Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

OD PTERYGIUM DUPLEX GRADE III POST EKSTIRPASI, OS


PTERYGIUM NASALIS GRADE II, ODS PRESBIOPIA

Tugas Kepanitraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Mata RST Dr. Soedjono, Magelang
Periode 20 November – 22 Desember 2017

Pembimbing:
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M
dr. YB. Hari Trilunggono, Sp.M

Disusun oleh :
Putra Mahardika
1620221172

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

OD PTERYGIUM DUPLEX GRADE III POST EKSTIRPASI, OS


PTERYGIUM NASALIS GRADE II, ODS PRESBIOPIA

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Tk. II dr. Soedjono, Magelang

Oleh :
Putra Mahardika
1620221172

Magelang, 12 Desember 2017


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M dr. YB. Hari Trilunggono, Sp.M

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “OD PTERYGIUM DUPLEX GRADE III POST EKSTIRPASI, OS
PTERYGIUM NASALIS GRADE II, ODS PRESBIOPIA”. Laporan kasus ini
dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit
Mata.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Dwidjo Pratiknjo, Sp.M dan dr. Hari Trilunggono, Sp.M selaku pembimbing dan
seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Magelang 12 Desember 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................. 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 4

BAB.1 LAPORAN KASUS ................................................................................................. 5


BAB.2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 17
BAB.3 KESIMPULAN....................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 37

4
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MYMD
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kwayuhan 80 A, Magelang Tengah
Pekerjaan : PNS
Tanggal Periksa : 5 Desember 2017

II. ANAMNESA
a. Keluhan Utama:
Mata kanan dan kiri terasa pegal, berair, dan terasa ada yang mengganjal.

b. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke poliklinik mata RST dr. Soedjono Magelang tanggal 5
Desember 2017 dengan keluhan rasa mengganjal pada kedua mata. Keluhan sudah
dirasakan pasien sejak pasien berusia 23 tahun dan semakin lama semakin
mengganggu. Pasien merasa saat mata sedang lelah mata menjadi merah. Pasien
juga merasa penglihatan pada mata kanannya kabur. Pasien juga merasa seperti
kelilipan pada kedua mata, pasien mengaku tidak suka mengkucek matanya. Pasien
tidak merasa gatal, nyeri dan perih pada kedua matanya. Setiap harinya pasien
mengendarai motor ke kantornya dengan helm terbuka, pasien mengaku sering
terpapar angin saat mengendarai motor. Pasien mengendarai motor sudah sejak
SMA. Pasien merasa setelah dilakukan ekstirpasi pterygium pada mata kanannya
terasa lebih nyaman, namun pasien mengeluhkan pusing dan mual beberapa hari
setelah operasi. Seminggu setelah operasi, plester pada mata dibuka dan pasien
dapat melihat dengan jelas namun mata masih merah. Seluruh anggota keluarga
pasien memakai kacamata minus, pasien tidak minus sehingga tidak pakai
kacamata. Pasien mengaku mulai pakai kacamata baca umur 50an, saat ini pasien
memakai kacamata plus berukuran +2,75. Pasien memiliki pekerjaan sehari-hari

5
yang menuntut fokus melihat komputer dalam waktu lama di ruangan ber ac
sehingga mata menjadi kering.

c. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat gejala serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat kemasukan benda asing : disangkal
Riwayat terpapar debu dan angin : diakui
Riwayat infeksi pada mata : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat operasi mata : diakui
Riwayat penggunaan kaca mata : diakui
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada riwayat keluhan serupa pada anggota keluarga.

e. Riwayat Pengobatan:
Pasien belum melakukan pengobatan sebelumnya. Pasien memiliki riwayat
operasi ekstirpasi pterygium pada 22 November 2017 dengan dr. Hari Trilunggono,
Sp.M dan diberi obat Bralifex plus 4x1 OD dan Optalvit 0-0-1 sebagai obat kontrol.

f. Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien bekerja sebagai PNS, biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS, kesan
ekonomi cukup.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Umum
Kesadaran: Compos mentis
Aktivitas: Normoaktif
Kooperatif: Kooperatif
Status gizi: Baik
b. Tanda Vital
TD: 120/80 mmHg
6
Nadi: 88 x/menit
RR: 20 x/menit
Suhu: 36oC
c. Status Ophthalmicus

Oculus Dexter Oculus Sinister

Skema

Jaringan Fibrovaskular
Jaringan sisa operasi

Oculus Dexter Oculus Sinister

7
No Pemeriksaan Oculus Dexter Oculus Sinister
1. Visus 6/6 6/6
add S + 2,75 J6
2. Bulbus Oculi
- Gerak bola mata Baik ke segala Baik ke segala
arah arah
- Strabismus Tidak ditemukan Tidak ditemukan
- Eksoftalmus - -
- Enoftalmus - -
3. Suprasilia Normal Normal
4. Palpebra Superior:
- Vulnus laceratum - -
- Edema - -
- Hematoma - -
- Hiperemia - -
- Entropion - -
- Ektropion - -
- Blefarospasme - -
- Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
- Ptosis/Pseudoptosis - -
- Xanthelasma - -

5. Palpebra Inferior:
- Vulnus laceratum - -
- Edema - -
- Hiperemia - -
- Entropion - -
- Ektropion - -
- Blefarospasme - -
- Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
- Xanthelasma - -

8
6. Konjungtiva:
- Injeksi konjungtiva - -
- Injeksi siliar - -
- Sekret - -
- Laserasi - -
- Edema - -
- Bangunan patologis Tidak ditemukan Ditemukan
jaringan
fibrovaskular
jumlah 1, warna
merah, bentuk
segitiga, melewati
limbus kornea <
2mm
7. Kornea:
- Kejernihan Jernih Jernih
- Edema - -
- Infiltrat - -
- Sikatrik - -
- Ulkus - -
- Pannus - -
- Keratik precipitat - -
- Ruptur - -
- Bangunan patologis - Ditemukan
jaringan
fibrovaskuler
jumlah 1, warna
merah, bentuk
segitiga, melewati
limbus kornea < 2
mm

9
8. COA:
- Kedalaman Normal Normal
- Hifema - -
- Hipopion - -
- Tyndal effect - -
9. Iris:
- Kripta + +
- Warna Cokelat Cokelat
- Edema - -
- Sinekia
- Anterior - -
- Posterior - -
10. Pupil:
- Bentuk Bulat Bulat
- Letak Sentral Sentral
- Diameter 3mm 3mm
- Reflek cahaya langsung + +
- Reflek cahaya tidak langsung + +
11. Lensa:
- Kejernihan Jernih Jernih
- Iris shadow Tidak ditemukan Tidak ditemukan
- Snow flake - -
- Edema - -
12. Corpus Vitreum:
- Kejernihan Jernih Jernih

13. Retina:
- Fundus Refleks (+) Cemerlang (+) Cemerlang

10
14. Funduskopi:
Fokus 0 0
- Papil N. II Papil bulat, Papil bulat,
berbatas tegas, berbatas tegas,
berwarna orange, berwarna orange,
CDR 0.3 CDR 0.3
- Myopic crescent - -
- Vasa
- AV Ratio 2:3 2:3
- Mikroaneurisma - -
- Neovaskularisasi - -
- Macula
- Fovea reflex + +
- Eksudat - -
- Edema - -
- Retina
- Ablasio retina - -
- Edema - -
- Bleeding - -
- Crossing sign - -
- Eksudat - -
- Copper appearance - -
- Flame shaped - -
- Cotton woll spot - -
15. TIO Normal Normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah:
- Pemeriksaan histopatologi pada jaringan pterygium. Gambaran pterygium
adalah berupa epitel yang irregular dan tampak adanya degenerasi hialin pada
stromanya.

