Anda di halaman 1dari 38

SEWA MENYEWA DALAM PERPEKSTIF HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

Globalisasi dalam informasi dan kegiatan perdagangan


dunia telah menyebabkan masuknya nilai-nilai, norma-norma
dan budaya-budaya tertentu dari masyarakat yang saling
berinteraksi. Gejala yang paling umum dan seringkali
dijumpai adalah masuknya berbagai aktivitas atau kegiatan
bisnis yang semula berkembang atau dikembangkan di suatu
negara tertentu ke dalam kegiatan bisnis negara-negara
lainnya. Diadopsinya kegiatan bisnis tersebut, langsung atau
tidak langsung juga akan mempengaruhi tatanan, sistem atau
struktur hukum yang berlaku di negara yang akan
mengadopsi kegiatan bisnis tersebut. Dengan demikian
berarti akan terjadi lagi adaptasi nilai-nilai sosial dan budaya,
ekonomi, dan hukum. Khusus adaptasi hukum, penyesuaian
yang dilakukan tidak akan mengalami banyak kesulitan, jika
kedua negara tersebut memiliki latar belakang sistem hukum
yang sama.
Dengan demikian secara historis, dan melalui hubungan
dan kegiatan antar bangsa yang berkembang menjadi
globalisasi, telah terjadi kemajemukan budaya, yang pada
akhirnya juga membawa kepada kemajemukan hukum.
Kemajemukan ini kadang kala bukan tidak menimbulka.n
masalah, oleh karena masingmasing budaya yang berinteraksi
membawa serta ke dalamnya sistem hukum yang berbeda
satu dengan yang lainnya.
Kemajemukan sistem hukum ini sangat terasa dalam
hukum perdata. Hukum perdata sebagai hukum yan g
mengatur kegiatan atau hubungan antara sesama anggota
masyarakat senantiasa menemukan bentuknya dalam
kehidupan sehari-hari melalui nilainilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat tersebut. Walau demikian
&ngan semakin berkembangnya aktivitas dunia usaha yang
makin mengglobal, dimana diperlukan suatu tatanan sistem
hukum yang memberikan kepastian hukum dan keadilan,
kebutuhan akan hukum yang tertulis makin meningkat.
Bahkan dalam negara-negara penganut sistem hukum
Common Law yang berpijak pada Judge Made Law-pun
dalam banyak hal sudah memperkaya khasanah hukumnya
dengan hukum tertulis, yang diundangkan oleh lembaga
legislatifnya.
Di Hindia Belanda waktu itu ketentuan mengenai
hukum perdatanya, seperti ditentukan dalam Pasal 131 IS,
bernuansa pluralisme, yang dalam pandangan banyak orang
dikatakan bersifat diskriminatif (sebagai akibat pembagian
golongan penduduk). Sebagai suatu negara yang merdeka,
yang memiliki kedaulatan untuk membentuk hukumnya
sendiri, Pemerintah Negara Republik Indonesia, melalui
lembaga legislatif dan eksekutifnya telah membentuk
berbagai macam ketentuan hukum tertulis yang diberlakukan
secara umum kepada seluruh masyarakat Indonesia, tanpa
memperhatikan lagi penggolongan yang pernah diterapkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda sebelum kemerdekaan
Indonesia. Walaupun demikian ternyata nuansa pluralisme,
yang memberlakukan ketentuan hukum yang berbeda untuk
golongan penduduk yang herbeda, sampai sekarang ini masih
terasa. Di samping Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dalam pergaulan hidup sehari-hari masih ditemukan keberla-
kuan hukum adat, di samping hukum Islam, yang diakui
secara formal di Indonesia.
Keadaan masa Hindia Belanda, yang memberlakukan
secara tidak seragam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
bagi seluruh penduduk Hindia Belanda waktu itu, secara
formal memang tidak memungkinkan diberlakukannya Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bagi seluruh rakyat
Indonesia, sehingga setelah Indonesia merdeka, muncul
gagasan untuk hanya memberlakukan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sebagai pedoman dan bukan undang-undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menurut Pasal
131 IS, secara formal diberlakukan bagi golongan Eropa,
melalui pilihan hukum secara tegas dilakukan secara
sukarela, maupun meialui pilihan hukum secara Siam-Siam
dalam bentuk millieu bagi golongan Timur Asing dan orang
Indonesia Ash, ternyata dalam banyak hal memiliki
konsekwensi pmberlakuan dan penundukan hukum yang
berbeda-beda untuk tiap-tiap Buku yang diatur di dalamnya.
Keadaan sosial ekonomi Indonesia telah menunjukkan
pada kita semua bahwa sebagian besar aktivitas dunia usaha
dewasa ini di Indonesia dilakukan oleh pelaku usaha yang
menyandarkan diri pada ketentuan Buku II dan Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini membuat kita
mau tidak mau harus mengakui bahwa beberapa bagian dari
keentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas dunia
usaha, yang bersandar pada Buku II dan Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ternyata sangat relevan bagi
kehidupan dan aktivitas dunia bisnis dewasa ini. Bahkan
boleh dikatakan bahwa konsep mengenai kegiatan dunia
usaha saat ini tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-
ketentuan yang memaksa dan yang masih berlaku. Perlu
dicatat bahwa banyak ketentuan dalam Buku 11 yang sudah
dinyatakan tidak berlaku, khususnya yang berhubungan
dengan hak-hak atas tanah, sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Ini berarti, bahwa dalam konteks dan konstruksi hukum
perdata sendiri, dalam beberapa aspek terjadi pembauran
konsepsi hukum. Pembauran konsepsi hukum ini dalam
banyak hal dituangkan secara tertulis, melalui pembentukan
ketentuan hukum bare, atau penerimaan ketentuan hukum
yang telah berlaku sebelumnya bagi sebagian masyarakat
Hindia Belanda, menjadi bagian hukum tertulis bagi semua
warganegara Indonesia, baik melalui pengakuan legislatif,
tindakan eksekutif maupun putusan yudikatif.
Dengan tidak mengurangi arti pentingnya ketentuan
hukum lain yang berlaku di Indonesia saat ini, Buku ini, yang
merupakan rangkaian Seri Hukum Perikatan yang akan
diterbitkan secara bertahap guna membantu perolehan
pemahaman yang mendalam mengenai perikatan, akan
mengacu terutama pada ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, sebagai ketentuan hukum (tertulis), yang
menurut hemat para penulis banyak sekali dipergunakan dan
dijadikan acuan dalam setiap perkara hukum di Pengadilan,
khususnya perkara yang berkaitan dengan masalah perikatan.
Dengan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai
konsep perikatan, maka kita akan dibawa kepada pengertian
dan pemahaman yang lebih baik mengenai pembentukan
konstruksi hukum dalam aktivitas dunia usaha modern, yang
