Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH EKONOMETRIKA

AUTOKORELASI
(Tugas Ekonometrika Untuk Memenuhi Pra Syarat UAS)

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Roby Gunawan 413415005
Annisa Dwi Permata Tambipi 413415008
Ferdiansyah Dukalang 413415011
Hariyati H. Usman 413415012
Rahmawaty Ahmad 413415014
Sri Wahyuni Hasan 413415018
Ningsih Datau 413415019

PROGRAM STUDI SATISTIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018
AUTOKORELASI
1. SIFAT DAN KONSEKUENSI DARI AUTOKORELASI
Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota
observasi satu dengan observasi lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya
dengan asumsi metode OLS, autokorelasi antara satu variabel gangguan dengan
variabel gangguan yang lain. Sedangkan salah satu asumsi penting metode OLS
berkaitan dengan variabel gangguan adalah tidak adanya hubungan antara variabel
gangguan satu dengan variabel gangguan yang lain. Tidak adanya serial korelasi
antara variabel gangguan ini sebelumnya dinyatakan sebagai berikut:
𝑬 (ei , ej) = 0 i≠j (1.1)
Mengapa terjadi autokorelasi? Misalkan kita menganalisis data runtut
waktu output nasional atau GDP tahunan. Jika suatu ketika gejolak ekonomi
(shock) maka gejolak ini akan berpengaruh terhadap GDP pada saat ini dan juga
pada periode-periode berikutnya. Begitu pula ketika pemerintah mengeluarkan
kebijakan fiskal maupun moneter untuk mengatasi penurunan GDP tersebut.
Setiap kebijakan ekonomi pasti akan memerlukan periode waktu untuk
mempengaruhi sistem ekonomi sehingga akhirnya mempengaruhi kenaikan GDP.
Dalam kondisi seperti ini maka jika kita menganalisis data runtut waktu diduga
seringkali mengandung unsur autokorelasi. Sedangkan data cross section diduga
jarang ditemui adanya unsur autokorelasi. Adanya korelasi antar variabel
gangguan ini dengan demikian dapat kita nyatakan sebagai berikut:
𝑬 (ei , ej) ≠ 0 i≠j (1.2)
Bagaimana bentuk korelasi antara variabel gangguan tersebut? Terjadinya
autokorelasi bisa positif maupun negatif. Pada gambar 8.1a menunjukkan
autokorelasi positif dan gambar 8.1b menunjukkan autokorelasi negatif. Tetapi,
sebagian besar dari data time series seringkali menunjukkan adanya tren yang
sama yaitu adanya kesamaan pergerakan naik dan turun.

2|Autokorelasi
Gambar 1 (a) Autokorelasi Positif dan (b) Autokorelasi Negatif
Pertanyaannya, apa konsekuensinya jika ada masalah autokorelasi di
dalam model regresi terhadap estimator OLS? Akankah kita masih mempunyai
estimator yang bersifat BLUE atau tidak? Untuk mengetahui hal ini makan kita
asumsikan model mengandung unsur autokorelasi tetapi masih mempertahankan
asumsi-asumsi metode OLS. Misalkan kita mempunyai model sederhana sebagai
berikut:
𝒀𝒕 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏 𝑿𝒕 + 𝒆𝒕 (1.3)
Asumsi berkaitan dengan variabel gangguan dalam metode OLS adalah sebagai
berikut:
𝑬 (et) = 0 var(et) = 𝝈2 cov(et, es) = 0 dimana t ≠ s
Yaitu nilai harapan dari variabel gangguan adalah nol, varian dari variabel
gangguan adalah tetap dan tidak ada korelasi antara variabel gangguan satu
periode waktu dengan variabel gangguan periode waktu lain. Namun sekarang
kita akan mencoba membahas apa yang terjadi terhadap estimator 𝛽1 jika variabel
gangguan saling berhubungan.
Ada beberapa model yang dapat digunakan untuk menjelaskan masalah
hubungan antara variabel gangguan yang satu dengan variabel gangguan yang lain
dalam persamaan (8.3) tersebut. Yang paling umum digunakan adalah model
autoregresif tingkat pertama (autoregressive) disingkat AR (1)1. Di dalam model
ini variabel gangguan 𝑒𝑡 hanya tergantung dari variabel gangguan sebelumnya
𝑒𝑡−1. Model AR (1) tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
𝒆𝒕 = 𝝆𝒆𝒕−𝟏 + 𝒗𝒕 -1 < 𝝆 < 1 (1.4)

3|Autokorelasi
𝜌 (rho) adalah parameter yang menjelaskan hubungan antara variabel gangguan
𝑒𝑡 . Variabel gangguan 𝑣𝑡 ini kita asumsikan mempunyai rata-rata nol atau E(𝑣𝑡 ) =
0; mempunyai varian yang konstan atau var(vt) = 𝜎2; dan tidak mengandung unsur
autokorelasi atau cov(𝑣𝑡 , 𝑣𝑡−1 ) = 0. Dengan kata lain variabel gangguan 𝑣𝑡
mengikuti asumsi model OLS yang kita kembangkan sebelumnya.
Dengan adanya autokorelasi di dalam model tersebut, maka estimator
dalam metode OLS adalah sebagai berikut:
∑ 𝒙𝒊 𝒚𝟏
𝜷𝟏 = ∑ 𝒙𝟐𝒊
(1.5)

Persamaan (8.5) tersebut menyatakan bahwa estimator 𝛽1 masih bersifat


linear dan tidak bias. Sedangkan varian estimator yang tidak mengandung masalah
autokorelasi adalah sebagai berikut:
𝝈𝟐
𝒗𝒂𝒓(𝜷𝟏 ) = ∑ 𝒙𝟐 (1.6)
𝒊

Namun, bila terdapat autokorelasi pada tingkat autoregresif pertama (AR1)


maka varian estimator 𝛽1adalah sebagai berikut:

(1.7)
Pada persamaan (8.6) varian yang mengandung AR (1) besarnya sama dengan
varian yang tidak mengandung autokorelasi plus angka tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa varian OLS tersebut under estimate. Dengan demikian jika
ada autokorelasi dalam regresi maka estimator yang kita dapatkan akan mempuyai
karakteristik sebagai berikut:
1. Estimator metode OLS masih tidak bias (unbiased)
2. Estimator metode OLS masih linear
3. Namun estimator metode OLS tidak mempunyai varian yang minimum
lagi (no longer best).
Jadi dengan adanya autokorelasi, estimator OLS tidak menghasilkan
estimator yang BLUE hanya LUE. Apa konsekuensinya jika estimator tidak
mempunyai varian yang minimum? Konsekuensinya sebagai berikut:
1. Jika varian tidak minimum maka menyebabkan perhitungan standard
error metode OLS tidak lagi bisa dipercaya kebenarannya.

