertama ia mencoba menyanggah keabadian jasad setelah mengatakan bahwa
hanya jasadlah yang punya “genus” dan “spesies”, sementara yang abadi tidak memiliki subyek
maupun prediket, agen maupun “spesies”. Sesuatu yang abadi tidak mempunyai genus, lalu melalui
penegasannya al-Kindi mengatakan bahwa “karena jasad memiliki genus dan spesies, sementara yang
abadi tidak punya genus, maka jasad tidaklah abadi”. Setelah itu, ia membuktikan bahwa jasad alam
semesta adalah terbatas dan karena itu jasad alam semesta diciptakan.
Dalam buku Al-Kindi : The Philosopher of the Arab, Geoerge N. Atigeh, mengemukakan
argumen Al-Kindi sebagai berikut :
Sekarang, jika kita mengambil sebagian dari jasad yang disebut tidak terbatas, maka sisanya
bias terbatas dan dan keseluruhannya tidak, atau sisanya terbatas dan keseluruhannya juga tak
terbatas. Jika keseluruhannya itu terbatas dan kemudian kita tambahkan padanya apa yang telah
terambil, hasilnya akan menjadi jasad yang sama seperti sebelumnya, yakni yasad yang tak terbatas.
Hal tersebut akan diimplikasikan bahwa yang tak terbatas adalah lebih besar dari yang tak terbatas,
dan itu adalah rancu. Dan ini juga secara tidak langsung akan berarti bahwa seluruhnya itu identik
dengan bagian, hal mana adalah kontradiktif. Karena itu sebuah jasad yang actual haruslah terbatas
secara niscaya. Alam semesta betul-betul ada (actual), karenanya ia harus terbatas, dalam arti bahwa
ia dicipta. [15]

Setelah membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah terbatas dan diciptakan, Al-Kindi lalu
mendemontrasikan penciptaan waktu dan gerak yang merupakan dua hal yang niscaya tidak dapat
dipisahkan dari alam semesta. “Karena jasad alam semesta” telah dibuktikan terbatas, gerak dan
waktu, sebagai dua hal yang harus bersamaan (concomintants), haruslah juga terbatas”.Dalam
menolak keabadian waktu, ia menegaskan:
Jika “masa lalu” tanpa sebuah permulaan itu mungkin, ia tidak bias sampai pada “saat ini”. Kaena hal
tersebut akan mengatakan secara tidak langsung bahwa yang tidak terbatas tidak bia menjadi actual,
karena yang tidak terbatas tidak bias “dilintasi” dan mengatakan bahwa yang tidak terbatas tidak bias
“dilintasi”. Karena itu, waktu adalah terbatas dan diciptakan.[16]

Penganggahan yang demikian gigih di ketengahkan untuk membangun basis yang meyakini
bahwa alam semesta diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo). Ia mengatakan “Tuhan itu Esa, pencipta
dari tiada (al-mubdi’) yang mempertahankan atau memelihara keberadaan segala sesuatu yang telah
ia ciptakan dari tiada”. Setelah menyanggah segala kemungkinan abadinya alam semesta dari sudut
jasad, waktu dan gerak, dan menegakkan kepercayaannya pada penciptaan dari tiada, ia
menyimpulkan bahwa alam semesta dicipta dalam waktu (muhdats).
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas sebagai pendahuluan, mencoba
menunjukkan bahwa alam semesta, karena diciptakan, haruslah mempunyai seorang pencipta, [17]Al-
Kindi mengetengahkan empat argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu :
(1) Argumen pertama, bersandar pada premis bahwa alam semesta adalah terbatas dan diciptakan dalam
waktu. Yang ditunjukkan bahwa alam semesta adalah terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak, yang
berarti bahwa ia haruslah diciptakan, yaitu menurut hukum kausalitas.
(2) Argumen kedua, didasarkan pada ide Keesaan Tuhan, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
tersusun dan beragam tergantung secara mutlak pada Keesaan Tuhan, adalah sebab terakhir dari
setiap obyek inderawi memancar, dan ia yang membawa setiap obyek tersebut menjadi wujud.
(3) Argumen ketiga, pada dasarnya bersandar pada ide bahwa sesuatutidak bia secara logika menjadi
penyebab bagi dirinya ; dengan penyangkalan empat yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri :
a) Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya juga tiada.
b) Sesuatu ungkin tidak ada tapi esensinya ada.
c) Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada.
d) Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada.
(4) Argumen keempat, yang bersandar pada argument a novitate mundi (dalil al-huduts), didasarkan
kepada analogi antara mikrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos (alam semesta).
“Sebagaimana mekanisme tubuh manusia yang teratur dan mulus mengisyaratkan pada adanya
seorang administrator cerdas yang tak nampak, yang disebut jiwa, demikian juga mekanisme alam
semesta yang teratur dan serasi yang mengisyaratkan adanya seorang administrator gaib yang maha
gaib, yaitu : Tuhan.[18]

b. Dalil Kemungkinan (Dalil Al-Imkan)


Sementara argumen pertama menekankan temporalitas dan eo ipso, penciptaan alam
semesta, argumen kita kali ini, yakni a contingenti mundi, terfokus pada argumen dari kontingensi atau
memungkinkan,[19] dari mana adanya wujud niscaya Tuhan dapat secara logis disimpulkan.
Maksudnya : “Argumen ari kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang mungkin tidak bias
dengan sendirinya – karena kontingensi berarti menggantung falam keseimbangan antara ada dan
tiada karena itu (ia) membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keseimbangan tersebut ke arah
yang ada. [20]
Dan penyajian argumen tentang adanya Tuhan, itu memerlukan pemahaman dengan melalui
antologi dan anlisis kedalam penilaian-penilaian tertentu, yaitu berupa tiga macam pemilihan
menguraikan tentang wujud :
a). Pemilihan antara esensiaton Quiditas (makiyah-makiyah dan eksistensi wujud).Yang dimaksud esensi
adalah “Sesuatu sebagaimana adanya” (it is what it is), sementara eksistensi adalah
pengejawantahannya dalam dunia lahiriah (ada realitas dari sesuatu itu) yang merupakan kebenaran
di dalamnya. Dan ada esensinya yakni sesuatu dengan mana “ia menjadi apa adanya” dan ada wjud
aktualnya.
Nampaknya eksistensi itu – meskipun sebagai tambahan pada esensi-lebih prinsipil ari pada esensi
sendiri, misalnya : Meskipun eksistensi sesuatu itu ditambahkan pada esensinya, namun eksistensilah
yang memberi tiap-tiap esensi atau realitasnya, dan karena itu ia lebih prinsipil. Esensi sesuatu itu
dalam kenyataannya tak lebih dari batasan ontologisnya yang diabstraksi oleh pikirannya.

