Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
Nurmaida 1501033
Dosen pembimbing:
FINA ARYANI,M.Sc.,Apt
YAYASAN UNIV.RIAU
NOVEMBER 2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan makalah farmakoterapi I dengan judul “skizofrenia”
Makalah ini disusun sebagai upaya memenuhi kebutuhan materi belajar-mengajar untuk
mata kuliah farmakoterapi .
Dalam penulisan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga
penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari walaupun sudah berusaha sekuat
kemampuan yang maksimal, mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki,
makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan,
maupun dalam penyusunan.Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik yang sifatnya
membangun demi tercapai suatu kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang mata
ajar farmakoterapi.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Anonima, 2014). Kesehatan jiwa adalah
suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku yang efektif, konsep diri yang positif, dan
kestabilan emosional (Videbeck, 2008).
Skizofrenia adalah salah satu yang paling kompleks dan menantang dari penyakit
gangguan jiwa.Skizofrenia merupakan suatu sindrom heterogen yang tidak teratur berupa
gangguan perilaku-perilaku aneh, delusi, halusinasi, emosi yang tidak wajar, dan
gangguan fungsi utama psikososial.Skizofrenia juga merupakan penyakit gangguan otak
parah dimana orang menginterpretasikan realitas secara abnormal.Kemampuan orang
dengan skizofrenia untuk berfungsi normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung
menurun dari waktu kewaktu.Penyakit ini merupakan kondisi kronis, yang memerlukan
pengobatan seumur hidup (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011).
4
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita skizofrenia di dunia, 50% dari penderia
tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat
pengobatan yang tepat tersebut terjadi di negara berkembang (Anonim, 2011). Pada tahun
2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah mencapai angka 1.027.763 jiwa, di
Indonesia, prevalensi gangguan jiwa (skizofrenia) sebesar 1,7% dan daerah Istimewa
Yogyakarta menempati peringkat pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7%, untuk
Riau sendiri prevalensi gangguan jiwa sebesar 0,8% (Anonim, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
menunjukkan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia yang paling banyak
adalah kombinasi klorpromazin dan haloperidol sebesar 37,12%, antipsikotik tunggal
yang paling banyak diresepkan adalah risperidon sebesar 35,71% (Natari, 2012).
Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Prof. V. L.
Ratumbuysang Manado periode Januari 2013 – Maret 2013, untuk antipsikotik pada
terapi tunggal yang paling banyak digunakan adalah risperidon dengan angka persentase
sebesar 21,1% dan pada terapi kombinasi antipsikotik yang paling banyak digunakan
adalah kombinasi haloperidol dan klorpromazin dengan angka persentase sebesar 23,2%.
Pengobatan dengan antipsikotik tipikal merupakan pengobatan terbanyak yang digunakan
dengan angka persentase 41,5% (Jarut et al, 2013). Sedangkan jenis antipsikotik yang
5
banyak digunakan untuk pasien skizofrenia di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah
periode Januari – April 2014 adalah tipikal yaitu 78% dan paling sedikit adalah jenis
atipikal yaitu 22% (Fahrul et al, 2014).
Provinsi Riau memiliki satu rumah sakit jiwa yaitu RS Jiwa Tampan
Pekanbaru.RS Jiwa Tampan termasuk rumah sakit khusus daerah tipe A. Rumah sakit ini
mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh
pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit
pusat. Rumah sakit ini termasuk besar, tempat ini tersedia 161 tempat tidur inap, lebih
banyak dibanding setiap rumah sakit khusus kejiwaan di Riau yang tersedia rata-rata 70
tempat tidur inap (Anonim, 2014).
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
1. Bagi penulis
Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk memahami
farmakoterapi dan tatalaksana kasus pada penderita skizofrenia.
2. Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca dalam menambah wawasan
mengenai farmakoterapi pada skizofrenia dan menjadi sumber referensi maupun
informasi supaya mengetahui lebih dalam pengetahuan tentang skizofrenia.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Skizofrenia adalah salah satu yang paling kompleks dan menantang gangguan
psikiatrik.Ini merupakan sindrom heterogen kacau fikiran, delusi, halusinasi, dan
gangguan fungsi psikososial. Dari waktu yang Kraepelin pertama kali dijelaskan
dementia praecox pada tahun 1896 sampai terbitan tion dari Pedoman Diagnostik dan
Statistik Gangguan Mental, Edisi ke-4, Text Revision (DSM-IV-TR) pada tahun 2000,
deskripsi penyakit ini telah terus berevolusi. kemajuan ilmiah yang meningkat
pengetahuan kita tentang sistem saraf (CNS) fisiologi pusat, patofisiologi, dan genetika
kemungkinan akan meningkatkan pemahaman kita skizofrenia di masa depan
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Muslim, 2003).