11
V. DIAGNOSA BANDING
A. OD Pterygium Duplex Grade III Post Ekstirpasi
1. OD Pterygium Duplex Grade III Post Ekstirpasi
Dipertahankan karena pasien mengeluh mata kanan terasa pegal dan seperti
ada yang mengganjal. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengendarai
motor, yang setiap hari terpapar angin, debu, asap, dan sinar matahari
langsung, yang merupakan faktor resiko terjadinya penyakit pterygium. Pasien
juga seorang pekerja yang sering di depan komputer, yang setiap hari terpapar
udara ac yang kering. Kemudian pada mata pasien terdapat membran
fibrovaskular yang berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau
daerah kornea yang merupakan tanda khas dari pterygium. Pada pasien selaput
fibrovaskular sudah melewati limbus > 2 mm dari arah nasalis dan temporal
tetapi belum melewati pupil sehingga menutupi sebagian lapang penglihatan,
yang merupakan gambaran klinis khas pterygium grade III.
2. OD Pterygium Grade II Post Ekstirpasi
Disingkirkan karena pada pterygium grade II pertumbuhan jaringan selaput
fibrovaskular sudah melewati limbus < 2 mm dan belum menutupi pupil.
Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular sudah melewati limbus namun
belum melewati pupil, serta mengganggu sebagian penglihatan.
3. OD Pseudopterygium
Disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada kornea serta
tidak ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea akibat ulkus di kornea yang
menahun. Sedangkan pada pasien tidak didapatkan riwayat tersebut.
B. OS Pterygium Nasalis Grade II
1. OS Pterygium Nasalis Grade II
Dipertahankan karena pasien mengeluh mata kiri terasa pegal dan ada perasaan
mengganjal. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengendarai motor,
yang setiap hari terpapar angin, debu, asap, dan sinar matahari langsung, yang
merupakan faktor resiko terjadinya penyakit pterygium. Pasien juga seorang
pekerja yang sering di depan komputer, yang setiap hari terpapar udara ac yang
kering. Kemudian pada mata pasien terdapat membran fibrovaskular yang
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau daerah kornea yang
merupakan tanda khas dari pterygium. Pada pasien selaput fibrovaskular sudah
melewati limbus < 2 mm dari arah nasalis tetapi belum melewati pupil
12
sehingga belum mengganggu penglihatan, yang merupakan gambaran klinis
khas pterygium grade II.
2. OS Pterygium Grade III
Disingkirkan karena pada pterygium grade III pertumbuhan jaringan selaput
fibrovaskular sudah melewati limbus > 2 mm dan sudah melewati pupil.
Sedangkan pada pasien selaput fibrovaskular sudah melewati limbus < 2 mm
namun belum melewati pupil, sehingga belum mengganggu penglihatannya.
3. OS Pseudopterygium
Disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada kornea serta
tidak ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea akibat ulkus di kornea yang
menahun. Sedangkan pada pasien tidak didapatkan riwayat tersebut.

C. ODS Presbiopia
1. Presbiopia
Dipertahankan karena pasien berusia > 40 tahun dan mengeluh mata mudah
lelah dan pedas jika membaca dalam waktu lama, serta membaca harus
dijauhkan untuk memperjelas tulisan yang kecil.
2. Hipermetropia
Disingkirkan karena pasien tidak mengalami gejala kabur saat melihat jauh
maupun lebih kabur lagi saat melihat dekat.

