Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Dosen:

Dr. Refdanita, M.Si., Apt.


Annisa Farida Muti, M.Sc., Apt.
Putu Rika Veryanti, M.Farm-Klin.Apt.
Ainun Wulandari, M.Sc., Apt.
Sister Sianturi, M.Si.

Disusun oleh:
Asih Purwati
Eka Sutriya Ningsih (16334045)
Desi Nelsari Napitupulu (16334046 )
Fikriyyah Fatinnadiyah (16334042)
Oktari dwikasari (16334048)
Rizki windyastuti
KELAS L
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya lah laporan praktikum farmakologi ini dapat terselesaikan.
Melalui laporan praktikum farmakologi ini kita dapat mengetahui tentang : cara-cara
pemberian obat, variasi biologik, variasi kelamin, dosis obat dan respon, hipnotik-sedativ pada
hewan percobaan mencit dan tikus.
Laporan praktikum farmakologi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hewan
percobaan yang dipakai dan dapat menangani hewan percobaan dengan baik, mengetahui cara-
cara-cara pemberian obat pada hewan percobaan, serta efek farmakologi pada hewan percobaan.
Kami sadar bahwa laporan ini belum mencapai kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat di perlukan guna perbaikan tugas-tugas berikutnya. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat sekian dan terima kasih.

Jakarta, 2018

Penulis,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

CARA-CARA PEMBERIAN OBAT

PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT

VARIASI KELAMIN

DOSIS OBAT DAN RESPON

HIPNOTIK-SEDATIF

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Judul Percobaan


Cara-Cara Pemberian Obat

I.2 Latar Belakang

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang
digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan
suatu kondisi tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka
selama pembedahan.

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau
paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia.Mayoritas obat bekerja secara spesifik
terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh.

Hewan yang digunakan diantaranya adalah mencit, tikus, kelinci, marmot. karakteristik
utama mencit : hewan mencit di laboraturium mudah ditangani ia bersifat penakut, fotofobia,
cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih
aktif dimalam hari dari pada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat aktivitas
mencit. Suhu normal 37,4oC. Laju respirasi normal 163 kali tiap menit.

4
Karakteristik utama tikus : tikus relatif resisten terhadap infeksi dan cerdas. Tikus putih
pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat fotofobik dibandingkan
dengan mencit,dan kecenderungan untuk berkumpul sesamanya, ukuran tidak begitu besar.
Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan adanya manusia disekitanya. Suhu tubuh normal :
37,5-38,00C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar (atau apabila ia
mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering menyerang si pemegang.

Karakteristik utama kelinci : kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri
luar biasa ia bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa
keamanannya terganggu. Suhu rektal kelinci sehat adalah antara 38,5-400C, pada umunyan
39,50C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan
lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 permenit, pada umumnya 50
(pada kelinci muda, laju ini dipercepat, dan pada kelinci bayi bisa mencapai 100 permenit).

Karakteristik utama marmot : marmot agak jinak tidak menimbulkan kesukaran pada
waktu dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas: kulitnya
halus dan berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat
tapi tidak kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada caran keluar dari hidung ataupun telinga,
juga tidak meneteskan air luar atau diare. Pernafasannya teratur dan tidak bersembunyi.
Sikapnya dan cata berjalannya normal. Dalam satu species, variasi bobot badan dan ukuran
badan antara sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies, variasi bobot badan dan
ukuran badan antara tiap marmot yang berumur sama, tidak besar. Laju denyut jantung
marmot normal adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-115 per menit, dan suhu rektal
antara 39-400C.

5
Macam- Macam Rute Pemberian Obat
1. Rute Oral (melalui mulut)
Obat- obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok dapat
relative mudah diproduksi dengan disamping itu kebanyakan pasien lebih menyukai
pemakaian ini, akan tetapi pemakaina obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar
diabsorbsi melaui saluran cerna atau iritasi mukosa lambung. Cara pemakaian obat
merupakam cara obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah.
Kerugiannya ialah banyak factor yang mempengaruhui biovaibilitasnya, obat dapat
mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila
pasien koma.
2. Rute Subkutan (SK) (dibawah kulit)
Bagian kulit yang baik untuk cara pemberian ini adalah kulit disisi sebelah punggung
atau tengkuk.Hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi
jaringan.Absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.Obat
dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Obat dalam
bentuk padat yang ditanamkan di dalam kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau
beberapa bulan.
3. Rute Intravena (kedalam pembuluh darah balik atau vena)
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor dengan menggunakan jarum suntik number
27.Tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat,
tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang
iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relative tidak
sensitive dan bila disuntikan perlahan-lahan obat segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya
ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan
jaringan. Di samping itu obat yang disuntikkan IV tidak dapt ditarik kembali.
4. Rute Intraperitoneal (kedalam rongga perut)
Penyuntikan dilakukan pada bagian perut sebelah kanan.Penyuntikan ini tidak dilakukan
pada manusia karena bahaya infeksi dan adisi terlalu besar.

6
5. Rute Intamuskular (IM)
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang
sukar larut dalam air pada pH fisiologik, misalnya : digoksin, fenitoin dan diazepam, akan
mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan
tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat tergantung dari aliran darah di
tempat suntikan.

I.3 Tujuan Percobaan


a. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat.
b. Menyadari pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang timbul.
c. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat rute pemberian obat terhadap
efek yang ditimbulkan.
d. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Banyak obat, banyak juga cara pemberiannya kepada pasien. Sediaan per-oral sering kita
temukan dalam perkembangan pemberian obat. Namun, banyak Cara Pemberian & Minum Obat
ke pasien selain per-oral. Mengapa hal ini terjadi? Cara Pemberian Obat Ke Pasien didasarkan
beberapa faktor, diantaranya : Faktor Formulasi. Faktor zat aktif serta stabilitasnya menjadi
alasan bahwa obat dibuat dalam sediaan yang cocok untuk zat aktif tersebut.

Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya resorpsi
suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau
efek lokal (setempat) dan keadaan pasien serta sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih di
antara berbagai cara untuk memberikan obat.

