Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa referensi yang diambil dari buku dan

berbagai karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian dan hasil penelitian

yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Adapun beberapa penelitian

sebelumnya adalah:

1. Penelitian Aldstadt J dan Getis A. (2006) dengan judul penelitian “Using

AMOEBA to Create a Spatial Weights Matrix and Identify Spatial Clusters”.

Penelititian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan prosedur AMOEBA

dalam membuat matriks pembobot spasial dan inditifikasi spatial cluster.

Hasil penelitian ini adalah vektor yang teridentifikasi sebagai unit spasial

yang berhubungan dan tidak berhubungan pada kontiguitas spasial dalam

menghadapi kompleksitas interaksi dan non-interaksi antara unit spasial.

AMOEBA adalah perangkat yang efektif untuk menemukan cluster unit

spasial ketika cluster tidak teratur dalam bentuk. Peneliti tidak perlu

menggunakan unit spasial yang sama untuk mengidentifikasi sebuah cluster,

tetapi peniliti harus siap untuk melihat variasi yang relatif kecil dalam

ukuran dan bentuk cluster tergantung pada lokasi dan nilai matriks

pembobot adalah fungsi dari hubungan antar unit spasial dengan semua yang

spasial unit yang berdekatan dan saling berasosiasi satu sama lain, dengan

kata lain AMOEBA menentukan batas dari klaster yang disebut ecotopes

dari spasial unit yang saling berhubungan.

9
10

2. Penelitian Jajang, Pratikno, dan Mashuri (2017) dengan judul “Kajian

Matriks W-Amoeba dan W-Contiguity dalam Spatial Lag Model dengan

Metode Estimasi “Maximum Likelihood”. Penelitian ini membahas matriks

pembobot spasial yang dimodifikasi dalam Spatial Lag Model (SLM).

Metode modifikasi matriks pembobot spasial dengan menggunakan

algoritma yang disebut A Multidirectionaloptimum Ecotope Base Algorithm

(AMOEBA). Matriks pembobot spasial hasil algoritma ini selanjutnya

disebut W-Getis. Untuk menguji performa matrik digunakan data tentang

kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktornya. Berdasarkan

pada kriteria AIC, hasil dari penelitian tersebut menunjukkan akurasi hasil

prediksi model W-Getis lebih baik dibandingkan matriks biasa W-

Contiguity. Berdasarkan model W-Getis, prosedur AMOEBA digunakan

untuk membentuk suatu matriks pembobot spasial dapat mengakomodir

kedekatan geografis dan kedekatan antar variabel yang menjadi perhatian.

3. Penelitian oleh Kartiko (2018) dengan judul “Modification of Adaptive

Kernel Weighting on Geographically Weighted Regression Using the Near

Neighborhood Kernel”. Menjelaskan tentang modifikasi model pembobot

Adaptive Kernel Bisquare menjadi model baru yaitu model pembobot Near

Neighbourhood Kernel. Pada beberapa penelitian Kernel adaptive memiliki

permasalahan untuk menduga nilai probabilitas pada batas luar radius suatu

wilayah, dalam hal ini akan mengurangi tingkat ketepatan dikala kernel

Adaptive digunakan sebagai pembobot dalam penelitian ini. Pembobot

penelitian Near Neighbourhood Kernel memiliki keistimewaan

dibandingkan Kernel Adaptive, karena Near Neighbourhood Kernel ini


11

mengakomodasi wilayah-wilayah perbatasan (neighbourhood). Penelitian

ini bertujuan menggantikan pembobot kernel adaptive pada GWR untuk

meningkatkan keakuratan estimasi GWR.

4. Penelitian oleh Jaya (2019) dengan judul “Analisis Kemiskinan di Provinsi

Sulawesi Tenggara Menggunakan Geographically Weighted Regression

(GWR) dengan Pembobot Adaptive Bisquare dan Near Neighbourhood

Kernel”. Berdasarkan hasil analisis diperoleh pembobot terbaik dalam

model GWR adalah pembobot adaptive kernel bi-square dengan 1 variabel.

Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya Kabupaten/Kota yang signifikan

sebanyak 17 Kabupaten/Kota, meskipun nilai standard error pembobot

adaptive dengan 1 variabel lebih kecil dibandingkan dengan pembobot

adaptive 3 variabel dan pembobot Near Neighbour Kernel.

5. Penelitian Yunitasari (2019) dengan judul “Analisis Spasial Penyebaran

Penyakit Kusta dengan Indeks Moran’s dan Getis-Ord G Statistic”.

Penelitian bertujuan untuk melihat pola penyebaran spasial penyakit kusta di

Provinsi Lampung pada tahun 2017 menggunakan matriks pembobot tipe

Linear Contiguity, Double Linear Contiguity, Rook Contiguity, dan Queen

Contiguity. Metode Rasio Geary’s dengan Double Linear Contiguity

menunjukkan tidak terdapat autokorelasi spasial dan pola menyebar, dengan

Linear Contiguity menunjukkan tidak terdapat autokorelasi spasial dan pola

mengelompok, serta Rook Contiguity dan Queen Contiguity menunjukkan

bahwa terdapat autokorelasi spasial dan pola menyebar.


12

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini memerlukan Landasan teori untuk menguraikan kerangka

teori yang merujuk pada referensi berbagai ahli tertentu maupun berbagai teori-

teori yang ada yang nantinya akan mendasari hasil dan pembahasan secara detail.

Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:

2.2.1 Matriks Pembobot Spasial Contiguity

Menurut Nisa (2017) matriks pembobot spasial contiguity disebut juga

sebagai matriks yang menggambarkan kekuatan interaksi antar lokasi. Gambar 2.1

menunjukkan kedekatan (contiguity) posisi atau letak suatu lokasi terhadap lokasi

lainnya.

Gambar 2.1 Ilustrasi Kedekatan Lokasi (Contiguity)

Menurut Anselin (1995) dalam Nisa (2017: 206-207), matriks pembobot

dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain:

a. Rook contiguity, daerah pengamatannya ditentukan berdasarkan sisi-sisi yang

saling bersinggungan dan sudut tidak diperhitungkan.

b. Bishop contiguity, daerah pengamatannya ditentukan berdasarkan sudut-sudut

yang saling bersinggungan dan sisi tidak diperhitungkan.