4|Autokorelasi
2. Selanjutnya interval estimasi maupun uji hipotesis yang didasarkan pada
distribusi t maupun F tidak lagi bisa dipercaya untuk evaluasi hasil regresi.
2. DETEKSI MASALAH AUTOKORELASI
Setelah kita membahas masalah autokorelasi dan konsekuensinya terhadap
estimator dalam OLS jika model mengandung unsur autokorelasi. Maka tibalah
saatnya kita membahas masalah metode deteksi ada tidaknya masalah autokorelasi
di dalam suatu model regresi.
2.1. Masalah Durbin-Watson (DW)
Banyak metode yang bisa digunakan untuk mendeteksi masalah
autokorelasi. Salah satu uji poluler digunakan di dalam ekonometrika adalah
metode yang dikemukakan oleh Durbin-Watson (d)2. Prosedur ini yang
dikembangkan oleh Durbin-Watson dapat kita jelaskan dengan model sederhana
seperti persamaan (2.1) sebagai berikut:
Yt=β0+ β1X1+et (2.1)
Hubungan antara| variabel gangguan et hanya tergantung dari variabel
gangguan sebelumnya et-1 disebut Model AR (1) seperti persamaan (8.4)
sebelumnya:
Et=ρet-1+υt -1<p<1 (2.2)
Jika ρ=0 maka et = vt, sehingga variabel gangguan di dalam persamaan
tersebut tidak saling berhubungan atau tidak ada autokorelasi. Oleh karena itu
hipotesis nol tidak adanya autokorelasi dapat ditulis H0:ρ = 0 sedangkan hipotesis
alternatifnya Ha: ρ> 0 atau Ha:ρ< 0 atau Ha: ρ ≠ 0. Karena sebagian besar dari data
time series menunjukkan adanya autokorelasi positif maka Ha: ρ> 0.
Untuk menguji hipotesis nol kita harus menghitung ρ dan kemudian
menguji secara statistika apakah signifikan atau tidak. Akan tetapi penurunan
distribusi probabalitas dari ρ sangat sulit dilakukan. Sebagai altematif, Durbin dan
Watson mengembangkan distibusi probabilitas yang berbeda. Uji statistik Durbin-
Watson tersebut didasarkan dari residual metode OLS. Adapun formula uji
statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut:
∑𝒕=𝒏
𝒕=𝟐 (ê𝒕 −ê𝒕−𝟏 )
𝟐
𝒅= (2.3)
∑𝒕=𝒏 𝟐
𝒕=𝟐 ê𝒕

5|Autokorelasi
Dimana ê𝑡 adalah residual metode kuadrat terkecil. Bagaimana d
berhubungan erat dengan ρ dan bagaimana mendapatkan uji statistik untuk
masalah autokorelasi, kita manipulasi persamaan (2.3) diatas menjadi:
∑𝒕=𝒏 𝟐 𝒕=𝒏 𝟐 𝟐 𝒕=𝒏 𝟐
𝒕=𝟐 ê𝒕 +∑𝒕=𝟐 ê𝒕 +ê𝒕 ê𝒕 −𝟏 −𝟐∑𝒕=𝟐 ê𝒕 ê𝒕−𝟏
𝒅= (2.4)
∑𝒕=𝒏 𝟐
𝒕=𝟐 ê𝒕

Karena ∑ê𝟐𝒕 dan ∑ê2𝑡−1 berbeda hanya satu observasi, maka nilainya
hampir sama. Persamaan (2.4) tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
d≈1+1-2p=2-2p (2.5)
∑ê𝒕 ê𝒕−𝟏
Dimana 𝝆 (2.6)
∑ ê𝟐𝒕

Persamaan (2.5) ini merupakan koefisien autokorelasi order pertama


sebagai proksi dari ρ. Persamaan (2.6) dapat ditulis kembali menjadi:
d ≈ 2 (1- ρ) (2.7)
Karena -1 ≤ ρ ≤ 1 maka berimplikasi bahwa:
0≤d≤4 (2.8)
Dari persamaan (2.7) tersebut jika ρ = 0 makanilai d = 2 yang berarti tidak
adanya masalah autokorelasi (pada order pertama). Oleh karena itu sebagai aturan
kasar (rule of thumb) jika nilai d ≈ 2, maka kita bisa mengatakan bahwa tidak ada
autokorelasi baik positif maupun negatif. Jika ρ = +1, nilai d ≈ 0, mengindikasikan
adanya autokorelasi positif. Oleh karena itu nilai d yang semakin mendekati nol
menunjukkan semakin besar terjadinya autokorelasi positif. Jika ρ = -1, nilai d =
4, yang berarti ada autokorelasi negatif. Dengan demikian nilai d yang semakin
besar mendekati 4 maka semakin besar terjadinya masalah autokorelasi negatif.
Tabel 1. Uji Statistik Durbin-Watson d
Nilai Statistik d Hasil

0 < d <dL Menolak hipotesis nol; ada autokorelasi


positif

dL< d < du Daerah keragu-raguan; tidak ada keputusan

6|Autokorelasi
du< d < 4 - du Gagal menolak hipotesis nol; tidak ada
autokorelasi positif/negatif

4 - du< d < 4 - dL Daerah keragu-raguan; tidak ada keputusan

4 - dL< d < 4 Menolak hipotesis nol; ada autokorelasi


negative

Gambar 2. Statistik Durbin-Watson d


Durbin-Watson telah berhasil mengembangkan uji statistik berdasarkan
persamaan (2.4) yang disebut uji statistik d. Durbin-Watson berhasil menurunkan
nilai kritis batas bawah (du) sehingga jika nilai d hitung dari persamaan (2.4)
terletak di luar nilai kritis ini maka ada tidaknya autokorelasi baik positif atau
negatif dapat diketahui. Penentuan ada tidaknya dapat dilihat dengan jelas dalam
Tabel 1. atau dengan menggunakan gambar 2.
Salah satu keuntungan dari uji DW yang didasarkan pada residual adalah
bahwa setiap program komputer untuk regresi selalu memberi informasi statistik
d. Adapun prosedur dari uji DW sebagai berikut:
1. Melakukan regresi metode OLS dan kemudian mendapatkan nilai
residualnya.
2. Menghitung nilai d dari persamaan (2.4) (Kebanyakan program
komputer secara otomatis menghitung nilai d).
3. Dengan jumlah observasi (n) dan jumlah variabel independen tertentu
tidak termasuk konstanta (k), kita cari nilai kritis dL dan du di statistik
Durbin Watson.