 Untuk Memberikan Efek Sistemik (Obat disebar ke seluruh tubuh)


1. Oral :
Yaitu pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya, lazim dan praktis, tidak
semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya : Obat yang bersifat merangsang (emetin,
aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin),
dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya, dapat juga untuk
mencapai efek lokal misalnya : obat cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung – usus,
baik sekali untuk mengobati infeksi usus. Bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat hisap,
Sirup dan Tetesan.
2. Injeksi

Yaitu pemberiannya dengan jalan suntikkan, efek yang diperoleh cepat, kuat dan lengkap,
keberatannya lebih banyak dari pasien, alat suntik harus steril dan dapat merusak pembuluh
darah atau syaraf jika tempat penyuntikkannya tidak tepat. Terutama untuk obat yang
merangsang atau dirusak oleh getah lambung atau tidak tidak diresorpsi oleh dinding usus.

8
Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan :

A. Mencit
 Oral :
Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral, sonde oral ditempelkan pada langit –
langit
mulut atas mencit kemudian masukkan perlahan-lahan sampai ke esophagus dan cairan obat
dimasukkan.
 Subkutan :
Kulit di daerah tengkuk di angkat dan di bagian bawah kulit dimasukkan obat dengan menggunakan alat
suntik 1 ml.
 Intra vena :
Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit dengan bagian ekor menjulur keluar.
Bagian ekor dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh venaekor mengalami dilatasi lalu pemberian
obat ke dalam pembuluh vena menjadimudah. Pemberian obat dilakukan dengan jarum suntik
no.24.
 Intra peritoneal :
Mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.1, pada penyuntikkan posisikepala lebih
rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10 dariabdomen pada
daerah yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung
kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikkan pada hati.
 Intramuskular (im)
 Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau dimana tidak
banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat atau lengan atas.

B. Tikus
Pemberian secara oral, intra muscular dan intra peritoneal dilakukan dengancara sama pada mencit. Secara
sub kutan dilakukan penyuntikkan di bawah kulittengkuk atau kulit abdomen dan pemberian secara intra
vena dilakukan pada vena penis ketimbang vena ekor.

9
Pengaruh Variasi Biologis Hewan Percobaan

Variasi biologis berarti tidak ada dua akan memberikan atau lebih sediaan uji yang
diharapkan akan memberikan hasil yang identic dan sediaan yang sama pada saat yang sama
diharapkan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Ada 4 hal dilihat dalam menentukan hewan coba :


1. Umur
Bayi atau hewan yang baru lahir memiliki respon yang berbeda dengan hewan yang telah
dewasa. Disebabkan oleh pendewasaan organisme. Misalkan tikus, hamster, dan mencit. Hewan
tersebut terlahir dengan sawar otak yang secara fungsional tidak matang dan kadar amino tak
lebih rendah dari hewan dewasannya. Indikasi lain untuk membedakan hewan yang lebih muda
dan lebih tua dengan memberikan reseprin pada bayi tikus dan terjadi penggosongan
katekolamin otak, hal tersebut disebabkan oleh dosis resperin jauh lebih intensif pada hewan
muda dibandingkan dengan hewan yang lebih tua.
2. Spesies
Pemilihan spesies akan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan penelitian. Percobaan
dilakukan ada yang menggunakan spesies yang relative kecil dan ada juga spesies yang
karasteristik yang unit yang memberikan keuntungan bagi peneliti obat spesifik. Sebagai contoh
monyet memiliki system respirasi dan thoraks yang sama dengan manusia. Setiap hewan berbeda
–beda responnya, disebabkan oleh injeksi SC. Sebagai contoh respon obat pada kelinci dan tikus.
Pada kelinci darahnya yang membuat relative resistensi terhadap blockade atropine sedangkan
pada tikus terjadi reflex muntah.
3. Strain
Strain hewan yang memiliki aplikasi spesifik di dalam penelitian analog penyakit manusia,
termaksuk mencit yang gemuk secara genetis yang kurang peka terhadap ambilan diafragmatik
dan jaringan adipose terhadap glukosa radioaktif selama pembentukan glikogen. Aktivitas strain
mencit secara konsisten lebih rendah dari pada mencit jantan dansetiap strain yang diwariskan.

10
Strain tikus dapat diketahui dengan perbedaan konsentrasi sel darah putih yang beredar di dalam
darahnya.

4. JenisKelamin
Penelitian untuk menentukan perbedaan aktivitas biologis antara hewan jantan dan betina.
Betina memiliki siklus yang berhubungan dengan ovulasi misalnya siklus estrus begitu pula
dengan sebaliknya. Sebagai contoh pada tikus dianastesi dengan disuntikkan oksitosin. Selama
fase diestrus dan anestrus bersifat vasodilator. Namaun pada fase estrusoksitosin menyebabkan
vasokontrikisi dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pada tikus jantang diketahui memiliki
aktivitas enzim yang lebih besar, seperti enzim aminopirin N-demitilasi dan disaat berumur 7
minggu mengalami ulkus lambung yang diinduksi oleh respire lebih nyata dibandingkan dengan
tikus betina pada umur yang sama.

11
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

HEWAN BERAT
PERCOBAAN
mencit ke-1 31 g
Mencit ke-2 22 g
mencit ke-3 29 g
mencit ke-4 25 g
mencit ke-5 27 g

Factor konversi

Manusia mencit : BB g =

Perhitungan

Perhitungan Dosis

Faktor Konversi manusia …..g ke mencit ……mg adalah …………..

