Anda di halaman 1dari 24

SMF/LAB Ilmu Kesehatan Mata Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie

RETINOBLASTOMA

Oleh:
Dedy Sutriyatno (1710029011)
Irvana Fatimah Sudrajat (1710029016)
Mayang Larasati (1710029001)
Nur Indah Tri Widya Putri (1710029004)
Riska Putri Dewri (1710029012)

Pembimbing:
dr. Manfred Himawan, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, 2018
SMF/LAB Ilmu Kesehatan Mata Tutorial Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie

RETINOBLASTOMA

Oleh:
Dedy Sutriyatno (1710029011)
Irvana Fatimah Sudrajat (1710029016)
Mayang Larasati (1710029001)
Nur Indah Tri Widya Putri (1710029004)
Riska Putri Dewri (1710029012)

Pembimbing:
dr. Manfred Himawan, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, 2018

ii
TUTORIAL KLINIK

RETINOBLASTOMA

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Mata

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Manfred Himawan, Sp.M

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, 2018

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan karunia-Nya lah
penulisan tutorial klinik yang berjudul “Retinoblastoma” dapat terselesaikan
dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman.
2. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Manfred Himawan, Sp.M, selaku Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman, sekaligus sebagai pembimbing referat.
5. Seluruh staff di SMF Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda yang telah membimbing kami selama menjalani kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
6. Teman-teman Dokter Muda yang menjalani kepaniteraan klinik di Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Mata di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
7. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan doa serta semangat
dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi mereka yang membutuhkan.

Samarinda, September 2018


Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................... iv
Daftar Isi........................................................................................................... v
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan .......................................................................................................... 3
Bab 2 Laporan Kasus ......................................................................................... 4
2.1 Skenario.....................................................................................................
2.2 Step 1 (Istilah Asing) ................................................................................
2.3 Step 2 (Rumusan Masalah) .......................................................................
2.4 Step 3 (Brainstorming)..............................................................................
2.5 Step 4 (Peta Konsep) .................................................................................
2.6 Step 5 (Learning Objectives) ....................................................................
2.7 Step 6 (Belajar Mandiri)............................................................................
2.2 Step 7 (Membuat Laporan) .......................................................................
Bab 3 Tinjauan Pustaka ......................................................................................
3.1 Retina ........................................................................................................
3.1.1 Anatomi Retina .........................................................................................
3.1.2 Histologi Retina ........................................................................................
3.1.3 Fisiologi Retina .........................................................................................
3.1.4 Fisiologi Visual Pathway ..........................................................................
3.2 Retinoblastoma..........................................................................................
3.2.1 Definisi ......................................................................................................
3.2.2 Klasifikasi .................................................................................................

Bab 4 Penutup ....................................................................................................


4.1 Kesimpulan ..................................................................................................
4.2 Saran .............................................................................................................
Daftar Pustaka ....................................................................................................

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan pada lapisan retina
mata, yaitu bagian mata yang paling peka terhadap cahaya. Penyakit retinoblastoma
dapat menyerang segala usia, tetapi umumnya menyerang anak dengan usia di
bawah 3 tahun (Radhakrishnan, V., dkk., AAO 2012). Penyakit retinoblastoma
umumnya merupakan penyakit kanker anak dan menempati urutan ketiga terbanyak
di dunia setelah kanker darah (leukemia) dan kanker otak (Kaiser, dkk., 2014).
Masalah kesehatan mata secara global lebih banyak terpusat pada
pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat. World Health Organization (WHO)
sejak tahun 18 Februari 1999 sudah mulai untuk menggalakkan program “The Right
to Sight” untuk memberantas kebutaan pada anak dengan harapan pada tahun 2020
angka kebutaan anak menurun. Penyakit retinoblastoma merupakan salah satu
masalah kesehatan mata anak yang dapat jatuh pada kebutaan jika tidak didiagnosis
secara dini. Di negara berkembang, terdapat tingkat pendidikan dan kondisi
sosioekonomi yang rendah, serta kurang memadainya sarana kesehatan. Hal ini
mengakibatkan tertundanya diagnosis dan penatalaksanaan retinoblastoma yang
optimal. Di negara maju, perawatan retinoblastoma agar tidak jatuh ke dalam
kondisi yang lebih buruk, merupakan prioritas utama (Rodriguez-Galindo, dkk.,
2010).
Insidensi retinoblastoma di dunia sebanyak 1 dalam 15.000-20.000 per
angka kelahiran. Kanker ini menyerang secara unilateral dengan rata-rata umur saat
didiagnosis adalah dua tahun, dalam 60% kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak
15% terkait masalah keturunan. Sedangkan pada 40% kasus, retinoblastoma
menyerang secara bilateral dengan rata-rata umur saat didiagnosis adalah satu tahun
(Aerts, dkk., 2006). Sekitar 250-350 kasus baru retinoblastoma di Amerika
terdiagonosis setiap tahunnya, dimana sekitar 90% kasus muncul pada usia dibawah
5 tahun. Anak laki-laki dan perempuan dapat terkena tanpa dipengaruhi jenis
kelamin (Kaiser, dkk., 2014).