7|Autokorelasi
4. Keputusan ada tidaknya autokorelasi didasarkan Tabel 1 atau Gambar
2.
Contoh 1.1 Uji Autokorelasi Metode DW PermintaanImpor Indonesia.
Sebagai contoh untuk mendeteksi masalah autokorelasi, kita analisis kasus
Permintaan Impor di Indonesia periode 1980-2002. Model regresi permintaan
sebagai berikut:
Yt=β0+β1X1t+β0+β2X2t+et (2.9)
Dimana Yt = permintaan impor; X1 = harga impor yakni indeks harga
impor; X2 = GDP riil tahun dasar 1993 dan beberapa informasi stalistik yang
penting sebagai berikut:
Ŷt=-9588,023 - 83,9487X1t + 0,1673X2t (2.10)
t (-3,9831) (-3,9254) (8,9152)
R2 = 0,912921 F=104,8376 d= 1385661
Nilai statistik hitung 1,3857 sedangkan nilai kritis d pada a = 5% dengan n
= 23 dan k = 2 dL=1,168 dan nilai du = 1,543. Karena nilai d hitung terlelak antara
dLdan du maka dapat disimpulkan terletak di daerah keragu-raguan
Contoh 1.2 Uji Autokorelasi DW Ekspor Pakaian Jadi ke Jepang
Kembali ke contoh tentang regresi ekspor pakaian jadi ke Jepang, Hasil
regresi dan beberapa informasi statistik kita tampilkan kembali sebagai berikut:
Ŷt= -4067,496+7,8150X1t+1001,855X2t (2.11)
t (-0,8872) (4,2973) (7,6884)
R2= 0,9111 F=66,8199 d= 2,1617
Nilai statistik hitung d= 2,1617 sedangkan nilai kritis d pada a = 5%
dengan n = 13 dan k=2 untuk dL = 0,861 dan nilai du = 1,562. Sedangkan nilai 4 -
du = 2,438 dan dL– 4 = 3,139.
Karena nilai stalistik hitung d terletak antara du dan 4-du maka dapat
disimpulkan tidak ada masalah autokorelasi.
2.2. Metode Breusch-Godfrey
Walaupun ujia utokorelasi dari Durbin-Watson mudah dilakukan karena
informasi nilai statistik hitung d selalu diinformasikan etiap program komputer,
namun uji ini mengandung beberapa kelemahan. Pertama, uji ini hanya berlaku

8|Autokorelasi
jika variabel independen bersifat random atau stokastik. Jika uji ini memasukkan
variabel independen yang bersifat nonstokaslik seperti memasukkan variabel
kelambanan (lag) dari variabel dependen sebagai variabelin dependen yang
disebut dengan model autoregresif maka uji Durbin Watson tidak bisa digunakan.
Kedua, uji Durbin-Watson hanya berlaku jika hubungan autokorelasi antar
residual dalam order pertama atau autoregresif order pertama disingkat AR (1).
Uji ini tidak bisadilakukan untuk model autoregresif yang lebih tinggi seperti AR
(2), AR(3) dan seterusnya. Ketiga, model ini juga tidak bisa digunakan dalam
kasus rata-rata bergerak (moving average) dari residual yang lebih tinggi. Contoh
dalam model regresi Yt=β0+β1Xt+e, maka uji autokorelasi denganAR(1)
sebagaimana dalam persamaan (2.1) yakni et = pet-1 +vt. Sedangkan uji
autokorelasi dengan metode moving average, misalnya moving average tiga
periode dapat ditulis sebagai berikut et = vt + π1vt-1+ π2vt-2
Berdasarkan kelemahan-kelemahan di atas maka Breusch dan Godfrey
mengembangkan uji autokorelasi yang lebih umum dan dikenal dengan uji
Lagrange Multiplier (LM)4. Untuk memahami uji LM, misalkan kita mempunyai
model regresi sederhana sebagai berikut:
Yt =β0 + β1Xt+et (2.12)
Sebagai catatan kita bisa memasukkan lebih dari satu variabel independen, namun
untuk memudahkan kita menggunakan model regresi sederhana. Kita asumsikan
model residualnya mengikuti model autoregresif dengan order p atau disingkat
AR (p) sebagai berikut:
et = p1et-1 +p2et-2+ ... + ppet-p +vt (2.13)
dimana vt dalam model ini mempunyai ciri sebagaimana dalam persamaan (2.1)
memenuhi asumsi OLS yakni E(vt) = 0; var(vt) = σ2; dan cov (vt1vt-1)= 0.
Sebagaimana uji Durbin-Watson untuk AR(1), maka hipotesis nol tidak adanya
autokorelasi untuk model AR (p) dapat diformulasikan sebagai berikut:
H0 : p1 = p2 = ...= pp = 0 (2.14)
H0 : p1≠p2≠ ...≠pp≠ 0
Jika kita gagal menolak H0 maka dikatakan tidak ada autokorelasi dalam
model. Adapun prosedur uji dari LM adalah sebagai berikut:

9|Autokorelasi
1. Estimasi persamaan (2.12) dengan metode OLS dan kita dapatkan residualnya
2. Melakukan regresi residual êt dengan variabel independen Xt (jika ada lebih
dari satu variabel indepenmden maka kita harus masukkan semua variabel
independen) dan lag dari residual êt-1, êt-2… êt-p Langkah kedua ini dapat di
tu;lis sebagai berikut.
êt = λ0 + λ1Xt + ρ1 êt-1 + ρ2 êt-2 + …+ ρp êt-p + νt (2.15)
3. Jika sampel adalah besar, maka menurut Breusch dan Godfreymaka model
dalam persamaan (2.15) akan mengikuti distribusi chi-squares dengan …
sebanyak.. yaitu panjangnya kelambanan residual dalam persamaan (2.15).
Nilai hitung statistic chi-squares dapat di hitung dengan menggunakan
formula sebagai berikut :
nR2 ~𝝌𝟐𝒑 (2.16)
Jika nR2 yang merupakan chi-squares (𝜒 2 ) hitung lebih besar dari nilai kritis
chi-squares (𝜒 2 ) pada derajad kepercayaan tertentu (α), kita menolak hipotesis
nol H0. Hal ini berarti paling tidak ada satu ρ dalam persamaan (2.13) secara
statistic signifikan tidak sama dengan nol. Ini menunjukkan adanya masalah
autokorelasi dalam model. Senaliknya jika nilai chi-squares hitung lebih kecil dari
nilai kritisnya maka kita gagal menolak hipotesis nol. Artinya model tidak
mengandung unsur autokorelasi karena semua nilai ρ sama dengan nol.
Penentuan ada tidaknya masalah autokorelasi juga bisa di lihat dari nilai
probabilitas chi-square X2. Jika nilai probabilitas lebih besar dari nilai α yang di
pilih maka kita gagal menolak H0 yang berarti tidak ada autokorelasi. Sebaliknya
jika nilai probabilitas lebih kecil dari nilai α yang di pilih maka kita menolak H0
yang berarti ada masalah autokorelasi.
Kelemahan deteksi dengan menggunakan model LM yang di kembangkan
oleh Breusch-Godfrey ini dalam hal menentukan panjangnya kelambanan (ρ)
untuk variabel residula. keputusan ada tidaknya masalah autokorelasi sangat
tergantung dari kelambanan yang kita pilih. Kita akan melakukan metode coba-
coba (trial and errors) hanya demi menghindari masalah autokorelasi. Untuk
memilih panjangnya lag residual yang tepat kita bisa menggunakan criteria yang
dikemukakan oleh Akaike dan Schwarz. Berdasarkan kriteria ini, panjangnya lag

10 | A u t o k o r e l a s i
yang di pilih adlah ketika nilai criteria Akaike dan Schwarz paling kecil.. Caranya
kita melakukan regresi persamaan (2.15) berkali-kali dengan lag residual 1,
kemudia dengan lag residual 2 dan seterusnya. Dari hasil regresi tiap lag ini kita
akan mendapatkan nilai Akaike dan Schwarz dan kemudian kita cari nilai absolute
yang paling kecil.
Contoh 1.3. Uji Autokorelasi metode LM Permintaan Impor 1980-2002
Sebagai contoh uji LM kita kembali pada kasus permintaa impor di
Indonesia 1980-2002. Hasil uji LM dapat di lihat pada tanel 8.2. Ada beberapa
informasi penting berkaitan dengan uji LM. Pertama, bagian bawah table tersebut
memebri informasi persamaan uji LMdengan panjangnya kelambanan residual 2
didasarkan criteria Akaike dan Schwarz. Nilai koefisisen determinasinya (R2)
sebesar 0,2596. Kedua, nilai X2 hitung sebesar 5,9714 di peroleh dari informasi
Obs*R-squared yaitu jumlah observasi dikalikan dengan koefisien determinasi.
Sedangkan nilai X2 kritis dengan df = 2 pada α = 5% sebesar 5,99147. Berdasarkan
uji LM ini berarti model tidak mengandung masalah autokorelasi. Tidak adanya
masalah autokorelasi bisa juga dilihat nilai probabilitas chi-squares sebesar
0,0505 (α = 5,05%).
Tabel 2 Uji Autokorelasi dengan Metode LM Permintaan Impor
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 3.156022 Probability 0.066844

Obs*R-squared 5.971402 Probability 0.050504

Dependent Variable : RESID

Variabel Coeficients Std.Error t-Statistic Prob.

C -43.51782 2189.540 -0.019875 0.9844

X1 -4.885325 19.95773 -0.244784 0.8094

11 | A u t o k o r e l a s i
X2 0.003315 0.017416 0.190326 0.8521

RESID(-1) 0.438817 0.215279 2.038366 0.0565

RESID(-2) -0.444724 0.220910 -2.013141 0.0593

R-squared 0.259626 Akaike info 19.00383


criterion
Durbin- 2.122393 19.25068
Watson stat Schwarz
criterion

Contoh 1.4. Uji Autokorelasi Metode LM ekspor Pakaian Jadi ke Jepang


Kembali ke kasus ekspor pakaian jadi ke Jepang. Uji Durbin-watson
menunjukkan tidak ada autokorelasi. Bagaimana dengann uji LM? Tabel 8.3
menampilkan uji LM. Nilai X2 hitung sebesar 3,6524 sedangkan X2 kritis dengan
df = 2 pada α = 5% sebesar 5,99147. Uji LM ini menunjukkan tidak ada
autokorelasi pada kelambanan 2.
Tabel 3. Uji Autokorelasi dengan Metode LM Ekspor Pakaian Jadi ke Jepang
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.626916 Probability 0.240456

Obs*R-squared 3.652444 Probability 0.161021

Dependent Variable : RESID

Variabel Coeficients Std.Error t-Statistic Prob.

C 1536.315 4486.555 0.342426 0.7385

X1 3.617009 2.666802 1.356310 0.2022

X2 -335.3532 223.7786 -1.498606 0.1621

12 | A u t o k o r e l a s i
RESID(-1) -0.450200 0.347401 -1.295910 0.2215

RESID(-2) -1.052855 0.594193 -1.771908 0.1041

0.228278 Akaike info 21.63949


R-squared criterion
2.416622 21.88093
Durbin- Schwarz
Watson stat criterion

3. PENYEMBUHAN AUTOKORELASI
Setelah kita ketahui konsekuaensi masalah autokorelasi dimana estimator
dari metode OLS masih linier, tidak bias tetapi tidak mempunyai varian yang
minimum, maka tibalah saatnya kita akan membahas bagaimana mengatasinya
atau mengobatinya. Penyembuhan masalah autokorelasi sangat tergantung dari
sifat hubungan antara residual. Atau dengan kata lain bagaimana bentuk struktur
autokorelasi.
Kita tulis kembali model regresi sederhana seperti dalam persamaan
sebagai berikut:
Yt = β0+ β1Xt+et
Sebagaimana sebelumnya, diasumsikan bahwa residual mengikuti model AR(1)
sebagai berikut:
et = ρet-1 + vt -1 < ρ < 1
Penyembuhan masalah autokorelasi dalam model ini tergantung dua hal: (1) Jika ρ
atau koefiseian model AR(1) diketahui; (2) jika ρ tidak diketahui tetapi bisa dicari
melalui estimasi.
3.1 Ketika Struktur Autokorelasi Diketahui
Pada kasus ketika koefisien model AR(1) yakni struktur autokorelasi
diketahui, maka penyembuhan autokorelasi dapat dilakukan dengan transformasi
persamaan dikenal sebagai metode generalized difference equation. Pada
pembahasan sebelumny kita telah mengembangkan metode GLS untuk mengatasi
masalah heteroskedastisitas yakni ketika varian residual tidak konstan. Dengan