1. mencit 1 – Oral
Dosis Diazepam pada manusia : ………. mg
BB mencit-1 = 31 g
31 𝑔
Dosis konversi mencit = 20 𝑔 x 5mg x 0,0026
= 0,02

Kadar diazepam dalam sediaan : 5 mg/ml


0,02
Volume yang disuntikkan = 5 𝑚𝑔 x 1 ml
= 0,004 ml

Pengenceran :
0,004 x 20 = 0,08 ml

12
2. mencit 2 – intra muscular
Dosis Diazepam pada manusia : ………… mg
BB mencit-1 = 22 g
22 𝑔
Dosis konversi mencit = 20 𝑔 x 5mg x 0,0026
= 0,01

Kadar diazepam dalam sediaan : 5 mg/ml


0,01
Volume yang disuntikkan = 5 𝑚𝑔 x 1 ml
= 0,002 ml

Pengenceran :
0,002 x 20 = 0,04 ml

3. mencit 3 – intra peritoneal


Dosis Diazepam pada manusia : ………… mg
BB mencit-1 = 29 g
2𝑔9
Dosis konversi mencit = 20 𝑔 x 5mg x 0,0026
= 0,01

Kadar diazepam dalam sediaan : 5 mg/ml


0,01
Volume yang disuntikkan = 5 𝑚𝑔 x 1 ml
= 0,002 ml

Pengenceran :
0,002 x 20 = 0,04 ml

13
4. mencit 4 – intra muscular
Dosis Diazepam pada manusia : ………… mg
BB mencit-1 = 25 g
25 𝑔
Dosis konversi mencit = 20 𝑔 x 5mg x 0,0026
= 0,01

Kadar diazepam dalam sediaan : 5 mg/ml


0,01
Volume yang disuntikkan = 5 𝑚𝑔 x 1 ml
= 0,002 ml

Pengenceran :
0,002 x 20 = 0,04 ml

5. mencit 5 – intra vena


Dosis Diazepam pada manusia : ………… mg
BB mencit-1 = 27 g
27 𝑔
Dosis konversi mencit = 20 𝑔 x 5mg x 0,0026
= 0,01

Kadar diazepam dalam sediaan : 5 mg/ml


0,01
Volume yang disuntikkan = 5 𝑚𝑔 x 1 ml
= 0,002 ml

Pengenceran :
0,002 x 20 = 0,04 ml

14
1. Rute oral :
Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : diazepam ………….
Hewan percobaan : mencit putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum oral
Dosis ……….. ml

Prosedur :
Mencit dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi
obat, diselipkan dekat langit-langit mencit dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan
diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum
oral tidak melukai esophagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah ………gram
bobot badan ( bb ).

15
2. Rute Intra Muskular ( IM)
Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : diazepam ………
Hewan percobaan : mencit putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 1/2 inchi
Dosis …………

Prosedur :
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain
dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan
menarik kembali piston alat suntik.

3. Rute Intra Peritoneal ( IP )


Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : diazepam ………
Hewan percobaan : mencit putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi
Dosis …………..

16
Prosedur :
Mencit dipegang tengkuknya sedemikian sehingga posisi badan abdomen lebih tinggi dari
kepala. Larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus di sebelah garis
midsagital.

4. Rute subkutan ( SK )
Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : diazepam …………
Hewan percobaan : mencit putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 3/4 – 1 inchi
Dosis ……………

Prosedur :
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum
disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.

5. Rute Intra Vena ( IV )


Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : diazepam ……..
Hewan percobaan : mencit putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi
Dosis ………….

17
Prosedur :
Mencit dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum
disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor dilatasi dengan penghangatan/
pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton/ eter. Bila jarum suntik tidak masuk ke
vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih dan bila
piston alat suntik ditarik, tidak ada darahyang mengalir masuk ke dalamnya. Dalam keadaan
di mana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor.

18
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan :

Hewan Obat Rute Waktu Waktu Waktu Onset Durasi


pemberian hiang kembali kerja kerja
obat righting righting obat obat
(menit) reflex reflex (menit) (menit)
(menit) (menit)
Mencit Diazepam PO 09:41 10:13 11:01 32 48
5mg/KgBB
manusia
Mencit Diazepam SC 09:49 10:02 10:41 13 39
5mg/KgBB
manusia
Mencit Diazepam IV 09:40 09:46 09:55 6 9
5mg/KgBB
manusia
Mencit Diazepam IP 09: 58 10:07 10:22 9 14
5mg/KgBB
manusia
Mencit Diazepam IM 10: 01 10:12 10:33 11 21
5mg/KgBB
manusia

19
mencit 1 – Oral

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas
Sedatif
Hipnotik
Anastesi
Mati
Aktif

Mencit 2 – subkutan

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas
Sedatif
Hipnotik
Anastesi
Mati
Aktif

Mencit 3 – intra vena

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas
Sedatif
Hipnotik
Anastesi
Mati
Aktif

20
Mencit 4 – Intra peritoneal

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas
Sedatif
Hipnotik
Anastesi
Mati
Aktif

Mencit 5 – intra muskular

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan Aktivitas
Sedatif
Hipnotik
Anastesi
Mati
Aktif

21
Pembahasan

Pada cara pemberian obat secara Oral mulai mengamati pada jam ………, terjadinya
efek perubahan aktivitas pada jam ………. dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam
…….., durasi pada efek perubahan aktivitas selama …..menit. Sedangkan terjadinya
perubahan efek sedativ pada jam …….. dan selesai efek sedativ pada jam ………, durasi
pada efek sedativ selama ……. menit dan mencit 1 yang diberikan obat secara Oral
kembali aktif pada jam ……..

Pada cara pemberian obat secara subkutan mulai mengamati pada jam ……….,
terjadinya perubahan aktivitas pada jam …….. dan selesai efek perubahan aktivitas pada
……., durasi pada efek perubahan aktivitas selama …….. menit. Sedangkan terjadinya
perubahan efek sedatif pada jam ………. dan selesai efek sedativ pada jam ……….. ,
durasi pada efek sedativ selama ……… menit. Pada mencit 2, obat yang diberikan secara
subkutan kembali aktif pada jam ………….

Pada cara pemberian obat secara Intra vena mulai mengamati pada jam …….
Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam ……. dan selesai efek perubahan aktivitas
pada jam …….., durasi pada efek perubahan aktivitas selama ……. menit. Sedangkan
terjadinya efek sedativ pada jam ….. dan selesai efek sedativ pada jam ……….. durasi
terjadinya efek sedativ selama …… menit dan pada mencit ke-3 kembali aktif pada jam
……

Pada mencit ke-4 cara pemeberian obatnya yaitu secara Intra peritoneal , mulai
mengamati pada jam ……. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam ….. dan selesai
efek perubahan aktivitas pada jam …….., durasi efek pada perubahan aktivitas selama
…….. menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam ……….. dan selesai efek
sedativ pada jam …….., durasi pada efek tersebut selama …….. menit. Pada mencit ke-4
aktif kembali pada jam …….