senantiasa berhubungan dengan hak dan kewajiban.
Buku ini, sebagai Buku Pertama dalam rangkaian Seri
Hukum Perikatan, dengan sub judul "Perikatan Pada
Umumnya", dibagi dalam empat Bab. Bab Pertama
merupakan Bab Pendahuluan dijelaskan Tatar belakang dan
pertimbangan ditulisnya buku ini dalam suatu rangkaian Seri
Hukum Perikatan.
Bab Kedua membahas mengenai pengertian dan konsep
Perikatan, pengertian dan makna kewajiban, prestasi, dan
utang dalam suatu perikatan, hubungan hukum yang lahir
dari suatu perikatan, pihak-pihak dalam perikatan, pengertian
kreditor, debitor dan hubungan hukum antara keduanya.
Selanjutnya dalam Bab Ketiga, uraian dilanjutkan
dengan penjelasan mengenai pembagian perikatan secara
teoritis menurut doktrin yang berkembang. Dalam Bab ini
dibicarakan juga hal-hal yang berhubungan dengan
kewajiban pemenuhan prestasi, pernyataan lalai memenuhi
prestasi, bantuan oleh kreditor, masalah wanprestasi, bentak
wanprestasi, akibat hukum wanprestasi, pembelaan dan
alasan pembenar wanprestasi, Schuld dan Haftung, masalah
ganti rugi, unsur-unsur yang melahirkan ganti rugi, wujud
ganti rugi, penentuan besarnya ganti rugi, kewajiban
pembuktian kerugian, dan hubungan kausalitas dalam
penentuan ada tidaknya kerugian yang akan diganti tersebut,
pengertian force majeure dan masalah peralihan risiko dalam
hal terjadinya force majeure.
Pembahasan berikannya dalam Bab Keempat
membicarakan mengenai pembagian perikatan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Bab ini dibahas
mengenai perikatan bersyarat, perikatan dengan ketetapan
waktu, perikatan boleh pilih atau mana sluka, perikatan
tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng,
perikatan yang tidak dapat dibagi, dan perikatan dengan
ancaman hukuman.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
memberikan rumusan, definisi, maupun anti istilah
"perikatan". Diawali dengan ketentuan Pasal 1233, yang
menyatakan bahwa "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena persetujuan, baik karena undangundang", ditegaskan
bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena
dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan
yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena di-
tentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum
antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidangAapangan
harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu
pihak dalam hubungan, hukum tersebut.
Dari rumusan yang diberikan di alas dapat diketahui
bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di
dalamnya empat unsur, yaitu:
1. bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2. hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih
orang (pihak);
3. hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum
dalam lapangan hukum harta kekayaan;
4. hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada
salah satu pihak dalam perikatan.
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa menurut Pasal
1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hubungan
hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para
pihak, sebagai akibat dari persettijuan yang dicapai oleh para
pihak, dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini
dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja
ataupun tidak, Serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan
dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan
perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang
bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta
kekayaan seseorang kepada ahli warisnya.
Hubungan hukum dalam perikatan ini melibatkan dua
orang atau lebih, yang merupakan para pihak dalam
perikatan. Pihakpihak dalam perikatan tersebut, sekurangnya
terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban pada
satu sisi, (yaitu debitor) dan pihak yang berhak atas
pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain (yaitu kreditor).
Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari
satu pihak Baja, meskipun dalam pihak tersebut terdapat
lebih dari satu orang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari
sifat perikatan itu sendiri yang melahirkan kewajiban pada
pihak yang satu dalam perikatan. Kewajiban pada satu pihak,
meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam sebagian
besar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dapat melahirkan atau menciptakan pihak lain yang berhak
atas pemenuhan kewajiban tersebut.
Dengan menekankan kewajiban yang hams dipenuhi,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
kedudukan yang penting bagi pihak yang berkewajiban
(debitor). Dalam sudut pandang Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, pihak yang berkewajiban harus dapat
ditentukan dan diketahui, oleh karma tidaklah mungkin suatu
perikatan dapat dipenuhi jika tidak diketahui dengan pasti
pihak yang berkewajiban untuk melakukan kewajiban
tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memungkinkan penggantian pihak yang berhak atas
pelaksanaan kewajiban (kreditor) tanpa persetujuan pihak
yang berkewajiban (debitor).
Hubungan hukum yang lahir adalah hubungan hukum di
bidang hukum harta kekayaan. Rumusan tersebut
memberikan arti bahwa dalam setiap perikatan terlibat dua
macam hal. Pertama menunjuk pada keadaan wajib yang
harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kedua
berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut, yang
dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban
tersebut. Dalam perspektif ini maka setiap hubungan hukum
yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan
kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang
berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang
lingkup batasan hukum perikatan. Kewajiban orang tua untuk
mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian
perikatan.
jika kita perhatikan dengan seksama rumusan yang
diberikan dalam Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, di mana dinyatakan bahwa "Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untulz tidak berbuat sesuatu", maka dapat kita lihat
bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat
menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan, yang
dikdompokkan menjadi 3 macam, yaitu dalam bentuk
kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu
dan atau uatuk tidak melakukan sesuatu.