7
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita skizofrenia di dunia, 50% dari penderia tidak
menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat
pengobatan yang tepat tersebut terjadi di negara berkembang (Anonim, 2011). Pada tahun
2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah mencapai angka 1.027.763 jiwa, di
Indonesia, prevalensi gangguan jiwa (skizofrenia) sebesar 1,7% dan daerah Istimewa
Yogyakarta menempati peringkat pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7%, untuk
Riau sendiri prevalensi gangguan jiwa sebesar 0,8% (Anonim, 2013).
Pria lebih banyak mengalami gejala-gejala negatif dan wanita lebih banyak
mengalami gejala afektif walaupun gejala psikotik akut, baik dalam jenis atau tingkat
keparahan, tidak berbeda antara kedua jenis kelamin. Lebih dari 80% dari pasien
skizofrenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun risiko skizofrenia
lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan. Risiko skizofrenia seumur
hidup adalah sebesar 13% untuk anak dengan satu orang tua dengan skizofrenia dan
35%-40% untuk anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia.
Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada
skizofrenia dan proporsi yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi skizofrenia
karena adanya pengaruh genetik tambahan. Misalnya, skizofrenia dan gangguan
skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan kepribadian
paranoid) terjadi pada laju yang meningkat di antara kerabat biologis, pasien dengan
skizofrenia. Kecenderungan orang yang mengalami skizofrenia berkaitan dengan eratnya
hubungan terhadap keluarga yang terkena misalnya: keluarga tingkat pertama atau kedua
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Sadock and Sadock, 2007).
8
Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik
b) Faktor Biologik
Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidak seimbangan
dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin, dan lainnya. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari fungsi otak sebagai pusat pengatur
prilaku manusia.Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan pada
prilaku maladaptif pasien (Townsend, 2005).
1) Hipotesis Dopamin
2) Hipotesis Norepineprin
9
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA)
dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa beberapa
pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus.
GABA memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin dan kehilangan neuron
inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik
(Sadock dan Sadock, 2007)
4) Hipotesis Serotonin
5) Hipotesis Glutamat
6) Teori Neurodevelopmental
Dibuktikan dengan adanya migrasi neunoral yang abnormal pada trimester kedua
pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin mengarah ke simtom- simtom
skizofrenia yang akan muncul pada masa remaja (Sadock and Sadock, 2001).
c) Neuropatologi
Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang
signifikan yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk skizofrenia,
terutama pada sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk neuropatologi atau
abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan batang otak (Sadock and
Sadock, 2007).
d) Faktor Psikososial
10
1) Teori psikoanalitik
2) Teori belajar
Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan interpersonal yang
buruk karena mengikuti contoh atau model yang buruk selama masa kanak- kanak
(Sadock and Sadock, 2007).
3) Dinamika keluarga
Penelitian di Inggris pada anak berusia 4 tahun yang memiliki hubungan yang
buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat berkembang menjadi
skizofrenia.Akan tetapi tidak ada bukti yang kuat bahwa pola dalam keluarga berperan
penting sebagai penyebab terjadinya skizofrenia (Sadock and Sadock, 2007).
a) Peran Dopamin
11
ternyata dapat mencegah gejala yang disebabkan oleh amfetamin Dalam hipotesis
dopamin, dinyatakan bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur
mesolimbik dan mesokortis syaraf dopamin. Overaktivitas syaraf dopamin pada jalur
mesolimbik bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya
aktibitas dopamin pada jalur mesokortis menyebabkan gejala negatif, kognitif, dan
afektif.
Pelepasan dopamin tidak bisa dilepaskan dari fungsi serotonin (5-HT) yang
memiliki fungsi regulator, serotonin pertama kali diusulkan untuk terlibat dalam
patofisiologi skizofrenia pada tahun 1950 karena adanya kesamaan struktural dengan
diethylamide asam lisergat (LSD), LSD merupakan obat yang bersifat sebagai
halusinogen. Kesamaan antara efek halusinogen LSD merupakan antagonis serotonin di
jaringan perifrer.