13

c. Queen contiguity, daerah pengamatannya ditentukan berdasarkan sisi-sisi yang

saling bersinggungan dan sudut juga diperhitungkan. Pada penelitian ini

menggunakan pembobot Queen contiguity.

Matriks pembobot contiguity digunakan untuk mengetahui kedekatan data

spasial atau hubungan spasial dengan menghitung koefisien autokorelasi. Matriks

pembobot yaitu matriks yang setiap elemennya merupakan nilai pembobot yang

diberikan untuk perbandingan antar daerah tertentu. Pembobotan tersebut

didasarkan pada hubungan spasial antar daerah. Lee dan Wong (2001)

menyatakan bahwa jika ada n unit daerah dalam pengamatan, maka dapat

digunakan matriks pembobot spasial yang berukuran n × n untuk menentukan

hubungan kedekatan antar unit daerah. Setiap unit daerah digambarkan sebagai

baris dan kolom. Setiap nilai dalam matriks menjelaskan hubungan spasial antara

ciri-ciri geografis dengan baris dan kolom. Nilai 1 dan 0 digunakan sebagai

matriks untuk menggambarkan kedekatan antar daerah. Dalam bentuk yang paling

sederhana, bobot ini diberikan nilai 1 untuk tetangga yang dekat dan diberikan

nilai 0 untuk selainnya. Lee dan Wong (2001) menyebutnya dengan binary

matrix yang dinotasikan dengan W. Matriks W mempunyai beberapa karakteristik,

antara lain adalah :

Wij
1. Pertama, semua elemen diagonal dari adalah 0, karena diasumsikan

bahwa suatu unit daerah tidak berdekatan dengan dirinya sendiri.

2. Kedua, matriks W adalah matriks simetris di mana w ij =w ji. Kesimetrisan

yang dimiliki oleh matriks W pada dasarnya menggambarkan hubungan

timbal balik dari hubungan spasial.


14

3. Ketiga, baris dalam matriks W menunjukkan bagaimana suatu daerah

berhubungan spasial dengan daerah lain. Oleh karena itu jumlah nilai pada

suatu baris ke-i merupakan jumlah tetangga yang dimiliki oleh daerah ke-i.

Bentuk umum dari pembobot dalam bentuk matrik adalah sebagai berikut:

w 11 w 12 w 13 ⋯ w1 n

[
w 21
W Contiguity = w

31

wn 1
w 22
w 32

w n2
w 23
w 33

w n3




w2 n
w3 n

w nn
]
W 11 W 12 W 13 ⋯ W 1n
W

[
W = 21
W 22 W 23
⋮ ⋮
W n1 W n2 W n3
⋯ W 2n
W ij ⋮
… W nn
] (2.1)

Sebagai contoh matriks pembobot pada gambar 2.1 ditunjukan sebagai

berikut:

1 2 3 4 5
15

1 0 1 0 0 0
2
W contiguity =3
4
5
[ 1
0
0
0
0
1
0
0
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
]
W 11 W 12 W 13 ⋯ W 1n
W
W = 21
⋮ ⋮
[
W 22 W 23

W n1 W n2 W n3
⋯ W 2n
W ij ⋮
… W nn
]
2.2.2 Matriks Pembobot Jarak

Menurut Dasriani (2017) pembentukan matriks pembobot jarak diperoleh

dari perhitungan jarak jarak euclidean antara lokasi penelitian berdasarkan derajat

Latitude dan Longitude dengan rumus jarak euclidean antara lokasi ke-i dan ke-j

sebagai berikut:

d ij= √ (ui−u j )2 +(v i −v j )2 (2.2)

dengan:
ui ,u j = dua vector jarak latitude lokasi yang akan dihitung.

v i ,v j = dua vector jarak longitude lokasi akan dihitung.

Berdasarkan jarak yang diperoleh, maka akan dibuat matrik pembobot W(denominator)

yang terbentuk berdasarkan batas luas wilayah atau daerah (r) yang ditentukan

peneliti. Pembentukan matrik


W ij (d) berdasarkan matrik jarak yang diperoleh,

maka dibuat matrik pembobot biner dengan ketentuan:

d
1 , jarak<bandwith
d ij= { Jika ij < r
0 , jarak
lainya≥bandwith
(2.3)
16

Bentuk umum dari matrik pembobot jarak adalah sebagai berikut :

w 11 w 12 w 13 ⋯ w 1n

W jarak = w

[
w 21
31

wn 1
w 22
w 32

wn 2
w 23
w 33

w n3




w 2n
w 3n

wnn
] (2.4)

Sebagai contoh matriks pembobot pada data koordinat tabel 2.1 dengan

matriks jarak euclidean ditunjukan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Data Koordinat Geografi


NO NAMA KABUPATEN / KOTA Longitude (u) Latitude (v)
1 Kabupaten Nias 97,72475 1,238252

2 Kabupaten Mandailing Natal 99,89545 0,596797

3 Kabupaten Tapanuli Selatan 99,1792 1,527452

4 Kabupaten Tapanuli Tengah 98,60436 1,865988

Untuk membentuk matriks pembobot diperlukan data koordinat geografi

seperti pada tabel 2.1. Berikut langkah-langkah pembentukan matriks pembobot:

a) Menghitung jarak euclidean

d ij =√ (u i−u j)2 +( v i−v j )2


 Nias-Nias

d nias, nias= √(97,7248−97 ,7248 )2 + ( 1,238−1,238 )2=0

atau jika dalam kilometer = 0×111,39=0 km.

 Nias-Mandailing Natal (MN)

d nias, MN =√(97 ,7248−99 , 8954 )2 +( 1 ,238−0 , 5968 )2=2 ,263493


atau jika dalam kilometer = 2,263493 × 111,39 = 252,1304 km.
17

 Nias-Tapanuli Selatan (Tapsel)

d nias,Tapsel =√(97 ,7248−99,1792)2 +(1,238−1,5274 )2=1,482922


atau jika dalam kilometer = 1,482922 × 111,39 = 165,1826 km.