1
Di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika, dan Australia,
retinoblastoma dijumpai sebanyak 2-4%, sementara di negara berkembang
retinoblastoma dijumpai sebanyak 3%. Frekuensi di negara maju dan berkembang
tersebut tidak jauh berbeda dengan frekuensi di Asia (Ajiki, dkk., 1994 dalam
Yeole, dkk., 2001). Frekuensi di Asia, diwakili oleh Mumbai, India, pada periode
1986-1998, dari 10.000 kasus kanker yang terdeteksi, terdapat 211(0,2%) kasus
keganasan mata. Dari 211 kasus tersebut, 147 diantaranya adalah kasus
retinoblastoma, dimana 145(98%) terjadi pada anak-anak (Yeole & Advani, 2002).
Di Indonesia, diprediksi tiap tahun ada seratus penderita kanker baru dari 100.000
penduduk, sebanyak 2% di antaranya atau 4.100 kasus merupakan kanker anak.
Angka ini terus meningkat karena kurangnya pemahaman orang tua mengenai
penyakit kanker dan bahayanya (Edi, 2006 dalam Chandrayani, 2009). Penelitian
di RSCM melaporkan bahwa leukemia merupakan jenis kanker yang terbanyak
pada anak (30-40%), kemudian disusul tumor otak (10-15%), dan kanker
mata/retinoblastoma (10-12%); sisanya kanker jenis lain seperti kanker getah
bening, kanker saraf, dan kanker ginjal pada anak (Siswono, 2001 dalam
Chandrayani, S., 2009). Sampai saat ini, belum ada data yang pasti mengenai
insidensi retinoblastoma di Indonesia. Data dari Hematologionkologi Anak RS
Cipto Mangunkusumo memperlihatkan bahwa insidensi retinoblastoma sebanyak
163 kasus selama periode 2000-2006 (Asih D., dkk., 2009).
Gejala-gejala dini pada retinoblastoma sering tidak disadari hingga muncul
manifestasi klinis awal berupa pupil memutih (leukokoria), strabismus, atau
inflamasi (Vaughan & Asbury’s general ophthalmology, 2007). Manifestasi klinis
lainnya dapat berupa rubeosis iris, hipopion, hifema, buftalmia, selulitis orbital, dan
eksoftalmia. Manifestasi klinis tersebut masih terlalu umum sehingga diperlukan
pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui lebih jauh . Manifestasi klinis lebih
lanjut dapat berupa tumor solid intraokuler atau ekstraokuler (Aerts, dkk., 2006).
Di negara-negara maju, dimana tingkat pendidikan yang tinggi, sarana
kesehatan yang memadai, dan keadaan sosioekonomi yang baik, kasus
retinoblastoma dapat didiagnosis lebih awal dengan manifestasi klinis yang masih
dalam tahap dini. Penelitian di beberapa negara, yaitu Amerika, Inggris, Swiss, dan
Finlandia menemukan bahwa leukokoria terjadi pada 50-60%, strabismus baik