12
serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksi ke badan-badan sel
dopaminergik dalam Ventral Teegmental Area (VTA) dan Substantia Nigra (SN) dari otak
tengah.Syaraf serotonergik neuron dilaporkan berujung secara langsung pada sel-sel
dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur
mesolimbik dan nigrostrial melalui reseptor 5-HT2A.
c) Peranan Glutamat
Gambaran klinis skizofrenia sangat bervariasi antar individu, dan bahkan pada
waktu ke waktu, tidak ada stereotipe yang pasti.Pada fase normal, pasien berada dalam
kontrol yang baik terhadap pikiran, perasaan, dan tindakannya.Episode psikotik yang
13
pertama kali mungkin terjadi secara tiba-tiba, atau biasanya diawali dengan kelakuan
yang menarik diri, pencuriga, dan aneh.Pada episode akut, pasien kehilangan kontak
dengan realitas, dalam hal ini otaknya menciptakan realitas palsu.
Pasien dinyatakan mengalami skizofrenia jika mengalami tanda-tanda dan gejala
karakteristik selama jangka waktu yang signifikan selama periode 1 bulan, dengan
beberapa tanda-tanda gangguan yang bertahan selama minimal 6 bulan.Gejalanya
umumnya tidak bersifat tunggal, namun melibatkan beberapa tanda-tanda gangguan yang
bertahan selama minimal 6 bulan. Gejalanya umumnya tidak bersifat tunggal, namun
melibatkan beberapa gangguan psikologis, seperti persepsi (halusinasi), ideasi (delusi),
proses berpikir (asosiasi longgar), perasaan (datar, tidak tepat), perilaku (Katatonia,
disorganisasi), perhatian, konsentrasi, motivasi (avolition), dan kemampuan mengambil
keputusan. Ciri-ciri psikologis dan perilaku ini berkaitan dengan berbagai gangguan
dalam fungsi pekerjaan atau sosial.
Seorang pasien yang didiagnosa skizofrenia jika memenuhi kriteria diagnosa
menurut Diagnostic and statistical manual of mental disorder edisi ke empat (DSM-IV)
sebagi berikut:
a. Gejala karakteristik (dua atau lebih gejala berikut ini yangmuncul dalam jangka waktu yang
signifikan dalam periode 1 bulan) yaitu:
1) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata).
2) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
ada)
3) Cara bicara tak teratur (misalnya topiknya sering menyimpang atau tidak berhubungan)
4) Tingkah laku yang tak terkontrol
5) Gejala negatif, yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolition/isolasi sosial (tidak
adanya kemauan)
Catatan: Jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari suara-suara yang
mengomentari orang itu atau suara-suara yang berbicara satu sama lain, maka satu gejala
karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa skizofrenia.
b. Disfungsi sosial atau pekerjaan (gangguan terhadap fungsi sosial atau pekerjaan untuk jangka
waktu yang signifikan)
14
c. Durasi: (gangguan terjadi secara terus menerus selama 6 bulan, yang merupakan gejala
karakteristik seperti poin pertama)
d. Gejala psikotik (tidak disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar)
e. Gangguan bukan karena gangguan medis atau penggunaan narkoba
f. Jika riwayat gangguan perkembangan pervasif hadir, ada harus gejala halusinasi atau delusi
hadir untuk di setidaknya 1 bulan
15
Bicara tidak teratur, topik Anhedonia/Asosiality/Isolasi Sosial (kurangnya
melompat-lompat kemampuan untuk merasakan
tidak saling kesenangan,mengisolasi diri dari kehidupan
berhubungan. social
Ilusi Tidak mampu berkonsentrasi
Tabel 1.Deskripsi Gejala Positif dan Negatif Skizofrenia Menurut DSM-IV.
Selain itu, dikenal juga gejala kognitif yang terjadi pada pasien skizofrenia, yang
kejadiannya sangat bervariasi antar satu individu dengan individu lainnya.Gejala yang
hampir Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme (istilah baru
yang sengaja dibuat), gangguan pengolahan informasi.Gejala agresif dan permusuhan
yang meliputi tindakan permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang,
melukai diri sendiri, merusak barang-barang, impulsif, serta tindakkan seksual. Gejala
depresi dan atau cemas seperti mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah,
ketegangan, dan iritabilitas cemas.