b). Pemilahan antara yang tak mungkin, yang mungkin dan yang

niscaya wajib yaitu wujud dari ensitas yang ada bias bersifat niscaya

(wajib) dalam dirinya disebabkan oleh tabiatnya sendiri atau tidak

niscaya. Wujud yang tidak niscaya dalam dirinya bias bersifat tidak

mungkin, atau mungkin, apapun yang tidak mungkin dalam dirinya

tidak bias menjadi ada (maujud). Tuhan, yang esensi dan

eksistensinya sama, adalah satu-satunya wujud yang nicaya (wajib al-

wujud) oleh dalam dirinya. Segala sesuatu selain Tuhan secara

inherent dipengaruhi oleh kemungkinan.”Sesuatu yang mungkin” tidak


pernah bias melepaskan kemungkinannya dalam setiap tahap

karirnya dan tidak pernah menjadi niscaya sendiri seperti Tuhan.

Karena dalam setiap sesuatu yang mungkin, pasti ada dualitas atau

bahkan kesenjangan tertentu antara esensi dan eksistensi mereka,

tidak seperti Tuhan yang esensi-Nya sama dengan eksistensi-Nya,

sehingga kesatuan sejati tercapai.

Benda yang mungkin pada gilirannya dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu :

1. Kelompok mungkin dalam dirinya, dibuat niscaya oleh wujud yang

niscaya, seperti halnya subtansi murni intelektual atau malaikat.

2. Kelompok yang semata-mata mungkin tanpa ada hubungan

dengan yang lain, seperti halnya subtansi atau semesta.