VI. DIAGNOSA KERJA


OD Pterygium Duplex Grade III Post Ekstirpasi
OS Pterygium Nasalis Grade II
ODS Presbiopia

VII. TERAPI
1. OD Pterygium Duplex Grade III Post Ekstirpasi
Medikamentosa:
- Oral
Tidak diberikan
- Topikal
Dexametason sodium phosphate 1 mg ED S 3 dd gtt 1 ODS
Polymixin B sulphate 600 IU S 3 dd gtt 1 ODS
13
- Parenteral
Tidak diberikan
- Operatif
Tidak dilakukan
Non Medikamentosa:
Tidak ada
2. OS Pterygium Nasalis Grade II
Medikamentosa:
- Oral
Tidak diberikan
- Topikal
Dexametason sodium phosphate 1 mg ED S 3 dd gtt 1 ODS
Polymixin B sulphate 600 IU S 3 dd gtt 1 ODS
- Parenteral
Tidak diberikan
- Operatif
Tidak dilakukan
Non Medikamentosa:
Tidak ada
3. ODS Presbiopia
Medikamentosa:
- Oral
Tidak diberikan
- Topikal
Tidak diberikan
- Parenteral
Tidak diberikan
- Operatif
Tidak dilakukan
Non Medikamentosa:
Dengan kacamata sferis +2.75 Dioptri sesuai umur pasien 57 tahun

14
VIII. EDUKASI
1. OD Pterygium Grade III Post Ekstirpasi et OS Pterygium Grade II
- Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput berwarna merah berbentuk segitiga
itu adalah sebuah kelainan yang diakibatkan seringnya mata terkena debu,
angin, dan sinar matahari, serta berhubungan dengan aktivitas sehari-hari pasien
mengendarai motor. Kelainan tersebut disebut pterygium.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput pada matanya tersebut akan semakin
melebar baik pada mata kanan maupun mata kiri. Maka untuk menjaga supaya
mata kiri tidak semakin melebar dan mata kanan tidak kembali terkena setelah
operasi, maka harus menjaga mata dari paparan langsung matahari dengan
menggunakan kacamata hitam dan menggunakan helm yang tertutup saat
berpergian dengan kendaraan bermotor.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa obat tetes matanya hanya untuk mengurangi
peradangan, bukan untuk memperkecil ukurannya tersebut.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput di mata kanan tersebut harus
dilakukan tindakan operasi, untuk memperbaiki fungsi penglihatan dan
memperbaiki dari segi kosmetika.
- Menjelaskan kepada pasien walaupun sudah di operasi, akan tetap ada bekas di
matanya walaupun minimal.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput tersebut dapat muncul kembali jika
mata terpapar dengan faktor pencetus seperti debu dan angin. Oleh karena itu
dianjurkan untuk menggunakan kacamata untuk melindungi mata dari debu dan
angin.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa setelah operasi, fungsi penglihatan pasien
akan kembali seperti semula, namun harus ditambahkan kacamata untuk dapat
melihat lebih jelas apabila pasien sedang membaca.
2. ODS Presbiopia
- Menjelaskan kepada pasien bahwa berkurangnya pandangan untuk membaca
dekat yang dialami pasien diakibatkan karena melemahnya otot mata karena
faktor usia.
- Berkurangnya pandangan untuk membaca dekat pada pasien tidak bisa
disembuhkan degan obat namun tidak akan semakin bertambah karena usia
pasien sudah melebihi 60 tahun.

15
- Menjelaskan kacamata yang digunakan bukan untuk menyembuhkan atau
mengurangi keparahan penurunan penglihatannya namun hanya membantu
untuk memperjelas pasien dalam membaca dekat.
- Menjelaskan kepada pasien untuk menggunakan kacamata terutama saat
membaca saja.

IX. KOMPLIKASI
1. OD Pterygium Grade III Post Ekstirpasi
- Astigmatisma
- Penurunan visus
- Diplopia

2. OS Pterygium Grade II
- Astigmatisma
- Penurunan visus
- Diplopia

3. ODS Presbiopia
- Tidak ada

X. RUJUKAN
Dalam kasus ini tidak dilakukan rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya
karena dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan yang berkaitan dengan
Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya.