B. Kewajiban dan Prestasi


Seperti telah dikatakan dalam uraian terdahulu, Kitab
UndangUndang Hukum Perdata sangat menekankan sekali
pada pentingnya penentuan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pihak yang berkewajiban. Kewajiban untuk memberikan
sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan
sesuatu tersebut disebut dengan prestasi.
Prestasi untuk melaksanakan kewajiban tersebut di atas
memiliki dua unsur penting. Pertama berhubungan dengan
persoalan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi
tersebut oleh pihak yang berkewajiban (Schuld).
Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah siapa yang
berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa
mempersoalkan apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat
dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban tersebut wajib
dipenuhi (kreditor). Hal kedua berkaitan dengan
pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban dari harta
kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut, tanpa
memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk
memenuhi kewajiban tersebut (Haftung). Pada umumnya
dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang
berhubungan dengan kedua hal tersebut (Schuld dan
Haftung) terletak di pundak salah satu pihak dalam perikatan,
yang pada umumnya disebut "debitor". jadi setiap pihak yang
berkewajiban untuk memenuhi perikatan, juga dapat
dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi
kewajiban yang dibebankan padanya berdasarkan pada
perikatan yang lahir dari hubungan hukum di antara para
pihak dalam perikatan tersebut dari harta kekayaan debitor
tersebut. Misalnya, dalam perjanjian jual beli, pembeli yang
berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga
pembayaran barang yang dibeli, dapat dimintakan
pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi
kewajibannya.
Walau demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa ter-
dapat hubungan hukum, di mana pemenuhan prestasinya
tidak dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban
harus dipenuhi (kreditor) oleh karena tidak ada harta
kekayaannya yang dijaminkan untuk memenuhi perikatannya
tersebut. jadi dalam hal ini dimungkinkan terjadinya
perikatan yang prestasinya ada tetapi tidak dapat dituntut
pelaksanaannya (natuurlijke verbintenis). Atau dengan kata
lain dimungkinkan terbentuknya perikatan yang
menimbulkan Schuld tetapi tanpa Haftung. Contoh yang
seringkali dikemukakan adalah prestasi yang lahir dari suatu
perjudian. Pihak yang, karena perjudian berkewajiban untuk
melaksanakan prestasi, memiliki kewajiban untuk memenuhi
prestasinya tersebut, walau demikian, pihak terhadap siapa
prestasi harus dilakukan tidak dapat menuntut pemenuhan
prestasi oleh debitor yang berkewajiban.
Pada pihak lain, juga dapat terjadi bahwa suatu prestasi
dipenuhi oleh suatu pihak tertentu, yang tidak berkewajiban
untuk memenuhinya. Dalam konstniksi pemberian jaminan
kebendaan oleh pihak ketiga, pihak ketiga yang memberikan
jaminan kebendaan tidak pernah berkewajiban untuk
memenuhi prestasi debitor utama dalam bentuk pelunasan
utangnya. Walaupun demikian, pihak terhadap siapa prestasi
wajib dipenuhi oleh debitor utama, berhak untuk menjual
kebendaan yang dijaminkan tersebut dan untuk selanjutnya
memperoleh pelunasan atas kewajiban atau prestasi debitor
utama. Dalam hal ini terdapat Haftung atas kebendaan yang
dijaminkan, tetapi tidak ada Schuld pada pihak pemberi
jaminan kebendaan.
Dengan demikian berarti kewajiban atau prestasi yang
dilaksanakan atau dipenuhi haruslah sesuatu yang telah
tertentu. Dengan ditentukannya kewajiban atau prestasi yang
harus dipenuhi, maka pihak terhadap siapa kewajiban atau
prestasi tersebut dipenuhi (kreditor) dapat menilai apakah
kewajiban atau prestasi yang lahir dari perikatan tersebut
sudah terpenuhi atau belum. jika prestasi yang telah
ditentukan tersebut tidak dipenuhi seluruhnya, maka hal
tersebut memberikan hak kepada pihak, terhadap siapa
kewajiban atau prestasi harus dipenuhi (kreditor), untuk
menuntut penggantian berupa biaya, kerugian dan bunga. Ini
berarti suatu prestasi yang telah ditentukan adalah suatu hal
yang mutlak ada dalam suatu perikatan.
Seperti telah disinggung di muka, bahwa perikatan dapat
lahir dari perjaniian dan undang-undang. Bagi perikatan yang
lahir dari perjanjian, kewajiban atau prestasi yang disepakati
oleh para pihak yang membuat perjanjian jelas adalah sesuatu
yang dikehendaki oleh para pihak, sehingga dapat dikatakan
bahwa dalam perikatan jenis ini, kewajiban atau prestasi
yang lahir dari perikatan ini adalah prestasi yang seyogianya
dapat dilaksanakan. Walaupun demikian tidak tertutup
kemungkinan bahwa adakalanya, dengan berjalannya waktu,
kemampuan pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya tersebut (debitor) menjadi mundur sedemikian
rupa, sehingga pada akhirnya perikatan tersebut tidak dapat
dilaksanakan.
Sehubungan dengan kemampuan untuk melaksanakan
prestasi tersebut, dikenal adanya dua macam kemampuan,
yaitu:
1. kemampuan obyektif; dan
2. kemampuan subyektif.
Yang dimaksud dengan kemampuan obyektif adalah
kemampuan untuk melaksanakan kewajiban atau prestasi
tanpa memperhatikan pihak yang melaksanakan kewajiban
atau prestasi tersebut. Kemampuan obyektif ini dibedakan
dari kemampuan subyektif, yang melekat pada diri individu
yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi
tertentu (debitor). Suatu perikatan untuk melaksanakan
sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh manusia,
sebagai pihak dalam perikatan, adalah batal. Tetapi perikatan
yang tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai pihak yang berkewajiban dalam
perikatan (debitor) tidaklah membatalkan perikatan tersebut,
melainkan (kreditor) mendapatkan penggantian dalam,
bentuk biaya, rugi dan bunga dari pihak yang tidak mampu
melaksanakannya (debitor).
Ditinjau dari sifat prestasi yang harus dilakukan, secara
teoritis dikenal dua macam prestasi, yaitu prestasi yang
hanya dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitor sendiri,
dari prestasi yang pemenuhannya dapat dilakukan tanpa
kehadiran debitor atau prestasi yang tidak perlu dilaksanakan
sendiri oleh debitor sendiri. Prestasi yang pertama bersifat
spesifik, dan pada umumnya merupakan kewajiban atau
prestasi yang lahir dari perikatan untuk melakukan sesuatu,
yang keberadaan dan pelaksanaannya semata-mata
digantungkan pada keahlian diri pribadi debitor. Misalnya
perikatan yang lahir dari kesepakatan untuk menciptakan
lagu, membuat lukisan atau basil karya tertentu, yang semata-
mata dibuat karena keahlian dari subyek hukum yang
merupakan debitor dalam perikatan tersebut.
Sedangkan jenis prestasi kedua, meskipun
keberadaannya bergantung pada keberadaan debitor tertentu,
namun demikian pelaksanaannya dapat dilakukan tanpa
kehadiran atau tanpa bantuan debitor sendiri. Dalam
perikatan untuk memberikan sesuatu, misalnya dalam
perikatan jual beli, kewajiban pembayaran oleh pembeli tidak
hams dilakukan sendiri oleh pembeli, melainkan dapat
dilakukan oleh pihak lain untuk kepentingan dan atas nama
pembeli. Pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak lain
tersebut demi hukum menghapuskan kewajiban pembeli
untuk melakukan pembayaran (kembali) kepada penjual.
Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan sesuatu,
secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1241 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa "Apabila perikatan
itu tidak dilaksanakannya, kreditor boleh juga dikuasakan
supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya
atas biaya debitor".

