Anda di halaman 1dari 34

SKIZOFRENIA

Disusun oleh:

Dhea Rizky Wannisyah Putri 1501007

Dita Aldina 1501010

Emnoverici Umar 1501013

Nurmaida 1501033

Nur Shopia 1401035

Dosen pembimbing:

FINA ARYANI,M.Sc.,Apt

PROGRAM STUDI S-I FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV.RIAU

NOVEMBER 2017

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan makalah farmakoterapi I dengan judul “skizofrenia”
Makalah ini disusun sebagai upaya memenuhi kebutuhan materi belajar-mengajar untuk
mata kuliah farmakoterapi .
Dalam penulisan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga
penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari walaupun sudah berusaha sekuat
kemampuan yang maksimal, mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki,
makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan,
maupun dalam penyusunan.Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik yang sifatnya
membangun demi tercapai suatu kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang mata
ajar farmakoterapi.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.

Pekanbaru, 28 November 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3
1.3 Manfaat Penulisan........................................................................... ......... ....3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4


2.1 Definisi Skizofrenia ...................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi Skizofrenia ............................................................................. 4
2.3 Etiologi Skizofrenia ...................................................................................... 5
2.4 Patofisiologi skizofrenia ............................................................................... 8
2.5 Prognosis ................................................................................................... 10
2.6 Gejala dan Tanda Skizofrenia ..................................................................... 10
2.7 Tatalaksana Terapi Skizofrenia .................................................................. 13

BAB III. KASUS DAN PENYELESAIANNYA .................................................. 25


3.1 Deskripsi Kasus ........................................................................................... 25
3.2 Analisa kasus dengan metode SOAP ............................................................ 26
3.3 Pemilihan obat rasional ................................................................................. 27
3.4 Evaluasi obat terpilih..................................................... ........ .......................27
3.5 Monitoring dan KIE....................................................... ......... ......................28

BAB IV PENUTUP ............................................................................................... 29


4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 29
4.2 Saran ...................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penderita gangguan jiwa di Indonesia semakin bertambah tiap tahunnya,


peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh masing-
masing individu.Mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga,
latar belakang atau pola asuh anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda
negara kita ini.Masalah-masalah seperti ini dapat menimbulkan masalah pada psikologis
seseorang seperti depresi berat, bipolar bahkan skizofrenia. Dilihat dari sejarahnya dahulu
penanganan pasien gangguan jiwa dengan cara dipasung, dirantai atau diikat kuat-kuat
lalu ditempatkan tersendiri ditempat yang jauh atau bahkan dihutan bila gangguan
jiwanya berat. Bila pasien tersebut tidak berbahaya dibiarkan berkeliaran di jalan mencari
makan sendiri dan menjadi tontonan serta gunjingan masyarakat umum.Sehingga untuk
memperbaikinya perlu terapi khusus untuk penderita gangguan jiwa (Videbeck, 2008).

Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Anonima, 2014). Kesehatan jiwa adalah
suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku yang efektif, konsep diri yang positif, dan
kestabilan emosional (Videbeck, 2008).

Skizofrenia adalah salah satu yang paling kompleks dan menantang dari penyakit
gangguan jiwa.Skizofrenia merupakan suatu sindrom heterogen yang tidak teratur berupa
gangguan perilaku-perilaku aneh, delusi, halusinasi, emosi yang tidak wajar, dan
gangguan fungsi utama psikososial.Skizofrenia juga merupakan penyakit gangguan otak
parah dimana orang menginterpretasikan realitas secara abnormal.Kemampuan orang
dengan skizofrenia untuk berfungsi normal dan merawat diri mereka sendiri cenderung
menurun dari waktu kewaktu.Penyakit ini merupakan kondisi kronis, yang memerlukan
pengobatan seumur hidup (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011).

4
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita skizofrenia di dunia, 50% dari penderia
tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat
pengobatan yang tepat tersebut terjadi di negara berkembang (Anonim, 2011). Pada tahun
2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah mencapai angka 1.027.763 jiwa, di
Indonesia, prevalensi gangguan jiwa (skizofrenia) sebesar 1,7% dan daerah Istimewa
Yogyakarta menempati peringkat pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7%, untuk
Riau sendiri prevalensi gangguan jiwa sebesar 0,8% (Anonim, 2013).

Salah satu penanganan skizofrenia denggan menggunakan pengobatan


antipsikotik.Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif mengobati
skizofrenia (Irwan et al, 2008).Antipsikotik (major tranquilizer, neuroleptik) merupakan
obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi
umum seperti berpikir dan berkelakuan normal (bekerja pada system saraf pusat).Obat ini
dapat meredakan emosi dan agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi
gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan
perilaku yang tidak normal.Oleh karena itu antipsikotika terutama digunakan pada
psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa kesembuhan oleh pasien, misalnya penyakit
skizofrenia dan psikosis mania-depresi. Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari
jumlah seluruh penduduk di seluruh wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai
timbul (onset) pada usia 15-35 tahun (Videbeck, 2008).

Hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
menunjukkan penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia yang paling banyak
adalah kombinasi klorpromazin dan haloperidol sebesar 37,12%, antipsikotik tunggal
yang paling banyak diresepkan adalah risperidon sebesar 35,71% (Natari, 2012).
Penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Prof. V. L.
Ratumbuysang Manado periode Januari 2013 – Maret 2013, untuk antipsikotik pada
terapi tunggal yang paling banyak digunakan adalah risperidon dengan angka persentase
sebesar 21,1% dan pada terapi kombinasi antipsikotik yang paling banyak digunakan
adalah kombinasi haloperidol dan klorpromazin dengan angka persentase sebesar 23,2%.
Pengobatan dengan antipsikotik tipikal merupakan pengobatan terbanyak yang digunakan
dengan angka persentase 41,5% (Jarut et al, 2013). Sedangkan jenis antipsikotik yang

5
banyak digunakan untuk pasien skizofrenia di RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah
periode Januari – April 2014 adalah tipikal yaitu 78% dan paling sedikit adalah jenis
atipikal yaitu 22% (Fahrul et al, 2014).

Provinsi Riau memiliki satu rumah sakit jiwa yaitu RS Jiwa Tampan
Pekanbaru.RS Jiwa Tampan termasuk rumah sakit khusus daerah tipe A. Rumah sakit ini
mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh
pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit
pusat. Rumah sakit ini termasuk besar, tempat ini tersedia 161 tempat tidur inap, lebih
banyak dibanding setiap rumah sakit khusus kejiwaan di Riau yang tersedia rata-rata 70
tempat tidur inap (Anonim, 2014).

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi skizofrenia


2. Untuk mengetahui epidemiologi skizofrenia
3. Untuk mengetahui etiologi skizofrenia
4. Untuk mengetahui patofisiologi skizofrenia
5. Untuk mengetahui prognosis skizofrenia
6. Untuk mengetahui gejala dan tanda skizofrenia
7. Untuk mengetahui diagnose skizofrenia
8. Untuk mengetahui tatalaksana skizofrenia

1.3 Manfaat

1. Bagi penulis
Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk memahami
farmakoterapi dan tatalaksana kasus pada penderita skizofrenia.
2. Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca dalam menambah wawasan
mengenai farmakoterapi pada skizofrenia dan menjadi sumber referensi maupun
informasi supaya mengetahui lebih dalam pengetahuan tentang skizofrenia.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia


Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan
psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek,
dan perilaku seseorang.Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock,
2003).

Skizofrenia adalah salah satu yang paling kompleks dan menantang gangguan
psikiatrik.Ini merupakan sindrom heterogen kacau fikiran, delusi, halusinasi, dan
gangguan fungsi psikososial. Dari waktu yang Kraepelin pertama kali dijelaskan
dementia praecox pada tahun 1896 sampai terbitan tion dari Pedoman Diagnostik dan
Statistik Gangguan Mental, Edisi ke-4, Text Revision (DSM-IV-TR) pada tahun 2000,
deskripsi penyakit ini telah terus berevolusi. kemajuan ilmiah yang meningkat
pengetahuan kita tentang sistem saraf (CNS) fisiologi pusat, patofisiologi, dan genetika
kemungkinan akan meningkatkan pemahaman kita skizofrenia di masa depan
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Muslim, 2003).

2.2 Epidemiologi Skizofrenia


Menurut Daerah Studi Epidemiologi Catchment, AS seumur hidup prevalensi
skizofrenia berkisar dari 0,6% menjadi 1,9%, dengan rata-rata sekitar 1%. Dengan hanya
mungkin pengecualian beberapa, prevalensi di seluruh dunia skizofrenia adalah sangat
serupa antara semua budaya. Skizofrenia paling sering memiliki onset pada akhir masa
remaja atau awal masa dewasa dan jarang terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia
40 tahun. Meskipun prevalensi skizofrenia adalah sama pada pria dan wanita, yang sering
terjadi cenderung pada pria. (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011)

7
Diperkirakan terdapat 50 juta penderita skizofrenia di dunia, 50% dari penderia tidak
menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat
pengobatan yang tepat tersebut terjadi di negara berkembang (Anonim, 2011). Pada tahun
2013 penderita skizofrenia di Indonesia telah mencapai angka 1.027.763 jiwa, di
Indonesia, prevalensi gangguan jiwa (skizofrenia) sebesar 1,7% dan daerah Istimewa
Yogyakarta menempati peringkat pertama dari provinsi lain yaitu sebesar 2,7%, untuk
Riau sendiri prevalensi gangguan jiwa sebesar 0,8% (Anonim, 2013).
Pria lebih banyak mengalami gejala-gejala negatif dan wanita lebih banyak
mengalami gejala afektif walaupun gejala psikotik akut, baik dalam jenis atau tingkat
keparahan, tidak berbeda antara kedua jenis kelamin. Lebih dari 80% dari pasien
skizofrenia memiliki orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun risiko skizofrenia
lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan. Risiko skizofrenia seumur
hidup adalah sebesar 13% untuk anak dengan satu orang tua dengan skizofrenia dan
35%-40% untuk anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia.

2.3 Etiologi Skizofrenia


Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
a) Faktor genetik

Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada
skizofrenia dan proporsi yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi skizofrenia
karena adanya pengaruh genetik tambahan. Misalnya, skizofrenia dan gangguan
skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan kepribadian
paranoid) terjadi pada laju yang meningkat di antara kerabat biologis, pasien dengan
skizofrenia. Kecenderungan orang yang mengalami skizofrenia berkaitan dengan eratnya
hubungan terhadap keluarga yang terkena misalnya: keluarga tingkat pertama atau kedua
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Sadock and Sadock, 2007).