13 | A u t o k o r e l a s i
melakukan transformasi model kita dapat menghilangkan masalah
heteroskedastisitas sehingga kita kemudian dapat mengestimasi model dengan
menggunakan metode OLS.
Untuk menjelaskan metode generalized difference equation dalam kasus
adanya autokorelasi, misalkan kita mempunyai model regresi sederhana dan
residualnya et mengikuti pola autoregresif tingkat pertama AR(1) sebagai berikut:
Yt = β0+ β1X1+et
et = ρet-1 + vt -1 < ρ < 1
Dimana residual… memenuhi asumsi residual metode OLS yakni E(vt) =0;
var (vt) =α2;dan cov(vt , vt-1) = 0
Kita substitusikan persamaan (2.2) ke dalam persamaan (2.1) sehingga
menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Yt = β0+ β1Xt+ρet-1+vt (3.1)
Melakukan Lag pertama dari persamaan (2.1) untuk mendapatkan et-1
sebagai berikut:

Yt-1 = β0+ β1Xt-1+et-1

et-1= Yt-1 - β0 - β1Xt-1 (3.2)

Kemudian kita substitusikan persamaan (3.2) ke dalam persamaan (3.1)


sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:

Yt=β0+β1Xt+ρ(Yt-1 - β0 - β1Xt-1)+vt

Yt - ρYt-1= β0 (1-ρ) + β1(Xt -ρXt-1)+vt (3.3)


Persamaan (3.3) tersebut dapat kita tulis menjadi:
Y*t = β*0+ β*1X*1+vt (3.4)
Dimana Y*t = Yt -ρYt-1; β*0 = β0 (1-ρ); β*1= β1;X*1=(Xt -ρXt-1)
Residual vt dalam persamaan (3.4) sudah terbebas dari masalah
autokorelasi sehingga memenuhi asumsi OLS. Sekarang kita bisa
mengaplikasikan metode OLS terhadap trnasformasi variabel Y* dan X* dan

14 | A u t o k o r e l a s i
mendapatkan estimator yang menghasilkan karakteristik estimator yang BLUE.
Metode ini disebut dengan generalized difference equation (GLS).
3.2 Ketika Struktur Autokorelasi Tidak Diketahui
Walaupun metode penyembuhan masalah autokorelasi sangat mudah
dilakukan dengan metode generalized difference equation (GLS) jika strukturnya
diketahui. Namun metode ini dalam prakteknya sangat sulit dilakukan. Kesulitan
ini muncul karena sulitnya kita untuk mengetahui nilai ρ. Oleh karena itu kita
hartus menemukan cara yang paling tepat untuk mengestimas ρ. Ada beberapa
metode yang telah dikembangkan oleh para ahli ekonometrika untuk
mengestimasi nilai ρ.
3.2.1 Metode Diferensi Tingkat Pertama
Nilai ρ terletak antara -1 ≤ ρ ≤ 1 Jika niali ρ =0 berarti tidak ada korelasi
residual tingkat pertama (AR=1). Namun jika nilai ρ = ±1 maka model
mengandung autokorelasi baik positif maupun negative. Ketika nilai dari ρ = ±1,
masalah autokorelasi dapat disembuhkan dengan diferensi tingkat pertama metode
generalized difference equation. Misalkan kita mempunyai model sederhana
seperti persamaan (8.3) sebelumnya, metode diferensi tingkat pertama (first
difference) dapat di jelaskan sebagai berikut:
Yt = β0+ β1X1+et
Diferensi tingkat pertama persamaan (2.1) tersebut sebagaimana dalam
persamaan (3.3) sebelumnya sebagai berikut:
Yt - ρYt-1= β0 (1-ρ) + β1(Xt -ρXt-1) + (et -ρet-1)
jika ρ = +1 maka persamaan tersebut dapat di tulis kembali menjadi:
Yt - Yt-1= β1 (Xt -Xt-1) + (et -et-1) (3.5)
Atau dapat di tulis menjadi persamaan berikut:
∆𝒀𝒕 = 𝜷𝟏 ∆𝑿𝟏 + 𝒗𝒕 (3.6)
Dimana ∆ adalah diferensi dari 𝒗𝒕 = 𝒆𝟏 − 𝒆𝒕−𝟏
Residual 𝑣𝑡 dari persamaan (3.6) tersebut sekarang terbebas dari masalah
autokorelasi. Metode first difference ini bisa diaplikasikan jika koefisien
autokorelasi cukup tinggi atau jika nilai statistik Durbin-Watson (d) sangat
rendah. Sebagai rule of thumb jika R2 > d, maka kita bisa menggunakan metode