Perlu dicatat dan diperhatikan bahwa meskipun prestasi


tersebut tidak dilakukan sendiri oleh pihak yang
berkewajiban (debitor), dan bahwa pelaksanaannya oleh
pihak ketiga menghapuskan demi hukum kewajiban atau
prestasi yang wajib dilaksanakan oleh pihak yang
berkewajiban tersebut, maka pelaksanaan oleh pihak ketiga
atau kreditor tersebut harus dilakukan untuk kepentingan dan
atau atas nama debitor, dengan tidak menutup kemungkinan
lahirnya hubungan hukum baru antara pihak ketiga dengan
debitor yang tidak melaksanakan sendiri kewajibannya
tersebut.
BAB III
SEWA – MENYEWA

A. Defenisi
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang,
selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu
harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya. Demikianlah defenisi yang diberikan oleh
Pasal 1548 B.W. mengenai perjanjian sewa-menyewa.
Sewa-menyewa, seperti halnya dengan jual-beli dan
perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu
perjanjian konsensual. Artinya, ia sudah sah dan mengikat
pada detik tercapainya sepakat mangenai unsur 2 pokoknya,
yaitu barang dan harga.
Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan
barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan
kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga
sewa". Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti
halnya dalam jualbeli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati
kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya
bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang
disewa itu.
Karena kewajiban pihak yang menyewakan adalah
menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya
menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah
pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian maka seorang
yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah
menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut.
Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya
tan-pa kewajiban membayar sesuatu apa, maka yang terjadi
adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang
itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam-pakai
yang terjadi, tetapi sewa-menyewa. Disebutkannya perkataan
"waktu tertentu" dalam uraian pasal 1548 tersebut diatas,
menimbulkan pertanyaan apakah maksudnya itu, karena
dalam perjanjian sewa-menyewa sebenarnya tidak perlu
disebutkan untuk berapa lama barang disewanya, asal sudah
disetujui berapa harga sewanya untuk satu jarq (misalnya
sewa mobil), satu hari, satu bulan atau satu tahun. Ada yang
menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain dari pada untuk
mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang
memikirkan pada perjanjian sewa-menyewa dimana waktu-
sewa ditentukan, misalnya untuk enam bulan, untuk dua
tahun dan sebagainya. Dan penafsiran yang demikian itu
menurut penda- pat kami memang tepat. Suatu petunjuk
terdapat dalam pasal. 1579, yang hanya .dapat kita mengerti
dalam alam-pikiran yang dianut oleh seorang yang
pikirannya tertuju pada perjanjian sewa-menyewa dimana
waktu-sewa itu ditentukan. Pasal tersebut berbunyi: "Pihak
yang menyewakan Lidak dapat menghentikan sewanya
dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang
disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya".
Teranglah bahwa pasal ini ditujukan dan jugs hanya dapat di-
pakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu
tertentu. Memang sudah selayaknya bahwa seorang yang
sudah menyewakan barangnya misalnya untuk lima tahun,
tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut
belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri
barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan
barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah
barang tentu ia berhak menghentikan sewa itu setiap waktu
asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka-waktu yang
diperlukan untuk pemberitahuan pengakhiran sewa menurut
kebiasaan setempat.
Meskipun demikian, peraturan tentang sewa-menyewa
yang termuat dalam bab ketujuh dari Buku III B.W. berlaku
untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis
barang, baik bergerak maupun tak bergerak, baik yang
memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu-
tertentu, oleh karena "waktu tertentu" bukan syarat mutlak
untuk perjanjian sewa-menyewa.
Tentang harga-sewa: Kalau dalam jual-beli harga harus
berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjiannya
bukan jual-beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi
dalam sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa
harga-sewa itu berupa barang atau jasa.
Sebagai telah diterangkan, segala macam .barang dapat
disewakan, Perkataan "carter" yang berasal dari dunia
