Anda di halaman 1dari 12

DEMAM TIFOID

Oleh :

Lika Iriana Risda Putri

1102014148

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD ARJAWINANGUN

10 SEPTEMBER-17 NOVEMBER 2018


DEMAM TIFOID

1. DEFINISI
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah
penyakit sejenis yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C. Terminologi
lain yang sering digunakan adalah typhoid fever, paratyphoid fever, typhus, dan
paratyphus abdominalis atau demam enterik.

2. EPIDEMIOLOGI
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World Health
Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia.
Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat
terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang
sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan
bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian
terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut
diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena
pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.
Indonesia merupakan negara endemic demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800
penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahum.
Penyakit ini terdapat diseluruh wilayah dengan insidensi tidak berbeda jauh antar
daerah. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan
RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke 3 dari 10 pola penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia (41.081 kasus).

3. ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini

2
dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah
dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 – 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.

Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam (hari ke
8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka kumana tidak akan ditemukan
pada tinja di minggu ke-4, jika masih ditemukan melalui pemeriksaan kultur tinja maka
penderita dinyatakan sebagai carrier.

3
4. PATOGENESIS
Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Vektor berupa serangga juga
berperan dalam penularan penyakit. Kuman salmonella dapat berkembang biak untuk
mencapai kadar infektif dan bertahan lama dalam makanan. Selain penderita tifoid,
sumber penularan utama berasal dari carrier. Di daerah endemik, air yang tercemar
merupakan penyebab utama penularan penyakit. Adapun di daerah endemik, makanan
yang terkontaminasu oleh carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap
penularan. Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, dan sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
berkembang biak. Bila respon humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman
akan menembus sel-sel epitel menuju lamina propia kemudian berkembang biak dan
difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam
makrofag menuju sirkulasi darah (bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
kemudiad menyebar lagi ke sirkulasi darah (bakteremia kedua disertai tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik).
Kuman dapat masuk ke kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secaraintermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang lagi, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif;
maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular,
mental, dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menyebabkan hiperplasia jaringan (S.typhi
intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasi jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi

4
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik

5. MANIFESTASI KLINIS

Demam tifoid mengakibatkan 3 kelainan pokok yaitu demam berkepanjangan,


gangguan sistem pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam lebih dari 7 hari
merupakan gejala paling menonjol. Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas
seperti anoreksia atau batuk. gangguan saluran pencernaan yang sering terjadi adalah
konstipasi dan obstipasi (sembelit) , meskipun diare juga bisa terjadi. Gejala lain pada
saluran pencernaan adalah mual, muntah, atau perasaan tidak enak di perut. pada
kondisi yang parah, demam tifoid bisa disertai dengan gangguan kesadaran yang berupa
penurunan kesadaran ringan, apatis, somnolen, hingga koma.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan
epistaksis. pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan terutamanpada sore hingga malam hari.
dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (peningkatan suhu 1c tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor) ,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor,
koma, delirium, atau psikosis.

6. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti dibuat berdasarkan adanya salmonella dari darah melalui kultur. krena
isolasi salmonella relatif sulit dan lama, maka pemeriksaan serologi widal untuk
mendeteksi antigen O dan H sering dipakai sebagai alternatif, meskipun sekitar 30%
penderita menunjukan titer yang tidak meningkat. pemeriksaan widal akan menunjukan

5
hasil yang signifikan apabila dilakukan secara serial per minggu, dengan adanya
peningkatan titer sebanyak 4 kali. nilai titer yang dianggap positif demam tifoid
tergantung dari tingkat endemisitas darrahnya. laporan-laporan dari daerah menunjukan
nilai standar uji widal O positif yang berbeda-beda.

Uji Widal
uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap S.Typhi. pada uji widal terjadi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan yang disebut aglutinin. antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang telah diolah di laboratorium.
maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu :
a) aglutinin O (dari tubuh kuman)
b) aglutinin H (flagela kuman)
c) aglutinin Vi (simpai kuman)
dari ketiga aglutinin tersebut hanya O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. semakin tinggi titernua semakin besar kemungkinan infeksi kuman ini.
pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian
aglutinin H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antar 9-12 bulan. oleh karena itu uji widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
1. pengobatan dini dengan antibiotik
2. gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid
3. waktu pengambilan darah
4. daerah endemik atau non endemik
5. riwayat vaksinasi
6. reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7. faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
saat ini belum ada kesamaat pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatam saja,
6
hanya berlaku setpat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbahai laboratorium
setempat.

Uji typhidot
uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar salmonella tuphi. hasil positif pda uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S. tuphi seberat 50kD yang terdapat pda strip nitroselulosa. sensitivitas
98% spesifisitas 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84% pda penelitian yang dilakukan
Gopalakhrisnan dkk (2002). pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk
didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji tubex yaitu 79%
dan 89% dengan 78% dan 89%. pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG)
teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai
2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pda kasus infeksi primer.
untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG
pada sampel serum. uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot M memungkinkan
antara ikatan antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. studi evaluasi
yang dilakukan oleh khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot M menunjukan
bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (100%) dan lebih cepat (3 jam) dibanding kultur

Uji IgM dipstick


Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S. typhi pada
specimen oserum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai control) reagen deteksi
yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada 4-25C di tempat
kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada
larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah
inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara resmi kuantitatif,
diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference
7
strip. Garis control harus terwarna dengan baik. House dkk, 201 dan Gasem MH dkk,
2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur
darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar
95-100% . pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan
khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu
setelah timbulnya gejala.