2
esotropia maupun eksotropia 20-25%, dan tanda radang (mata merah atau pseudo
orbital cellulities) 6-10% (Dharmawidiarini, dkk., 2010). Sedangkan di Afrika dan
Asia Tenggara, seperti Indonesia, laporan kasus retinoblastoma umumnya sudah
mencapai manifestasi klinis tahap lanjut ekstrokuler sehingga memberikan
prognosis yang buruk (Radhakrishnan, V., dkk., dalam AAO 2012) . Penelitian di
RSUP H. Adam Malik Medan, dari 40 kasus retinoblastoma, keluhan terbanyak
mata menonjol (proptosis) sebanyak 33 (54,1%) kasus pada unilateral dan 7
(11,4%) kasus pada bilateral. Sedangkan keluhan bintik putih (leukokoria) 13
(21,3%) kasus pada kelompok unilateral. Lama munculnya gejala 3,5 bulan untuk
retinoblastoma unilateral dan 2,1 bulan pada retinoblastoma bilateral. Anak dengan
retinoblastoma bilateral akan berkembang cepat pada awal usia dibandingkan
dengan retinoblastoma unilateral (Rosdiana, 2011).
Faktor lain yang menjadi karakteristik penderita retinoblastoma adalah
status gizi. Di negara maju dengan keadaan sosioekonomi yang tinggi, anak-anak
penderita retinoblastoma datang dengan status gizi baik. Sedangkan di negara
berkembang dengan status sosioekonomi rendah, anak-anak penderita
retinoblastoma datang dengan status gizi yang kurang baik. Hal ini akan
mempengaruhi keberhasilan terapi dan prognosis dari retinoblastoma.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan tutorial klinik ini adalah:
1) Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai anatomi,
definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan diagnosis
banding retinoblastoma.
2) Agar mahasiswa mampu memahami dan menentukan terapi yang tepat pada
penangann retinoblastoma, serta pencegahan dan prognosis dari
retinoblastoma.

3
BAB 2
LAPORAN KASUS
Anamnesis didapatkan secara autoanamnesis dan pemeriksaan fisik
dilakukan pada tanggal 7 September 2018 di Kamar 2 Ruang Melati RSUD Abdul
Wahab Sjahranie.
2.1 Identitas Pasien

Nama : An MKA

Usia : 2,9 tahun

Alamat : Jalan Simpang 3 Wahau

Pekerjaan :-

Pendidikan Terakhir : Belum Sekolah

Suku : Jawa

Anamnesis (Alloanamnesis)

Keluhan Utama : Benjolan pada mata kanan

Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 2,9 tahun dibawa ibunya ke RSUD
AWS. Pasien ini rujukkan dari RSUD Kudungga. Ibu pasien datang bersama
anaknya dengan keluhan mata kanannya terlihat merah dan agak menonjol. Kepada
Dokter, ibunya menjelaskan bahwa keluhan mata seperti menonjol dialami sejak 6
bulan yang lalu dan semakin membesar 2 bulan terakhir. Pada mata kanannya
tampak darah mengalir sejak 2 hari yang lalu disertai nyeri sejak satu bulan yang
lalu. Ibu pasien mengaku sejak muncul keluhan pada mata kanan sang anak, sempat
terlihat seperti mata kucing. Selain itu, pada daerah depan telinga kanan terdapat
benjolan 1 bulan yang lalu kemudian melebar ke arah bawah telinga kanan.
Benjolan tersebut sempat mengeluarkan darah. Sejak muncul keluhan ini, pasien
tidak mau makan, badannya terlihat lebih kurus dari biasanya.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami kejadian serupa.


Riwayat masuk rumah sakit tidak ada. Riwayat alergi tidak ada. Riwayat konsumsi
obat jangka panjang tidak ada.

4
Pemeriksaan Fisik Umum

Status Generalis didapatkan, keadaan umum tampak sakit sedang,


kesadaran compos mentis, nadi 93 x/mnt, respirasi 22 x/mnt, suhu badan 36,60 C.
Terdapat massa multiple, kistik, mobile pada leher sebelah kanan. Jantung dan paru
dalam batas normal, abdomen datar lemas, hepar/lien tidak teraba, ekstremitas
dalam batas normal. Status psikiatrik dalam batas normal. Status neurologik dalam
batas normal.
Status Oftalmologi

Pemeriksaan Okuli dekstra Okuli sinistra


Visus - 6/6
Posisi Bola Mata Ortoforia Ortoforia
Pergerakan Bola Mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Palpebra Superior Hiperemis Tidak ada kelainan

Palpebra Inferior Hiperemis Tidak ada kelainan


Konjungtiva Bulbi Tidak dapat dievaluasi Tidak ada kelainan
Kornea Tidak dapat dievaluasi Jernih
COA Tidak dapat dievaluasi Kedalaman cukup
Pupil Tidak dapat dievaluasi Bulat, reguler, diameter 3
mm, refleks cahaya (+)
Iris Tidak dapat dievaluasi Warna cokelat
Lensa Tidak dapat dievaluasi Jernih
TIO (palpasi) Normal/palpasi Normal/palpasi
Epifora Tidak dapat dievaluasi (-)
Sensibilitas Kornea Tidak dapat dievaluasi (+) Normal