XI. PROGNOSIS

Prognosis Oculus Dexter Oculus Sinister


Quo ad visam Ad Bonam Ad Bonam
Quo ad sanam Ad Bonam Ad Bonam
Quo ad functionam Ad Bonam Ad Bonam
Quo ad kosmeticam Dubia ad Bonam Dubia ad Bonam
Quo ad vitam Ad Bonam Ad Bonam

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI
A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjuntiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan
dibwahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

17
B. Anatomi Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan
avascular. Factor-faktor yang menyebabkan kejernihan kornea adalah letak epitel
kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan
padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea
merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea
melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan
sklera ini disebut limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu:
1. Epitel
Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk dan saling
tumpeng tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran
air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan.
2. Membran Bowmann

18
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Meripakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur, sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Decement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea, dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat
sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal 20-40 µ,.
Endotel melekat pada membran decement mealui hemidesmosome dan
zonula okluden. Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama
berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
bowman melepaskan selubung schwannnya. Seluruh lapis epitel
dipersyarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus
Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi
saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem


pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinarterkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

19
II. PTERYGIUM
A. Definisi
Pterygium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva ini bersifat degeneratif dan invasif.
Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General
Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguikula
berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral.
Sedangkan menurut Sidharta Ilyas, pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari Bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium
yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

20
B. Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi
juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di dataran Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah
yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat
disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relative
angka kejadian di lintang bawah.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatulistiwa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor redikonya adalah paparan
sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan allergen,
iritasi berulang (missal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20-49
tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekurensi lebih
sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Laki-laki lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.

C. Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

21
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya:
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawa 20 tahun. Untuk
pasien yang umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi tinggi,
sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai
insidensi pterygium yang paling tinggi.

D. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.
1. Radiasi Ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah
paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor
penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom
dominan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, yang saat ini menjadi teori baru patogenesis
dari pterygium, yang juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis
factor” dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga dapat menjadi penyebab dari
pterygium.
22
E. Etiologi dan Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas, karena penyakit ini lebih
dering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angina kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
pelbagai faktor resiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dan progresivitasnya diduga merupakan hasil
dari kelainan lapisan Bowmann kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastic kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang menyebabkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain
itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan fibropastik bari. Tingginya insiden pterygium pada daerah
beriklim kering mendukung teori ini.
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
intrapalpebral akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenerasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor
suppressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses
kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya, terjadi
perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitel fibrovaskular. Pada
jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastic dan proliferasi
jaringan vascular di bawah pitelium yang kemudian menembus kornea. Kerusakan
pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowmann oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau

23
tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
fenotip, yaitu lapisan fibroblas mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada
fibroblas pterygium menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks
ekstraselular yang berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan
luka dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab pterygium cenderung
terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea sehingga terjadi reaksi fibrovaskular
dan inflamasi.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotic kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitelium,
histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotic menunjukkan
basofilia bila di cat dengan hamatoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa di cat
dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang
sebenernya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi pterygium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu0abuan di pewarnaan H& E.
berbentuk bulat atau degenerasi elastotik dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowmann oleh
jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi
mungkin akantolitik, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hyperplasia dari sel goblet.

24
F. Gejala Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar
ultraviolet, debu, dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena
daerah nasal konjungtiva secara relative mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva lain. Selain secara langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung
akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan
pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fisura intrapalpebral. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stoker’s line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimtomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:
- Mata sering berair dan tampak merah.
- Merasa seperti ada benda asing.
- Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium.
- Pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.
- Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

G. Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sklera) pada limbus, berkembang menuju kearah kornea dan pada permukaan
kornea. Sklera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kea
rah kantus.

25
- Apex (head), bagian atas pterygium
- Cap, bagian belakang pterygium.
Pterygium terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu:
- Pterygium progresif:
Memiliki gambaran tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate di kornea
di depan kepala pterygium.
- Pterygium regresif:
Dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk membrane
tetapi tidak pernah hilang. Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head)
yang mengarah ke kornea dan badan.
Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterygium, dan dapat dibagi menjadi 4 (gradasi klinis
menurut Youngson):
- Derajat 1:
Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
- Derajat 2:
Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
- Derajat 3:
Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
- Derajat 4:
Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

H. Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu
atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dana tau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-
lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari
peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin
tampak lebih kering dari biasanya. Penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan
berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.