Kultur Darah
Haisl biakan darah yang positif memastikan demam tidoid, akan tetapi hasil negative
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal :
1). Telah mendapat antibiotik
2). Volume darah yang kurang.
3). Riwayat vaksinasi
4). Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin makin
meningkat.

8. TATALAKSANA
Trilogi penatalaksanaan tifoid:
1. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygine perorangan tetap
diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama.
3. Pemberian antimikroba
a. Kloramfenikol. Di Indonesia masuh merupakan obat pilihan untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan 4 x 500mg per hari dapat
8
diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas
panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan.
b. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hamper sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi
seperti anemia aplastic lebih rendah disbanding kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol 4 x 500 mg.
c. Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimetropim) diberikan
selamma 2 minggu.
d. Ampisillin dan amoksisilin. Kemampuan menurunkan demam lebih
rendah disbanding kloramfenikol, dosis anjuran 50-150mg/kgBB dan
digunakan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini seftriakson terbukti efektif
untuk tifoid. Dosis anjuran 3-4gram dalam dekstrosa 100cc diberikan ½
jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
f. Fluorokuinolon
Golongn ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya:
-Norfloksasin dosis 2x 400mg/hari
-siprofloksasin dosis 2x500mg/hari selama 6 hari
-ofloksasin 2x 400mg/hari selama 7 hari
-pefloksasin 400mg/hari selama 7 hari
-fleroksasin 300mg/hari selama 7 hari
-levofloksasin 1x500mg selama 7 hari
g. Azitromisin 2x500mg menunjukan mengurangi kegagalan klinis dan
durasi rawat inap jika dibandingkan dengan florokuinolon, dan
mengurangi angka relaps jika dibandingkan dengan seftriakson.

TATALAKSANA KOMPLIKASI
1. KOMPLIKASI INTESTINAL
Perdarahan Intestinal
Perdarahan terjadi apabila tukak yang disebbkan infeksi plak peyeri menembus
lumen usus dan mengenai perdarahan. Bila tukak menembus didnding usus
perforasi dapat terjadi. Sekitar 25% penderita tifoid menderita perdarahan minor
9
yang mengakibatkan tidak perlu transfuse darah. Secara klinis perdarahan akut
darurat terjadi bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor
homeostatis normal. Bila transfuse yang diberika tidak dapat diimbangi, maka
tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

Perforasi Usus
Bila pada foto polos abdomen BNO/ 3 posisi ditemukan udara pada rongga
peritoneum atau subdiagfragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapat perforasi usus. Antibiotic diberikan secara selektif bukan
hanya untuk mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk mengobati kuman yang
bersifat fakultatif anaerobic. Umumnya diberikan antibiotic spectrum luas berupa
kombinasi kloramfeniol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat
diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah cukup
dan pemasangan NGT. Transfuse darah dapat dilakukan bila terdaat perdarahan
interstinal.

KOMPLIKASI EKSTRA INTESTINAL


Komplikasi Hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dapat
ditemukan pada kebanyakan pasiendemam tifoid. Trombositopenia saja sering
dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di
sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di
sistem retikuloendotelial. Penyebab KID belumlah jelas. Bila terjadi KID
dekompensata dapat diberikan transfuse darah. Substitusi trombosit dan/atau
faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat
tentang manfaat heparin pada tifoid

Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpai pada S.typhi daripada S. paratyphi.
10
Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang bisa dijumpai pada demam tifoid . antibiotic yang
diberikan adalah antibiotic intravena seperti seftriakson atau kuinolon.

Miokarditis
Disebabkan karena kerusakan miokardium oleh s. typhi dan miokarditis sering
menjadi penyebab kematian.
Toksik Tifoid
Gejala demam tifoid yang diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
peurunan kesadaran akut dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih normal disebut sebagai toksik tifoid. Pengobatan
kombinasi kloramfenikol 4 x 500mg ditambah ampisilin 4x 1 gram dan
deksametason 3 x 5 mg

TATALAKSANA TIFOID CARRIER


Tifoid carrier adalah seseorang yang kotorannya mengandung s. typhi setelah satu
tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasis tifoid dengan kuman
S.typhi masih dapat ditemuka di feses atau urin selam 2-3 bulan disebut karier pasca
penyembuhan. Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya
penyulit :
a. Tanpa disertai kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan:
1. Ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari
2. Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari
3. Trimetropim-selfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari
b. Disertai kolelitiasis
Kolesistektomi +regimen diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau
kolesistektomi +salah satu regimen terapi di bawah ini
1. Siprofloksasin 750mg/2 kali/hari
2. Norfloksasin 400mg/2 kali/hari
c. Disertai infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius
Dilakukan eradikasi S. haematobium :
1. Prazikuantel 40mg/kgBB dosis tunggal, atau
11
2. Metrifonat7,5 10mg/kgBB bila perlu 3 dosis, interval 2 minggu. Setelah
eradikasi baru diberikan regimen terapi tifoid karier diatas.

12

Anda mungkin juga menyukai