perkapalan .itujukan kepada pemborongan pemakaian sebuah
kendaraan atau alas pengangkut (kapal laut, kapal terbang,
mobil dan lain-lain) untuk suatu waktu tertentu atau untuk
suatu perjalanan tertentu, dengan pengemudinya yang akan
tunduk pada perintah-perintah yang diberikan oleh si
pencarter.

B. Kewajiban-kewajiban Pihak yang Menyewakan


Pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban :
1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;
2. memelihara barang yang disewakan sedemikian hingga itu
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3. memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari
barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
Selanjutnya ia diwajibkan, selama waktu-sewa,
menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada
barangnya yang disewakan yang perlu dilakukan, terkecuali
pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi wajibnya si
penyewa. Juga ia harus menanggung si penyewa terhadap
semua cacad dari barang yangdisewakan yang merintangi
pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu
sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian
sewa-menyewa, jika cacad-cacad itu telah mengakibatkan
sesuatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya pihak
yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti-rugi (pasal-
pasal 1551 dan 1552).
Kewajiban memberikan kenikmatan tenteram kepada si
penyewa dimaksudkan sebagai kewajiban pihak yang
menyewakan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-
tuntutan hukum dari pihak ketiga, yang misalnya membantah
hak si penyewa untuk memakai barang yang disewanya.
Kewajiban terse-but tidak meliputi pengamanan terhadap
gangguan-gangguan physik, misalnya orang-orang
melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang
sampah dipekarangan rumah yang disewa, dan lain
sebagainya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1556 yang
berbunyi : "Pihak yang menyewakan. tidaklah diwajibkan
menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam
kenikmatannya yang dilakukan oleh orang-orang pihak
ketiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa memajukan sesuatu
hak atas barang yang disewa dengan tidak mengurangi hak si
penyewa untuk menuntut sendiri orang itu". Gangguan-
gangguan dengan "peristiwa-peristiwa" itu harus
ditanggulangi sendiri oleh si penyewa.

C. Kewajiban-kewajiban si Penyewa

Bagi si penyewa ada due kewajiban utama, ialah :


1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang "bapak ru-
mah yang baik", sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada
barang itu menurut perjanjian-sewanya;
2. Membayar harga-sewa pada waktu-waktu yang telah di-
tentukan menurut perjanjian.
Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai
seorang "bapak rumah yang balk" berarti kewajiban untuk
memakainya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri.
Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk
suatu keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan
pemakaiannya, atau suatu keperluan sedemikian rupa hingga
dapat men6rbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan,
maka pihak ini, menurut keadaan,dapat meminta pembatalan
sewanya (pasal 1561). Misalnya, sebuah rumah kediaman
dipakai untuk perusahaan atau bengkel mobil.
Kalau yang disewa itu sebuah rumah kediaman, maka si
penyewa diwajibkan memperlengkapi rumah itu dengan
perabot rumah secukupnya; jika tidak, ia dapat dipaksa untuk
mengosongkan rumah itu, kecuali jika is memberikan cukup
jaminan untuk pembayaran uang sewanya (pasal 1581). Dari
ketentuan ini dapat kita lihat bahwa perabot rumah itu
dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa. Hal ini
menemukan realisasinya dalam apa yang dinamakan
"pandbeslag" yang akan kita bicarakan ditempat lain.
Sebagaimana telah kita lihat, si penyewa diwajibkan
melakukan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari.
Pasal 1583 memberikan penjelasan tentang apa yang
dimaksudkan dengan pembetulan-pembetulan kecil dan
sehari-hari itu, sebagai berikut: "jika tidak ada persetujuan,
maka dianggap sebagai demikian: pembetulan-pembetulan
pada lemari-lemari toko, tutupan jendela, kunci-kunci dalam,
kaca-kaca jendela dan segala sesuatu yang dianggap
termasuk itu, menurut kebiasaan setempat".
Selanjutnya bagi seorang penyewa tanah, oleh pasal
1591 diletakkan kewajiban, etas ancaman membayar ganti-
rugi, untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang
segala peristiwa yang dilakukan diatas pekarangan-
pekarangan yang disewa. Maksudnya adalah bahwa si
pemilik dapat mengambil tindakan-tindakan yang
dianggapnya perlu untuk menghentikan perbuatanperbuatan
yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanah miliknya.