15 | A u t o k o r e l a s i
first difference. Dari transformasi first difference ini sekarang kita tidak lagi
mempunyai intersep atau konsta dalam model. Konstanta dalam model dapat
dicari dengan memasukkan variabel tren (T) dalam model aslinya. Misalkan
model awalnya dengan tren sebagai berikut:
𝒀𝒕 = 𝜷𝒕 + 𝜷𝒕 𝑿𝒕 + 𝜷𝟐 𝑻 + 𝒆𝒕 (3.7)
Dimana T adalah tren, nilainya mulai satu pada awal periode dan terus
menaik sampai akhir periode. Variabel resdual 𝑒𝑡 dalam persamaan (3.7) tersebut
mengikuti autogresif tingkat pertama. Transformasi persamaan (3.7) dengan
metode first difference akan mengahasilkan persamaan sebagai berikut :
∆𝒀𝒕 = 𝜷𝟏 ∆𝑿𝒕 + 𝜷𝟐 + 𝒗𝒕 (3.8)
Dimana 𝒗𝒕 = 𝒆𝒕 − 𝒆𝒕−𝟏
Pada proses diferensi tingkat pertama persamaan (3.7) menghasil persamaan (3.8)
yang mempunyai konstanta sedangkan diferensi pertama pada persamaan (2.1)
tanpa menghasilkan konstanta.
Contoh 1.5 Uji First Difference Permintaan Impor
Kita kembali ke contoh permintan impor periode 1980-2002. Tetapi
sekarang, variabel PDB (X) hanya merupakan satu-satunya variabel independen
dalam permintaan impor (Y). Model permintaan impor terssebut dapat ditulis
sebagai berikut :
𝒀𝒕 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏 𝑿𝟏 + 𝒆𝒕 (3.9)
Dimana Y = permintaan impor; X = GDP riil tahun dasar 1993
Hasil regresi permintaa impor bisa diliat dalam persamaan (8.31). Nilai d
= 0,7543 sedangkan nilai dL= 1,257 dan dU = 1,437 pada n = 23 dan k = 1 dengan
𝛼 = 5%. Berdasarkan nilai d hitung tersebut menunjukan bahwa model
mengandung masalah autokorelasi.
Ŷ𝒕 = −𝟓𝟗𝟕𝟗, 𝟓𝟑𝟕 + 𝟎, 𝟎𝟗𝟗𝟏𝑿𝟏 (3.10)
T (-2,0699) (10,7337)
R2= 0,8458 d = 0,7543
Koefisien determinasi R2 lebih besar dari nilai statistik Durbin Watson (d)
sehingga kita bisa mengatasi masalah autokorelasi dengan metode first difference.
Hasil regresi melalui first difference untuk menghilangkan masalah autokorelasi

16 | A u t o k o r e l a s i
dapat dilihat dalam persamaan (3.11). Dalam metode first difference ini kita
memasukkan unsur tren untuk memperoleh kontansta. Hasilnya menunjukkan
bahwa dengan metode ini nilai statistik Durbin Watson (d) sebesar 2,0840
sedangkan nilai dL = 1,239 dan dU = 1,429 pada n = 22 dan k = 1dengan 𝛼 = 5%,
mengidentifikasikan tidak adanya masalah autokorelasi lagi.
∆Ŷ𝒕 = −𝟗𝟏, 𝟎𝟔𝟐𝟑 + 𝟎, 𝟏𝟖𝟑𝟐∆𝑿𝟏 (3.11)
T (-1.5956) (5.0803)
R2 = 0.5546 d = 2.0840
3.2.2. Estimasi 𝝆 Didasarkan Pada Berenblutt- Web
Metode transformasi dengan first difference bisa digunakan hanya jika
nilai 𝝆 tinggi atau jika d rendah. Dengan kata lain metode ini hanya akan valid
jika nilai 𝝆 = +1 yaitu jika terjadi autokorelasi positif yang sempurna.
Pertanyaannya bagaimana kita bisa mengetahui asumsi bahwa 𝝆 = +1. Uji statistik
dari Bernblutt-Webb ini dikenal dengan uji statistik ɡ.6 Rumus statistiknya dapat
ditulis sebagai berikut :
∑𝒏 𝟐
𝟐 𝒗𝒕
ɡ= ∑𝒏 𝟐 (3.12)
𝟏 𝒆𝒕

Dimana 𝑒𝑡 adalah residual dari regresi model asli dan 𝑣𝑡 merupakan


residual dari regresi model first difference. Dalam menguji signifikan statistik ɡ
diasumsikan model asli mempunyai konstanta. Kemudian kita menggunakan tabel
Durbin-watson dengan hipotesis nol 𝝆 = 1, tidak lagi dengan hipotesis nol 𝜌 = 0.
Keputusan bahwa 𝜌 = 1 ditentukan dengan membandingkan nilai hitung ɡ dengan
nilai kritis statistik d. Jika ɡ dibawah nilai batas minimal dL maka tidak gagal
menolak hipotesis nol sehingga kita bisa mengatakan 𝜌 = 1 atau ada korelasi
positif antara residual.
Contoh 1.6. Uji Berenblutt-Webb
Kita kembali ke model sedrhana permintaan impor pada contoh 8.5. Dari
Regresi persamaan kita mendapatkan SSR 3,74 x 108 sedangkan hasil regresi
diferensi tigkat pertama tanpa konstanta meghasilkan SSR sebesar 2,47 x 108.
Dengan demikian nilai statistik g dapat dihitung sebagai berikut:

17 | A u t o k o r e l a s i
𝟐, 𝟒𝟕 𝒙 𝟏𝟎𝟖
ɡ = 𝟎, 𝟕𝟑𝟐𝟔
𝟑, 𝟕𝟒 𝒙 𝟏𝟎𝟖
Nilai kritis statistik durbin-Watson dengan jumlah observasi n = 22 dan k= 1
dengan 𝛼 = 1%, masing-masing adalah dL= 0,997 dan dU= 1,174, sedangkan
untuk 𝛼 = 5%, sebesar dL = 1,239 dan dU = 1,429. Nilai statistik ɡ lebih kecil dari
nilai kritis dL = pada 𝛼 = 5% sehingga kita gagal menolak hipotesis nol.
Kesimpulannya penyembuh masalah autokorelasi dengan metode first different
adalah tepat karena nilai 𝜌 = +1 berdasarkan uji yang dikembangkan oleh
Berenblutt-Webb ini.
3.2.3. estimasi 𝝆 Didasarkan Pada Statistik d Durbin Watson
Kita hanya bisa mengaplikasikan metode transformasi first different jika
nilai 𝜌 tinggi yakni mendekati satu. Metode ini tidak bisa digunakan ketika
𝜌 rendah. Untuk kasus nilai 𝜌 rendah maka kita bisa menggunakan statistik d dari
durbin Watson seperti di dalam persamaan (8.12). Kita bisa mengestimasi 𝜌
dengan cara sebagai berikut:
𝒅 ≈ 𝟐(𝟏 − ῤ)
Atau dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
𝒅
ῤ ≈𝟏−𝟐 (3.13)

