NIM : 041714253016
KELAS : A2P
PART A
Saham yang biasa disingkat menjadi RUPS, adanya komisaris, dan juga
RUPS.
saham. Tapi dalam hal ini, terjadi suatu perbedaan kepentingan antara
agency cost, maka dari hal tersebut perlu dan pentingnya suatu
Stewardship Theory: teori ini adalah lawan dari agency theory. Dimana
atau kepentingan dari prinsipal yang akan menjadi tercapai suatu tujuan.
Australia. Struktur dalam sistem ini terdiri dari RUPS, Board of Director
(BoD), dan Executive Manager. Dimana, peran dewan komisaris dan dewan
direksi yang biasa di sebut sebagai BoD dalam sistem ini dirangkap menjadi
satu. Hal ini, satu dewan bertugas untuk mengawasi jalannya tata kelola
perusahaan.
Two-tier System ini sering digunakan di Negara Eropa dan Indonesia pun
dan dewan direksi terpisah tidak digabung seperti dalam one-tier system.
Sehingga, tugas dewan komisari di sini sebagai pengawas dan dewan direksi
dewan komisaris akan menjadi lebih efektif dala menjalankan suatu tugas
tersebut dan fokus untuk mengawasi dewan direksi. Sedangkan, pada one-
tier system peran dewan komisaris dan direksi dirangkap menjadi satu,
dimana hal tersebut membuat perannya menjadi tidak fokus dalam hal
menjalankan tugasnya. Hal lain dalam one-tier system tidak ada kejelasan
terjadinya krisis perekonomian pada tahun 1997. Dampak terbesar dari krisis
kebangkrutan karena tidak mampu bertahan. Salah satu penyebab hal itu adalah
karena pertumbuhan yang telah dicapai selama itu tidak dibangun kokoh sesuai
dewan komisaris, dewan direksi, serta auditor atas aktivitas yang dilakukan oleh
Tata kelola perusahaan merupakan suatu hal penting yang harus diterapkan
dan Independensi.
dibentuk pada tahun 1999 oleh Menko Perekonomian dan menerbitkan Pedoman
kasus tentang skandal laporan keuangan yang telah dilakukan oleh PT. Bank
Lippo, Tbk.
Dalam PT. Bank Lippo ditemukan tiga buah laporan keuangan yang
dinyatakan telah diaudit, tetapi terjadi perbedaan dalam ketiga laporan keuangan
tersebut. Dari ketiga laporan keuangan PT. Bank Lippo, Tbk ternyata hanya ada
satu laporan keuangan tersebut per 30 September 2002 yang telah disampaikan
disebutkan bahwa total aktiva perseroan Rp. 24 Triliun Rupiah dan Laba Bersih
Rp. 98 Milyar Rupiah. Namun, laporan keuangan yang telah dilaporkan ke Bursa
Efek Berjangka pada tanggal 27 Desember 2002 disebutkan bahwa total aktiva
perusahaan PT. Bank Lippo, Tbk. berubah menjadi Rp. 22,8 Triliun Rupiah
(turun Rp. 1,2 Triliun Rupiah) dan perusahaan Rugi Bersih Rp. 1,3 Triliun
Rupiah.
dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Kantor Akuntan Publik Prasetio,
Sarwoko & Sandjaja (penanggung jawab Drs. Ruchjat Kokasih), dengan laporan
auditor independen No. REC-0031/02 dengan tanggal ganda (dual dating) yang
November 2002 dan catatann 40c tertanggal 16 Desember 2002) yang telah
disampaikan kepada pihak manajemen PT. Bank Lippo, Tbk pada tanggal 6
Januari 2003.
tejadi karena adanya penurunan aset yang diambil alih atau yang biasa disebut
foreclosed asset dari Rp. 2,393 Triliun Rupiah turun menjadi Rp. 1,420 Triliun
Rupiah. Hal ini mengakibatkan keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat
kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) dari 24,77% turun menjadi
4,23%. Tetapi, beberapa pihak yang lain menduga bahwa perbedaan laporan
yang dijadikan aset berasal dari kelopok PT. Bank Lippo, Tbk itu sendiri. Yakni,
PT. Bukit Sentul, Tbk., PT. Lippo Karawaci, Tbk., dan PT. Panin Insurance,
Tbk.
Kemudian hal yang lain yang masih terkait dalam kasus di atas, dua
kedua laporan keuangan yang belum dilakukan pengauditan tersebut ternyata ada
atas dasar ketentuan dari pihak Bank Indonesia. Selanjutnya, pernyataan dari
pihak manajemen PT. Bank Lippo, Tbk bahwa laporan keuangan tersebut adalah
independen yang berisi opini akuntan publik dan per 30 September 2001 (untuk
Laporan Keuangan PT. Bank Lippo, Tbk. yang telah disampaikan kepada Bursa
tersebut melanggar suatu hal dalam dunia pasar modal berupa perdagangan
Praktisi dalam dunia pasar modal Lin Che Wei mengatakan, selama 40 hari
perdagangan bursa yang dimulai pada tanggal 4 November 2002 sampai dengan
tanggal 10 Januari 2003 terjadi anomali dalam transaksi saham PT. Bank Lippo,
Tbk (LPBN). Hal itu diduga sengaja dilakukan perusahaan sekuritas yang
berafiliasi dengan Lippo Group serta beberapa perusahaan sekuritas lain yang
Lippo, Tbk dengan volume hanya satu atau dua lot dengan harga yang selalu
lebih rendah daripada rata-rata harga yang sudah ditentukan pada hari itu.