5
Pemeriksaan Penunjang

Dari hasil pemeriksaan penunjang CT Scan didapatkan hasil :

 Bulbus okuli kanan tampak membesar dan mengalami proptosis, tampak masa
pada bulbus okuli kanan terutama pada bagian posterior disertai kalsifikasi.
 Kelenjar parotis kanan tampak membesar, tampak beberapa nodul di
didalamnya dengan diameter terbesar sekitar 2,31 cm
Diagnosis

Retinoblastoma Okuli Dekstra + Emetropia Okuli Sinistra

Diagnosis Banding
 Persistent hyperplastic primary vitreous
 Retinopathy of prematurity
 Panoftalmitis

Terapi

 Pembedahan (Enukleasi)
 Kemoterapi

6
 Fotokoagulasi

Prognosis
At Visam : Malam
At Vitam : Dubia ad Bonam
At Cosmeticam : Dubia ad Bonam
At Functionam : Dubia ad Malam

7
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Retina
3.1.1 Anatomi Retina
Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di
segmen posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan
informasi visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina
berkembang dari cawan optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari
akhir empat minggu usia janin (Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology,
2007).
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm
(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5
mm kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8 tahun.
Dari ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian
posterior dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian
posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang secara
sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal retina rata-rata 250 µm,
paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 µm, menipis pada fovea
dengan ukuran 150 µm, dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80
µm (Vaughan & Asburry’s General Ophthalmology, 2007).
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama dari
arteri karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus
optikus). Arteri siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah,
termasuk lapisan pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan lapisan
epitel pigmen.

8
Gambar 3.1 Anatomi Mata (Netter, F., 2006)
3.1.2 Histologi Retina
Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan
dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang
terdiri dari (dari luar ke dalam) (Mescher, A.L., 2010):
1. epitel pigmen
2. batang dan kerucut
3. membran limitans eksterna
4. lapisan inti luar
5. lapisan pleksiform luar
6. lapisan inti dalam
7. lapisan pleksiform dalam
8. lapisan sel ganglion
9. lapisan serat saraf
10. membran limitans interna

9
Gambar 3.2 Lapisan Retina (Mescher, A.L., 2010)
3.1.3 Fisiologi Retina
Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif
terhadap cahaya. Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan kerucut
yang memiliki peran dalam menangkap stimulus cahaya lalu mentransmisikan
impuls melalui nervus optikus ke korteks visual bagian oksipital (Vaughan &
Asburry’s General Ophthalmology, 2007).
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak
terjadi perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih
banyak pada bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan sel
batang densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula
(fovea). Sel kerucut berfungsi untuk melihat warna dan saat siang hari sehingga
fovea bertanggung jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel batang,

10
mengandung pigmen fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat warna hitam
putih dan saat malam hari sehingga bagian perifer bertanggung jawab untuk
penglihatan gelap pada malam hari (Dahl, A., 2013).
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel
ganglion, sel horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas
menghubungkan sel fotoreseptor (post sinaps sel batang dan kerucut) dan sel
ganglion. Sel ganglion memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut
nervus optikus ke otak. Sel horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan
berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin
terletak pada lapisan pleksiform dalam dan berfungsi sebagai penghubung sel
bipolar dengan sel ganglion (Dahl, A., 2013).
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari
sel Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam
dan memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform
luar. Sel astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia
berasal dari lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia (Sherwood,
L., 2010).

Gambar 3.3 Fisiologi Retina (Sherwood, L., 2010)


3.1.4 Fisiologi Visual Pathway
Pada saat fotopigmen rodopsin menyerap cahaya foton, 11- cis retinal
mengalami isomerisasi menjadi all–trans retinal (terkadang bisa menjadi all-trans
retinol) kemudian membebaskan dan mengaktifkan sejumlah opsin. Opsin yang

11
bebas kemudian berperan dalam mengkatalisasi aktivasi transdusin dari G-protein.
Transdusin mengkatalisasi aktivasi dari enzim fosfodiesterase (PDE). PDE
menghidrolisis cGMP menjadi GMP dan melepaskannya. Keadaan cGMP yang
menurun merangsang penutupan dari kanal natrium sehingga membran mengalami
hiperpolarisasi dan neurotransmitter tidak bisa keluar. Hal ini menyebabkan kanal
kalsium tertutup dan pengeluaran inhibitory neurotransmitter jadi menurun. Sel
bipolar mengalami kenaikan aksi potensial yang diikuti oleh sel ganglion. Impuls
ini kemudian dihantarkan ke korteks visual bagian oksipital (area 17 dan 18) dan
dipersepsikan sebagai informasi visual (Ganong, W.F., 2005).