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, kita bisa mencari nilai 𝜌 dari


estimasi statistik pada persamaan (3.13) di atas. Asumsi first different menyatakan
bahwa ῤ = ± 1 hanya terjadi jika d = 0 di dalam persamaan (3.13). Begitu pula jika
d = 2 maka ῤ = 0 dan bila d = 4 maka statistik d untuk mendapatkan nilai 𝜌. Di
dalam sampel besar kita dapat mengestimasi 𝜌 dari persamaan (3.13) dan
menggunakan ρ yang kita dapatkan untuk model generalized difference equation
dalam persamaan (3.12) sebelumnya.
Contoh 1.7. Estimasi 𝝆 dari statistik d Durbin Watson
Dari contoh 1.5 tentang permintaan impor kita dapatkan nilai d = 0,7543.
Nilai ῤ = (1-0,7543/2) = 0.6628. Setelah kita dapatkan nilai ῤ maka selanjutnya
kita bisa mengestimasi generalized different equation pada persamaan (3.3)

18 | A u t o k o r e l a s i
dengan metode OLS . Hasil estimasinya dapat dilihat dalam persamaan (3.12)
berikut ini:
Ŷ∗𝑡 = −3734, 769 + 0,1129𝑋𝑡∗
t (-1,5323) (5,3645)
R2= 05899 d=1,4918
Hasil estimasi generalized different equation sekarang menghasilkan d =
1,4918, sedangkan nilai tabel statistik Durbin Watson pada ∝ = 5% dengan n = 22
k = 1 besarnya dL= 1,239 dan dU = 1,429. Kesimpulannya model tidak lagi
mengandung masalah autokorelasi.
3.2.4. Estimasi 𝝆 Dengan Metode Dua Langkah Durbin
Untuk menjelaskan metode ini maka kita kembali ke model generalized
difference equation untuk persamaan (3.3).Kita tulis persamaan tersebut sebagai
berikut :
𝜸𝒕 - p𝜸𝒕−𝟏 = 𝜷𝟎 (1 – 𝝆) + 𝜷𝟏 (𝑿𝒕 - 𝝆𝑿𝒕−𝟏 ) + (𝒆𝒕 -𝝆𝒆𝒕−𝟏 )
Atau dapat kita tulis kembali menjadi :
𝜸𝒕 = 𝜷𝟎 (1 – 𝝆) + 𝜷𝟏 (𝑿𝒕 - 𝝆𝑿𝒕−𝟏 ) + p𝜸𝒕−𝟏 + 𝒗𝒕 (3.14)
Dimana 𝒗𝒕 = 𝒆𝒕 -𝒆𝒕−𝟏
Setelah mendapatkan persamaan (3.14), Durbin menyarankan untuk
menggunakan prosedur dua langkah untuk mengestimasi 𝜌 yaitu :
1. Lakukan regresi dalam persamaan (3.14) dan kemudian perlakukan nilai
koefisen 𝛾𝑡−1 yaitu 𝜌̂ sebagai nilai estimasi dari 𝜌 .Walaupun ini bias,
tetapi merupakan estimasi 𝜌 yang konsisten.
2. Setelah mencapai 𝜌 pada langkah pertama,kemudian lakukan transformasi
variabel 𝛾𝑡∗ = 𝛾𝑡 - p𝛾𝑡−1 dan 𝑥𝑡∗ = 𝑋𝑡 - 𝜌𝑋𝑡−1 dan kemudian lakukan
transformasi regresi metode OLS pada transformasi variabel persamaan
(3.3)
Contoh 1.8 Metode Dua Langkah Durbin Permintaan Impor
Regresi permintan impor pada contoh 1.1 ,sebelumnya terletak didaerah
keragu-raguan .Kita akan mencoba menghilangkan unsur autokorelasi dengan
metpde dua langkah dari durbin. Kita mengestimasi persamaan (3.14) untuk
mencari 3 estimasi 𝜌 sebagai berikut :

19 | A u t o k o r e l a s i
𝜸𝒕 = 𝜷𝟎 (1 – 𝝆
̂ ) + 𝜷𝟏 (𝑿𝒕 - 𝝆
̂𝑿𝟏𝒕−𝟏 ) + 𝜷𝟐 (𝑿𝒕 - 𝝆
̂𝑿𝒕−𝟏 p𝜸𝟐𝒕−𝟏 + 𝝆
̂𝜸𝒕−𝟏 + 𝒗𝒕 (3.14)
Nilai koefisien 𝜌̂ pada variabel 𝛾𝑡−1 merupakan nilai estimasi 𝜌 .Hasil
estimasi merupakan bahwa 𝜌̂ = 0,5257.Hasil estimasi Generalized difference
aquation dapat dilihat dalam persamaan (3.15).Nilai statistik hitung d = 1,6468
sedangkan nilai kritis d pada 𝛼 =5% dengan 𝜋=22 dan k= 1 besarnya d𝐿 = 1,147
dan 𝑑y = 1,541 .Karena nilai d terletak antara 𝑑y dan 4-𝑑y maka dapat
disimpulkan bahwa sudah tidak ada autoorelasi didalam model tersebut
𝑌̂𝑡 = - 4364,756 – 62,89617 𝑥1𝑡
∗ ∗
+ 0,1515 𝑥2𝑡 (3.15)
t= (-1,8290) (-1,9304) (5,3216)
𝑅 2 = 0,8437 dan d = 1,6468
Dimana :
𝒀∗𝒕 = (𝒀𝐭 - (0,5357 ) 𝜸𝒕−𝟏 ], 𝑿𝟏𝒕
∗ ∗
= [ 𝑿𝟏𝐭 – (0,5357) 𝑿𝟏𝐭−𝟏 ] , 𝑿𝟐𝒕 = 𝑿𝟐𝐭 - (0,5357) 𝑿𝟐𝐭−𝟏