8
Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik

b) Faktor Biologik

Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidak seimbangan
dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin, dan lainnya. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari fungsi otak sebagai pusat pengatur
prilaku manusia.Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan pada
prilaku maladaptif pasien (Townsend, 2005).

1) Hipotesis Dopamin

Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia


dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik.Teori ini berasal dari dua
pengamatan.Pertama efikasi dan potensi dari kebanyakkan obat antipsikotik berhubungan
dengan kemampuan bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2.Kedua, obat-
obatan yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti ampetamin yang merupakan
suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktif dopaminergik
adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor
dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut (Sadock and Sadock, 2007).

2) Hipotesis Norepineprin

Meningkatnya level norepinefrin pada penderita skizofrenia menunjukkan


meningkatnya kepekaan untuk masukan sensorik (Sadock and Sadock, 2001).

3) Hipotesis Gamma aminobutyric acid (GABA)

9
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA)
dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa beberapa
pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus.
GABA memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin dan kehilangan neuron
inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik
(Sadock dan Sadock, 2007)

4) Hipotesis Serotonin

Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab gejala


positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

5) Hipotesis Glutamat

Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu antagonis


glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan skizofrenia (Sadock dan
Sadock, 2007).

6) Teori Neurodevelopmental

Dibuktikan dengan adanya migrasi neunoral yang abnormal pada trimester kedua
pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin mengarah ke simtom- simtom
skizofrenia yang akan muncul pada masa remaja (Sadock and Sadock, 2001).

c) Neuropatologi

Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang
signifikan yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk skizofrenia,
terutama pada sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk neuropatologi atau
abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan batang otak (Sadock and
Sadock, 2007).

d) Faktor Psikososial

Menurut Sadock dan Sadock (2007), faktor psikososial meliputi teori


psikoanalitik, tori belajar, dan dinamika keluarga.

10
1) Teori psikoanalitik

Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi


(ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan yang terjadi lebih
awal dari yang menyebabkan neurosis (ketidakseimbangan mental yang menyebabkan
stres) dan juga bahwa adanya efek ego berperan dalam gejala skizofrenia (Sadock and
Sadock, 2007).

2) Teori belajar

Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan interpersonal yang
buruk karena mengikuti contoh atau model yang buruk selama masa kanak- kanak
(Sadock and Sadock, 2007).

3) Dinamika keluarga

Penelitian di Inggris pada anak berusia 4 tahun yang memiliki hubungan yang
buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat berkembang menjadi
skizofrenia.Akan tetapi tidak ada bukti yang kuat bahwa pola dalam keluarga berperan
penting sebagai penyebab terjadinya skizofrenia (Sadock and Sadock, 2007).

2.4 Patofisiologi Skizofrenia (Ikawati, 2011)


Teori neurokimia tentang skizofrenia berkembang dengan menganalisis efek
antipsikotik dan propsikotik obat pada manusia dan hewan percobaan.Teori ini terutama
berpusat pada peran dopamin dan glutamate pada patofisiologi skizoprenia.Walaupun
peran serotonin juga mendapat perhatian, terutama selama dekade terakhir.

a) Peran Dopamin

Hipotesis dopamin pada skizofrenia pertama kali diusulkan berdasarkan bukti


farmakologis tidak langsung pada manusia dan hewan percobaan.Pada waktu itu
ditemukan bahwa penggunaan amfetamin pada dosis besar, suatu obat yang meningkat
aksi dopamin, ternyata menyebabkan gejala psikotik, yang dapat diatasi dengan
pemberian suatu obat yang memblok reseptor dopamin. Agonis reseptor dopamin D2,
apomorfin, juga menghasilkan efek serupa, sementara obat-obat antagonis dopamin

11
ternyata dapat mencegah gejala yang disebabkan oleh amfetamin Dalam hipotesis
dopamin, dinyatakan bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur
mesolimbik dan mesokortis syaraf dopamin. Overaktivitas syaraf dopamin pada jalur
mesolimbik bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya
aktibitas dopamin pada jalur mesokortis menyebabkan gejala negatif, kognitif, dan
afektif.

Diketahui bahwa jalur dopamin syaraf terdiri dari 4 jalur, yaitu:

1) Jalur nifrostrial: dari substantia nigra ke basal ganglia


2) Jalur mesolimbic: dari substantia nigra menuju ke sistem limbic
3) Jalur mesokortikal: dari substantia nigra menuju ke frontal cortex
4) Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary.
b) Peranan Serotonin

Pelepasan dopamin tidak bisa dilepaskan dari fungsi serotonin (5-HT) yang
memiliki fungsi regulator, serotonin pertama kali diusulkan untuk terlibat dalam
patofisiologi skizofrenia pada tahun 1950 karena adanya kesamaan struktural dengan
diethylamide asam lisergat (LSD), LSD merupakan obat yang bersifat sebagai
halusinogen. Kesamaan antara efek halusinogen LSD merupakan antagonis serotonin di
jaringan perifrer.