26
Test: uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh.
Dengan menggunakan slit lamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium
tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterygium tidak dapat
dilalui oleh sonde seerti pada pseudopterygium.

I. Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fisura intrapalpebral dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering terjadi pada
iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguekula.

2. Pseudopterygium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring
atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterygium, pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterygium yang tidak melekat pada
limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterygium pada limbus, sedangkat pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopterygium tidak didapat bagian head, cap dan body dan

27
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fisura intrapalpebral yang berbeda
dengan true pterygium.

J. Terapi
1. Konservatif
Pada pterygium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterygium derajat 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraocular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterygium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian konjungtiva
bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama
pengangkatan pterygium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterygium yang
rekuren, mengingat kompikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
1. Indikasi Operasi
- Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih dari 3 mm dari
limbus.
- Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.

28
- Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair, dan
silau karena astigmatismus.
- Kosmetik, erutama untuk penderita wanita.
2. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterygium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke
kornea. Banyak Teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang
diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.
Terlepas dari Teknik yang digunakan, eksisi pterygium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterygium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan
termasuk epitelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal, dan
halus dari permukaan kornea.
- Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sklera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 % dan 89 %, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan
- Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 % dan
setinggi 40 % pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar
superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi pterygium
tersebut. Kompikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon’s
dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan
orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.
- Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterygium. Meskipun keuntungan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar

29
peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi
faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epitelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada
studi yang ada, diantara 2,6 % dan 10,7 % untuk pterygium primer dan
setinggi 37,5 % untuk kekambuhan pterygium. Sebuah keuntungan dari
teknik ini selama autograft konjungtiva diambil dari konjungtiva
bulbar. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan
episkleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan pada autograft
konjungtiva.
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi maslaah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygium. Studi telah meninjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topical setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperative untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidakada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis skleral, endoftalmitis dan
pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.

30
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
- Mitomycin C 0,02 % tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexametason 0,1 % 4x1 tetes/hari kemudian
tapering off sampai 6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexametason.
- Sinar beta
- Topical thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata 1 tetes/3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotic
kloramfenikol dan steroid selama 1 minggu.

K. Komplikasi
1. Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan.
- Mata kemerahan.
- Iritasi.
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea.
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral
berkurang.
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia.
- Dry eye syndrom.
- Keganasan epitel pada jaringan epitel diatas pterygium.
2. Kompliaksi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Rekurensi.
- Infeksi.
- Perforasi korneosklera.
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakan dan perdarahan.
- Korneoskleral dellen.
- Granuloma konjungtiva.
- Epithelial inclusion cyst.

31
- Conjungtiva scar.
- Adanya jaringan parut di kornea.
- Disinsersi otot rektus.
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterygium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan paling tinggi, sekitar 50-80 %. Angka
ini bisa dikurangi sekitar 5-15 % dengan penggunaan autograft dari konjungtiva
atau transplant membrane amnion pada saat eksisi.

L. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropic yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,
petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari.

M. Prognosis
Pterygium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitostatik tetes mata atau
beta radiasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama post operasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan autograft konjungtiva atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama
setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi intensitas terpapar matahari.

III. PPRESBIOPIA
1. Definisi
Presbiopia merupakan kelainan refraksi pada mata yang menyebabkan
punctum proksimum mata menjadi jauh. Hal ini disebabkan karena telah terjadi
gangguan akomodasi yang terjadi pada usia lanjut. Presbiopia merupakan suatu
keadaan yang fisiologis, bukan suatu penyakit dan terjadi pada setiap mata.

32
2. Etiologi
Gangguan daya akomodasi akibat kelelahan otot akomodasi yaitu menurunnya
daya kontraksi dari otot siliaris sehingga zonulla zinii tidak dapat mengendur secara
sempurna. Gangguan akomodasi juga terjadi karena lensa mata elastisitasnya
berkurang pada usia lanjut akibat proses sklerosis yang terjadi pada lensa mata.

