BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
memberikan rumusan, definisi, maupun anti istilah
"perikatan". Diawali dengan ketentuan Pasal 1233, yang
menyatakan bahwa "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena persetujuan, baik karena undangundang", ditegaskan
bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena
dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan
yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena di-
tentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum
antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidangAapangan
harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu
pihak dalam hubungan, hukum tersebut.
Dari rumusan yang diberikan di alas dapat diketahui
bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di
dalamnya empat unsur, yaitu:
1. bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2. hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih
orang (pihak);
3. hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum
dalam lapangan hukum harta kekayaan;
4. hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada
salah satu pihak dalam perikatan.
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa menurut Pasal
1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hubungan
hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para
pihak, sebagai akibat dari persettijuan yang dicapai oleh para
pihak, dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini
dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja
ataupun tidak, Serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan
dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan
perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang
bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta
kekayaan seseorang kepada ahli warisnya.
Hubungan hukum dalam perikatan ini melibatkan dua
orang atau lebih, yang merupakan para pihak dalam
perikatan. Pihakpihak dalam perikatan tersebut, sekurangnya
terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban pada
satu sisi, (yaitu debitor) dan pihak yang berhak atas
pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain (yaitu kreditor).
Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari
satu pihak Baja, meskipun dalam pihak tersebut terdapat
lebih dari satu orang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari
sifat perikatan itu sendiri yang melahirkan kewajiban pada
pihak yang satu dalam perikatan. Kewajiban pada satu pihak,
meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam sebagian
besar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dapat melahirkan atau menciptakan pihak lain yang berhak
atas pemenuhan kewajiban tersebut.
Dengan menekankan kewajiban yang hams dipenuhi,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
kedudukan yang penting bagi pihak yang berkewajiban
(debitor). Dalam sudut pandang Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, pihak yang berkewajiban harus dapat
ditentukan dan diketahui, oleh karma tidaklah mungkin suatu
perikatan dapat dipenuhi jika tidak diketahui dengan pasti
pihak yang berkewajiban untuk melakukan kewajiban
tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memungkinkan penggantian pihak yang berhak atas
pelaksanaan kewajiban (kreditor) tanpa persetujuan pihak
yang berkewajiban (debitor).
Hubungan hukum yang lahir adalah hubungan hukum di
bidang hukum harta kekayaan. Rumusan tersebut
memberikan arti bahwa dalam setiap perikatan terlibat dua
macam hal. Pertama menunjuk pada keadaan wajib yang
harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kedua
berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut, yang
dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban
tersebut. Dalam perspektif ini maka setiap hubungan hukum
yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan
kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang
berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang
lingkup batasan hukum perikatan. Kewajiban orang tua untuk
mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian
perikatan.
jika kita perhatikan dengan seksama rumusan yang
diberikan dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, di mana dinyatakan bahwa "Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untulz tidak berbuat sesuatu", maka dapat kita lihat
bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat
menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan, yang
dikdompokkan menjadi 3 macam, yaitu dalam bentuk
kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu
dan atau uatuk tidak melakukan sesuatu.
A. Defenisi
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang,
selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu
harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya. Demikianlah defenisi yang diberikan oleh
Pasal 1548 B.W. mengenai perjanjian sewa-menyewa.
Sewa-menyewa, seperti halnya dengan jual-beli dan
perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu
perjanjian konsensual. Artinya, ia sudah sah dan mengikat
pada detik tercapainya sepakat mangenai unsur 2 pokoknya,
yaitu barang dan harga.
Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan
barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan
kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga
sewa". Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti
halnya dalam jualbeli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati
kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya
bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang
disewa itu.
Karena kewajiban pihak yang menyewakan adalah
menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya
menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah
pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian maka seorang
yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah
menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut.
Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya
tan-pa kewajiban membayar sesuatu apa, maka yang terjadi
adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang
itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam-pakai
yang terjadi, tetapi sewa-menyewa. Disebutkannya perkataan
"waktu tertentu" dalam uraian pasal 1548 tersebut diatas,
menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, karena
dalam perjanjian sewa-menyewa sebenarnya tidak perlu
disebutkan untuk berapa lama barang disewanya, asal sudah
disetujui berapa harga sewanya untuk satu jarq (misalnya
sewa mobil), satu hari, satu bulan atau satu tahun. Ada yang
menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain dari pada untuk
mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang
memikirkan pada perjanjian sewa-menyewa dimana waktu-
sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua
tahun dan sebagainya. Dan penafsiran yang demikian itu
menurut penda- pat kami memang tepat. Suatu petunjuk
terdapat dalam pasal. 1579, yang hanya .dapat kita mengerti
dalam alam-pikiran yang dianut oleh seorang yang
pikirannya tertuju pada perjanjian sewa-menyewa dimana
waktu-sewa itu ditentukan. Pasal tersebut berbunyi: "Pihak
yang menyewakan Lidak dapat menghentikan sewanya
dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang
disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya".