Pengembangan obat antipsikotik klozapin pada saat itu memperbaharui kajian


tentang peran serotonin dalam skizofrenia.Adanya perubahan transmisi 5-HT pada otak
pasien skizofrenia telah dilaporkan dalam studi postmortem 5-HT; serta studi metabolit 5-
HT pada cairan serebrospinal.Meskipun bukti tentang perubahan penanda serotonergik
dalam skizofrenia relatif sulit ditafsirkan, namun secara keseluruhan, studi menunjukkan
bahwa ada perubahan yang kompleks dalam sistem 5-HT ada pasien
skizofrenia.Perubahan ini menunjukkan bahwa disfungsi serotonergik adalah penting
dalam patologi penyakit ini.

Serangkaian bukti yang mendukung peran potensial serotonin dalam


memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional
dopamin dan serotonin.Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa syaraf

12
serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksi ke badan-badan sel
dopaminergik dalam Ventral Teegmental Area (VTA) dan Substantia Nigra (SN) dari otak
tengah.Syaraf serotonergik neuron dilaporkan berujung secara langsung pada sel-sel
dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur
mesolimbik dan nigrostrial melalui reseptor 5-HT2A.

Secara umum penurunan aktivitas serotonin terkait dengan peningkatan aktivitas


dopamin.Interaksi antara serotonin dengan dopamin, khususnya pada reseptor 5-HT2A,
dapat menjelaskan mekanisme obat anti psikotik atipikal dan rendahnya potensi untuk
menyebabkan efek samping ekstra piramidal. Selain itu, stimulasi 5-HT1A juga
meningkatkan fungsi dopaminergik

c) Peranan Glutamat

Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat dalam


patofisiologis skizofrenia. Hipotesa peran sistem glutamatergik dalam skizofrenia datang
dari bukti bahwa pemberian antagonis reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), seperti
phencyclidine (PCP) dan ketamine, pada orang sehat menghasilkan efek yang mirip
dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif yang terkait dengan skizofrenia. Berbeda
dengan gejala psikosis yang disebabkan amfetamin yang hanya menggambarkan model
gejala positif skizofrenia, efek dari antagonis NMDA menyerupai baik gejala positif dan
negatif serta defisis kognitif skizofrenia.

2.5 Prognosis Skizofrenia (Ikawati, 2011)


1. Prognosis cukup baik jika : onset lebih lambat, pemicunya diketahui, sejarah pre-morbid
bagus, dan ada dukungan keluarga 􀃆 20-30% mungkin bisa kembali normal.
2. Kurang lebih 20-30 % mungkin akan mengalami gejala sedang.
3. 40 – 60% mungkin tidak akan kembali normal seumur hidupnya.

2.6 Gejala dan Tanda Skizofrenia (Ikawati, 2011)

Gambaran klinis skizofrenia sangat bervariasi antar individu, dan bahkan pada
waktu ke waktu, tidak ada stereotipe yang pasti.Pada fase normal, pasien berada dalam
kontrol yang baik terhadap pikiran, perasaan, dan tindakannya.Episode psikotik yang

13
pertama kali mungkin terjadi secara tiba-tiba, atau biasanya diawali dengan kelakuan
yang menarik diri, pencuriga, dan aneh.Pada episode akut, pasien kehilangan kontak
dengan realitas, dalam hal ini otaknya menciptakan realitas palsu.
Pasien dinyatakan mengalami skizofrenia jika mengalami tanda-tanda dan gejala
karakteristik selama jangka waktu yang signifikan selama periode 1 bulan, dengan
beberapa tanda-tanda gangguan yang bertahan selama minimal 6 bulan.Gejalanya
umumnya tidak bersifat tunggal, namun melibatkan beberapa tanda-tanda gangguan yang
bertahan selama minimal 6 bulan. Gejalanya umumnya tidak bersifat tunggal, namun
melibatkan beberapa gangguan psikologis, seperti persepsi (halusinasi), ideasi (delusi),
proses berpikir (asosiasi longgar), perasaan (datar, tidak tepat), perilaku (Katatonia,
disorganisasi), perhatian, konsentrasi, motivasi (avolition), dan kemampuan mengambil
keputusan. Ciri-ciri psikologis dan perilaku ini berkaitan dengan berbagai gangguan
dalam fungsi pekerjaan atau sosial.
Seorang pasien yang didiagnosa skizofrenia jika memenuhi kriteria diagnosa
menurut Diagnostic and statistical manual of mental disorder edisi ke empat (DSM-IV)
sebagi berikut:
a. Gejala karakteristik (dua atau lebih gejala berikut ini yangmuncul dalam jangka waktu yang
signifikan dalam periode 1 bulan) yaitu:
1) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata).
2) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
ada)
3) Cara bicara tak teratur (misalnya topiknya sering menyimpang atau tidak berhubungan)
4) Tingkah laku yang tak terkontrol
5) Gejala negatif, yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolition/isolasi sosial (tidak
adanya kemauan)

Catatan: Jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari suara-suara yang
mengomentari orang itu atau suara-suara yang berbicara satu sama lain, maka satu gejala
karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa skizofrenia.

b. Disfungsi sosial atau pekerjaan (gangguan terhadap fungsi sosial atau pekerjaan untuk jangka
waktu yang signifikan)