Akibatnya, hampir setiap hari harga saham bank tersebut menjadi turun.
Dari kasus yang telah dijabarkan di atas diketahui bahwa pihak dari
manajemen PT. Bank Lippo Tbk. telah melakukan hal yang cukup lalai, yaitu
termasuk dalam prinsip Good Corporate Governance, dalam hal ini khususnya
masuk kedalam prinsip transparasi. Prinsip transparasi dapat dilhat bahwa suatu
secara tepat dan secara professional. Seperti, menunjuk auditor yang mempunyai
Tbk yang telah melakukan hal yang bisa dibilang cukup lalai karena
dilakukan pegauditan merupakan suatu hal yang dianggap tidak berhati-hati yang
merupakan tanggungjawab juga dari pihak manajemen PT. Bank Lippo, Tbk.
Hal tersebut dapat juga terjadi karena tidak adanya check dan balances atau
bisa juga disebut dengan pengawasan dan keseimbangan yang baik antara dewan
komisaris dan dewan direksi terhadap pihak manajemen PT. Bank Lippo, Tbk.,
terhadap pihak anggota manajemen PT. Bank Lippo, Tbk. Karena salah satu
tugas utama dewan direksi adalah melakukan pengawasan atas tugas-tugas yang
telah diberikan kepada pihak manajemen. Selain itu juga, dewan direksi wajib
Selain itu, dalam hal ini tanggungjawab komite audit di bidang laporan
keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan tersebut yang telah
disimpulkan bahwa peranan komite audit dalam PT. Bank Lippo, Tbk untuk
menciptakan sebuah mekanisme check and balances masih belum dapat terwujud
Dalam hal ini, PT. Bank Lippo, Tbk termasuk masih belum bisa tergolong
Perusahaan tersebut masih tegolong lemah dalam hal sistem tata kelola
laporan keuangan. Tidak hanya membuat laporan keuangan ganda, PT. Bank
Lippo, Tbk diduga telah menyalahgunakan jual beli saham di dalam pasar modal.
Terkait dalam kasus ini pun dapat menjadi pemicu perusahaan atau pihak
PT Bank Lippo, Tbk. Kasus yang telah di alami oleh Bank Lippo dari
modal membuat turunnya saham. Pada awal tahun 2003, PT Bank Lippo, Tbk
Ada dua prinsip Good Corporate Governance yang terkait dalam kasus PT.
Pada prinsip ini, seharusnya PT. Bank Lippo memiliki kewajiban untuk
tepat dan secara professional dengan cara salah satunya menunjuk auditor
2. Accountability
Tbk.
oleh Bursa Efek pasar modal. Dan, seharusnya untuk membuat laporan
keuangan yang baik mengacu pada pedoman yang telah dipercayai seperti
peraturan PSAK.
Dalam kasus PT. Bank Lippo, Tbk termasuk dalam kasus manajemen laba.
Manajemen laba sendiri dapat muncul sebagai dampak dari teori keagenan
Agar tidak terjadinya kasus seperti ini terjadi lagi, seharusnya semua
PT. Bank Lippo, Tbk seharusnya melakukan hal ini. Dengan memaparkan
laporan keuangan yang lebih tepat dan lebih baik agar terhindar dari kecurangan
dan kasus ketidakhati-hatian. Dan juga, melakukan transaksi jual beli saham
berdasarkan peraturan yang telah ditentukan oleh Bursa Efek Indonesia. Sikap
perusahaan pada PT. Bank Lippo, Tbk perlu ditinjau lebih dalam lagi agar tidak
laporan keuangan yang dilakukan secara tepat dan secara professional dengan
cara salah satunya menunjuk auditor yang lebih independent, qualified, dan
competent.
akuntanbilitas, yaitu PT. Bank Lippo, Tbk telah melakukan hal yang dianggap
laporan keuangan yang sebenarnya belum dilakukan pengauditan. Jadi, PT. Bank
Lippo termasuk dalam hal memanipulasi laporan keuangan. Melakukan suatu hal
yang dianggap lalai dan tidak berhati-hati, dan melanggar salah satu hak dasar
dari pemegang saham, seperti hak untuk menerima informasi secara tepat, benar,
dan professional.
Kemudian, kesalahan dari dewan direksi yang telah lalai dalam melakukan
pengawasan terhadap pihak manajemen PT Bank Lippo Tbk. dan tidak dilakukan
check and balances yang baik dan benar antara dewan direksi dan dewan
Dalam hal ini dianggap bahwa struktur tata kelola perusahaan dalam PT.
Bank Lippo, Tbk masih belum berjalan dengan baik dan dianggap masih
lemahnya penerapan Good Corporate Governance dalam perusahan tersebut.
Dalam kasus ini, telihat bahwa dewan komisaris dan dewan direksi masih belum
semua kegiatan yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh pihak manajemen.
Sepeti yang telah di lihat, dapat disimpulkan bahwa dewan direksi sendiri kurang
Forum for Corporate Governance. 2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite
Jakarta.
Tersedia: http://singgihnurseto.blogspot.com.
Akuntansi 7. Denpasar.
https://akuntansi6c.files.wordpress.com/2017/04/pt-bank-lippo-tbk-ivone-tianty-
dewi.pdf
https://bisnis.tempo.co/read/6701/bej-anggap-kasus-laporan-keuangan-bank-
lippo-selesai
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7516/kronologis-kasus-bank-lippo-
versi-koalisi--masyarakat