c) Pemilahan antara subtansi (jumhur) dan aksiden (‘ardl), bahwa wujud adalah prima falie yang terbagi ke
dalam dua macam : satu yang disebut subtansi dan yang lain aksiden. Menurut pemilahan ini, esensi
bias merupakan aksiden-aksiden atau subtansi. Bahwa semua esensi yang tidak berada (inherent)
alam sebuah obyek adalah subtansi, dan semua esensi yang bersifat konstituf dalam sebuah obyek
adalah aksiden, dan katagori subtansi ada tiga, yaitu : akal, jiwa dan jasad. Dengan pemilahan-
pemilahan di atas, sebagai latar belakang, maka dengan mudahlah kita membktikan keberadaan
Tuhan, yang menurut Ibnu Sina, merupakan “puncak dari semua spekulasi metafisika”. Dengan
mengadakan hubungan kausal, yang dipinjam dari filosof Yunani, terutama Aristoteles.
Sementara itu, pembahasan fenomena ketuhanan yang menyangkut eksistensi Tuhan tidak
sama di semua tempat dan di semua jaman. Setidak-tidaknya terdapat dua pendekatan utama yang
selalu dilakukan manusia, yaitu pendekatan intuitif eksistensial seperti pada filsafat Timur dan
pendekatan rasional seperti pada filsafat Barat. Dalam kerangka dua pendekatan utama ini terdapat
aliran-aliran besar yang memandang eksistensi Tuhan secara berbeda, bahkan ada yang menolak
tentang Tuhan itu sendiri.
Pertama, Theisme merupakan aliran dalam filsafat ketuhanan yang mengandung pengertian
bahwa adanya Tuhan bukan hanya sesuatu ide yang terdapat dalam pikiran (mind) manusia, akan
tetapi menunjukkan bahwa zat yang dinamakan Tuhan itu berwujud obyektif. Zat Tuhan telah ada jauh
sebelum kita sadar akan eksistensi Tuhan sebagai ide bawaan dalam diri kita sebagaimana
diungkapkan oleh Plato dan Descartes. Artinya Konsep tentang Tuhan itu merupakan suatu
keniscayaan.[21]
Titik tekan kajian theisme bahwa Tuhan dipandang sebagai wujud personal, tempat sasaran
yang layak untuk disembah dan dipuja, esensinya yang berbeda atau tepisah dari dunia, tetapi juga
secara aktif berhubungan dengan dunia. Dengan kata lain, eksistensi Tuhan dalam pandangan theisme
bersifat immanen sekaligus transenden. Disamping itu, Tuhan juga dianggap sebagai pencipta,
pemelihara dan penguasa dunia. [22]
Kedua, Atheisme merupakan antitesis dari konsep theisme yang berpandangan tentang
pengingkaran adanya Tuhan yang berarti menolak terhadap kepercayaan adanya
Tuhan.[23]Penolakan terhadap Tuhan termasuk didalamnya adalah pengingkaran terhadap wujud
Tuhan yang personal, pencipta, pemelihara dan penguasa. Dengan demikian, atheisme dapat
dikatakan: pertama, paham-paham yang mengingkari adanya Tuhan seperti materialisme, sebagian
Naturalisme.Kedua, Paham-paham ketuhanan yang tidak menggambarkan Tuhannya bersifat personal
seperti Deisme, Pantheisme dan lain sebagainya.
Atheisme sebagai pandangan yang menolak theisme atau menolak eksistensi Tuhan
sesungguhnya dapat digolongkan ke dalam tiga jenis sikap. Pertama, Atheisme Dogmatic, suatu
pandangan yang menolak sama sekali bahwa Tuhan itu ada. Kedua, Atheisme Sceptic, suatu
pandangan yang meragukan kemampuan akal manusia untuk dapat menetapkan apakah Tuhan itu
ada atau tidak ada. Ketiga, Atheisme Critic, suatu pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada bukti
yang cukup valid bagi adanya Tuhan. Sekalipun pandangan di atas berbeda dalam menyikap eksistensi
Tuhan, tetapi secara keseluruhan pandangan atheisme adalah sama, yaitu bahwa kepercayaan
adanya Tuhan itu tidak lebih khayalan manusia belaka.[24]
Ketiga, Anti-Theisme [25] merupakan paham atau ajaran yang menolak atau melawan (anti)
terhadap paham atau ajaran-ajaran theisme (percaya adanya Tuhan). Paham ini secara jelas sangat
bertentangan dengan theisme. Dengan demikian, anti theisme merupakan suatu ajaran yangyang
menolak eksistensi Tuhan. Namun demikian, gerakan antitheisme ini, terutama di jaman modern lebih
sering tampak bukan sebagai reaksi langsung kepada adanya Tuhan, tetapi yang ditentang adalah
kehidupan keagamaannya. Dalam kaitan ini, maka Comte dan Marx dapat dianggap sebagai penganut
antitheisme karena memandang agama sebagai factor yang menghambat hidup bermasyarakat.
Sedangkan Nietzsche dan Sartre berpendapat bahwa agama merupakan suatu unsure negatif dalam
perkembangan pribadi
Keempat, Deisme merupakan paham ketuhanan yang hampir sama dengan theisme, yaitu
sama-sama mempercayai adanya Tuhan dalam perspektif natural atau agama natural. Secara prinsip
antara theisme dan Deisme sangat berbeda. Theisme beranggapan bahwa Tuhan adalah transenden
sekaligus immanen, sedangkan Deisme berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini
kemudian membiarkannya secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi.
Dengan demikian, Tuhan bersifat transenden terhadap alam. Tuhan berada di luar alam.
Karena itu, para penganut Deisme tidak akan mempercayai adanya mu’jizat dan arti doapun tidak ada
manfaatnya. Alam telah tersusun secara rapi dan teratur sehingga tidak memungkinkan adanya
perubahan baik dari akibat mu’jizat maupun dari doa. Deisme sebagai paham ketuhanan menyebabkan
para penganutnya tidak mengikuti salah satu agama atau kepercayaan, sekalipun mengakui adanya
Tuhan. [26]
Kelima, Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang berpandangan bahwa mustahil
akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini karena, akal manusia bersifat terbatas, sehingga
tidak akan mampu mengetahui sesuatu di luar jangkauan akal manusia termasuk di dalamnya aalah
realitas ketuhanan.[27] Dengan kata lain, agnostisisme adalah pengingkaran secara umum terhadap
segala persoalan metafisika sebagai sumber ilmu pengetahuan nyata, sedangkan secara khusus
merupakan pengingkaran dari kemungkinan akal manusia mampu mengetahui eksistensi Tuhan.
Paham ini menerima kemungkinan adanya suatu kenyataan yang bersifat transenden terhadap
manusia, namun menolak gagasan bahwa manusia dapat mengetahui secara pasti eksistensi Tuhan.
Sebagai akibatnya, pengetahuan dibatasi pada barang-barang material di dunia.[28]
Keenam, Pantheisme merupakan aliran atau paham ketuhanan yang berpandangan bahwa
Tuhan adalah yang tertinggi dan semuanya adalah Tuhan, sehingga segala sesuatu itu adalah Tuhan,
sebab antara alam dan Tuhan merupakan suatu kesatuan dari realitas Absolut. Realitas yang
sesungguhnya adalah Tuhan. Disinilah ada peleburan selain Tuhan ke dalam diri Tuhan, sehingga
yang tampak adalah Tuhan itu sendiri.
Dari segi tipologinya, maka pantheisme merupakan paham ketuhan yang mempunyai ciri-ciri
bahwa Tuhan itu adalah Eternal (bersifat abadi), mempunyai kesadaran diri yang abadi
(Conscious), Knowing (mengetahui dunia dan alam semesta) dan World inclusive (memiliki sesuatu
dan hadir dalam dunia atau tampak pada alam semesta)[29]
Ketujuh, Panentheisme merupakan paham atau pemikiran dalam filsafat ketuhanan yang
berpandangan bahwa Tuhan berada di alam semesta sebagai kesatuan dua pola yaitu actual dan
potensial. Pola actual Tuhan senantiasa berubah, terbatas dan temporal, sedangkan pola potensial
Tuhan bersifat abadi dan tidak berubah. Secara literal, Panentheisme (pan – en - theisme) merupakan
konsep ketuhanan yang dapat dikatan sebagai semua – di dalam – Tuhan.
Ditinjau dari segi tipologinya, maka panentheisme merupakan kepercayaan bahwa Tuhan
memiliki pola actual (dunia) dan pola potensial (di atas dunia). Paham ini mempercayai bahwa Tuhan
berubah, terbatas dan temporal dalam pola aktualnya dan juga mempercayai Tuhan dalam pola
potensialnya bersifat abadi dan tidak berubah. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa panentheisme
mempunyai ciri-ciri bahwa Tuhan itu adalah Eternal (Yang Tertinggi sebagai yang abadi), Temporal-
Counsciousness (bersifat temporal atau kesementaraan dan mempunyai kesadaran akan hal tersebut),
Knowing - World (Tuhan mengetahui dan hadir dalam dunia atau alam semesta). [30]
Panentheisme sebagai paham ketuhanan yang menganggap semua di dalam Tuhan
sesungguhnya mempunyai nama lain yang disebut dengan Teologi Proses yaitu adanya anggapan
bahwa Tuhan sebagai suatu Zat atau Realitas yang berubah); bisa juga disebut teisme bipolar, karena
mempercayai bahwa Tuhan memiliki pola ganda, yaitu pola potensial dan pola Aktual. Disamping itu,
panentheisme dapat juga dikatakan sebagai teologi organisme, karena memandang semua yang
terjadi sebagai organisme besar (gigantic) atau juga disebut sebagai teisme neo-klasik (Tuhan yang
bersifat temporal atau terbatas) yang berlawanan dengan teisme klasik (Tuhan dipandang sebagai
yang abadi).[31]

DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973)


Lihat, Encyclopedia of Philosophy, vol. 8
HM. Rasyidi, Filsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1965)
Frederick Coplestone, A History of Philosiphy: Walff to Kant. Vol. 6, 1990
Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, (New York : Santo Martin’s Press, 1984),
Steven M. Cahn, Reason at work : Introductory reading ini Philosophy, (Florida-USA : Hacourt
Brace, Jevenoivich, 1984)
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung : Rosda Karya, 1993)
Ahmad Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)
Majid Fakhri, A History Of Islamic Philosophy, (New York : Columbia University Press and
Longman, 1983
George.N.Atiyeh, Al-Kindi : The Philosopher Of The Arab, (Rawal Pindi : Islamic Research
Institue, 1996
Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta : Widjaya, 1992
Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam,(Jakarta:Bulan Bintang, 1990
Oliver Leamon, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge Harvard: University
Press, 1985
Sheed’s, Dogmatic Theology, Vol. I-III (USA: Thomas Nelson Publisher, 1980
Anonimus, Encyclopedia of Philosophy, vol. 1-8 (New York-London : Macmillan Publishing Co.
In & The Free Press, 1972
The Lexicon Webster Dictionary, (USA : The English Language Institue of America: 1977
the Encylopedi Americana, vol. II (USA : Americana Corporation, 1977
Louis Berkhof, Systematic Theology, (USA : WM.B. Eerdmans Publishing, 1981
Charles Hartshorne dan Willian Reese, Philosopher speak of God, (Chicago-London : The
University of Chicago Press, 1976
Norman L. Geisler dan William Watkins, Perspective – Understanding and Evaluating Today’s Views, (California :
Here’s Life Publishing, Inc., 1984