22
Pada mencit ke-5 cara pemberian obatnya secara intra muscular , mulai mengamati
pada jam …….. Terjadinya perubahan aktifitas pada jam ……., selesai efek pada jam
…….. dan durasi pada efek perubahan aktivitas selama …… menit. Sedangkan pada efek
sedativ mulai terjadinya efek pada jam …….., selesai efek pada jam ………..dan durasi
pada efek sedativ selama ……..menit. Pada mencit ke-5 terjadinya juga efek hipnotik,
mulai terjadinya efek pada jam …..dan selesai efek pada jam ………, durasi pada efek
hipnotik selama…….. menit. Mencit ke-5 kembali aktif pada jam …………..

Pada percobaan cara pemberian obat, pengamatan yang di dapat diketauhi bahwa efek
sedativ pada pemberian obat diazepam yaitu Oral, Intravena (IV), Intra peritoneal (IP),
dan Subkutan , ………….. memiliki efek yang lebih lambat. Tetapi pada pemberian obat
secara Intramuskular (IM) memiliki efek sedativ yang lebih cepat. Sedangkan pada efek
hipnotik terjadi pada ……………….

23
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Data menunjukkan bahwa pemberian obat dengan cara IM memiliki efek sedatif lebih
cepat daripada cara-cara lainnya.
2. Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat
Fenobarbital secara Subkutan.
3. Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari pada
dosis awal yang diberikan.
4. Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.

24
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press,
Jakarta,hal.

25
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI
(Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat dan variasi kelamin)

1.2 latar belakang

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan
medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral,
jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas
ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari
jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya.
Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh
kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan
oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan
biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan
dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman
respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari
perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat
dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal baik
pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus-tikus jantan
muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-tikus betina
26
muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik.
Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini
terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat.
wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki
persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama. (Mary K.
and Jim K., 2005)

Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan.

Prinsip Percobaan

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya yaitu variasi biologi.
Variasi biologi dapat diuji dengan perbandingan tikus dengan berat badan yang berbeda,
perbandingan tikus dengan perbedaan kondisi tubuh, dan dari perbedaan jenis kelamin jantan
dan betina.

Variasi kelamin
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan
2. Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin berbeda
antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan
memakai hewan coba

Teori.

Cara pemberian obat sangat penting artinya karena setiap obat berbeda
penyerapannya oleh tubuh dan sangat bergantung pada lokasi pemberian. Rute pemberian
obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, terutama laju
penyerapan obat. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik lingkungan
27
fisiologis, anatomi dan biokimiawi pada daerah kontak permulaan obat dan tubuh.
Perbedaan karakteristik ini mengakibatkan perbedaan jumlah obat yang dapat mencapai
tempat kerja pada rentang waktu tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan onset (mula
kerja obat) dan durasi (lama kerja obat).

Pemilihan rute pemberian obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat serta
kondisi pasien. Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan
efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberikan efek local maupun sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah,
sedangkan efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat.

28
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kerja obat dalam tubuh dipengaruhi oleh banyak variabel. Perbedaan-perbedaan nya
adalah perbedaan-perbedaan fisik di antara pasien, faktor-faktor psikologi, bentuk sediaan, rute
pemberian obat dan efek samping serta reaksi yang berlawanan. Perbedaan Fisik Usia pasien
memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Baik anak-anak dan orang tua memerlukan
dosis yang lebih sedikit pada beberapa pengobatan.

Ukuran tubuh adalah suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja obat. Seseorang yang
berbadan besar memerlukan dosis yang lebih banyak daripada dosis rata-rata yang digunakan
untuk menghasilkan suatu efek tertentu, sedangkan bagi orang yang kurus, akan mendapatkan
efek walaupun pada dosis yang sedikit.

Dosis obat untuk anak-anak biasanya dihitung menurut berat badan, luas permukaan
tubuh dan umur. Jumlah makanan yang terdapat dalam lambung secara langsung mempengaruhi
kerja obat. Obat yang terdapat dalam lambung yang kosong biasanya mencapai aliran darah lebih
cepat daripada ketika lambung penuh.

Obat-obat yang mengiritasi lambung sering diminum setelah makan, obat-obat yang lain
diberikan ketika lambung kosong. Adanya penyakit dapat mengubah kerja obat. Perubahan
fungsi gastrointestinal, misalnya, dapat menghambat atau mempercepat penyerapan obat yang
diberikan secara oral. Fungsi ginjal yang terganggu dapat menurunkan jumlah obat yang
diekskresikan. Jika dosis obat yang diberikan tinggi dapat menyebabkan akumulasi yang serius.
Dalam kasus ini, obat-obat tersebut merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan
ginjal. Faktor Psikologi Banyak kerja obat adalah hasil dari kepercayaan pasien tersebut. Jika
seorang percaya bahwa obat akan bekerja, kesempatan akan ada. Efek ini didokumentasikan oleh

29
penelitian ”efek palebo”. Sebaliknya, ketidakpercayaan pasien, sebuah tingkah laku umum yang
depresi, dan perasaan putus asa biasa mengurangi aktivitas obat.

Orang-orang yang mengatur pengobatan seharusnya menyadari bahwa tingkah laku


mereka terhadap obat dapat mempengaruhi pasien, secara tak langsung mempengaruhi kerja
obat. Bentuk Sedian. Banyak terdapat bentuk sedian yang berbeda. Bentuk sedian dapat
mempengaruhi seberapa cepat suatu obat mulai bekerja, intensitas kerjanya dan lama kerja obat
tersebut. Larutan adalah cairan yang berisi zat-zat yang terlarut. Pelarutnya dapat berupa air atau
alkohol seperti eliksir, tinktur, dll. Obat dalam bentuk larutan dapat diserap dengan mudah dan
cepat. Makin besar konsentrasi larutan makin cepan diabsorbsi.

Takaran pemakaian yang dimuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-
negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang
bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk
ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah
ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian
mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan factor-faktor tersebut
di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim)
memberikan efek yang diinginkan. Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang
Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya
lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih
rendah pula.