D. Perihal Risiko Dalam Sewa-Menyewa


Menurut Pasal 1553, dalam sewn-menyewa itu risiko
mengenai barang yang dipersewakan dipikul oleh si pemilik
barang, yaitu pihak yang menyewakan. Tentang apakah
artinya "risiko" itu sudah kita ketahui dari bagian umum dari
Hukum Peijanjian yang diatur dalam Buku III B.W. den juga
dalam pembahasan kita mengenai perjanjian jual-beli. Untuk
mengulangi lagi : risiko adalah kewajiban untuk memikul
keriigian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi
diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang
menjadi obyek perjanjian.
Peraturan tentang risiko dalam sewa-menyewa itu tidak
begitu jelas diterangkan oleh pasal 1553 tersebut seperti
halnya dengan peraturan tentang risiko dalam jual-beli yang
diberikan oleh Pasal 1460, dimana dengan terang dipakai
perkataan Aanggungan" yang berarti risiko. Peraturan
tentang risiko dalam sewa-menyewa itu harus kita ambil dari
pasal 155: tersebut secara mengambil kesimpulan. Dalam
pasal ini dituliskan bahwa, apabila barang yang disewa itu
musnah karena suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan,
salah satu pihak, make perjanjian sewa-menyewa gugur demi
hukum.Dari perkataan "gugur demi hukum" inilah kita
simpulkan bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat
menuntut sesuatu ape dari pihak-lawannya, hal mane berarti
bahwa kerugian akibat musnahnya barang yang
dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang
menyewakan. Dan ini memang suatu peraturan risiko yang
sudah setepatnya, karena pada asasnya setiap pemilik barang
wajib menanggung segala risiko. etas barang miliknya. Pada
waktu kita membahas perjanjian tukar-menukar, telah Kita
kemukakan bahwa peraturan risiko yang diberikan oleh pasal
1545 dalam perjanjian tukar-menukar itu memang sangat
tepat, sehingga peraturan tersebut sebaiknya dipakai sebagai
pedoman untuk segala macam perjanjian bertimbal-balik
yang timbul dalam praktek. Sebagaimana diketahui, pasal
1545 tersebut meletakkan risiko pada pundak masing-masing
pemilik barang.
Berhubung dengan sangat sukarnya dewasa ini bagi
seorang pemilik rumah atau bangunan untuk mengakhiri
persewaan (yang harus diajukan kepada Kantor Urusan
Perumahan atau K.U.P.), maka dalam praktek pasal 1553
tersebut banyak sekali diajukan sebagai alasan untuk
memutuskan hubungan sewa-menyewa apabila rumah atau
bangunan itu sebagian rusak. Pemilik rumah atau bangunan
itu dalam hal yang demikian terlalu amat tergesa-gesa
mengatakan bahwa rumah atau bangunan itu sudah musnah.
Bahkan pernah ada juga yang mengajukan dalil bahwa
sebuah rumah atau bangunan yang diduduki tentara sudah
dapat dianggap sebagai "musnah" dalam arti bahwa
kenikmatan atas barang-barang tersebut telah hilang untuk
waktu tertentu. Maksud pemilik rumah atau bangunan itu
ialah agar supaya hubungan sewa-menyewa diputuskan oleh
instansi yang berwajib dan apabila tentara yang menduduki
bangunan itu pergi, iadapat menolak penghuni (penyewa)
yang lama untuk memasuki lagi rumah atau bangunan itu.

E. Gangguan dari Pihak Ketiga


Apabila selama waktu-sewa, si penyewa dalam
pemakaian barang yang disewakan, diganggu oleh seorang
pihak ketiga berdasar atas suatu hak yang dikemukakan oleh
orang pihak ketiga itu, maka dapatlah si penyewa menuntut
dari pihak yang menyewakan supaya uang-sewa dikurangi
secara sepadan dengan sifat gangguan itu.
Apabila orang pihak ketiga itu sampai menggugat si
penyewa dimuka Pengadilan, maka si penyewa dapat
menuntut supaya pihak yang menyewakan ditarik sebagai
pihak dalam perkara perdata itu untuk melindungi si
penyewa.
Sudah kita lihat diatas bahwa, apabila gangguan-
gangguan itu berupa perbuatan-perbuatan physik tanpa
mengemukakan sesuatu hak, maka itu adalah diluar
tanggungan si yang menyewakan dan harus ditanggulangi
sendiri oleh si penyewa.
Kemudian juga sudah kita lihat bahwa dalam hal sewa
tanah, gangguan-gangguan dari pihak ketiga yang berupa
peristiwa peristiwa tanpa mengajukan sesuatu hak harus
dilaporkan kepada pemilik agar orang ini dapat mengambil
tindakan-tindakan untuk menghentikan perbuatan-perbuatan
itu yang mungkin akan menimbulkan kerusakan-kerusakan
(pasal 1591).