14
c. Durasi: (gangguan terjadi secara terus menerus selama 6 bulan, yang merupakan gejala
karakteristik seperti poin pertama)
d. Gejala psikotik (tidak disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar)
e. Gangguan bukan karena gangguan medis atau penggunaan narkoba
f. Jika riwayat gangguan perkembangan pervasif hadir, ada harus gejala halusinasi atau delusi
hadir untuk di setidaknya 1 bulan

DSM-IV-TR mengklasifikasikan gejala skizofrenia ke dua kategori: positif dan


negatif. Baru-baru ini penekanan yang lebih besar telah ditempatkan pada kategori
gejala ketiga, disfungsi kognitif . Bidang kognisi ditemukan normal pada skizofrenia
termasuk perhatian, memori kerja, dan eksekutif fungsi. Gejala positif secara tradisional
paling menarik perhatian dan yang paling terpengaruh oleh antipsikotik tradisional
narkoba.Namun, gejala-gejala negatif dan penurunan kognisi yang lebih erat terkait
dengan fungsi psikososial yang buruk.fakta ini manfaat perhatian ketika seseorang
memeriksa opsi farmakologis untuk pengobatan. Banyak penulis telah berusaha untuk
membangun subtipe skizofrenia, dan telah menyarankan bahwa kompleks gejala mungkin
berkorelasi dengan prognosis, fungsi kognitif, kelainan struktural dalam otak, dan respon
terhadap obat antipsikotik.Negatif gejala dan gangguan kognitif dapat lebih erat terkait
dengan disfungsi lobus prefrontal dan gejala positif dengan kelainan
temporolimbic.Banyak pasien menunjukkan baik gejala positif dan negatif.Pasien dengan
gejala negatif sering memiliki lebih disfungsi kognitif yg, premorbid yang buruk
penyesuaian, rendahnya tingkat prestasi pendidikan, dan miskin secara keseluruhan
prognosa. (Dipiro et al, 2005; Ikawati, 2011)

GEJALA POSITIVE GEJALA NEGATIVE


Delusi (khayalan) Alogia (kehilangan kemampuan berpikir atau
bicara)
Halusi Perasan/Afek/Emosi menjadi tumpul
Perilaku aneh, tidak Avolition (kehilangna motivasi)
terorganisir

15
Bicara tidak teratur, topik Anhedonia/Asosiality/Isolasi Sosial (kurangnya
melompat-lompat kemampuan untuk merasakan
tidak saling kesenangan,mengisolasi diri dari kehidupan
berhubungan. social
Ilusi Tidak mampu berkonsentrasi
Tabel 1.Deskripsi Gejala Positif dan Negatif Skizofrenia Menurut DSM-IV.

Selain itu, dikenal juga gejala kognitif yang terjadi pada pasien skizofrenia, yang
kejadiannya sangat bervariasi antar satu individu dengan individu lainnya.Gejala yang
hampir Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme (istilah baru
yang sengaja dibuat), gangguan pengolahan informasi.Gejala agresif dan permusuhan
yang meliputi tindakan permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang,
melukai diri sendiri, merusak barang-barang, impulsif, serta tindakkan seksual. Gejala
depresi dan atau cemas seperti mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah,
ketegangan, dan iritabilitas cemas.

2.7 Tatalaksana Terapi Skizofrenia (Ikawati, 2011)

Fase Pengobatan Skizofrenia :

1. Fase Akut

Pada satu minggu pertama sejak terjadi serangan akut, direkomendasikan untuk
segera memulai terapi dengan obat, karena serangan psikotik akut dapat menyebabkan
gangguan emosi, gangguan terhadap kehidupan pasien dan berisiko besar untuk
berperilaku yang berbahaya untuk diri sendiri dan orang lain. Pemilihan suatu obat
antipsikotik sering didasarkan pada pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotik,
riwayat efek samping, dan rute pemberian yang disukai.Dalam memilih antara obat-obat
ini, psikiater perlu mempertimbangkan respon terakhir pasien terhadap pengobatan, profil
efek samping obat, ada tidaknya penyakit penyerta, dan potensi interaksi dengan obat
yang diresepkan lainnya.

16
Dosis yang dianjutkan adalah efektif dan tidak menyebabkan efek samping karena
pengalaman efek samping yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi kepatuhan
jangka panjang. Dosis dapat dititrasi secepat dapat ditoleransi sampai

2. Fase Stabilisasi

Selama fase stabilisasi, yaitu pada minggu ke 2-3 setelah serangan akut, tujuan
pengobatan adalah untuk mengurangi stres pada pasien dan meminimalkan kemungkinan
kambuh, meningkatkan adaptasi pasien untuk hidup di masyarakat, memfasilitasi
penurunan gejala, dan meningkatkan proses pemulihan. Jika pasien membaik dengan
rejimen obat tertentu, maka rejimen tadi sebaiknya dilanjutkan dan dilakukan pemantauan
selama minimal 6 bulan.Penuruanan dosis atau penghentian obat terlalu dini dapat
mengakibatkan kekambuhan gejala.Selain itu perlu juga melakukan pengamatan terhadap
efek samping yang mungkin telah muncul pada fase akut dan untuk menyesuaikan
farmakoterapi untuk meminimalkan efek samping dapat menyebabkan ketidak patuhan
pengobatan Intervensi psikososial tetap mendukung namun mungkin kurang terstruktur
dan terarah dari pada fase akut.Edukasi tentang penyakit dan hasil terapi dan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan terapi, termasuk kepatuhan pengobatan, dapat dimulai
pada fase ini untuk pasien dan anggota keluarga.Adalah penting agar tidak ada
kesenjangan dalam penyediaan layanan, karena pasien sangat rentan kambuh setelah
episode akut, dan perlu untuk mendukung kebutuhan dalam melanjutkan kehidupan
normal mereka dan kegiatan dimasyarakat.