1. Fase Akut
Pada satu minggu pertama sejak terjadi serangan akut, direkomendasikan untuk
segera memulai terapi dengan obat, karena serangan psikotik akut dapat menyebabkan
gangguan emosi, gangguan terhadap kehidupan pasien dan berisiko besar untuk
berperilaku yang berbahaya untuk diri sendiri dan orang lain. Pemilihan suatu obat
antipsikotik sering didasarkan pada pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotik,
riwayat efek samping, dan rute pemberian yang disukai.Dalam memilih antara obat-obat
ini, psikiater perlu mempertimbangkan respon terakhir pasien terhadap pengobatan, profil
efek samping obat, ada tidaknya penyakit penyerta, dan potensi interaksi dengan obat
yang diresepkan lainnya.
16
Dosis yang dianjutkan adalah efektif dan tidak menyebabkan efek samping karena
pengalaman efek samping yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi kepatuhan
jangka panjang. Dosis dapat dititrasi secepat dapat ditoleransi sampai
2. Fase Stabilisasi
Selama fase stabilisasi, yaitu pada minggu ke 2-3 setelah serangan akut, tujuan
pengobatan adalah untuk mengurangi stres pada pasien dan meminimalkan kemungkinan
kambuh, meningkatkan adaptasi pasien untuk hidup di masyarakat, memfasilitasi
penurunan gejala, dan meningkatkan proses pemulihan. Jika pasien membaik dengan
rejimen obat tertentu, maka rejimen tadi sebaiknya dilanjutkan dan dilakukan pemantauan
selama minimal 6 bulan.Penuruanan dosis atau penghentian obat terlalu dini dapat
mengakibatkan kekambuhan gejala.Selain itu perlu juga melakukan pengamatan terhadap
efek samping yang mungkin telah muncul pada fase akut dan untuk menyesuaikan
farmakoterapi untuk meminimalkan efek samping dapat menyebabkan ketidak patuhan
pengobatan Intervensi psikososial tetap mendukung namun mungkin kurang terstruktur
dan terarah dari pada fase akut.Edukasi tentang penyakit dan hasil terapi dan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan terapi, termasuk kepatuhan pengobatan, dapat dimulai
pada fase ini untuk pasien dan anggota keluarga.Adalah penting agar tidak ada
kesenjangan dalam penyediaan layanan, karena pasien sangat rentan kambuh setelah
episode akut, dan perlu untuk mendukung kebutuhan dalam melanjutkan kehidupan
normal mereka dan kegiatan dimasyarakat.
3. Fase Pemeliharaan
17
Penggunaan obat sangat direkomendasikan dan harus diberikan sedikitnya sampai
setahun sejak sembuh dari episode akut.Bahkan untuk bisa lebih berhasil, perlu terapi
selama sedikitnya 5 tahun, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan mencapai dosis
terendah yang masih bisa memberikan efektivitas terapi.Untuk sebagian besar pasien
yang dirawat dengan antipsikotik tipikal, dosis maksimal yang dianjuarkan adalah dosis
pada ambang batas yang dapat menyebabkan efek samping ekstra piramidal.
Obat-obat antipsikotik yang tersedia pada umumnya terkait dengan berbagai risiko
efek samping, meliputi efek neurologis, metabolisme seksual, endokrin, dan efek
samping kardiovaskular.Selama terapi pemeliharaan, sangat penting untuk secara rutin
memantau pasien terhadap efek ekstrapiramidal dan terjadinya tardive dyskinesia. Selain
itu, karena ada risiko kenaikan berat badan yang berhubungan dengan pemakaian
antipsikotik, pengukuran rutin berat badan dan indeks massa tubuh (BMI) juga
disarankan
Dalam menilai respon yang persial atau resisten terhadap pengobatan, perlu
berhati-hati mengevaluasi apakah pasien telah mendapatkan regimen antipsikotik yang
memadai dan apakah pasien telah minum obat yang diresepkan.Penggunaan obat
umumnya dilakukan selama 4-6 minggu untuk melihat respon pasien terhadap obat, dan
apakah respon ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih.Jika pasien memberikan
respon persial atau bahkan tidak berespon terhadap pengobatan, atau menunjukkan
keinginan bunuh diri yang persisten, maka direkomendasikan pemberian klozapin.Mereka
yang bermasalah dalam kepatuhan minum obat dapat menggunakan bentuk sedian depot,
yang berupa injeksi intramuskular yang dapat diberikan dalam interval 2-4 minggu,
seperti flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat.Tetapi formulasi depot ini hanya
dapat diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif per oral yang stabil.