F. Mengulang-Sewakan
Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperijinkan oleh
pemilik barang, tidak diperbolehkan mengulang-sewakan
barang yang disewanya, maupun melepaskan sewanya
kepada orang lain. Diadakannya perbedaan antara
"mengulang-sewakan" dan "melepaskan sewanya" kepada
orang lain, mempunyai maksud sebagai berikut : Dalam hal
mengulang-sewakan, si penyewa barang bertindak sendiri
sebagai pihak dalam suatu perjanjian sewa-menyewa kedua
yang diadakan olehnya dengan seorang pihak ketiga, se-
dangkan dalam hal "melepaskan sewanya" ia mengundurkan
diri sebagai penyewa dan menyuruh seorang pihak ketiga
untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa, sehingga
pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang
menyewakan.
Jika si penyewa sampai berbuat apa yang dilarang itu,
maka pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan
perjanjiansewanya dengan disertai pembayaran kerugian,
sedangkan pihak yang menyewakan, setelah dilakukannya
pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang-
sewa dengan orang ketiga tersebut.
Jika yang disewa itu sebuah rumah tempat tinggal yang
didiami sendiri oleh si penyewa, maka dapatlah ia, atas
tanggungjawab sendiri, menyewakan sebagian kepada orang
lain kecuali kalau kekuasaan itu telah dilarang dalam
perjanjian-sewanya (pasal 1559).
Dengan demikian dapat kits simpulkan bahwa
mengulangsewakan dan melepaskan sewanya kepada orang
lain dilarang, kecuali kalau hal-hal itu diperjanjikan, tetapi
kalau menyewakan sebagian dari sebuah rumah tempat
tinggal yang disewa adalah diperbolehkan, kecuali kalau hal
itu telah dilarang dalam perjanjian-sewanya.

G. Sewa Tertulis dan Sewa Lisan


Meskipun sewa-menyewa adalah suatu perjanjian
konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan
(dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan.
Jika sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka
sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang
ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu
pemberitahuan pemberhentian untuk itu.
Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan
tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkar jika pihak yang menyewakan
memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus
dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada
pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu
diperpanjang untuk waktu yang sama. Perihal sewa tertulis
itu diatur dalam pasal 1570 dan perihal sewa yang tidak
tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571.
Jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan,
setelah berakhirnya waktu-sewa'yang ditentukan dalam suatu
perjanjian anpan sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah
atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap
menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat
yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan
setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau
ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya
dilakukan pemberitahuan penghentian sewanya menurut
kebiasaan setempat (pasal 1587).
Dengan uraian yang panjang lebar itu dimaksudkan
bahwa sewa tertulis tersebut, setelah habis waktunya dan
penyewa di biarkan menempati rumah-sewa, berobah
menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat
diakhiri menurut adat kebiasaan setempat,

H. Jual-Beli Tibak Memutuskan Sewa-Menyewa


Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan
yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila
ia telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barangnya
(pasal 1576). Dengan ketentuan ini Undang-undang
bermaksud melindungi si penyewa terhadap si pemilik baru,
apabila barang yang sedang disewa itu dipindahkan kelain
Langan. Dengan mengingat akan maksud undang-undang
tersebut, perkataan "dijual" dalam Pasal 1576 itu sudah lajim
ditafsirkan secara analogis (luas) hingga tidak terbatas pada
jual-beli saja, tetapi juga meliputi lain-lain perpindahan
milik, seperti: tukar-menukar, penghibahan, perwarisan dan
lain-lain. Pendeknya, perkataan "dijual" dalam pasal 1576 au
ditafsirkan sangat luas hingga menjadi "dipindahkan
miliknya".
Sebaliknya, perkataan "sewa" atau "persewaan" dalam
pasal tersebut sudah lajim ditafsirkan secara sempit atau
terbatas, yaitu dalam arti: bahwa yang tidak diputuskan oleh
jual-beli atau yang harus dihormati oleh pemilik baru itu
hanya hak-sewa saja. Sebab adalah mungkin bahwa didalam
perjanjian sewanya telah dicantumkan janji-janji khusus
untuk kepentingan si penyewa (disamping hak-sewanya)
misalnya: kepada si penyewa dijanjikan bahwa setelah
persewaannya berlangsung sepuluh tahun lamanya, ia
diperkenankan membeli barang yang disewanya itu dengan
harga yang murah yang ditentukan dalam perjanjian. Janji
semacam itu, yang meinberikan kepada si penyewa suatu
"hak opsi", tidak berlaku terhadap pemilik baru. Begitu pula
apabila perjanjian-sewanya disertai dengan suatu perjanjian
penanggungan ("borgtocht", "guaranty"), dimana seorang
pihak ketiga menanggung pembayaran uang-sewanya
terhadap pemilik, maka perjanjian penanggungan ini
dianggap hapus apabila barang yang disewa itu dijual kepada
orang lain. Pendapat ini adalah tepat karena si penarggung
("borg", "guarantor") telah menyanggupi penanggungannya
kepada pemilik lama dan tidak kepada orang lain.
Demikianlah artinya bahwa perkataan "sewa" dalam pasal
1576 ditafsirkan secara sempit atau terbatas.