3. Patofisiologi
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi
mata karena adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa
dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur maka
lensa menjadi lebih keras (sklerosis)dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi
cembung. Dengan demikian kemampuan melihat dekat makin berkurang.

4. Klasifikasi
a. Presbiopia Insipien
Tahap awal perkembangan presbiopi, dari anamnesa didapati pasien
memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak tampak kelainan bila
dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak preskripsi kaca mata baca.
b. Presbiopia Fungsional
Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan akan didapatkan kelainan
ketika diperiksa.
c. Presbiopia Absolut
Peningkatan derajat presbiopi dari presbiopi fungsional, dimana proses
akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali.
d. Presbiopia Prematur
Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya berhungan
dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan.
e. Presbiopia Nokturnal
Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap disebabkan oleh
peningkatan diameter pupil.

5. Gejala Klinik
Gejala yang timbul akibat gangguan akomodasi pada pasien berusia di atas 40
tahun ini adalah keluhan saat membaca atau melihat dekat menjadi kabur dan
33
membaca harus dibantu dengan penerangan yang lebih kuat (pupil mengecil), serta
mata menjadi cepat lelah.
Keadaan ini bila tidak dikoreksi akan menimbulkan gejala astenopia yaitu mata
lekas lelah, berair, pusing, cepat mengantuk. Pemeriksaan presbiopia
mempergunakan tes Jaeger.

6. Diagnosis Banding
- Presbiopia
Oleh karena degenerasi lensa sehingga akomodasi menjadi lambat dan
perubahan pungtum proksimum.
- Hipermetropia
Oleh karena sinar sejajar jauh jatuh di belakang retina dan sinar sejajar
dekat jatuh lebih jauh di belakang retina.

7. Pemeriksaan Presbiopia
a. Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari kartu Snellen.
b. Pasien diukur visus jauhnya dengan kartu snellen bila dengan mata satu per satu,
mulai dengan mata kanan dan menutup mata yang tidak diperiksa.
c. Pasien diukur visus dekatnya menggunakan kartu jaeger dengan menggunakan
dioptri yang sesuai dengan umur pasien (1.0 D untuk usia 40 tahun, +1.5 D
untuk usia 45 tahun, +2.0 D untuk usia 50 tahun, +2.5 D untuk usia 55
tahun,+3.0 D untuk usia 60 tahun) dan target yang bisa terbaca yaitu pada J6,
pemeriksaaan dilakukan satu per satu mulai dengan mata kanan dan menutup
mata yang tidak diperiksa.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penderita presbiopia adalah dengan menggunakan


kacamata sferis positif (S+), yang kekuatannya sesuai dengan umur pasien. Pada
kacamata baca diperlukan koreksi atau penambahan sesuai dengan bertambahnya
usia pasien biasanya adalah:
- +1.0 D untuk usia 40 tahun
- +1.5 D untuk usia 45 tahun
- +2.0 D untuk usia 50 tahun

34
- +2.5 D untuk usia 55 tahun
- +3.0 D untuk usia 60 tahun

35
BAB III

KESIMPULAN

Pterygium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan
yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini dikarenakan oleh letak geografis
Indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang
merupakan salah satu faktor penyebab dari pterygium. Pterygium banyak diderita oleh laki-
laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien
di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimtomatik),


bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga
perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnya.

Terapi dari pterygium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterygium yang iritatif. Pada pembedahan
akan dilakukan jika pterygium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal
gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka
kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kualitas sinar UV di Indonesia. Walaupun
begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung
sinar matahari.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2010

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6, 116
– 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/
article/ 1192527-overview. 2011

5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s General Ophthalmology 17th edition.
Philadelpia : McGrawHill. 2007

6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York : Thieme.
2000

7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:


Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142

37

Anda mungkin juga menyukai