 Nias-Tapanuli Tengah (Tapteng)

d nias,Tapteng= √(97,7248−98 ,6044 )2 +(1,238−1,86599)2=1,08063


atau jika dalam kilometer = 1,08063 × 111,39 = 120,3713 km.

 Nias-Mandailing Natal (MN)

d nias, MN =√(99 , 8954−97 , 7248 )2 +( 0 ,5968−1 , 238 )2=2 ,263493


atau jika dalam kilometer = 2,263493 × 111,39 = 252,1304 km.

 Tapteng-Tapteng

d Tapteng,Tapteng= √(99 , 8954−98 ,6044 )2 −( 0, 5968−1 ,86599 )2=0

atau jika dalam kilometer = 0×111,39=0 km.

b) Membentuk matriks euclidean

1 2 3 4
18

1 0 252 , 1304 165 , 1862 120 , 3713


d ij=
[2 252 , 1304 0
3 165 , 1862 130 , 8119
130 , 8119 201 , 6671
0
4 120 , 3713 201 , 6671 74 , 3105
74 , 3105
0
]
W 11 W 12 W 13 ⋯ W 1n
W

[
W = 21

W 22 W 23
⋮ ⋮
W n1 W n2 W n3
⋯ W 2n
W ij ⋮
… W nn
]
Misalkan r (batas luas wilayah atau daerah) = 140, dari matriks

jarak euclidean diatas dibentuk matriks


W jarak sebagai berikut:

1 2 3 4
1 1 0 0 1
W jarak = 2
3
4
[ 0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
]
2.2.3 Pembobot Near Neighbour Kernel

Menurut Kartiko (2018) peran pembobot spasial sangat penting karena

nilai pembobot ini mewakili letak data data yang satu dengan yang lain. Pembobot

spasial juga digunakan untuk menentukan matriks pembobot masing-masing

lokasi yang berbeda sehingga peran pembobot sangat penting dalam perhitungan

autokorelasi spasial. Proses penaksiran parameter model GWR di suatu titik (ui

,vi) membutuhkan pembobot spasial dimana pembobot yang digunakan adalah

sebagai berikut:
19

Fungsi near neighbour kernel:

1
(
W NearN . Kernel=exp − (d ij /R ij )2
2 ) (2.5)

dengan keterangan:

d ij= √ (ui−u j )2 +(v i −v j )2 adalah jarak euclidean antara latitude lokasi (

ui ,u j ) dengan longitude lokasi ( v i ,v j )

Rij = nilai min ( k, |


d ij – ( d ij ) ).

k = rata-rata dari | nilai jarak euclide ( d ij ) – rata-rata jarak euclide (d ij ) |.

Sebagai contoh matriks pembobot pada data koordinat tabel 2.1 dengan

matriks jarak euclidean ditunjukan sebagai berikut:

1 2 3 4
1 0 252 , 1304 165 , 1862 120 , 3713
d ij=
[
2 252 , 1304 0
3 165 , 1862 130 , 8119
130 , 8119 201 , 6671
0
4 120 , 3713 201 , 6671 74 , 3105
74 , 3105
0
]
W 11 W 12 W 13 ⋯ W 1n
W

[
W = 21
W 22 W 23
⋮ ⋮
W n1 W n2 W n3
⋯ W 2n
W ij ⋮
… W nn
]
Dari matriks jarak euclidean tersebut dibentuk matriks pembobot Near

Neighbourhood Kernel maka:


20

|118 ,05−0|+|118 , 05−252 , 1304|+|118, 05−165 ,1862|…+|118 , 05−0|


k= =51 , 988
4×4
Sehingga nilai Rij =

R11 = min ( 51,988 | 118,05−0 ) = 51,988

R22 = min ( 51,988 | 118,05−251,1304 ) = -133,0804

R33 = min ( 51,988 | 118,05−165,1862 ) = -47,320

R44 = min ( 51,988 | 118,05−0 ) = 51,988

Maka:

1
2 (
W 11 =exp − (0/ 51,988)2 ) W ij =¿
= 1

1
(
W 12=exp − (252 ,1304 /(−133 , 0804 ))2
2 ) = 0,1661

1
(
W 13=exp − (165 , 1826/(-47,320 ))2
2 ) = 0,0022


1
(
W 44 =exp − (0/51,9886 )2
2 ) =1

Matriks pembobot Near Neighbourhood Kernel untuk data koordinat tabel

2.1 adalah:

1 2 3 4
1 1 0 ,1661 0 , 0022 0 , 0460

[
W Near N . Kernel = 2 0 ,1661 1
3 0 ,0022 0 ,5630
0 , 5630 0 , 0743
1
4 0 , 0460 0 ,0743 0 ,0764
0 , 0764
1
]
21

2.2.4 Pengujian Efek Spasial Global Getis Ord-G Statistic

Pengujian efek spasial dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat efek

spasial pada model yang diteliti. Pengujian ini dilakukan menggunakan metode

Global Getis Ord-G Statistic untuk menguji dependensi spasial.

Global Getis Ord-G Statistic merupakan suatu metode analisis spasial

yang dapat digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial secara global.

Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial

global serta metode ini mampu mengukur hubungan spasial dengan menggunakan

matriks berdasarkan jarak wilayah. Rumus Getis Ord-G Statistic (Z(G)) dengan

matriks pembobot yang sudah terstandarisasi :

G−E(G)
Z (G )=
√Var(G ) (2.6)

Keterangan :

G = Nilai Getis setiap lokasi penelitian

E(G) = Nilai Ekspektasi Getis setiap lokasi penelitian

Var(G) = Nilai Variansi Getis setiap lokasi penelitian

Perhitungan nilai G , E(G i ) dan Var (Gi ) adalah sebagai berikut:

1. Langkah awal yaitu menghitung nilai G dengan formula:


n
∑ ∑ W jarak , ij . xi . x j
G= i=1 j≠i
n
∑ ∑ xi . x j
i=1 j≠i (2.7)

dengan keterangan:

W jarak = Matriks pembobot spasial yang bernilai 1 jika unit spasial j

berada dalam jarak d dari unit spasial i selainnya 0.