[1] Dalam tinjauan historis, pembuktian Anselmus yang terkenal itu dapat dijumpai untuk
pertama kali dalam karyanya Proslogion. Pada waktu itu, ia menjabat sebagai kepala biara di Bec.
Dalam suatu karya yang mendahuluinya Monologion, anselmus telah menunjukkan bagaimana refleksi
rasional dapat menemukan kebenaran-kebenaran iman. Buku itu memuat sejumlah besar argumen,
apakah tidak mungkin menemukan satu argumen yang memadai dari antaranya, untuk membuktikan
dengan argumen itu saja, eksistensi Tuhan, ciri ke-Maha Kuasa-annya, kebutuhan setiap makhluk akan
Dia yang terpenting semua apapun yang kita anggap menjadi ciriNya itulah yang masalah, sehingga
Anselmus menerbitkan Proslogion, yaitu sebuah argumen yang menggantikan argumen-argumen lain
yang tersebar-sebar merupakan sebuah inti masalah yang dikembangkan oleh seluruh teologi.
Eksistensi Tuhan itu sedemikian niscaya adanya, sehingga pengingkarannya pun bahkan tak
terpikirkan. Berangkat dari iman, Anselmus sampai pada pengetahuan yang tidak bisa ditolak. Hasilnya
sempurna.Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan ..., 133-138

[2] Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 55 -56
[3] Lihat, Encyclopedia of Philosophy, vol. 8, 84
[4] HM. Rasyidi, Filsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1965), 51
[5] Frederick Coplestone, A History of Philosiphy: Walff to Kant. Vol. 6, 1990, h. 310
[6] Harun Nasution, Filsafat ..., 65 - 67
[7] Frederick Coplestone, A History ..., 391
[8] Lima argumen yang ditulis oleh Aquinas dalam Summa Theologica yang sangat terkenal
pada abad pertengahan itu merupakan sintesis dari pendapat Anselmus, yang mengatakan bahwa
Tuhan tidak dapat diketahui dengan akal, Ia hanya dapat diketahui oleh iman. Dan pendapat Abelard
yang lebih mendahului pemahaman akal untuk dapat mengimaniNya. Antony Flew, A Dictionary of
Philosophy, (New York : Santo Martin’s Press, 1984), 1 – 2, dan 14 - 15
[9] Frederick Copelstone, A History ..., 141 - 142
[10] Untuk lebih jelasnya, lihat Steven M. Cahn, Reason at work : Introductory reading ini
Philosophy, (Florida-USA : Hacourt Brace, Jevenoivich, 1984), 547 – 549. Bdk dengan Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung : Rosda Karya, 1993), 86 - 89
[11] Harun Nasution, Filsafat ..., 16
[12] Steven M. Cahn, Reason ..., 547- 549

[13] Ahmad Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), 77


[14] Majid Fakhri mengatakan: bahwa tesis Hellenis dan Hellenistik tradisional tentang alam
semesta yang abadi telah diajukan oleh Aristoteles dan Proclus. Lihat Majid Fakhri, A History Of Islamic
Philosophy, (New York : Columbia University Press and Longman, 1983), 137

[15] George.N.Atiyeh, Al-Kindi : The Philosopher Of The Arab, (Rawal Pindi : Islamic Research
Institue, 1996), hal. 67.
[16] I b i d.
[17] Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta : Widjaya, 1992), 258.
[18] George N. Atiyeh, Al-Kindi ..., 67
[19] Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam,(Jakarta:Bulan Bintang, 1990), 14.
[20] Oliver Leamon, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, (Cambridge Harvard:
University Press, 1985), 170.
[21] There is in man an innate knowledge of God and consciousness of divinity (sensus
divinitatis) which can no more be wanting in him, that an rational intellect; and which he can no more
get rid or than he can get rid of himself. Untuk lebih jelasnya, lihat Sheed’s, Dogmatic Theology, Vol.
I-III (USA: Thomas Nelson Publisher, 1980), 199.
[22] Anonimus, Encyclopedia of Philosophy, vol. 1-8 (New York-London : Macmillan Publishing
Co. In & The Free Press, 1972), 97
[23] Atheisme secara etimologis berasal dari kata Yunani atheos, a berarti tidak
dan theos berarti Tuhan. Dengan demikian atheisme berarti the disbelief in the existence of a God or
Supreme Being. Lihat The Lexicon Webster Dictionary, (USA : The English Language Institue of
America: 1977), 62. Bandingkan dengan the Encylopedi Americana, vol. II (USA : Americana
Corporation, 1977), 604
[24] Pandangan ketiga tipe atheisme, yaitu atheisme Dogmatik …which flatly denies that there
is a Divine Being…; atheisme Skeptik …which doubts the ability of the human mind to determine whther
or not there is a God; sedangkan atheisme kritik … Which maintains that there is no valid proof for the
existence of God. Untuk leibh jelasnya, lihat Louis Berkhof, Systematic Theology, (USA : WM.B.
Eerdmans Publishing, 1981), 23
[25] Encyclopedi Americana, 600. Bandingkan dengan Harun Nasution, Filsafat
Agama…, 36
[26] Deisme berasal dari kata Yunani Deus yang berarti Tuhan, sehingga deisme merupakan
istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa-dewa.Lihat
Harun Nasution, Filsafat agama…, 35-38
[27] Agnostisisme berasal dari kata Yunani agnostos yang berarti tidak dikenal, sehingga dapat
dikatakan bahwa akal manusia tidak dapat mengenal atau mengetahui ada dan tidaknya
Tuhan… Agnosticisme is the view that we don’t know whther there is a God or not. Lihat Encyclopedia
of Philosophy…, 56. Bdk dengan pandangan Berkhof, Systematic …, 30
[28] Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan …, 293-294
[29] Rumusan-rumusan di atas mengikuti pola yang dikembangkan oleh Charles Hartshorne
seorang pengikut dan murid Whitehead, yang banyak mengulas tentang klasifikasi paham-paham
ketuhanan secara jelas dan rinci dengan segala ukuran-ukuran dari masing-masing paham ketuhanan,
mulai dari theisme, pantheisme sampai panentheisme. Untuk lebih jelasnya. Lihat Charles Hartshorne
dan Willian Reese, Philosopher speak of God, (Chicago-London : The University of Chicago Press,
1976), 15 -25
[30] I b i d.
[31] Sebutan-sebutan lain dari panentheisme ini merupakan klassifikasi yang dirumuskan oleh
Norman L. Geisler dan William Watkins, Perspective – Understanding and Evaluating Today’s Views,
(California : Here’s Life Publishing, Inc., 1984), 100

PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI ISLAM DI INDINESIA

Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A. Pendahuluan
Historiografi (historical explanation) merupakan langkah terakhir dalam metodologi penelitian
sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berawal dari pertanyaan,
bagaimana para sejarawan merekonstruksi sejarah melalui bukti dan sumber sejarah sehingga menjadi
tulisan sejarah, dari situlah historiografi melakukan tugasnya.