Usia Manula, yaitu orang berusia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka terhadap obat dan
efek sampingnya, karena-karena perubahan-perubahan fisiologis, seperti menurunnya fungsi
ginjal dan metaboisme hati, meningkatnya resiko lemak-air dan berkurangnya sirkulasi darah.
Karena fungsi hati dan ginjal menurun, maka eliminasi obat pun berlangsung lebih laambat.
Lagipula jumlah albumin dalam darahnya lebih sedikit, oleh karena itu pengikatan obat pun
berkurang, terutama obat-obat dengan PP besar, seperti anti-koagulansia dan fenilbutazon. Hal
ini berarti bahwa bentuk bebas dan aktif dari obat-obat ini menjadi lebih besar dan bahaya
keracunan semakin meningkat. Selanjutnya, pada manula tak jarang terjadi kerusakan umum
(difus) pada sel-sel otak, yang meningkatkan kepekaan bagi obat dengan kerja pusat, misalnya
30
obat tidur (barbiturat, nitrazepam), opioida dan psikofarmaka. Obat ini pada dosis biasa dapat
menyebabkan reaksi keracunan yang hebat pada manula, juga obat jantung digoksin, hormone
insulin dan adrenalin. Anak kecil, terutama bayi yang baru lahir, menunjukkan kerentanan yang
lebih besar terhadap obat karena fungsi hati dan ginjal serta system enzimnya belum berkembang
secara lengkap.

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

Alat dan Bahan

- ….. ekor mencit


- Alat suntik
- Diazepam ……
- Timbangan hewan
- Wadah tempat pengamatan
- Kapas
- Alcohol
Prosedur Kerja
- Siapkan hewan coba …….. ekor mencit
- Timbang masing-masing hewan coba
- Hitung dosis dan volume pemberian untuk masing-masing hewan sesuai dengan
berat badan
- Lakukan pemberian larutan diazepam pada ………… ekor hewan coba secara IP
(intraperitonial)
- Sebagai pembanding berikan larutan NaCl fisiologis 0,9% secara IP pada 1 ekor
hewan coba dengan dosis yang sama seperti fenobarbital

31
- Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati efek selama 45 menit
dimulai setelah pemberian obat. Efek yang diharapkan adalah hewan tertidur,
tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.
- Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :
a. Mati = sangat peka
b. Tidur, bila diberikan rangsangan nyeri tidak tegak = peka
c. Tidur, bila diberi rangsangan nyeri tegak = sesuai dengan efek yang diduga
d. Tidak tidur, tetapi mengalami ataksia = resisten
e. Tidak mengalami perubahan = sangat resist.

32
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan dosis

 mencit I
- Berat badan : ….. g
- Dosis diazepam pada manusia : mg
- Faktor konversi dari …. kg manusia- …..g tikus : 0,018
- Dosis diazepam pada tikus
121𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,089𝑚𝑔
200𝑔

- Kadar diazepam dalam sediaan : 50mg/ml


- Volume diazepam yang diambil
… . 𝑚𝑔 … … 𝑚𝑙
𝑥 1𝑚𝑙 = = ⋯ . . 𝑚𝑙 ~ … . 𝑚𝑙
… … 𝑚𝑔 …….

 Mencit II
- Berat badan : ….. g
- Dosis diazepam pada manusia : …… g
- Faktor konversi dari …..g manusia- ….g mencit : …..
- Dosis diazepam pada mencit
……𝑔
𝑥 … . 𝑚𝑔 𝑥 … . . = ⋯ . . 𝑚𝑔
……𝑔

- Kadar diazepam dalam sediaan : ……


- Volume diazepam yang diambil
… . . 𝑚𝑔 … … 𝑚𝑙
𝑥 1𝑚𝑙 = = ⋯ . 𝑚𝑙 ~ … . 𝑚𝑙
… … 𝑚𝑔 ……

33
 Mencit III
- Berat badan : …… g
- Faktor konversi dari …… kg manusia- …… g mencit : 0,018
- Dosis diazepam pada mencit
118𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,062𝑚𝑔
200𝑔

- Kadar diazepam dalam sediaan : ……

- Volume diazepam yang diambil


… . . 𝑚𝑔 … … 𝑚𝑙
𝑥 1𝑚𝑙 = = ⋯ . 𝑚𝑙 ~ … . 𝑚𝑙
… … 𝑚𝑔 ……

34
Perhitungan Dosis
- Dosis diazepam pada manusia ………….mg
- Factor konversi manusia (70kg)  mencit (200 gram) = 0,0026
- Sediaan obat dilakukan pengenceran

1. Mencit betina 1 (intra peritoneal)


26𝑔 0,0169
x 0.0026 x 5mg = 0,0169 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.00338
20𝑔 5𝑚𝑔

𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 ∶ 0,003388 𝑥 20 = 0,06


2. Mencit betina 2 (Intra Peritoneal )
27𝑔 0,0175
x 0.0026 x 5mg = 0,0175 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.0035
20𝑔 5𝑚𝑔

𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 ∶ 0,0035 𝑥 20 = 0,07


3. Mencit jantan 1 (Intra Peritoneal )
37𝑔 0,024
x 0.0026 x 5mg = 0,024 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.0048
20𝑔 5𝑚𝑔

𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 ∶ 0,0048 𝑥 20 = 0,09


4. Mencit jantan 2 (Intra Peritoneal )
31𝑔 0,02015
x 0.0026 x 5mg = 0,02015 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.004
20𝑔 5𝑚𝑔

𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 ∶ 0,004 𝑥 20 = 0,08

35
Hasil Pengamatan :

Hewan Obat Rute Waktu Waktu Waktu Onset Durasi


pemberian hiang kembali kerja kerja
obat righting righting obat obat
(menit) reflex reflex (menit) (menit)
(menit) (menit)
Mencit Diazepam IP 09 : 43 09: 50 10 : 02 7 2
Jantan 5mg/KgBB
ke 1 manusia
Mencit Diazepam IP 09:46 09 : 54 11:09 8 15
Jantan 5mg/KgBB
ke 2 manusia
Mencit Diazepam IP 09:52 10:03 10:22 11 19
betina 5mg/KgBB
ke 1 manusia
Mencit Diazepam IP 09: 58 10:07 10:24 9 17
betina 5mg/KgBB
ke 2 manusia

36
Hewan Dosis Cara
No Pengamatan
Percobaan Pemberian Pemberian

1 mencit I IP

2 mencit II IP

3 mencit III IP

4. mencit IV IP

4.3 Pembahasan

………………………………………………………………………………………………
…….