22

x i ,x j = Nilai data jarak setiap pengamatan baris ke-i dan kolom ke-j.

2. Lalu menghitung nilai E(G) dengan ketentuan

W jarak
E(G) = n(n−1) (2.8)

dengan keterangan:

W jarak = Matriks pembobot jarak Euclidean dengan batas wilayah (r).

n = Jumlah data pengamatan.

3. Kemudian menghitung E(G2 ) dengan rumus


2
E(G ) =

1
×(B 0 m22 +B1 m4 +B 2 m21 m2 +B 3 m1 m3 +B 4 m41 )
(m21−m2 )2 . n(n−1)(n−2)(n−3)

dengan ketentuan:
n
1 2
S 1 = ∑ ∑ [ W ij ( d )+W ji (d ) ]
2 i=1 j≠i (2.9)
n
2
S 2 =∑
i=1 j≠i [∑ W ij (d )+∑ W ji(d )]
j≠i (2.10)

B 0 =(n2 −3 n+3 )S 1−nS 2 +3 W 2 ) (2.11)

B 1=− ( n2 −n ) S 1−2 nS 2 +3 W 2
[ ] (2.12)

B 2=−[ 2 nS1 −( n+3) S 2 + 6W 2 ] (2.13)

B 3=4 (n−1 )S1 −2(n+1 )S2 +8 W 2 (2.14)

B 4 =S1 −S2 +W 2 (2.15)


23

n
m1=∑ x1i
i=1 (2.16)
n
m2=∑ x2i
i=1 (2.17)
n
m 3 =∑ x3i
i=1 (2.18)
n
m 4 =∑ x 4i
i=1 (2.19)

dengan : S1, S2 = Nilai simpangan baku matriks W ij ( d) .

B0, B1, B2, B3, B4 = Sebagai nilai matriks koefisien.

` m1, m2, m3, m4 = Jumlah hasil kali dari setiap data pengamatan.

4. Kemudian menghitung nilai Var(G) dengan rumus sebagai berikut:

2 2
Var(G)=E (G )−E(G) (2.20)

dengan keterangan:

E(G2) = Nilai ekspektasi dari Getis Kuadrat

E(G)2 = Hasil kuadrat dari nilai ekspektasi Getis

Nilai indeks Getis Ord-G Statistic berkisar antara -1 dan 1. Identifikasi pola

menggunakan kriteria nilai indeks Getis Ord-G Statistic , jika nilai │ Z(G)│ >

Zα Zα
2 maka terdapat autokorelasi spasial, jika │ Z(G)│ < 2 maka tidak

terdapat autokorelasi spasial. Hipotesis untuk pengujian autokorelasi spasial

menggunakan metode Getis Ord-G Statistic adalah sebagai berikut:

H0 : G = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)


24

H1: G ≠ 0 ( ada autokorelasi antar lokasi)

Pengambilan keputusan Ho ditolak atau ada autokorelasi antar lokasi jika


nilai dari│ Z(G)│ > 2 atau p-value < α (0,05), maka terdapat efek spasial

pada variabel tersebut. Jika nilai G mendekati nol, artinya terdapat autokorelasi

spasial yang positif. Jika nilai G tidak mendekati nol, artinya terdapat autokorelasi

spasial yang negatif (Aldstadt dan Getis, 2006).

2.2.5 Local Getis Ord-G Statistic

Metode Local Getis Ord-G Statistic adalah suatu metode yang

menggunakan pendekatan statistik untuk mengukur hubungan spasial dengan

menggunakan matriks berdasarkan jarak wilayah. Metode Statistik Getis-Ord

digunakan untuk mengukur seberapa tinggi atau rendah nilai pemusatan data pada

suatu wilayah tertentu. Statistik


G¿i merupakan suatu indikator pengelompokan

lokal yang mengukur 'konsentrasi' dari variabel atribut x diseluruh wilayah i

yang terdistribusi secara spasial (Getis dkk, 1992). Statistik tersebut mengukur

tingkat pengelompokan (pemusatan) yang merupakan hasil dari poin bobot

konsentrasi (atau area yang direperentasikan sebagai suatu bobot) dan seluruh

poin bobot yang lain yang termasuk dalam radius jarak d dari point bobot asal

(Getis dkk, 1992). Secara umum


G¿i statistik dari asosiasi spasial keseluruhan

dinyatakan sebagai berikut:


n
∑ W jarak,ij . x j
Gi = j=1 n
¿

∑j x j (2.21)

dengan keterangan:
25

G¿i = Nilai Getis lokal setiap lokasi penelitian.

W jarak = Matriks pembobot spasial yang bernilai 1 jika unit spasial j

berada dalam jarak d dari unit spasial i selainnya 0.

x i ,x j = Nilai data jarak setiap pengamatan baris ke-i dan kolom ke-j.

Berdasarkan persamaan (2.26), Wjarak adalah elemen spatial weight matrix

pada (d) adalah elemen jarak antar objek spasial, sedangkan


x j merupakan nilai

atribut untuk fitur j dalam jarak (d). Untuk nilai ekspektasi dari
G¿i dihitung

dengan membagi nilai Wjarak dengan variabel n (jumlah data), dengan persamaan

sebagai berikut:
n
∑ W jarak
E(Gi )= j=1
¿
n (2.22)

Selanjutnya dilakukan penentuan tendensi konsentrasi spasial suatu daerah dengan

¿ ¿
membandingkan nilai
Gi dengan nilai E(Gi ) , dengan ketentuan :

 Jika
G¿i >
E(G¿i ) , suatu daerah termasuk dalam kondisi

wilayah high values (hot spots).

 Jika
G¿i <
E(G¿i ) , suatu daerah termasuk dalam kondisi

wilayah low values (cold spots).