B. Historiografi Islam di Indonesia


Historiografi (Islam) Indonesia, setidaknya dalam beberapa dasawarsa terakhir, ditandai
beberapa perkembangan penting baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Menurut Azyumardi Azra,
Secara kuantitatif munculnya karya-karya sejarah, baik yang ditulis sejarawan Indonesia sendiri
maupun sejarawan asing. Karya-karya itu bisa merupakan sejarah lokal maupun nusantara, dan global.
Karya-karya sejarah ini telah memberikan sumbangan yang signifikan bagi upaya pemahaman yang
lebih akurat terhadap sejarah Indonesia secara keseluruhan.(Azra,2002:3) Sementara secara kualitatif,
menurut Kuntowijoyo, terlihat dari pengunaan metodologi yang semakin kompleks, yang melibatkan
kian banyak ilmu bantu, khususnya ilmu-ilmu humaniora lainnya. (Kuntowijoyo, 2003:39-58)
Penggunaan ilmu-ilmu bantu dalam penulisan sejarah Indonesia secara umum dan sejarah
Islam Indonesia khususnya, menurut Azra, tidak dapat dipungkiri telah memperkuat dan
mengembangkan corak baru dari apa yang disebut kalangan sejerawan Indonesia sebagai ”sejarah
baru” (new history), sebagai kontras dari ”sejarah lama” (old history), yang umumnya bersifat naratif
dan deskriptif, atau yang biasa disebut ”sejarah ensiklopedis”. (Azra, 2006:4) Tetapi ”sejarah baru” itu
sendiri, sebagaimana baru saja diisyaratkan, juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Pada awal kemunculannya, terutama sejaka 1960-an, ”sejarah baru” pada umumnya dipahami sebagai
alternatif, jika tidak sebagai tandingan ”sejarah lama” yang cenderung merupakan ”sejarah politik”.
Dalam melacak historiografi Islam awal di Indonesia, Resenthal melihat bahwa bentuk dasar
historiografi Islam di Indonesia adalah karya sastra klasik yang isinya banyak menyebutkan istilah-
istilah kepada narasi tertentu seperti haba, hikayat, kisah, tambo dan lainnya yang berasal dari bahasa
Arab. (Franz Rosenthal, 1968:8) Argumen ini didukung HAMKA dalam melakukan penulisan Sejarah
Umat Islam IV banyak bahannya yang diambil dari historiografi lokal meski bercampur mitos dan
legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi
langsung antara Nusantara dengan Arabia. (HAMKA, 1981) Adanya karangan klasik seperti haba,
hikayat, kisah, tambo inilah yang oleh Resenthal disebut dapat dijadikan bahan penting dalam studi
karya historiografi Islam, sehingga akan terbentuk suatu horizon baru di dalam penulisan sejarah Islam
yang lebih banyak berpijak pada bumi sendiri dalam pengembangan keahlian dan pengetahuan sejarah
Islam yang dilakukan oleh penulis-penulis Islam sendiri.
Menurut Mukti Ali paling tidak terdapat dua corak pendekatan dalam penulisan sejarah Islam
di Indonesia. Pertama, Pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat
Islam, kedua, pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional
Indonesia. Pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam diperkenalkan
oleh HAMKA dalam bukunya Sejarah Umat Islam IV. Pendekatan semacam inilah yang mengantarkan
analisisnya bahwa Islam masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu
kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, Islam
masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam
sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai Amirul Mukminin. Teori HAMKA ini yang kemudian
dikenal dengan teori Arabia.
Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke
Nusantara. Teori pertama, mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua
India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di
Nusantara. teori ini didukung oleh Snouck Hurgronje, Pijnappel, dan orang Barat lainnya. Teori kedua,
adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori
ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan
penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari
peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera
Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Teori
ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah
adalah Samudera Pasai. dan teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam
yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun
bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam
masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam
sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
Teori yang ketiga ini didukung oleh sejerawan Indonesia ternasuk HAMKA dan Badri Yatim.
Namun Yatim lebih melihat pada sisi politiknya, dengan artian bahwa perkembangan masyarakat Islam
di Indonesia baru terdapat ketika ”komunitas Islam” berubah menjadi pusat kekuasaan. (Yatim,
2006:192-3) Sementara Taufik Abdullah tidak menyetujui tentang teori yang mengatakan bahwa
datangnya Islam pertama kali ke Indonesia pada abad ke- 7 M dengan alasan belum ada bukti bahwa
pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam.
Adanya koloni itu, diduga sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab
tersebut, hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.(Taufik Abdullah, 1991:34)
Namun berdasarkan bukti catatan-catatan resmi dan Jurnal Cina pada periode dini Dinasti
Tang 618 M secara ekplisit menegaskan bahwa Islam sudah masuk wilayah Timur jauh, yakni Cina
dan sekitarnya pada abad pertama Hijriah melalui lintas laut dari bagian Barat Islam. Cina yang
dimaksudkan pada abad pertama Hijriah tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh termasuk
Kepulauan Indonesia. Jurnal Cina juga mengisyaratkan adanya pemukiman Arab di Cina yang
penduduknya diizinkan oleh Kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama. Pada masa
itu orang-orang Islam memilih pemimpin mereka sendiri yang dinamakan imam, dan sejak masa itu
perdagangan Indonesia mulai lancar dan maju. (van Leur, 1995:440)
Selain itu, laporan Cina yang menegaskan keputusan bangsa Arab mengirim utusan kepada
Kerajaan Ho Long. Kerajaan Arab mengirim utusan ke Kerajaan Ho Long sekitar tahun 640 M, 666 M,
dan 674 M. Sementara Kerajaan Ho Long sendiri menurut Alwi Sihab terletak di Jawa Timur yang
bernama Kerajaan Kalingga yang terkenal dengan kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta keadilan
pemerintahannya. Sementara yang mengutus oleh orang-orang Cina dikenal dengan
sebutan ”Tasheh” sebagai nama yang mereka kenal untuk kerajaan Arab.(Grenvelt, 1960:201) Jadi,
pengenalan dini kaum Muslimin (Arab) terhadap Kepulauan Indonesia setaraf dengan data yang
mereka ketahui mengenai Cina bahkan lebih luas. Jika demikian halnya, alasan apakah gerangan yang
menjadi penghalang untuk menetapkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah.
Yaitu, pada masa pedagang-pedagang Muslim memasuki Cina kerena kedatangan orang-orang Arab
membawa Islam ke Cina melalui jalur laut lama.
Selain pendekatan diatas, dalam Pendekatan historiografinya HAMKA lebih banyak
menekankan kepada periode daripada daerah. Penekannya lebih banyak kepada peranan pahlawan
dan Sultan dalam bangun dan tenggelamnya kerajaan Islam di kepulauan Nusantara, sehingga ia
dikenal sebagai penulis sejarah heroworship.
Pendekatan penulisan sejarah Islam Indonesia yang menekankan pada periode juga dilakukan
oleh Yahya Harun. Ia lebih tertarik terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan runtuhnya suatu
kerajaan Islam di bumi Nusantara ini, begitu juga ia lebih menekankan pada peranan pahlawan dan