18
Terapi psikososial yang juga dapat diberikan dan telah menunjukan efektivitas
yang baik selama fase stabil, antara lain adalah intervensi keluarga, dukungan dalam
pekerjaan, palatihan keterampilan sosial, dan terapi kognitif perilaku. Seperti halnya
dengan terapi obat yang bersifat individual, terapi psikososial juga harus disesuaikan
dengan kebutuhan pasien secara personal.
1. Antipsikotik Tipikal
19
a. Klorpromazin
Klorpromazin (CPZ) obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai
antipsikosis, karena ketersediaannya dan harganya yang murah.Efek farmakologik
klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi efek pada susunan saraf pusat, sistem
otonom, dan sistem endokrin.Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai
reseptor diantaranya dopamin, reseptor alfaadrenergik, muskarinik, histamin (H1) dan
reseptor serotonin (5HT2) dengan Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi
lama yang mempunyai aksi untuk mengelok reseptor dopamin (D2).Antipsikotik jenis ini
lebih efekif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal
banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncul antipsikotik
atipikal yang lebih aman (Dipiro et al, 2005)
Afinitas yang berbeda. CPZ misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor
terhadap reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
alfaadrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
serotonin (5HT2) (Anonim, 2007)
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap
rangsang dari lingkungan.Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek
sedasi.Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum
obat (Anonim, 2007).
CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. selain itu juga tersedia
dalam bentuk larutan suntuk 25 mg/mL. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi
merah jambu oleh pengauh cahaya. Pada psikosis oral, intramuskular atau intravena
deberikan 3 kali sehari (tiap satu kali pemakaian sebanyak 25 mg) selama 3-4 hari, bila
perlu dinaikkan sampai 1 gram sehari. Pada sedu: 3-4 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 25-50 mg), sebagai adjuvans pada nyeri sedang/hebat 2-4 kali sehari (tiap kali
pemakaian sebanyak 25 mg) (Anonim, 2007; Tjay, 2007)
20
b. Flupenazin (Tjay, 2007).
c. Haloperidol
Haloperidol tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg. selain itu juga
tersedia dalam bentuk sirup 5 mg/100 mL dan ampul 5 mg/mL. Psikosis oral2-4 kali
sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 1,5-5 mg), manula (pemeliharaan) 2-4 mg sehari.
Pada sedu 5-10 mg sehari, untuk muntah-muntah 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 0,5-1 mg), sebagai adjuvan pada nyeri sedang-hebat 2-4 kali sehari (tiap kali
pemakaian sebanyak 0,5 mg) (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
21
d. Perfenazin(Tjay, 2007).
Perfenazin tersedia dalam bentuk tablet 2 mg, 4 mg, dan 8 mg. oral 2-3 kali sehari
(tiap kali pemakaian sebanyak 2-4 mg), maks 24 mg sehari, intramuskular 100 mg
(dekanoat/enantat, preparat depot) setiap 2-4 minggu.
Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru dengan rumus kimia yang
berbeda dari fenotiazin, butirofenon, tioksanten dan dihidroiodolon. Namun sebagian
besar efek farmakologinya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik, sedatif,
antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan
psikosis lainnya (Anonim, 2007).Loksapin tersedia dalam bentuk tablet dan suntik, dosis
awal 20-50 mg/hari dalam 2 dosis. Dosis pemeliharaan 20-100 mg dalam 2 dosis
2. Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun
1990an. Aksi obat ini yaitu mengblok reseptor 5-HT2 dan memiliki efek blockade pada
reseptor dopamin yang rendah.Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam
terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan antipsikotik tipikal.Antipsikotik tipikal menunjukkan penurunan dari munculnya
efek samping karena penggunaan obat dan masih efektif diberikan untuk pasien yang
telah resisten terhadap pengobatan.Antipsikotik ini efektif dalam mengatasi gejala baik
positif maupun negatif (Dipiro et al, 2005).