Gambar 3.4 Fisiologi Visual Pathway (Medscape, 2013)

3.2 Retinoblastoma
3.2.1 Definisi
Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan pada lapisan retina
mata, yaitu bagian mata yang paling peka terhadap cahaya. Penyakit retinoblastoma
dapat menyerang segala usia, tetapi umumnya menyerang anak dengan usia di
bawah 3 tahun (Radhakrishnan, V., dkk., AAO 2012).
3.2.2 Klasifikasi
Penyakit retinoblastoma dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk mutasi
genetik, lateralisasi, dan arah perkembangannya (Jijelava, dkk., 2013).

12
Berdasarkan bentuk mutasi genetik, retinoblastoma dapat diklasifikasikan
menjadi:
a) Mutasi sporadic (didapat)
Bentuk mutasi sporadic (didapat) terjadi karena mutasi pertama dan kedua
dari sel non germinal (sel somatik) gen RB1. Mutasi sporadic memiliki
prevalensi dunia sebanyak 40% (Yeole & Advani, 2001).
b) Mutasi herediter (riwayat keluarga)
Bentuk mutasi herediter terjadi karena dua buah sel mengalami mutasi, yaitu
mutasi pertama pada sel germinal kemudian diikuti mutasi kedua pada sel
non germinal (sel somatik) pada gen RB1. Mutasi herediter memiliki
prevalensi dunia sebanyak 60% (Yeole, Advani, 2001).

Berdasarkan lateralisasi, retinoblastoma dapat diklasifikasikan menjadi


(Aerts, dkk., 2006):
a) Unilateral Penyakit retinoblastoma unilateral menyerang satu mata dengan
prevalensi dunia sekitar 60% (Aerts, dkk., 2006).
b) Bilateral Penyakit retinoblastoma bilateral menyerang kedua mata dengan
prevalensi dunia sekitar 40% (Aerts, dkk. 2006)

Berdasarkan arah perkembangannya, retinoblastoma dapat diklasifikasikan


menjadi (National Cancer Institute of Spain, 2013):
a) Intraokular Retinoblastoma (endophytic)
Intraokular retinoblastoma terlokalisasi hanya di dalam mata mencakup
retina atau bisa memanjang sampai melibatkan koroid, badan siliar, anterior
chamber, dan nervus optikus. Intraokular retinoblastoma tidak menyebar
sampai jaringan-jaringan di sekitar mata atau tubuh.
b) Ekstraokular Retinoblastoma (exophytic)
Ekstraokular retinoblastoma, dikenal dengan proses metastasis, merupakan
perluasan intraokular retinoblastoma sampai diluar mata. Ekstraokular
retinoblastoma dapat menyebar sampai ke jaringan sekitar mata (orbital
retinoblastoma), atau menyebar lebih jauh lagi sampai ke sistem saraf pusat,
sumsum tulang, atau nodus limfatikus (metastasis retinoblastoma).

13
c) Gabungan intraokular dan ekstraokular retinoblastoma (mixed endophytic-
exophytic)
Pada kasus retinoblastoma, klasifikasi tingkat keparahan yang lazim
digunakan adalah klasifikasi menurut Reese-Ellsworth (Othman I.S., 2012)
dan klasifikasi internasional retinoblastoma (International classification of
retinoblastoma) (Saxena & Kaur, 2011).
1) Klasifikasi Reese-Ellsworth (National Cancer Institute of Spain, 2013)
I A : tumor soliter, lebih kecil dari 4 diameter diskus (DD), terletak
pada atau di belakang ekuator.
IB : tumor multipel, lebih besar dari 4 DD, terletak pada atau di
belakang ekuator.
II A : tumor soliter, 4 sampai 10 DD, terletak pada atau di belakang
ekuator.
II B : tumor multipel, 4 sampai 10 DD, terletak di belakang ekuator.
III A : lesi anterior sampai ekuator.
III B : tumor soliter, lebih besar dari 10 DD, terletak di belakang
ekuator.
IV A : tumor multipel, beberapa berukuran lebih besar dari 10 DD.
IV B : ditemukan lesi yang memanjang dari anterior sampai ora serrata.
V A : tumor massif yang melibatkan setengah atau lebih retina
V B : tumor menyebar hingga vitreous.