sultan dan mengecilkan peranan masyarakat dalam mengembangkan Islam di bumi nusantara ini.
(Yahya Harun, 1995)
Dari uraian tentang beberapa tulisan sejarah Islam di Indonesia diatas sudah memberi
gambaran sekilas tentang adanya karya-karya sejarah Islam yang ditulis oleh penulis-penulis dahulu.
Namun tulisan sejarah Islam awal di Indonesia lebih mengarah pada teori dan metode sejarah
konvensional yang lebih menonjolkan proses dan tokoh politik serta mengungkapkannya sebagai
tulisan deskriptif-naratif, bagaimana peristiwa-peristiwa itu terjadi. Juga, memasukkan peristiwa-
peristiwa berdasarkan pembabaran besar dalam suatu proses yang linier. Sejarah sebagai suatu narasi
besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian,
menganalisis genealogi, lalu membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, memilih
peristiwa yang dianggap spektakuler (seperti perang), serta mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal
Sementara pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional
Indonesia diperkenalkan oleh Uka Tjandrasasmita, seorang arkeolog yang keahliannya khusus
mengenai peninggalan-peninggalan Islam di Indoenesia. Ia telah mempergunakan sumber sekunder
baik berupa buku, artikel dan lain-lainnya, maupun naskah-naskah, hikayat-hikayat daerah dan berita-
berita asing yang pernah diterbitkan. Dalam penulisan sejarah Islam Indonesia ia lebih menekankan
pada sejarah sebagai proses dalam masyarakat yang terjadi karena pergeseran elemen-elemen yang
terdapat dalam masyarakat itu dan kurang memberikan peranan tokoh.
Selain dari Uka Tjandrasasmita, Taufik Abdullah juga menggunakan penekatan yang sama
dalam penulisan sejarah Islam Indonesia. Ia menulis sejarah Islam dalam lingkup sejarah nasional.
Dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia Taufik Abdullah membahas tentang perjuangan umat
Islam di Indonesia, yang semula berada dalam konteks politik yang bersifat fragmentaris, untuk
membentuk situasi yang integratif – bangsa dan negara Indonesia. Sejarah Islam Indonesia bukan saja
merintis proses ke arah integratif nasional, tetapi juga menemukan afinitas dengan nasionalisme
Indonesia.(Taufik Abdullah, 1991)
Munculnya pendekatan sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional
Indonesia yang diidentikan oleh Sartono Kartodirdjo sebagai kumpulan sejarah-sejarah lokal, secara
implisit menggambarkan penulisan baru sejarah Islam Indonesia. Pendekatan semacam itu lebih
menekankan pada sejarah sebagai proses dalam masyarakat yang terjadi karena pergeseran elemen-
elemen yang terdapat dalam masyarakat itu. (Kartodirjo, 1968:17)
Kalau kita perhatikan, perkembangan historiografi Islam di Indonesia mengalami
perkembangan bersamaan dengan perkembangan historiografi Indoensia itu sendiri. Historiografi
Indonesia dimulai dengan munculnya corak historiografi tradisional yang mempunyai unsur-unsur yang
tidak bisa lepas dari karya mitologi dimana pihak kerajaan mempunyai peranan penting seperti Empu
Prapanca yang menulis kitab Negara kertagama. Kemudian pada zaman kolonial penulisan sejarah di
dominasi oleh orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia. Penulisan sejarah pada masa ini bersifat
Eropa-sentris. Setelah Indonesia merdeka mulailah penulisan sejarah yang di dominasi oleh para
penulis Indonesia yang memperkenalkan historiografi dengan pendekatan Indonesia-sentris. Fokus
penulisan sejarah pada masa ini mengangkat tentang tokoh-tokoh pahlawan nasional yang telah
berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan bahkan banyak biografi-biografi tokoh pahlawan
nasional yang diterbitkan.
Perkembangan baru dalam historiografi Indonesia, dalam pandangan Azra, ditandai dengan
munculnya beberapa karya besar sejarah yang melihat sejarah dalam perspektif global. Dalam
perspektif sejarah global ini, sejarah Indonesia harus dilihat dan ditempatkan dalam kerangka sejarah
dunia pada umumnya. Salah satu karya sejarah yang menempatkan sejarah pada kerangka global
adalah karya Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, 3 Jilid (aslinya, Le Carrefour Javanais: Essai
d’histoire globale, pertama diterbitkan pada 1990). Menurut Azra, karya Denys Nusa Jawa ini telah turut
mewakili dan memperkuat momentum bagi kemunculan corak historiografi yang relatif baru bagi kajian-
kajian sejarah Indonesia. Karya lain yang meletakkan kerangka sejarah global adalah mahakarya
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Karya ini diterbitkan dalam dua jilid;
jilid pertama, Southeast Asia in the Age of Commerce, Volume One: The Lands below the Winds
(1988) dan jilid kedua, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two:Expansion
and Crisis (1993)
Menurut Azra, kedua karya ini melihat ”Nusa Jawa” sesuai istilah Lombard, atau ”Negeri Bawah
Angin” menurut istilah Reid, dalam perspektif global, persisnya dalam kaitannya dengan perkembangan
lingkungan, bahkan dunia disekitar kedua wilayah tersebut. Perspektif ini secara implisit menegaskan
suatu filosofis sejarah yang menegaskan bahwa perkembangan historis disuatu wilayah tertentu
tidaklah terjadi dan berlangsung dalam situasi vakum dan isolatif. Tetapi, ia terkait dengan peristiwa-
peristiwa pada kawasan lain. Dengn demikian, dalam perspektif ini, sejarah Indonesia harus dilihat dan
ditempatkan dalam kerangka sejarah dunia pada umumnya; bukan sejarah yang berdiri sendiri.
Walhasil, pendekatan ini secara implisit berisi pengakuan, bahwa sejarah Indonesia merupakan bagian
sah dari sejarah dunia secara keseluruhan.
Pendekatan semacam ini, menurut Azra, secara tidak langsung merupakan revisi atas dua
pendekatan yang selama ini populer dalam historiografi Indonesia. Pertama, pendekatan yang bersifat
Eurosentris—atau lebih tegas lagi dalam kontek Indonesia Nederlando-sentris (berpusat pada
Belanda). Dalam pendekatan ini, sejarah Indonesia dipandang sebagai bagian dari sejarah
kolonialisme Eropa, persisnya ekspansi dan konsolidasi Belanda. Sebagai konsekwensinya, sejarah
masyarakat-masyarakat pribumi Indonesia diposisikan tidak pada tempat yang marjinal, tetapi bahkan
juga dalam perspektif yang pejoratif. Kedua, pendekatan yang bersifat ’Indo-sentris”, persisnya yang
bertujuan menjadikan Indonesia sebagai sentral atau pusat wacana sejarah. Pendekatan ini sebetulnya
berusaha menghindari ”ektrimitas” sejarah Euro-sentris, namun pada gilirannya terjerembab ke kutub
ektrem lainnya. Meski pendekatan Indo-sentris terlihat seolah-olah bertolak belakang dengan
pendekatan Euro-sentris, namun pandangan dunia yang mendasari keduanya pada dasarnya sama,
yakni motif-motif atau kepentingan-kepentingan ideologi tertentu.
Disamping itu, karya Reid atau Lombard juga menggambarkan tentang ”sejarah sosial”.
Walaupun dalam karyanya Lombard memakai istilah ”Nusa Jawa” tetapi menurut Azra, pembahasan
yang diberikan Lombard lebih dari sekedar tentang ”Pulau Jawa” sebagaimana kita kenal tetapi
pembahasannya dapat dikatakan mencakup seluruh ”Nusantara”, dengan jawa sebagai fokus
utamanya. Begitu juga ketika dilihat dari subjudul karya Lombard berbunyi Essai d’histoire globale yang
menurut Azra, secara harfiah seharusnya diterjemahkan sebagai ”Esai Sejarah Total” secara emplisit
menjelaskan corak penulisan sejarah yang dianut oleh Lambard yakni sejarah global atau, lebih populer
lagi, ”sejarah Total” (total history), yang sering juga disbut disebut sebagai ”New History”.(Arthur