¿ ¿
 Jika Gi = E(Gi ) , suatu daerah tidak signifikan atau tidak

memiliki tendensi konsentrasi spasial.


26

2.2.6 Matriks Pembobot Spasial AMOEBA

A Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm (AMOEBA)

prosedur ini dirancang untuk menggelompokkan (clustering) unit-unit spasial dan

mengkonstruksi matriks pembobot spasial yang menggunakan data empiris

(Aldstadt dan Getis, 2006). Matriks pembobot spasial AMOEBA (W AMOEBA)

merupakan penggabungan antara konsep geografis dengan perilaku data (variabel

yang menjadi perhatiannya) atau perilaku datanya. Prosedur dari pembobotan

AMOEBA didasarkan pada prinsip yang telah dikembangkan dimana struktur

spasial dianggap sebagai dua bagian kerangka yang memisahkan data yang

berasosiasi secara spasial dan data yang tidak berasosiasi secara spasial. Dasar-

dasar dalam prosedur AMOEBA adalah tipe statistik lokal yang digunakan untuk

menguji hubungan antara unit spasial yang berdekatan. Menurut Getis dan Ord

(1992) statistik autokorelasi spasial lokal lebih sensitif dibandingkan statistik

autokorelasi spasial global.

Langkah dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial dan membentuk

kelompok (cluster) tinggi dan kelompok (cluster) rendah melalui prosedur

AMOEBA, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan statistik Getis lokal. Statistik

Getis lokal yang digunakan ketika akan menentukan matriks pembobot spasial

AMOEBA, diasumsikan menyebar normal.

Algoritma AMOEBA adalah sebagai berikut:


¿ ¿
(1). Menghitung
Gi (0) yaitu nilai
Gi untuk unit spasial di lokasi itu

¿
sendiri. Nilai
Gi (0) yang lebih dari nol menunjukkan bahwa nilai di

¿
lokasi i lebih besar dari rata-rata semua unit. Sedangkan
Gi (0) yang
27

kurang dari nol menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih kecil dari rata-

rata semua unit.

Ketentuan perhitungan Gi adalah:

n
∑ W jarak .ij . x j
j=1
G i= n
∑ xj
j=1 , j≠i (2.23)

dengan Wjarak = matriks pembobot spasial jika unit spasial j berada dalam

jarak d dari unit spasial i. Kemudian menghitung Gi* baru dengan ketentuan

pada persamaan 2.21.


¿
(2). Menghitung
Gi (1) , yaitu nilai untuk setiap daerah yang memuat unit i

¿
dan semua kombinasi dari tetangga yang berdekatan. Jika
Gi (0) lebih

¿
(kurang) dari kombinasi yang memaksimumkan
Gi (1) menjadi ecotope

tinggi atau ecotope (rendah) yang baru. Unit spasial yang bersebelahan yang

tidak termasuk dalam ecotope dieliminasi dan unit spasial ada dalam

ecotope.

(3). Mengevaluasi semua kombinasi tetangga sebelah dan setelah itu didapatkan

keanggotaan baru ecotope untuk diidentifikasi.

(4). Proses berlanjut untuk jumlah penghubung k, k=2, 3, ...,maksimum, sehingga

¿
tidak ada lagi unit-unit spasial yang dapat meningkatkan nilai mutlak
Gi .

Pengaturan tambahan dalam AMOEBA meliputi pemilihan Bonferroni False

Discovery Rate (FDR) atau ambang batas inti yang membatasi ukuran

maksimum cluster.
28

Berikut merupakan sebuah ilustrasi proses penggabungan unit-unit spasial

dalam membentuk geometri dari ecotope atau gerombol (cluster) dengan jarak

maksimum 5 langkah (k = 5) dari unit i.

1. Untuk setiap amatan lokasi i, nilai statistik lokal diperoleh untuk semua

kombinasi dari tetangga sebelah/terdekat dengan lokasi j. Amatan-amatan

j yang memaksimumkan statistik lokal menjadi anggota-anggota ecotope

bersama dengan amatan i (include) dan anggota-anggota selainnya tidak

menjadi ecotope yang memuat i (exclude). Gambar 2.2 memperlihatkan

tiga unit j yang termasuk dalam ecotope (kiri, kanan dan atas) dan yang

tidak termasuk ecotope diberi warna merah muda.

Gambar 2.2 Ilustrasi Ecotope pada tahap pertama

2. Setelah terbentuk ecotope baru (dalam contoh ini ecotope terdiri dari

empat unit, yakni atas, tengah, kiri dan kanan), dilakukan proses yang

sama, yaitu mencari unit-unit j yang berdekatan terhadap ecotope yang

baru tersebut, dimisalkan diperoleh hasil sebagai berikut


29

Gambar 2.3 Ilustrasi Ecotope pada tahap kedua

Pada tahap kedua dihasilkan sel-sel berwarna hijau yang merupakan unit-

unit yang tergabung menjadi ecotope baru setelah proses jarak tetangga

kedua, dan warna merah muda unit-unit yang dikeluarkan (exclude).

3. Semua kombinasi bersama-sama dengan anggota ecotope yang ada

dievaluasi menggunakan statistik lokal. Himpunan baru dari amatan-

amatan j yang memaksimumkan statistik lokal menjadi anggota ecotope

tersebut. Demikian proses ini berlanjut sampai tidak terdapat lagi unit-unit

yang dapat memaksimumkan nilai mutlak statistik lokal. Dimisalkan

dalam ilustrasi ini diperoleh maksimum jarak dari i adalah 5, dan hasil

ecotope terbentuk disajikan pada Gambar 2.4 untuk tahap ketiga dan

Gambar 2.5 untuk tahap kelima.