14
2) International Classification of Retinoblastoma (National Cancer
Institute of Spain, 2013)

Tabel 3.1 International Classification of Retinoblastoma (National Cancer Institute of


Spain, 2013)

15
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

Aerts, I., Lumbroso-Le Ruic, L., Gauthier-Villars, M., Brisse, H., Doz, F.,
Desjardins, L., 2006. Orphanet Journal of Rare Disease: Retinoblastoma.
Available from: http://www.ojrd.com/content/1/1/31 [Accesed 12
September 2018]
Ajiki, dkk., 2001. An Epidemiological Assesment of Childhood Cancer in Greater
Mumbai. Dalam: Yeole B.B., Advani S.H., Lizzy S. Indian Pediatrics, 38:
1270- 1277
Asih, D., Gatot, D., Sitorus, R.S., 2009. Computed Tomography Findings of
Retinoblastoma Patient at Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Med J
Indones, 18(4): 239-244
Dharmawidiarini, D., Prijanto, Soebagjo, H.D., 2010. Ocular Survival Rate
Penderita Retinoblastoma yang Telah Dilakukan Enukleasi atau Eksenterasi
di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Oftalmologi Indonesia, 7(3): 94-
102
Dahl, A., 2013. Retina Anatomy. USA: WebMD. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/2019624-overview [Accessed 12
September 2018]
Edi & Siswono, 2009. Gambaran Epidemiologi Leukemia Anak di Rumah Sakit
Kanker Dharmais Jakarta Tahun 2004-2008. Dalam: Chandrayani, S.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia: 1-5. Kaiser, P.K.,
Scott I.U., O’brien, J.M., Murray, T.G., 2014. Retinoblastoma. Available
from: http://www.djo.harvard.edu/site.php?url=/patients/pi/436 [Accessed
12 September 2018]
Etter, J., Bansal, P., 2005. Diagnosis and Treating Retinoblastoma. American
Academy of Ophthalomology. Available from:
http://www.aao.org/publications/eyenet/200505/pearls.cfm [Accessed 12
September 2018]
Ganong, W.F., 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.22. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 155-168
Jijelava, K.P., Grossniklaus, H.E., 2013. Diffuse Anterior Retinoblastoma: A
Review. Saudi Journal of Ophthalmology, 27: 135-139
Mescher, A.L., 2010. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. USA: McGraw
Hill, 426
National Cancer Institute of Spain, 2013. Retinoblastoma Treatment: Stage
Information. U.S. Departement of Health and Human Services, National
Institute of Health

17
Netter, F. H., 2006. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. USA: Saunders Elsevier, 90
Othman, I.S., 2012. Retinoblastoma Major Review with Updates on Middle East
Management Protocols. Saudi Journal of Ophthalmology, 26: 163-175
Radhakrishnan, V., dkk., 2012. Outcome, Pathologic Findings, and Compliance in
Orbital Retinoblastoma (International Retinoblastoma Staging System
Stage III) Treated with Neoadjuvant Chemotherapy. American Academy of
Ophtalmology, 119(7): 1470-1477
Riordan-Eva, P., Witcher, J.P., 2007. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. In: Fletcher, E.C., ed. Primary Malignant Tumors of
Retina. USA: Chapter 10
Rodriguez-Gallindo, C., dkk., 2010. Retinoblastoma: One World, One Vision.
National Center for Biotechnology Information, U.S. National Library of
Medicine, 122(3): e763-e770
Rosdiana, N., 2011. Gambaran Klinis dan Laboratorium Retinoblastoma. Sari
Pediatri, 12(5): 319-322
Yeole, B.B., Advani, S.H., Retinoblastoma: An Epidemiological Appraisal with
Reference to a Population in Mumbai, India. Asian Pacific Journal of
Cancer Prevention, 3: 17-21
Sherwood, L., 2010. Human Physiology from Cells to Systems. 7th ed. USA:
Brook/Cole, 195-213

18
19

Anda mungkin juga menyukai