37
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat, pada mencit


………………………………………………………………………………………………………
……………..
Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan
karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi
tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.

Adanya perbedaan jenis kelamin hewan mempengaruhi pennyerapan obat dan


metabolismenya Pada mencit betina terjadi efek yang cepat namun durasi yang cepat
dikarenakan tidak memiliki kadar lemak dan air yang kecil dibandingkan dengan
mencit jantan yang memiliki kadar minyak dan air yang lebih banyak.Jenis kelamin
akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, dimana jantan lebih cepat memberika
respon dari pada betina karena pengaruh hormone androgen.

38
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan


Terapi ”. Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895
 Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-
122
 Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc
Graw Hill ; USA. Pages 231 – 232.
 Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit
Buku Salemba Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.
 Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ;
New Jersey. Pages 42-44
 Maksum Radji. (2005). ”Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan
Obat Baru”
 Tim Dosen Praktikum Farmakologi,Penuntun Praktikum Farmakologi,Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi
Nasional,2015. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope
Indonesia,ed.IV,1995
 Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Gaya Baru

39
40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan


Dosis Obat dan Respon
1.2 Latar belakang
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang
diberi di bawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon
tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek
pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat
penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur.

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau
dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan
kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.

Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam
rasio berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di
bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian
besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga menimbulkan efek
toksis atau terlalu kecil sehingga tidak efektif.

Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang
diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh biavailabilitas obat
ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari
jumlah obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan
41
intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor
tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respon pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh
adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik, kecepatan
biotransformasi suatu obat menunjukkan variasai yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan
dalam faktor-faktor farmakokinetik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman
respon pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi respons pasien terhadap obat.

I.3 Rumusan masalah


1. Bagaimana efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam berbagai
dosis yang berbeda?
2. Bagaimana perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia?
3. Bagaimana hubungan dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan?

I.4 Tujuan praktikum


1. Untuk mengetahui efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam
berbagai dosis yang berbeda.
2. Untuk mengetahui perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia.
3. Untuk mengetahui dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan.

42
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase
farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk
sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. Proses tersebut dinyatakan
sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan
reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.

Dosis lazim suatu obat dapat ditentukan sebagai jumlah yang dapat diharapkan
menimbulkan efek pada pengobatan orang dewasa yang sesuai dengan gejalanya. Dosis tunggal
diberikan untuk beberapa macam obat dan dosis harian untuk yang lainnya, tergantung pada
bahan obat, bentuk sediaan dan keadaan yang diberi obat. Jika suatu obat dipakai dalam jangka
waktu yang lama seperti aspirin untuk artritis, maka dosis obat harian lebih tepat. Dosis bahan
obat dapat berbeda-beda, tergantung pada cara pemakaiannya. Hal ini sebagian besar karena
perbedaan tingkat penyerapan obat dan kelanjutan kerja obat melalui berbagai cara setelah
pemakaiannya. Selama aktivitas biologik, produk-produk yang berlainan seperti penisilin,
poliomielitis vaksin, dan insulin berbeda-beda, maka setiap unit dari aktivitasnya, tersendiri bagi
setiap obat dan tidak ada hubungan antara satu obat dan yang lainnya.

43
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

Alat dan Bahan:

 Spuit (1 ml & 3 ml)


 Phenobarbital
 Alkohol
 Mencit jantan
 Timbangan hewan
 Kapas
 NaCl
 Stopwatch

Prosedur

1. Siapkan hewan coba berupa mencit jantan sebanyak 5 ekor.


2. Siapkan alat & bahan.
3. Timbang berat badan masing-masing mencit dan beri penandaan tiap ekor mencit.
4. Hitung dosis phenobarbital dan volume pemberian untuk masing-masing mencit sesuai
dengan berat badan mencit.
5. Lakukan pengenceran phenobarbital 2 ml + NaCl ad 20 ml.
6. Suntikan larutan phenobarbital secara Intravena pada masing-masing mencit.
7. Catat waktu pemberian dan mulai terjadinya efek obat.
8. Tempatkan hewan pada wadah pengamatan. Amati efek selama 30 menit. Efek yang
diharapkan adalah hewan dapat tertidur, tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.
9. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :
a. Perubahan aktivitas
b. Sedatif : tidak tidur tetapi mengalami ataksia (resisten)

44
c. Hipnotik : tertidur, tetapi bila diberi rangsangan nyeri tegak (sesuai dengan efek
yang
diharapkan)
d. Anestesi : tertidur, dan bila diberi rangsangan tidak tegak (peka)
e. Mati : sangat peka

45
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pengamatan

 Mencit ke 1
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1 Perubahan Aktivitas 04:33 09:56 05:23
2 Sedatif 09:56 36:57 27:01
3 Hipnotik 36:57 - -
4 Anastesi - - -
5 Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 2
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1 Perubahan Aktivitas 08:02 25:33 17:31
2. Sedatif 25:33 55:00 30:07
3. Hipnotik 55:00 - -
4. Anastesi - - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 3

46
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1. Perubahan Aktivitas 03:57 08:14 04:57
2. Sedatif 08:14 10:49 02:35
3. Hipnotik 10:49 38:26 28:17
4. Anastesi 38:26 - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 4

No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi


1. Perubahan Aktivitas 08:26 12:46 04:20
2. Sedatif 12:46 29:22 17:16
3. Hipnotik 29:22 30:28 01:05
4. Anastesi 30:28 - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

 Mencit ke 5

No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi


1. Perubahan Aktivitas 01:40 05:46 04:06
2. Sedatif 05:46 24:07 19:01
3. Hipnotik 24:07 32:40 08:33
4. Anastesi 32:40 - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -

4.2 Perhitungan

Dik : Dosis phenobarbital pada manusia = 100mg

47
BB mencit-1 = 41g

BB mencit-2 = 39g

BB mencit-3 = 35g

BB mencit-4 = 41g

BB mencit-5 = 39g

Dit : Dosis masing – masing mencit ? volume yang diberikan?