22
a. Klozapin
Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. oral, intramuskular 25-
50 mg sehari, berangsur dinaikkan sampai maksimal. 600 mg sehari pemeliharaan 1 kali
sehari 200 mg pada malam hari (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
b. Risperidon
23
samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan
Tourette syndrome (Anonim, 2007)
Risperidon tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, dan 3 mg. sirup dan
injeksi (long lasting injection) 50 mg/mL. dosis oral 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 1 mg), maks 2 kali sehari 5 mg (Anonim, 2007; Tjay, 2007).
c. Olanzapin
d. Quetiapin
Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2), serotonin (5HT2),
dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin 5HT1A yang diperkirakan
mendasari efektifitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif skizofrenia (Anonim,
2007).
24
Quetiapin pada hari pertama diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 25 mg), hari kedua diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 50
mg), hari ketiga diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 100 mg), hari
keempat diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 150 mg), lalu bila perlu
dinaikkan lagi sampai dosis pemeliharaan maks 450 mg sehari (Tjay, 2007).
25
jangka panjang.Efek samping utama yang paling sering membuat pasien tidak patuh
adalah efek samping ekstrapiramidal.Yang termasuk efek samping ekstrapiramidal adalah
distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatisia. Distonia akut adalah kejang otot dan
postur abnormal dan biasanya terjadi tiga sampai lima hari setelah terapi antipsikotik
dimulai atau jika dosis ditingkatkan. Pseudoparkinsonisme adalah gejala parkinson yang
meiliki manifestasi klinis yang sama seperti parkinson idiopatik. Gejala umumnya
muncul dalam tiga bulan pertama setelah pengobatan.Sedangkan akatisia ditandai oleh
perasaan subjektif berupa kegelisahan dan kecemasan dan aktivitas motorik, seperti
ketidakmampuan untuk duduk diam. Efek ini muncul beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah penggunaan antipsikotik dan umumnya sulit diatasi.
Efek-efek samping lain obat antipsikotik antara lain adalah neuroleptic malignant
syndrome, sedasi, efek kardiovaskular, efek antikolinergik dan antiadrenergik,
abnormalitas metabolik dan penambahan berat badan, dan gangguan fungsi seksual.
Efek
Nama Obat Dosis (mg/hari) Waktu paruh ektrapiramidal
yang disasar
Benztropin 0,5-6,0 24 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Triheksifenidil 1-15 4 Akatisia, distonia,
26
parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Propanolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 1-6 4-8 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Tabel 3.Obat-obat Terpilih Untuk Pengatasan Efek Samping Ektrapiramidal
27
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIANNYA
3.6 Deskripsi Kasus
Seorang wanita IT, 20 tahun, dibawa keluarganya karena sudah satu tahun ini
nona IT berdiam diri, tidak mau makan, bahkan sering menangis tersedu-sedu. Sewaktu-
waktu nona IT juga meronta-ronta dan menghancurkan barang-barang disekitarnya.Nona
IT didiagnosis terkena serangan akut pertama skizofrenia.Enam bulan yang lalu dia putus
dengan pacarnya yang sebelumnya telah menjalin hubungan selama 5 tahun. Sejak saat
itu ia sering kelihatan aneh, senyum-senyum, bicara sendiri, dan akan tetapi terkadang
menangis meraung-raung. Diketahui mantan pacar nona IT telah menikah dengan
sahabatnya sendiri.
Riwayat keluarga : Ibu dan ayah serta keluarga intinya tidak memiliki riwayat penyakit
yang sama hanya saja pamannya yang berusia 48 tahun mengalami skizofrenia semenjak
usia remaja.
Riwayat penyakit sekarang :Hasil test pack positif. USG menunjukkan hamil 3 bulan.
Keluarga meyakini nona IT hamil akibat perbuatan mantan pacarnya. Keluarga tetap
mempertahankan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik :
TD : 121/78 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
Pernafasan : 21 x/ menit
Suhu Tubuh : 36ºC
Data Laboratorium :
HbA1C : 6,5%
LDL : 110 mg/dL
HDL : 90 mg/dL
TG : 130 mg/dL
Kolesterol Total : 180 mg/dL
SGOT : 40 u/L
SGPT : 35 u/L
28
3.2 Analisis Kasus dengan Metode SOAP
A. Subjectif
Nama : Nn. IT
Umur : 20 Tahun
Keluhan :
Berdiam diri, tidak mau makan, bahkan sering menangis tersedu-sedu
Sewaktu-waktu juga meronta-ronta dan menghancurkan barang-barang
disekitarnya.