Marwick, 1985:64) Dengan subjudul ini mengisyaratkan bahwa Lombard ingin menulis sejarah Jawa
secara global atau tepatnya, secara total. Dan ini dengan segera menjelaskan akar-akar historiografi
yang mendasari pandangan dunia seorang Lombard. Dengan pendekatan sejarah global (total),
Lombard dengan leluasa membahas berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam perkembangan
historisnya, sejak dari geografi, pelapisan sosial, demografi, estetika, ekonomi dan prdagangan,
birokrasi, peranan wanita, dan seterusnya.
Dari paparan kedua karya tersebut telah memberi gambaran tentang perkembangan
historiografi Indonesia. Harus diakui bahwa kedua karya tersebut diatas telah mempengaruhi corak
historiografi Indonesia sehingga historiografi Indonesia semakin cenderung bersifat global dan total.
Perkembangan historiografi Indonesia ini diakui oleh Azra juga berdampak pada
perkembangan historiografi Islam Indonesia. Dalam kurun-kurun waktu terakhir ini, sejarah Islam di
Indonesia tidak lagi dilihat dari persektif lokal, sebagaimana selama ini cenderung dilakukan para
sejarawan, tetapi dalam perspektif global dan total, yang melihat sejarah Islam di Indonesia dalam
kaitan dengan perkembangan historis Islam di kawasa-kawasan lain.
Salah satu karya penting tentang sejarah Islam Indonesia yang menempatkan sejarah pada
kerangka total atau global adalah karya Azyumardi Azra Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Dalam karyanya ini Azra melakukan penelitian terhadap ulama
Nusantara, khususnya pada pada abad 17 dan 18 dalam kaitan dengan wacana intelektual
keagamaan (religio-intellectual discourse) ulama Indonesia di Mekkah dan Madinah (Haramayn) dan
sekaligus tentang hubungan dinamika Islam di Nusantara dengan perkembangan Islam dikawasan
dunia Muslim lainnya. Penelitian Azra tentang wacana intelektual keagamaan (religio-intellectual
discourse) ulama Indonesia di Mekkah dan Madinah (Haramayn) mencoba melacak sejarah sosial-
intelektual ulama Nusantara dalam kaitannya dengan Dunia Islam yang lebih luas. Menurut Azra
wacana intelektual keagamaan ini berpusat pada semacam jaringan ulama (networks of the
ulama) yang berpusat di Mekkah dan Madinah (Haramayn). Kajian sejarah sosio-intelektual ulama
Nusantara yang telah dilakukan Azra ini merupakan hal yang baru karena pada umumnya pengkajian
tentang ulama-ulama Indonesia berbentuk pengkajian biografis, yang terlalu memusatkan pada ulama
bersangkutan, sehingga cenderung terlepas dalam konteks sosio-intelektual yang mengitari mereka.
Sementara itu, terdapat pula beberapa studi yang lebih memusatkan perhatian pada peran keagamaan
dan politik yang mereka mainkan dalam kurun tertentu sejarah Nusantara.(Azra, tt:15)
Karya penting lainnya dari Azra yang perlu disebut dalam tarikan nafas yang sama
adalah Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Buku ini merupakan historical accunt tentang
Islam di Nusantara dengan menggunakan pendekatan multidisipliner—ilmu sejarah yang dipadu
dengan ilmu-ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, perbandingan agama dan lain-lain.
Karya Azra ini juga menegaskan bahwa perkembangan historis di suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi
dan berlangsung dalam situasi fakum dan isolatif. Tetapi ia terkait dengan peristiwa-peristiwa pada
kawasan lain. Oleh karena itu, Azra melihat bahwa dinamika Islam Nusantara tidak pernah lepas dari
dinamika dan perkembangan di kawasan-kawasan lain, wilayah yang kini disebuat bagai Timur
Tengah. Kerangka, koneksi, dan dinamika global itu bisa dipastikan membentuk—atau setidak-tidaknya
memengaruhi—dinamika dan tradisi local di Nusantara.(Azra, 2002)
Kedua karya Azra ini secara implisit telah menjelaskan tentang corak penulisan sejarah yang
dianutnya yakni sejarah global atau, lebih populer lagi, ”sejarah Total” (total history). Sejarah Islam di
Indonesia, dalam pandangan Azra, harus dilihat dalam perspektif global dan total, yakni melihat sejarah
Islam di Indonesia dalam kaitan dengan perkembangan historis Islam di kawasa-kawasan lain.
Sehingga dengan studinya ini Azra beragumen bahwa perjalanan historis Islam di Indonesia sepanjang
sejarah tak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Arabia dan kawasan-lawasan Muslim lainnya.
(Azra, 1994)
Karya sejarah lainnya yang sama dengan corak penulisan sejarah Azra adalah kajian yang
dilakukan oleh Abaza tentang mahasiswa Indonesia di Kairo. Kajian Abaza dapat disebut sebagai
"sejarah kontemporer" mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Kairo dan peranan mereka setelah
kembali ke Indonesia. Kajian Abaza ini menekankan tentang proses cultural axchanges, atau yang
disebut Azra sebagai tranmission of Islamic Learning.(Mona Abaza, 1993)
Sementara karya yang lainnya adalah kajian yang dilakukan oleh von der Mehden tentang
interaksi dan hubungan antara Islam di Asia Tenggara dan Islam di Timur Tengah. Karya ini berusaha
mengungkapkan dinamika interaksi di antara kedua wilayah Muslim ini dalam berbagai aspek
kehidupan, sperti politik, ekonomi, dan intelektual.(Von der Mehden, 1993) Meski cukup berhasi dalam
mengungkapkan dampak interaksi dan hubungan di antara wikayah ini dalam perkembangan Islam di
Asia Tenggara, namun menurut Azra dalam segi-segi tertentu kajian ini mempunyai kelemahan dan
kekurangan yang cukup mencolok.
C. Kesimpulan
Dari beberapa catatan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa historiografi Islam di
Indenesia mengalami perkembangan bersamaan dengan perkembangan historiografi Indonesia itu
sendiri. Penulisan sejarah Islam di Indonesia pada mulanya tidak menampakkan ciri yang jelas sebagai
sejarah Islam, namun hanya berbentuk karya sastra klasik yang isinya banyak menyebutkan istilah-
istilah kepada narasi tertentu seperti haba, hikayat, kisah, tambo dan lainnya yang berasal dari bahasa
Arab.
Sementara corak historiografi awal Islam di Indonesia adalah historiografi yang mendekati
sejarah Islam di Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam. Dalam hal ini penekanan
historiografi lebih ditekankan kepada periode dan memberikan penekanan kepada peranan pahlawan
dan sultan dalam bangun dan tenggelamnya kerajaan Islam di Kepulauan Nusantara
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pendekatan sejarah Islam sebagai bagian dari
sejarah nasional Indonesia Jadi, historiografi Islam di Indonesia pada masa ini dianggap sebagai bagian
dari sejarah nasional Indonesia yang penekanannya pada sejarah sebagai proses dalam masyarakat
yang terjadi karena pergeseran elemen-elemen yang terdapat dalam masyarakat itu.
Baru sejak 1960-an muncul penulisan sejarah Islam Indonesia yang sering disebut kalangan
sejarawan Indonesia sebagai ”sejarah baru” (new history) yang cenderung dipahami sebagai "sejarah
sosial" (social history) yakni sejarah yang lebih menekankan kepada kajian dan analisis terhadap
faktor-faktor bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah itu
sendiri. Dalam sejarah baru ini, historiografi Islam Indonesia tidak lagi dilihat dari persektif lokal,
sebagaimana selama ini cenderung dilakukan para sejarawan, tetapi dalam perspektif global dan total,
yang melihat sejarah Islam di Indonesia dalam kaitan dengan perkembangan historis Islam di kawasa-
kawasan lain.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002