Gambar 2.4 Ecotope tahap ketiga Gambar 2.5 Ecotope tahap kelima

Berdasarkan gambar 2.4 terlihat bahwa pada langkah keenam semua unit

yang bersebelahan dengan ecotope berwarna merah muda, artinya bahwa

setelah proses pada langkah kelima, masuknya unit-unit spasial tidak dapat

memaksimumkan statistik lokal. Dengan demikian dapat diperoleh nilai

k-maksimum = 5 yakni lima langkah dari unit i. Apabila ecotope sudah


30

terbentuk dan tidak dapat memaksimumkan nilai statistik lokal, maka

dibuat matriks pembobot AMOEBA melalui prosedur berikut:

(a) Ketika Kmaks > 1.

{P[ Z≤G¿i ( k maks )]−P[ Z≤G¿i (k j )]}

{
w ij= {P [ Z≤G¿i ( k maks ) ]−P [ Z≤G ¿i ( 0 )]}
0
, 0< k j≤k maks

, untuk kj selainnya

(b) Ketika Kmaks = 1.

w ij= 1
, untuk kj = 1
{0 , selainnya (2.25)

(c) Ketika Kmaks = 0.

w ij=0 , untuk semua j (2.26)

Simbol kj adalah penghubung (link) yang menghubungkan i dan j dalam

ecotope. Pada kondisi 1, yaitu ketika kmaks > 1, nilai-nilai wij menurun ketika

jumlah penghubung antara unit i dan j meningkat. Ketika ecotope hanya

mengandung satu penghubung dari unit i (kmaks = 1) maka unit tersebut diberi

pembobot 1. Ketika tidak ada asosiasi antara unit i dengan sembarang unit j (k maks

= 0) maka baris i dari matriks W adalah nol. Berkaitan dengan prosedur

AMOEBA dimana
w ij menggunakan fungsi kumulatif sebaran normal dan hasil

kajian Zhang (2008) yang menunjukkan kaitan sebaran statistik Gi dengan sebaran

peubah asal, dalam kajian ini difokuskan pada statistik Getis lokal.

Menurut Asfar (2016), perbedaan pembobot AMOEBA dengan pembobot

Contiguity dan pembobot Near Neighbourhood Kernel yang digunakan dalam

metode Getis Ord-G Statistic yaitu pembobot AMOEBA disusun berdasarkan

perilaku data sedangkan pembobot Contiguity dan pembobot Near


31

Neighbourhood Kernel berdasarkan ketanggaan, selain itu dapat juga

dibandingkan perbedaan lainnya pada tabel 2.2 sebagai berikut:

Tabel 2.2 Perbandingan Pembobot Contiguity, Near N. Kernel dan AMOEBA

Pembobot Data yang dibutuhkan Kelebihan Kekurangan

 Berdasarkan pada konsep


jarak dan mudah dalam  Kurang mampu
Ketetanggaan, Matriks proses perhitungan. mengelompokkan
Contiguity Jarak (dij) dan Batas
 Berperan penting dalam data spasial yang
Wilayah (r). menentukan data terdapat tidak teratur.
efek pengaruh spasial atau
tidak.

Pembobot Data yang dibutuhkan Kelebihan Kekurangan

 Mewakili letak data yang


Matriks Jarak (dij), lokasinya berdekatan satu
 Kurang mampu
dengan yang lain setiap
Near Nilai min (Rij), Nilai k mengelompokkan
lokasi memiliki nilai yang
Neighbourhood dan Rata-rata jarak berbeda. data spasial yang
Kernel tidak teratur.
(d ij ) .
 Memiliki peranan penting
dalam proses perhitungan
autokorelasi spasial.

 Berdasarkan kedekatan
antar unit dan melibatkan
Matriks Jarak (dij), kemiripan antar peubah  Kurang maksimal
Local Getis Ord (Gi yang berdekatan.
untuk data yang
AMOEBA ¿  Menghasilkan kelompok
dan
Gi ), E(G) dan berjumlah sedikit
yang lebih heterogen antar
Var(G,. cluster pada data yang atau ukuran kecil.
memiliki pola spasial yang
tidak teratur.
32

2.2.7 Packages dalam Software R-Studio untuk Getis Ord-G Statistic

Packages dalam software R-Studio yang digunakan untuk membantu

menganalisis Getis Ord-G Statistic adalah:

 Library (spdep). Package ini membantu dalam hal analisis data spasial

dan berisi kumpulan fungsi untuk membuat objek matriks bobot spasial

dari 'kedekatan' poligon, dari pola titik dan jarak. Contoh penulisan sintaks

sebagai berikut:

> poly2nb(map, set.ZeroPolicyOption(TRUE), row.names = NULL)

dengan keterangan:

poly2nb = data peta berbentuk polygon yang akan digunakan.

map = peta penlitian yang akan di analisis.

 Library (lattice). Package ini membantu dalam memvisualisasikan grafis

data agar mempermudah peneliti dalam analisis deskriptif dan menyajikan

informasi yang menarik. Contoh penulisan sintaks sebagai berikut:

> plot (map.shp)

dengan keterangan:

plot(map) : membuat plot peta.shp yang diimpor.

 Library (maptools). Package ini membantu dalam membaca peta Pulau

Jawa yang berbentuk poligon, sehingga koordinat-koordinat penyusun

batas kota dan kabupaten dapat digunakan pada perhitungan jarak spasial.

< readShapePoly("map.shp")
33

dengan keterangan:

readShapePoly : membaca peta yang diimpor dan akan dianalisis.

 Library (classInt). Package ini membantu untuk memilih interval kelas

univariat untuk pemetaan atau keperluan geografis lainnya.

< nb2listw(poly1, lc, style = "B")

dengan keterangan:

nb2listw : melihat daftar matriks ketetanggaan pada peta.

poly1 : peta berpola polygon.

 Library (RColorBrewer). Package ini menyediakan warna peta (grafik).

Contoh penulisan sintaks sebagai berikut:

> plot(map,col=color[as.factor(b)])

dengan keterangan:

co = color () : memberikan warna pada bagian peta yang diimpor.

 Library (AMOEBA). Package ini membantu menghitung cluster spasial

dan mencari ecotope pada peta menggunakan statistik lokal Getis-Ord.