Jawab :

Faktor konversi manusia (70kg) → Mencit (20g) = 0,0026


a. BB mencit-1 = 41g
41g
Dosis phenobarbital mencit-1 = 20g x 0,0026 x 100 mg

= 0,533 mg
 Tiap ml sediaan mengandung phenobarbital 50 mg
Kadar phenobarbital dalam sediaan = 50 mg /ml
0,533 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
50 mg

= 0,01 ml

 Kadar phenobarbital dalam sediaan harus diencerkan 10x


1 ml sediaan + NaCl ad 10 ml atau
2 ml sediaan + NaCl ad 20 ml
Sehingga, kadar phenobarbital menjadi 5 mg/ml

0,533 mg
Jadi, volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,1 ml

b. Mencit-2 = 39 g
48
39 g
Dosis phenobarbital mencit-2 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)
20 g

= 1,014 mg

1,014 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,2 ml
c. Mencit-3 = 35 g
35 g
Dosis phenobarbital mencit-3 = x 0,0026 x (4 x 100 mg)
20 g

= 1,82 mg

1,82 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,36 ml
d. Mencit-4 = 41 g
41 g
Dosis phenobarbital mencit-4 = x 0,0026 x (8 x 100 mg)
20 g

= 4,264 mg

4,264 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

= 0,8 ml
e. Mencit-5 = 39 g
39 g
Dosis phenobarbital mencit-5 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)
20 g

= 8,112 mg

8,112 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg

=1,6 ml

4.3 Pembahasan

49
Pada percobaan dosis obat & respon dilakukan dengan menggunakan hewan coba berupa
mencit jantan sebanyak 5 ekor. Langkah awal yang dilakukan adalah menimbang berat badan
masing-masing mencit dan memberi penandaan pada masing-masing mencit. Kemudian hitung
dosis dan volume pemberian phenobarbital untuk masing-masing mencit. Pada mencit ke-1
dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 0,533 mg, kemudian volume
phenobarbital yang diambil sebanyak 0,1 ml. Suntikan secara intravena pada bagian ekor mencit
yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke
04:33 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah
tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 09:56. Durasi efek
perubahan aktifitas berlangsung selama 05:23. Pada menit ke 09:56 berlanjut ke efek sedatif
yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif
pada menit ke 36:57. Durasi efek sedatif berlangsung selama 27:01 menit. Pada menit ke 36:57
terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat
tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak dapat diperkirakan karena keterbatasan waktu
dalam praktikum. Pada mencit-1, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal
ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 0,533 mg sehingga tidak menimbulkan efek
anestesi bahkan letal (mati).

Pada mencit ke-2 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 1,014
mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,2 ml. Suntikan secara intravena
pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang
terjadi. Pada menit ke 08:02 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan
perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit
ke 25:33. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 17:31. Selanjutnya, pada menit ke
25:33 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak
tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 55:00. Durasi efek sedatif berlangsung selama 30:07
menit. Kemudian, pada menit ke 55:00 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit,
namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak dapat
diperkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum. Pada mencit-2, efek yang terjadi
diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan

50
sebesar 1,014 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi bahkan letal (mati). Pada mencit-2,
mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari mencit-1. Hal ini disebabkan karena pada mencit-
1 terjadi kesalahan penyuntikan saat praktikum, sehingga tidak semua larutan obat masuk ke
pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).

Pada mencit ke-3 dengan berat badan 35 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 1,82
mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,36 ml. Suntikan secara intravena
pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang
terjadi. Pada menit ke 03:57 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan
perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit
ke 08:14. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 04:57. Kemudian, pada menit ke
08:14 berlanjut dengan mulainya efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk
namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 10:49. Durasi efek sedatif berlangsung
selama 02:35 menit. Selanjutnya, pada menit ke 10:49 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai
tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik
pada menit ke 38:26. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 28:17 menit. Pada menit ke 38:26
terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan
tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan
waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-3 tidak diketahui dapat
menyebabkan letal (mati) atau tidak.

Percobaan pada mencit ke-4 dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan
sebanyak 4,264 mg dan volume yang diambil sebanyak 0,8 ml. Kemudian larutan disuntikan
secara Intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntikkan, amati
perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 08:26 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang
ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan
aktivitas pada menit ke 12:46. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 04:20 menit.
Pada menit ke 12:46 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk
namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 29:22. Durasi efek sedatif berlangsung
selama 17:16 menit. Pada menit ke 29:22 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya
mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik pada menit
51
ke 30:28. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 01:05 menit. Pada menit ke 30:28 terjadi
mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan tidak
dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan
waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-4 tidak diketahui dapat
menyebabkan letal (mati) atau tidak.

Percobaan pada mencit ke-5 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan
sebanyak 8,112 mg dan volume yang diambil sebanyak 1,6 ml. Kemudian larutan disuntikan
secara Intravena pada bagian ekor mencit. Pada proses penyuntikkan pembuluh vena mencit
kemungkinan pecah yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, hal ini disebabkan karena
dosis obat yang diberikan terlalu tinggi. Oleh karena itu sisa obat diberikan melalui
intraperitoneal. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 01:40 terjadi
mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu
aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 5:46. Durasi efek perubahan aktifitas
berlangsung selama 04:06 menit. Pada menit ke 05:46 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai
dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke
24:07. Durasi efek sedatif berlangsung selama 19:01 menit. Pada menit ke 24:07 terjadi mulai
efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali
dan selesai efek hipnotik pada menit ke 32:40. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 08:33
menit. Pada menit ke 32:40 terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit,
namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di
perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada
mencit ke-5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak.

52
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Pada mencit-1, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat
terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 0,533 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi
bahkan letal (mati).

Pada mencit-2, mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari mencit-1. Hal ini disebabkan
karena pada mencit-1 terjadi kesalahan penyuntikan saat praktikum, sehingga tidak semua
larutan obat masuk ke pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).

dosis yang diberikan pada mencit ke-3,4,5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati)
atau tidak, efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum.

53
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: Universitas


IndonesiaKatzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi keenam. Jakarta: EGC

54
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan


hipnotik-sedativ
1.2 Latar Belakang
Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu
jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain.
Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi
antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf
pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti
sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan
ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit
diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa
55
sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang
tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut
analeptika.