-------------------“Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah
Pinggir”, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta:
Mizan, 2006

---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
Bandung:Mizan,1994

---------------------, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002

Abdullah, Taufik (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991
Abaza, Mona, Islamic Edication, Perception and Axchanges: Indonesia Students in Cairo, Paris:
Caheir d'Archipel No.33, 1993

Alnold, T. W. The Preaching of Islam, London:t.p, 1935

Al-Hamari, Yaqut, Mu’Jam Al-Buldan, vol. III, Beirut: Dar Shadir, 1971

Fred R. Von der Mehden, Two Worlds of Islam: Introduction Between Southeast Asia and Middle
East, Gainsville, Fl: University Press of Florida, 1993

envelt, W.P., Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources, 1960

R. Tibbets, “Early Muslim Trade in South Asia” Vol. 30, t.t.: MBRAS, 1957

HAMKA, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1981

wijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003

odirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Histriografi Indonesia : Suatu Alternatif, Jakarta:
Gramedia, 1982

-----------------, Sejarah Nasional Indonesia, vol. II, Jakarta: Depdikbud, 1977

odirdjo, A. Sartono dkk, Lembar Sejarah, Beberapa Fasal Dari Historiografi Indonesia, Jogjakarta:
Jajasan Kanisius, 1968

rwick, Arthur, The Nature of History, Secon Edition, London: Macmillan Education, 1985
gi Simanjuntak, Peneliti Sejarah Sosial dan Sejarah Kekerasan pada Institut Riset Sosial dan
Ekonomi (Inrise). Bahan didapatkan di internet yang mengakses pada tanggal. 01
April 2009. Lihathttp://www.duniaesai.com/sejarah/sejarah2.html

Umar, A. Muin, Historiografi Islam, Jakarta: rajawali Press, 1988

Rosenthal, Franz, A History of Muslim , Leiden:E.J Brill, 1968


Sihab, Alwi, Antara Tasawuf Suni & Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka
IIMaN, 2009

Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III , Jakarta: Balai Pustaka, 1977

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

van Leur, J.C, Indonesian Trade and Society, Den Haag, W. Van Hoeve Ltd, 1995

Yahya Harun, Islam Nusantara Abad XVI & XVII , Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera 1995

Anda mungkin juga menyukai