3.2.5. Estimasi 𝝆 Dengan Metode Cocharane –Orcutt


Uji ini merupakan uji alternatif untuk memperoleh nilai 𝜌 yang tidak
diketahui.Metode Cocharane –Orchutt sebagaimana metode yang lain
menggunakan nilai estimasi residual 𝑒𝑡 untuk memperoleh informasi tentang
𝜌.Untuk memperjelas metode ini kita misalkan mempunyai model regresi
sederhana sebagai berikut :
𝛾𝑡 = 𝛽0+ 𝛽1 𝑋𝑡 + 𝑒𝑡 (3.16)
Asumsikan bahwa residual 𝑒𝑡 mengikuti pola autoregresif (AR1) sebagai berikut :
𝑒𝑡 =𝑝𝑒𝑡−1 + 𝑣𝑡 (3.17)
Dimana residual 𝑣𝑡 memenuhi asumsi residual metode residual metode OLS yakni
E (𝑉𝑡 ) =0 ; var 𝑉𝑡 = 𝜎 2 ; dan cov (𝑉𝑡 , 𝑉𝑡−1 ) = 0
Metode yang kita bicarakan sebelumnya untuk mengestimasi 𝜌 hanya merupakan
estimasi tunggal terhadap 𝜌.Oleh karena itu ,cocharane –orchutt
merekomendasikan untuk mengestimasi 𝜌 dengan regeresi yang bersifat iletasi
sampai mendapatkan nilai 𝜌 yang menjamin tidak terdapat masalah autokorelasi
dalam model.Adapun metode iterasi dari Cocharane –Orchutt dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Estimasi persamaan (8.40) dan kita dapatkan nilai residualnya 𝑒̂𝑡

20 | A u t o k o r e l a s i
2. Dengan residualnya yang kita dapatkan maka lakukan regresi persamaan
berikut ini :
𝑒̂𝑡 =𝑝̂ 𝑒̂
𝑡−1 + 𝑣𝑡 (3.18)
3. Dengan 𝑝̂ yang kita dapatkan pada langkah kedua dari persamaan (3.18)
kemudian kita regresi persamaan berikut ini :
𝛾𝑡 - 𝜌̂𝛾𝑡−1 = 𝛽0 (1 – 𝜌̂ ) + 𝛽1(𝑋𝑡 - 𝜌̂𝑋1𝑡−1) +𝑒𝑡 𝑝̂ 𝑒̂
𝑡−1 ) (3.19)
Atau dapat ditulis dalam bentuk yang lebih sederhana menjadi persamaan
𝑦𝑡∗ =𝛽0∗ + 𝛽1∗ 𝑥𝑡∗ + 𝑒𝑡∗
Dimana : 𝛽0∗ =𝛽01-𝑝̂ (3.20)
4. Karena kita tidak mengetahui apakah nilai 𝜌 yang diperoleh dari
persamaan (8.42) adalah nilai estimasi yang terbaik,maka masukkan nilai
𝛽0∗ =𝛽01-𝑝̂ dan 𝛽1∗ yang diperoleh dalam persamaan (3.20) kedalam
persamaan awal (8.40) dan kemudian dapatkan residualnya 𝑒𝑡∗∗ sebagai
berikut:
𝑒𝑡∗∗ = 𝛾𝑡 - 𝛽0∗ + 𝛽1∗ 𝑥𝑡∗ (3.21)
5. Kemudian estimasi regresi sebagai berikut:
𝑒𝑡∗∗ =𝑝̂ 𝑒𝑡∗∗ + 𝑤𝑡 (3.22)
𝑝̂ yang kita peroleh dari persamaan (3.22) ini merupakan langkah kedua
mengestimasi Nilai 𝜌
Karena kita tidak juga mengetahui apakah langkah kedua ini mampu
mengestimasi nilai 𝑝̂ yang terbaik maka kita dapat melanjutkan pada langkah
ketiga dan seterusnya.Pertanyaannya,sampai seberapa langkah kita harus berhenti
melakukan proses iterative untuk mendapatkan nilai 𝜌.Menurut Cocharane-
Orchutt,estimasi nilai 𝜌 akan kita hentikan jika nilainnya sudah terlalu kecil.
Contoh 1.9 Metode Cocharane –Orchutt Permintaan Impor
Berdasarkan uji Durbhin-Watson maupun LM,regresi permintan impor
mengandung masalah autokorelasi.Estimasi model AR (1) pada persamaan (3.18)
menghasilkan nilai 𝜌 sebesar 0,304191. Hasil estimasi Generalized difference
aquation dapat dilihat dalam persamaan (8.39).Nilai statistik hitung d = 1,6468
sedangkan nilai kritis d pada 𝛼 =5% dengan 𝜋=22 dan k= 1 besarnya d𝐿 = 1,147

21 | A u t o k o r e l a s i
dan 𝑑y = 1,541 .Karena nilai d terletak antara 𝑑y dan 4-𝑑y maka dapat
disimpulkan bahwa sudah tidak ada autoorelasi didalam model tersebut
𝑌̂𝑡 = - 6631,974 – 76,1351 𝑥1𝑡
∗ ∗
+ 0,1606𝑥2𝑡 (3.23)
t (-2,6381) (-2,8292) (6,8339)
𝑅 2 = 0,8437 dan d = 1,6468
Dimana :
∗ ∗
𝑌𝑡∗ = (𝑌t - (0,3942 ) 𝛾𝑡−1 ], 𝑋1𝑡 = [ 𝑋1t – (0,3042) 𝑋1t−1 ] , 𝑋2𝑡 = 𝑋2t - (0,3042)
𝑋2t−1
3.2.6. Metode Newey ,Whitney dan Kenneth
Penyembuhan masalah autokorelasipada sub bab sebelumnya terfokus
pada manipulasi persamaan sehingga bias terbebas dari masalah
autokorelasi.Sebagaimana kasus heteroskedasitas,para ahli ekonometrika juga
telah mencoba mengembang metode standar error yang konsisten bila terdapat
masalah heteroskedatisitas yang dikenal dengan Heteroscedasticity-Consistent
Covariance Matrix Estimator (HCCME).Namun HCCME didasarkan pada asumsi
bahwa variable gangguan 𝑒𝑡 tidak saling berhubungan aau tidak ada serial
korelasinya.Metode selanjutnya yang dikembangkan oleh Newey,Whitney dan
Kenneth memasukkan masalah unsure baik heteroskedasititas maupun masalah
autokorelasi.
Standar error yang konsisten bila ada unsur baik heteroskedastisitas
maupun auotokorelasi ini dikenal dengan heteroskedasticity and
Autocorrelacition Consisten Covariance Matrix (HAC).Formula penurunan HAC
ini tidak sesederhana seperti HCCME sebelumnya.Namun sekarang sudah banyak
program computer seperti EVIEWS menyediakan perhitungan HAC.

22 | A u t o k o r e l a s i

Anda mungkin juga menyukai