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang
realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan
anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan
aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan. Sedatif
menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan
kantuk yang berat. Obat yang tergolong sedative, yaitu chloralhidrat. Hipnotik menyebabkan
tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan
tonus otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.

1.3 Rumusan Masalah


A. Apakah Pemberian obat depresan pada mencit menyebabkan adanya efek depresi
ringan dan sampai terjadinya efek tidur?
B. Apakah terdapat pengaruh perbedaan berat badan pada tikus dengan efek yang
timbul?
C. Apakah ada pengaruh cara pemberian terhadap efek hipnotik sedative yang timbul?

1.4 Tujuan Praktikum


1. Mengelompokan berbagai senyawa barbiturat sesuai dengan ciri-ciri kerja
farmakologi.
2. Merumuskan implikasi praktis dari berbagai jangka waktu kerja antagonisme dan
sinergisme pada senyawa-senyawa barbiturat.

56
3. Merencanakan eksperimen-eksperimen sederhana untuk implikasi praktis dari
antagonisme dan sinergisme barbiturat.

BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Alat dan bahan


 Alat
1. Jarum suntik
2. Timbangan hewan coba
 Bahan
1. Tikus Jantan
2. Fenobarbibatal
3. NaCl

57
2.2 Cara Kerja
a. Diambil 3 ekor tikus
b. Diamati keadaan biologi dari hewan coba meliputi : bobot badan.
c. Timbang berat badan masing-masing tikus, catat hasil penimbangan.
d. Dihitung dosis fenobarbital yang akan diberikan kepada hewan coba sesuai berat badan
yang diperoleh.
e. Disuntikan fenobarbital sesuai dosis yang dihitung pada 2 hewan coba dan 1 hewan coba
disuntikan NaCl sebagai kontrol secara IV (intra vena)
f. Dicatat waktu perubahan aktifitas yang terjadi pada tikus dari sedatif, hipnotik hingga
bangun kembali.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Biologis Hewan Coba

Hewan Coba/uji Berat badan (gram)


Tikus 1 131
Tikus 2 132
Tikus 3 (kontrol) 109

58
3.2 Perhitungan Dosis
Dosis Fenobarbital pada manusia 100 mg
Factor konversi manusia (70kg)  tikus (200 gram) = 0,018
a. Dosis fenobarbital pada tikus 1 dengan berat badan 131 gram
131 𝑔
= X 0,018
200 𝑔
= 1,179 mg
Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml
1,179 𝑚𝑔
Volume sdiaan yang di ambil = X 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,02 ml ( tidak bisa diambil )
Sediaan obat dilakukan pengenceran 10x
∴ Sediaan 2 ml + Nacl ad 20 ml
 Kadar 5 mg/ml
1,179 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔
= 0,2 ml

b. Dosis fenobarbital pada tikus 2 dengan berat badan 132 gram


c. Dosis Fenobarbital pada tikus pertama ( BB = 132 g )
131 𝑔
= X 0,018
200 𝑔

= 1,179 mg

Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml


1,188 𝑚𝑔
Volume sdiaan yang di ambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔

= 0,02 ml ( tidak bisa diambil )


1,188 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔

= 0,2 ml

d. Dosis NaCl pada tikus kontrol = 0,2 ml

59
3.3 Hasil Pengamatan
Tikus 1
Efek Mulai efek Selsai efek Durasi
Perubahan aktifitas 06 : 16 20 : 11 13 : 95
Sedatif 20 : 11 31 : 10 10 : 99
Hipnotik 31 : 10 40 : 02 08 : 92

Tikus 2
Efek Mulai efek Selsai efek Durasi
Perubahan aktifitas 10 : 40 18 : 15 07 : 75
Sedatif 18 : 15 30 : 34 12 : 19
Hipnotik 30 : 34 36 : 52 06 : 18

Tikus 3 ( kontrol )

3.4 Pembahasan
Tikus 1 dengan berat badan 131g disuntikkan phenobarbital secara intravena
sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktivitas dengan durasi selama 13:95 menit, efek
sedatif berlangsung selama 10:99 menit, dan efek hipnotik durasinya selama 08:92 menit.
Pada tikus 2 dengan berat badan 132g disuntikkan phenobarbital secara intravena
sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktifitas dengan durasi selama 07:75 menit, efek
sedatif berlangsung selama 12:19 menit, dan efek hipnotik durasinya selama 06:18 menit.
Pada tikus kontrol, tidak mengalami perubahan aktivitas karen hanya diberikan larutan
NaCl saja. Digunakan larutan ini karena kandungan dan sifat larutan tersebut merupakan
bahan yang juga terkandung dalam tubuh tikus. Oleh sebab itu tidak akan memberikan
pengaruh apapun terhadap tikus yang diuji coba.

Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada
masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan berat
badan hewan uji. Obat phenobarbital ini merupakan golongan barbiturat yang mudah

60
larut dalam lemak, dapat ditimbun dijaringan lemat dan otot sehingga menyebabkan
kadar obat dalam plasma dan otak menurun dengan cepat.

Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat
pada hewan uji. Pada tikus 2 saat proses penyuntikan, obat phenobarbital tersebut tidak
masuk seluruhnya kedalam jaringan tubuh tikus. Hal ini terjadi karena hewan uji tersebut
bergerak-gerak sehingga mengganggu pada saat penyuntikan berlangsung. Pada tikus 2
didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus
1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek yang
ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih panjang.
Hal ini disebabkan karena obat yang masuk kedalam tubuh hewan uji sesuai dengan dosis
yang telah dihitung sehingga jumlah obat yang harus dieliminasi lebih banyak.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
 Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada masing-
masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan berat badan
hewan uji.

61
 Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat pada
hewan uji.
 Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan
dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek
yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih
panjang.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara Sulistia et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI Press.


Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
Katzung, Bertram G.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
62
Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika
Purwanto, SL dan Istiantoro, Yati. 1992. DOI(Data Obat DiIndonesia).Jakarta: PT. Grafindian
Jaya.
Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Gaya Baru.

63

Anda mungkin juga menyukai