Teranglah bahwa pasal ini ditujukan dan jugs hanya dapat di-
pakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu
tertentu. Memang sudah selayaknya bahwa seorang yang
sudah menyewakan barangnya misalnya untuk lima tahun,
tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut
belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri
barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan
barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah
barang tentu ia berhak menghentikan sewa itu setiap waktu
asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka-waktu yang
diperlukan untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut
kebiasaan setempat.
Meskipun demikian, peraturan tentang sewa-menyewa
yang termuat dalam bab ketujuh dari Buku III B.W. berlaku
untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis
barang, baik bergerak maupun tak bergerak, baik yang
memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu-
tertentu, oleh karena "waktu tertentu" bukan syarat mutlak
untuk perjanjian sewa-menyewa.
Tentang harga-sewa: Kalau dalam jual-beli harga harus
berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjiannya
bukan jual-beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi
dalam sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa
harga-sewa itu berupa barang atau jasa.
Sebagai telah diterangkan, segala macam .barang dapat
disewakan, Perkataan "carter" yang berasal dari dunia
perkapalan .itujukan kepada pemborongan pemakaian sebuah
kendaraan atau alas pengangkut (kapal laut, kapal terbang,
mobil dan lain-lain) untuk suatu waktu tertentu atau untuk
suatu perjalanan tertentu, dengan pengemudinya yang akan
tunduk pada perintah-perintah yang diberikan oleh si
pencarter.
C. Kewajiban-kewajiban si Penyewa
F. Mengulang-Sewakan
Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperijinkan oleh
pemilik barang, tidak diperbolehkan mengulang-sewakan
barang yang disewanya, maupun melepaskan sewanya
kepada orang lain. Diadakannya perbedaan antara
"mengulang-sewakan" dan "melepaskan sewanya" kepada
orang lain, mempunyai maksud sebagai berikut : Dalam hal
mengulang-sewakan, si penyewa barang bertindak sendiri
sebagai pihak dalam suatu perjanjian sewa-menyewa kedua
yang diadakan olehnya dengan seorang pihak ketiga, se-
dangkan dalam hal "melepaskan sewanya" ia mengundurkan
diri sebagai penyewa dan menyuruh seorang pihak ketiga
untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa, sehingga
pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang
menyewakan.
Jika si penyewa sampai berbuat apa yang dilarang itu,
maka pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan
perjanjiansewanya dengan disertai pembayaran kerugian,
sedangkan pihak yang menyewakan, setelah dilakukannya
pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang-
sewa dengan orang ketiga tersebut.
Jika yang disewa itu sebuah rumah tempat tinggal yang
didiami sendiri oleh si penyewa, maka dapatlah ia, atas
tanggungjawab sendiri, menyewakan sebagian kepada orang
lain kecuali kalau kekuasaan itu telah dilarang dalam
perjanjian-sewanya (pasal 1559).
Dengan demikian dapat kits simpulkan bahwa
mengulangsewakan dan melepaskan sewanya kepada orang
lain dilarang, kecuali kalau hal-hal itu diperjanjikan, tetapi
kalau menyewakan sebagian dari sebuah rumah tempat
tinggal yang disewa adalah diperbolehkan, kecuali kalau hal
itu telah dilarang dalam perjanjian-sewanya.
9. Pandbeslag
Seorang pemilik rumah yang menyewakan rumalinya,
oleh Undang-undang diberikan hak-utama ("privilege") atas
barangbarang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi
rumah tersebut, guna menjamin pembayaran tunggakan
uang-sewa. Artinya: dalam suatu eksekusi (lelang-sita) atas
barang-barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi
rumah tersebut, si pemilik rumah harus paling dahulu
diberikan sejumlah yang cukup dari pendapatan lelangan
untuk melunasi tunggakan uang-sewa yang menjadi haknya,
sebelum kreditor-kreditor lainnya menerima bagian mereka.
Pemilik rumah dapat minta dilakukannya penyitaan atas
barang-barang perabot rumah tersebut biarpun barang-barang
itu dipindahkan ketempat lain, asal is mengajukan
pormintaannya itu dalam jangka-waktu empatbelas hari sete-
lah barang-barang itu diangkut ketempat tersebut. Bahkan ba-
rang-barang kepunyaan orang lain, asal dipakai sebagai
mebel dirumah sewaan itu dapat disita pula (lihat: pasal-pasal
1140 dan 1152).
Penyitaan yang dilakukan oleh pemilik rumah atas
barangbarang perabot rumah itu dinamakan "pandbeslag",
dalam perkataan mana "Pand" berarti "persil" atau
pekarangan (jadi bukan berarti gadai).
BAB IV
PENUTUP