9. Pandbeslag
Seorang pemilik rumah yang menyewakan rumalinya,
oleh Undang-undang diberikan hak-utama ("privilege") atas
barangbarang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi
rumah tersebut, guna menjamin pembayaran tunggakan
uang-sewa. Artinya: dalam suatu eksekusi (lelang-sita) atas
barang-barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi
rumah tersebut, si pemilik rumah harus paling dahulu
diberikan sejumlah yang cukup dari pendapatan lelangan
untuk melunasi tunggakan uang-sewa yang menjadi haknya,
sebelum kreditor-kreditor lainnya menerima bagian mereka.
Pemilik rumah dapat minta dilakukannya penyitaan atas
barang-barang perabot rumah tersebut biarpun barang-barang
itu dipindahkan ketempat lain, asal is mengajukan
pormintaannya itu dalam jangka-waktu empatbelas hari sete-
lah barang-barang itu diangkut ketempat tersebut. Bahkan ba-
rang-barang kepunyaan orang lain, asal dipakai sebagai
mebel dirumah sewaan itu dapat disita pula (lihat: pasal-pasal
1140 dan 1152).
Penyitaan yang dilakukan oleh pemilik rumah atas
barangbarang perabot rumah itu dinamakan "pandbeslag",
dalam perkataan mana "Pand" berarti "persil" atau
pekarangan (jadi bukan berarti gadai).
BAB IV
PENUTUP

Defenisi sewa–menyewa terdapat pada Pasal 1548 BW.


Sewa–menyewa suatu hal dengan jual beli dan perjanjian-
perjanjian lain pada umunya, adalah suatu perjanjian
konsensual, artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat mengenai 2 unsur pihak yaitu barang-
barang jasa.
Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan
barangnya untuk ditawari oleh pihak lain, sedangkan
kewajiban pihak yang terakhir ini, adalah membayar “harga
sewa”. Jadi barang diserahkan tidak untuk dimulai seperti
halnya dengan jual–beli tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati
kegunaanya, dengan demikian maka penyerahan hanya
bersifat menyerahkan kecurangan belaka atas barang yang
disewa itu.
Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya
tanpa kewajiban membayar sesuatu apa, maka terjadi adalah
suatu perjanjian pinjam pakai. Jika sipemakai barang itu
diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang
terjadi tetapi sewa menyewa.

Anda mungkin juga menyukai

  • Hukum Kontrak
    Hukum Kontrak
    Dokumen8 halaman
    Hukum Kontrak
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Sewamenyewa
    Sewamenyewa
    Dokumen7 halaman
    Sewamenyewa
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Lanjutan
    Bab 3 Lanjutan
    Dokumen10 halaman
    Bab 3 Lanjutan
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Contoh Lamaran Kerja Umum
    Contoh Lamaran Kerja Umum
    Dokumen2 halaman
    Contoh Lamaran Kerja Umum
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • KONTRAK NOMINAAT
    KONTRAK NOMINAAT
    Dokumen6 halaman
    KONTRAK NOMINAAT
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Lanjutan
    BAB IV Lanjutan
    Dokumen52 halaman
    BAB IV Lanjutan
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Dak Waan
    Dak Waan
    Dokumen2 halaman
    Dak Waan
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Bab II Print
    Bab II Print
    Dokumen26 halaman
    Bab II Print
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Bab IV
    Bab IV
    Dokumen1 halaman
    Bab IV
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Bronkitis Kronis
    Bronkitis Kronis
    Dokumen2 halaman
    Bronkitis Kronis
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Print 1
    Print 1
    Dokumen1 halaman
    Print 1
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Lanjutan
    Bab 3 Lanjutan
    Dokumen10 halaman
    Bab 3 Lanjutan
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Undang
    Undang
    Dokumen7 halaman
    Undang
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Bab I Lanjutan
    Bab I Lanjutan
    Dokumen7 halaman
    Bab I Lanjutan
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Rumusan Masala1
    Rumusan Masala1
    Dokumen1 halaman
    Rumusan Masala1
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isian Analisis Jabatan
    Daftar Isian Analisis Jabatan
    Dokumen11 halaman
    Daftar Isian Analisis Jabatan
    Devin Hulu
    Belum ada peringkat
  • Contoh Surat Jawaban Rekonpensi Contohpedi.c0m
    Contoh Surat Jawaban Rekonpensi Contohpedi.c0m
    Dokumen3 halaman
    Contoh Surat Jawaban Rekonpensi Contohpedi.c0m
    Lika Liyakil Hasanah
    100% (2)
  • 20 Februari 2014
    20 Februari 2014
    Dokumen1 halaman
    20 Februari 2014
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Honorarium 01
    Honorarium 01
    Dokumen1 halaman
    Honorarium 01
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Non Pns
    Non Pns
    Dokumen1 halaman
    Non Pns
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • 1las Listrik
    1las Listrik
    Dokumen1 halaman
    1las Listrik
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Daftar Hadir Rapat Batik
    Daftar Hadir Rapat Batik
    Dokumen1 halaman
    Daftar Hadir Rapat Batik
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • 3 Elektro
    3 Elektro
    Dokumen1 halaman
    3 Elektro
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Agenda Surat
    Agenda Surat
    Dokumen2 halaman
    Agenda Surat
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Agenda Surat
    Agenda Surat
    Dokumen2 halaman
    Agenda Surat
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Kwitansi Ipk
    Kwitansi Ipk
    Dokumen5 halaman
    Kwitansi Ipk
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Formulir PK 2
    Formulir PK 2
    Dokumen6 halaman
    Formulir PK 2
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • CONTOH Proposal Pelatihan 2013
    CONTOH Proposal Pelatihan 2013
    Dokumen5 halaman
    CONTOH Proposal Pelatihan 2013
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat
  • Daftar Hadir Rapat Batik
    Daftar Hadir Rapat Batik
    Dokumen1 halaman
    Daftar Hadir Rapat Batik
    Lika Liyakil Hasanah
    Belum ada peringkat