Sejak putus dengan pacarnya, ia sering kelihatan aneh, senyum-senyum,
bicara sendiri, dan akan tetapi terkadang menangis meraung-raung.
Riwayat keluarga : Ibu dan ayah serta keluarga intinya tidak memiliki riwayat
penyakit yang sama hanya saja pamannya yang berusia 48 tahun mengalami
skizofrenia semenjak usia remaja.
Riwayat penyakit sekarang :Hasil test pack positif. USG menunjukkan hamil
3 bulan. Keluarga tetap mempertahankan kehamilan.
B. Objektif
29
C. Assasment
Etiologi :Stress
Diagnosis : Serangan akut pertama skizofrenia.
D. Plan
Mencegah kekambuhan dan mengurangi gejala
Meningkatkan fungsi normal pasien
Meningkatkan kualitas hidup pasien dan menggembalikan kedaannya menjadi
normal
Jurnal 1 Studi Penggunaan Antipsikotik dan Efek Samping Pasien Skizofrenia.. Yulianty,
dkk.2017
Clozapin bekerja dengan menduduki reseptor D2 hanya sekitar 38- 47%.
Bahkan dengan dosis setinggi 900 mg sehari, kurang dari 50% dari reseptor D2
ditempati.
Clozapin sendiri dapat mengatasi gejala positif,gejala negatif dan kognitif
tanpa menyebabkan gejala ekstrapiramidal.
30
Jurnal 2 perbedaan keefektifan antara clozapin dengan electro convulsive therapy dalam
penatalaksanaan skizofrenia resisten obata pada RSJ daerah surakarta.H.M.Fanani
Clozapin merupakan antipsikotik atipikal yang pertama ditemukan tanpa
menyebabakan EPS dan tidak menyebabkan tardive diskyenesia dan tidak terjadi
peningkatan prolaktin
Clozapin sendiri dapat mengatasi gejala positif, gejala negatif dan kognitif tanpa
menyebabkan gejala ekstrapiramidal disamping itu obat ini merupakan antipsikotik
kategori B pada kehamilan.
3.Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi
obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.
4.Memberikan informasi kepad pasien dan keluarga pasien mengenai kepatuhan pasien
terhadap obat .
31
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Selesainya makalah ini tidak terlepas dari banyaknya kekurangan-kekurangan
pembahasan dikarenakan karena berbagai macam faktor ketebatasan waktu, pemikiran
dan pengetahuin penulis yang terbatas, oleh karena itu untuk kesempurnaan makalah ini
penulis sangat membutuhkan saran dan masukan yang bersifat membangun bagi para
pembaca.
32
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1993, Pedoman Penggolongan & Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia III,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 2013, Riset Kesehatan Dasar Tentang Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Anonima, 2014, Undang-Undang No.18 Tentang Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yess, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy: A Pathophysiological Approach Sixth Edition, The McGraw-Hill,
New York.
Dipiro, J.T.,Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., and Dipiro, C.V., 2009, Pharmacotherapy
Handbook Seventh Edition, The McGraw-Hill, New York.
Fahrul., Mukaddas, A., Faustine, I., 2014, Rasionallitas Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode
Januari – April 2014, Online Jurnal Of Natural Science, Vol 3(2): 19-29
Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhaji, B., Indrayana, M., 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia,
Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Riau.
Jarut, Y.M., Fatimawali., Wiyono, W.I., 2013, Tinjauan Penggunaan Antipsikotik pada
Pengobatan Skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Periode
Januari 2013 – Maret 2013, Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi Unsrat, Vol 2(3): 54-57.
Muslim, R., 2003, Diagnosa Gangguan Jiwa: Ringkasan-ringkasan dari PPDGJ- III, Nuh jaya,
Jakarta.
33
Natari, R.B., 2012, Evaluasi Penggunaan Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia Episode Pertama
di RSJD Provinsi Jambi, Tesis Magister Farmasi, Farmasi ITB, Bandung.
Tjay, T.H dan Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
34