Contoh penulisan sintaks sebagai berikut:

> AMOEBA(outc, neig, power = 1, cpu = 1)

dengan keterangan:

outc : data vector penelitian yang digunakan.

neigh : objek ketetanggaan dari package spdep.

power : jumlah penggunaan AMOEBA saat dijalankan.


34

cpu : jumlah cpu (processor) yang digunakan dalam program.

2.2.8 Shapiro Wilk Test

Menurut (Rahman, 2015) Uji Shapiro Wilk adalah sebuah metode yang

dapat digunakan untuk uji normalitas data sampel yang berukuran kecil (kurang

dari 50). Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh data yang akan diuji

kenormalannya menggunakan metode ini, yaitu data berskala interval atau rasio,

data yang digunakan berupa data tunggal yang belum dikelompokkan pada tabel

distribusi frekuensi dan data sampel diambil secara acak.

Rumus Uji Shapiro Wilk adalah sebagai berikut:

k 2

T 3=
1
D [∑
i=1
ai ( x n−i +1− xi )
] (2.27)

dengan
n
D=∑ ( xi − x̄ )2
i=1 (2.28)

Keterangan: a i : koefisien uji Shapiro Wilk.

x n−i+1 : data pengamatan ke n-I +1.

xi : data pengamatan ke-i.

x́ : rata – rata data pengamatan.

2.2.9 Kruskal Wallis Test

Menurut (Nuansari, 2018), Kruskal Wallis merupakan uji non parametrik

yang digunakan untuk menentukan adakah perbedaan yang signifikan pada dua

atau lebih kelompok. Uji Kruskal Wallis dapat dikatakan identik dengan Uji One

Way Anova pada pengujian parametris, namun untuk melihat perbedaan pengaruh

antar cluster harus diperhatikan bahwa sampel pada setiap kategori harus bebas
35

satu sama lain, yaitu tidak boleh ada sampel yang masuk dalam 2 kategori atau

lebih cluster yang sama. Uji Kruskal Wallis merupakan alternatif dari uji One

Way Anova ketika asumsi normalitas tidak terpenuhi. Selain sebagai uji alternatif,

asumsi yang dibutuhkan dalam melakukan pengujian Kruskal Wallis antara lain

sebagai berikut:

1. Variabel independen berskala kategorik lebih dari 2 kategori.

2. Independen artinya sampel ditiap kategori harus bebas satu sama lain,

yaitu tidak boleh ada sampel yang berada pada 2 kategori atau lebih.

Menurut (Kracalik, 2012), uji statistik non-parametrik Kruskal Wallis atau

Mann Whitney U dapat digunakan untuk mengevaluasi kelompok daerah yang

signifikan (Hotspots dan Coldspots) dan daerah non-cluster (tidak signifikan).

Ketika variabel dalam penelitian yang tidak berdistribusi normal, sehingga untuk

mengevaluasi kelompok daerah digunakan metode Kruskal Wallis Test. Metode

Kruskal Wallis menggunakan pendekatan nilai distribusi Chi-Square dengan

derajat bebas adalah k-1 dengan jumlah sampel harus lebih dari 5.

Langkah-langkah perhitungan pada uji Kruskall Wallis adalah:

1. Seluruh data pengamatan kelompok digabung dan dibuat peringkat.

2. Menghitung jumlah peringkat pada setiap kelompok.

3. Menghitung nilai uji Kruskall Wallis.

Rumus untuk Kruskall Wallis adalah:

R2
KW =
[
12
n(n+ 1)

k
i=1
i
ni ]
−3( n+1)
(2.29)

dengan:

n : Jumlah objek penelitian.


36

Rk: Jumlah peringkat pada kelompok ke-k.

ni : Jumlah sampel pada kelompok ke-i.


2
4. Menentukan nilai X α (k−1) dari tabel chi-square.

5. Mengambil kesimpulan dengan membandingkan nilai uji Kruskall Wallis

2
dengan nilai chi-square-tabel. Jika nilai Kruskall Wallis > X α (k−1) maka

diputuskan tolak H0. Pengambilan keputusan juga dapat didasarkan pada

nilai p-value yang dibandingkan dengan α. Jika P-value < α maka

diputuskan tolak H0.

2.2.10 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Menurut (Sjafrizal, 2008) yang dikutip oleh (Siswanto V. K., 2012)

menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum

terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu negara. Terdapat

kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan

ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah sering menjadi

permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai pertumbuhan

ekonomi secara cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan

lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah terbelakang ke

wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di wilayah maju dan

bila dibiarkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.

Menurut Mudrajat Kuncoro dalam Damarjati (2010) kesenjangan mengacu

pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Sebab kesenjangan antar

wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugerah awal (endowment factor).

Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah


37

dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di

berbagai wilayah tersebut.

Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antar daerah

dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya perbedaan

dalam sumber daya manusia atau alam dan awal pelaksanaan pembangunan antar

daerah (Damarjati, 2010). Faktor-faktor penyebab kesenjangan wilayah yang

menyebabkan ketimpangan (kesenjangan), diantaranya adalah:

a) Perbedaan karakteristik limpahan sumber daya alam

b) Perbedaan demografi

c) Perbedaan kemampuan sumber daya manusia

d) Perbedaan potensi lokasi

e) Perbedaan dari aksebilitas dan kekuasaaan dalam pengambilan

keputusan

f) Perbedaan dari aspek potensi pasar

Di Indonesia faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi

antar provinsi atau wilayah diantaranya adalah:

a) Kosentrasi kegiatan ekonomi wilayah

b) Alokasi investasi

c) Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah

d) Perbedaan sumber daya alam antar provinsi

e) Pembangunan ekonomi didaerah yang kaya sumber daya alam akan

lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan

daerah yang miskin sumber daya alam.

f) Perbedaan demografis antar wilayah


38

g) Kurang lancarnya perdagangan antar provinsi

Beberapa parameter kesenjangan ekonomi yang dapat digunakan dalam

menganalisis tingkat kesenjangan ekonomi dalam suatu wilayah adalah Indeks

Williamson, Indeks Rasio Gini dan Indeks Theil.

1) Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan koefisien variasi tertimbang yang

dibuat oleh Williamson pada tahun 1965. Indeks Williamson sangat sensitif

untuk mengukur perbedaan daerah dan mencermati tren kesenjangan yang

terjadi. Formula indeks Williamson dapat ditulis sebagai berikut:

n
P
IW =
1
y √ ∑ ( y i− y )2 Pi
i=1 (2.30)

dengan uraian:

IW : Indeks Williamson

yi : PDRB per kapita kabupaten/kota i

ý: Rata-rata PDRB per kapita Provinsi

Pi : Jumlah penduduk kabupaten/kota i

P : Jumlah penduduk Provinsi

Apabila angka indeks kesenjangan Williamson semakin mendekati nol,

maka menunjukkan kesenjangan yang semakin kecil dan bila angka indeks

menunjukkan semakin mendekati satu maka menunjukkan kesenjangan

yang makin melebar. Kriteria kesenjangan ekonomi sebagai berikut:

a. Kesenjangan tingkat rendah, jika IW < 0,35

b. Kesenjangan tingkat sedang, jika 0,35 ≤ IW ≤ 0,5

a. Kesenjangan tingkat tinggi, jika IW > 0,5


39

2) Gini Ratio

Pendapat atau ukuran berdasarkan Indeks Rasio Gini atau Gini Ratio

dikemukakan oleh C.GINI yang melihat adanya hubungan antara jumlah

pendapatan yang diterima oleh seluruh keluarga atau individu dengan total

pendapatan. Ukuran Gini Ratio sebagai ukuran pemerataan pendapatan

mempunyai selang nilai antara 0 sampai dengan 1. Bila Indeks Gini Ratio

mendekati nol menunjukkan adanya ketimpangan yang rendah dan bila Gini

Ratio mendekati satu menunjukkan ketimpangan yang tinggi. Rumus yang

dipakai untuk menghitung nilai Gini Ratio adalah:

k
Pi (Qi−1 )
IG=1−∑
i−1 1000 (2.31)

dengan uraian :

IG : Gini Ratio

Pi : Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i

Qi : Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas-i

Qi-1 : Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i

k : Banyaknya kelas pendapatan

Nilai Gini yaitu diantara 0 dan 1, dimana nilai 0 menunjukkan tingkat

pemerataan yang sempurna, dan semakin besar nilai Gini maka semakin

tidak sempurna tingkat pemerataan pendapatan. Menurut Badan Pusat

Statistik Republik Indonesia (2009), kriteria kesenjangan ekonomi adalah

sebagai berikut:

a. Kesenjangan tingkat rendah, jika IG < 0,4

b. Kesenjangan tingkat sedang, jika 0,4 ≤ IG ≤ 0,5


40

c. Kesenjangan tingkat tinggi, jika IG > 0,5

3. Indeks Theil

Indeks Theil merupakan indeks yang banyak digunakan dalam

menghitung dan menganalisis distribusi pendapatan regional. Karakter

utama indeks ini adalah kemampuannya untuk melihat terjadinya

kesenjangan antarkelompok wilayah (between inequality) dan kesenjangan

dalam suatu kelompok wilayah (within inequality) itu sendiri. Nilainya

berkisar antara nol sampai dengan satu. Kelebihan dari Indeks Theil, yaitu:

a. Sifatnya tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh

oleh nilai-nilai ekstrim.

b. Independen terhadap jumlah daerah sehingga dapat digunakan sebagai

pembanding dari sistem regional yang berbeda-beda.

c. Indeks Theil ini juga dapat untuk didekomposisikan ke dalam indeks

ketidakmerataan antar kelompok atau daerah secara simultan.

Menurut (Tadjoeddin, 2003) formulasi untuk menghitung nilai dari

Indeks Theil dituliskan sebagai berikut:

Y ij Y ij
T =∑ i ∑ j [ ][ ]
Y
ln
Y
=T W +T B

(2.32)

Yi
T W =∑ i[] Y
Ti
(2.33)

Y ij Y ij
Ti= ∑[ ] [ ]
j
Y
ln
Y (2.34)
41

Yi Yi
T B =∑ i [ ][ ]
Y
ln
Y

(2.35)

dimana:
T = Indeks Theil

TW = Kesenjangan dalam pulau

TB = Kesenjangan antarpulau

Yij = PDRB kabupaten j, pulau i

Y = Total PDRB Provinsi (∑ ∑ Y iJ )

2.2.11 Solusi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Menurut Kepala BAPPEDA Jawa Tengah (Brodjonegoro, 2017) solusi

dalam mengatasi kesenjangan ekonomi adalah dengan melakukan pemerataan

pertumbuhan ekonomi pada setiap sektor di Jawa Tengah, namun tidak dipungkiri

bahwa terdapat perbedaan tingkat keberhasilan pembangunan antar wilayah

merupakan hal alamiah. Hal itu terkait dengan variasi potensi yang dimiliki setiap

wilayah, baik sumber daya alam maupun letak geografis wilayah. Namun, di balik

keberhasilan tersebut, masih terdapat permasalahan kesenjangan antar wilayah

yang dapat berpotensi menjadi persoalan di masa depan karena dipicu munculnya

persepsi ketidakadilan antar sesama masyarakat. Potensi negatif ini yang harus

segera diminimalkan agar pembangunan Jawa Tengah tepat sasaran.

Pemerintah dan BAPPEDA saat ini sedang berfokus untuk melaksanakan

lima prioritas nasional dalam upaya pemerataan pembangunan ekonomi di Jawa

Tengah yaitu:

(1) Pembangunan sumber daya manusia melalui kegiatan kewirausahaan

pengurangan kemiskinan dan peningkatan pelayanan dasar;


42

(2) Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui penguatan

konektivitas dan kemaritiman;

(3) Peningkatan nilai tambah ekonomi dan penciptaan lapangan kerja

melalui pertanian, industri, pariwisata dan jasa produktif lainnya;

(4) Pemantapan ketahanan energi, pangan dan sumber saya air; dan

(5) Stabilitas keamanan daerah.

Anda mungkin juga menyukai