3. Fase Pemeliharaan

Tujuan terapi pemeliharaan selama fase stabil adalah memastikan bahwa


kesembuahan terpelihara, kualitas hidup pasien meningkat, jika ada kekambuhan segera
diobati, dan bahwa pemantauan untuk efek samping pengobatan terus berlanjut.Bagi
sebagian besar pasien pada fase stabil/pemeliharaan, intervensi psikososial
direkomendasikan sebagai terapi tambahan terhadap terapi obat dan dapat meningkatkan
hasil.

17
Penggunaan obat sangat direkomendasikan dan harus diberikan sedikitnya sampai
setahun sejak sembuh dari episode akut.Bahkan untuk bisa lebih berhasil, perlu terapi
selama sedikitnya 5 tahun, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan mencapai dosis
terendah yang masih bisa memberikan efektivitas terapi.Untuk sebagian besar pasien
yang dirawat dengan antipsikotik tipikal, dosis maksimal yang dianjuarkan adalah dosis
pada ambang batas yang dapat menyebabkan efek samping ekstra piramidal.

Obat-obat antipsikotik yang tersedia pada umumnya terkait dengan berbagai risiko
efek samping, meliputi efek neurologis, metabolisme seksual, endokrin, dan efek
samping kardiovaskular.Selama terapi pemeliharaan, sangat penting untuk secara rutin
memantau pasien terhadap efek ekstrapiramidal dan terjadinya tardive dyskinesia. Selain
itu, karena ada risiko kenaikan berat badan yang berhubungan dengan pemakaian
antipsikotik, pengukuran rutin berat badan dan indeks massa tubuh (BMI) juga
disarankan

Pengobatan tambahan umumnya diresepkan bagi pasien dengan kondisi komorbid


pada fase akut, misalnya depresi atau obsessive-compulsibe disorder (OCD), yang dapat
diatasi dengan antidepresan.Ketidakstabialan mood dapat diatasi dengan mood stabilizer,
sementara benzodiazepine dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan/ansietas dan
insomnia.

Dalam menilai respon yang persial atau resisten terhadap pengobatan, perlu
berhati-hati mengevaluasi apakah pasien telah mendapatkan regimen antipsikotik yang
memadai dan apakah pasien telah minum obat yang diresepkan.Penggunaan obat
umumnya dilakukan selama 4-6 minggu untuk melihat respon pasien terhadap obat, dan
apakah respon ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih.Jika pasien memberikan
respon persial atau bahkan tidak berespon terhadap pengobatan, atau menunjukkan
keinginan bunuh diri yang persisten, maka direkomendasikan pemberian klozapin.Mereka
yang bermasalah dalam kepatuhan minum obat dapat menggunakan bentuk sedian depot,
yang berupa injeksi intramuskular yang dapat diberikan dalam interval 2-4 minggu,
seperti flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat.Tetapi formulasi depot ini hanya
dapat diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif per oral yang stabil.

18
Terapi psikososial yang juga dapat diberikan dan telah menunjukan efektivitas
yang baik selama fase stabil, antara lain adalah intervensi keluarga, dukungan dalam
pekerjaan, palatihan keterampilan sosial, dan terapi kognitif perilaku. Seperti halnya
dengan terapi obat yang bersifat individual, terapi psikososial juga harus disesuaikan
dengan kebutuhan pasien secara personal.

2.7.1 Terapi Farmakologi Antipsikotik

Antipsikotika (major tranquilizer, neuroleptik) merupakan obat-obat yang dapat


menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa memengaruhi fungsi umum seperti berpikir
dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan dapat pula
menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayali
(halusinasi) serta menormalkan perilaku yang tidak normal (Tjay, 2007)

Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam


mengahambat reseptor dopamin II, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat.Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas
yang lemah terhadap dopamin II, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor
dopamin IV, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa
adrenergik.Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti
bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata-kata, afek yang datar,
menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien skizofrenia.Golongan antipsikosis
tipikal umumnya hanya merespons untuk gejala positif (Anonim, 2007).

1. Antipsikotik Tipikal

Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi


untuk mengelok reseptor dopamin D2.Antipsikotik jenis ini lebih efekif untuk mengatasi
gejala positif yang muncul.Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan pada
penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman
(Dipiro et al, 2005).

19
a. Klorpromazin

Klorpromazin (CPZ) obat ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai
antipsikosis, karena ketersediaannya dan harganya yang murah.Efek farmakologik
klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi efek pada susunan saraf pusat, sistem
otonom, dan sistem endokrin.Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai
reseptor diantaranya dopamin, reseptor alfaadrenergik, muskarinik, histamin (H1) dan
reseptor serotonin (5HT2) dengan Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi
lama yang mempunyai aksi untuk mengelok reseptor dopamin (D2).Antipsikotik jenis ini
lebih efekif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal
banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncul antipsikotik
atipikal yang lebih aman (Dipiro et al, 2005)

Afinitas yang berbeda. CPZ misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor
terhadap reseptor dopamin, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
alfaadrenergik, sedangkan risperidon memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
serotonin (5HT2) (Anonim, 2007)

CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap
rangsang dari lingkungan.Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek
sedasi.Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum
obat (Anonim, 2007).

CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. selain itu juga tersedia
dalam bentuk larutan suntuk 25 mg/mL. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi
merah jambu oleh pengauh cahaya. Pada psikosis oral, intramuskular atau intravena
deberikan 3 kali sehari (tiap satu kali pemakaian sebanyak 25 mg) selama 3-4 hari, bila
perlu dinaikkan sampai 1 gram sehari. Pada sedu: 3-4 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 25-50 mg), sebagai adjuvans pada nyeri sedang/hebat 2-4 kali sehari (tiap kali
pemakaian sebanyak 25 mg) (Anonim, 2007; Tjay, 2007)

20
b. Flupenazin (Tjay, 2007).

Flupenazin adalah turunan –CH2OH dari trifluoperazin (1959) dengan sifat


hampir sama. Daya antimual dan sedarifnya ringan.Flufenazin terutama digunakan
sebagai injeksi kerja-panjang guna menjamin pengobatan. Plasma –t ½ dari senyawa HCl,
-entat dan –dekanoatnya masing-masing rata-rata 8 jam, 3,6 hari dan 8 hari. ESP sering
terjadi, efek anti-kolinergis dan sedarifnya ringan.Esternya dapat mengakibatkan depresi
serius.

c. Haloperidol

Haloperidol (HLP) berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis


yang karena hal tertentu tidak diberi fenotiazin.Reaksi ekstra piramidal timbul pada 80%
pasien yang diobati haloperidol.Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi
butirofenon memperlihatkan banyak sifat fenotiazin.Pada orang normal, efek haloperidol
mirip fenotiazin piperazin.Haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif
untuk fase mania penyakit manik depresif dan skizofrenia.Efek fenotiazin piperazin dan
butirofenon berbeda secara kuantitatif karena butirofenon selain menghambat efek
dopamin, juga meningkatkan turnover ratenya (Anonim, 2007).

Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami


eksitasi.Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding CPZ, sedangkan efek haloperidol
terhadap elektroensefalogram (EEG) menyerupai CPZ yakni memperlambat dan
menghambat jumlah gelombang teta. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan
ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus,
juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin (Anonim, 2007).

Haloperidol tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg. selain itu juga
tersedia dalam bentuk sirup 5 mg/100 mL dan ampul 5 mg/mL. Psikosis oral2-4 kali
sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 1,5-5 mg), manula (pemeliharaan) 2-4 mg sehari.
Pada sedu 5-10 mg sehari, untuk muntah-muntah 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 0,5-1 mg), sebagai adjuvan pada nyeri sedang-hebat 2-4 kali sehari (tiap kali
pemakaian sebanyak 0,5 mg) (Anonim, 2007; Tjay, 2007).

21
d. Perfenazin(Tjay, 2007).

Derivat-fenotiazin dengan rantai-sisi piperazin ini (1957) berdaya antipsikotik


kuat dengan daya anti-adrenergis dan antiserotonin relatif lemah.Kerja antikolinergisnya
ringan sekali.Obat ini juga berkhasiat antiemetik kuat.ESP sering timbul.Dalam hati zat
ini dirombak menjadi metabolit yang kurang aktif.

Perfenazin tersedia dalam bentuk tablet 2 mg, 4 mg, dan 8 mg. oral 2-3 kali sehari
(tiap kali pemakaian sebanyak 2-4 mg), maks 24 mg sehari, intramuskular 100 mg
(dekanoat/enantat, preparat depot) setiap 2-4 minggu.

e. Loksapin (Anonim, 2007).

Obat ini mewakili golongan antipsikosis yang baru dengan rumus kimia yang
berbeda dari fenotiazin, butirofenon, tioksanten dan dihidroiodolon. Namun sebagian
besar efek farmakologinya sama. Loksapin memiliki efek antiemetik, sedatif,
antikolinergik dan antiadrenergik. Obat ini berguna untuk mengobati skizofrenia dan
psikosis lainnya (Anonim, 2007).Loksapin tersedia dalam bentuk tablet dan suntik, dosis
awal 20-50 mg/hari dalam 2 dosis. Dosis pemeliharaan 20-100 mg dalam 2 dosis

f. Thioridazin (Tjay, 2007)

g. Trifluoperazin (Tjay, 2007)

2. Antipsikotik Atipikal

Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun
1990an. Aksi obat ini yaitu mengblok reseptor 5-HT2 dan memiliki efek blockade pada
reseptor dopamin yang rendah.Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam
terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan antipsikotik tipikal.Antipsikotik tipikal menunjukkan penurunan dari munculnya
efek samping karena penggunaan obat dan masih efektif diberikan untuk pasien yang
telah resisten terhadap pengobatan.Antipsikotik ini efektif dalam mengatasi gejala baik
positif maupun negatif (Dipiro et al, 2005).

22
a. Klozapin

Merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan potensi lemah. Disebut atipikal


karena obat ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal dan kadar prolaktin
serum pada manusia tidak ditingkatkan. Diskinesia tardif belum pernah dilaporkan terjadi
pada pasien yang diberi obat ini, walaupun beberapa pasien telah diobati hingga 10
tahun.Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, klozapin menunjukkan efek
dopaminrgik lemah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem
mesolimbik-mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental
yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah
gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neuroendokrin) (Anonim, 2007).

Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia, baik


yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif (sosial disinterest dan incompetence,
personal neatness).Efek yangbermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu berikutnya.Obat
ini berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter terhadap obat standar.Selain itu,
karena risiko efek samping ekstrapiramidal yang sangat rendah, obat ini cocok untuk
pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis
tipikal. Namun karena klozapin memiliki risiko timbulnya agranulositosis yang lebih
tinggi dibandingkan antipsikosis yang lain, maka penggunaannya dibatasi hanya pada
pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang lain (Anonim, 2007).

Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. oral, intramuskular 25-
50 mg sehari, berangsur dinaikkan sampai maksimal. 600 mg sehari pemeliharaan 1 kali
sehari 200 mg pada malam hari (Anonim, 2007; Tjay, 2007).

b. Risperidon

Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol mempunyai afinitas


yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas menengah terhadap reseptor
dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor histamin. Aktivitas antipsikosis
diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin dan dopamin.Risperidon
diindikasikan untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun gejala positif. Di

23
samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan
Tourette syndrome (Anonim, 2007)

Risperidon tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, dan 3 mg. sirup dan
injeksi (long lasting injection) 50 mg/mL. dosis oral 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 1 mg), maks 2 kali sehari 5 mg (Anonim, 2007; Tjay, 2007).

c. Olanzapin

Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin oral, struktur kimianya mirip


dengan klozapin.Olanzapin memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2, D3, D4 dan
D5), reseptor serotonin (5HT2), muskarinik, histamin (H1) dan reseptor alfa 1.Olanzapin
diindikasikan untuk mengatasi gejala negatif maupun positif skizofrenia dan sebagai
antimania.Obat ini juga menunjukkan efektivitas pada pasien depresi dengan gejala
psikotik (Anonim, 2007).

Olanzapine tersedia dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg dan vial 10 mg.


permulaan 1 kali sehari 10 mg, pemeliharaan 7,5-17,5 mg sehari (Anonim, 2007; Tjay,
2007).

d. Quetiapin

Obat ini memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin (D2), serotonin (5HT2),
dan bersifat agonis parsial terhadap reseptor serotonin 5HT1A yang diperkirakan
mendasari efektifitas obat ini untuk gejala positif maupun negatif skizofrenia (Anonim,
2007).

Quetiapin diindikasikan untuk skizofrenia dengan gejala positif maupun


negatif.Obat ini dilaporkan juga meningkatkan kemampuan kognitif pasien skizofrenia
seperti perhatian, kemampuan berpikir, berbicara, dan kemampuan mengingat
membaik.Masih diperlukan penelitian lanjut untuk membuktikan apakah manfaat
klinisnya berarti.Di samping itu obat ini diindikasikan pula untuk gangguan depresi dan
mania (Anonim, 2007).

24
Quetiapin pada hari pertama diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian
sebanyak 25 mg), hari kedua diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 50
mg), hari ketiga diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 100 mg), hari
keempat diberikan 2 kali sehari (tiap kali pemakaian sebanyak 150 mg), lalu bila perlu
dinaikkan lagi sampai dosis pemeliharaan maks 450 mg sehari (Tjay, 2007).

e. Ziprasidon (Anonim, 2007).

Obat ini dikembangkan dengan harapan memiliki spektrum skizofenia yang


luas, baik gejala positif maupun gejala afektif dengan efek samping yang minimal
terhadap prolaktin, metabolik, gangguan seksual dan efek antikolinergik.Obat ini
memperlihatkan afinitas terhadap reseptor serotonin (5HT2A) dan dopamin (D2).Obat ini
diindikasikan untuk mengatasi keadaan akut (agitasi) dari skizofrenia dan gangguan
skizoafektif, terapi pemeliharaan pada skizofrenia skizoafektif kronik, serta gangguan
bipolar.ziprasidon tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan ampul 10 mg

Tabel 2.Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan

2.7.2 Pertimbangan Dalam Pemilihan Obat (Ikawati, 2011)

Obat-obat antipsikotik memiliki efek samping yang cukup signifikan yang


membuat pasien seringkali tidak patuh pada pengobatan, apalagi jika dilakukan dalam

25
jangka panjang.Efek samping utama yang paling sering membuat pasien tidak patuh
adalah efek samping ekstrapiramidal.Yang termasuk efek samping ekstrapiramidal adalah
distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatisia. Distonia akut adalah kejang otot dan
postur abnormal dan biasanya terjadi tiga sampai lima hari setelah terapi antipsikotik
dimulai atau jika dosis ditingkatkan. Pseudoparkinsonisme adalah gejala parkinson yang
meiliki manifestasi klinis yang sama seperti parkinson idiopatik. Gejala umumnya
muncul dalam tiga bulan pertama setelah pengobatan.Sedangkan akatisia ditandai oleh
perasaan subjektif berupa kegelisahan dan kecemasan dan aktivitas motorik, seperti
ketidakmampuan untuk duduk diam. Efek ini muncul beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah penggunaan antipsikotik dan umumnya sulit diatasi.

Selain efek samping ekstrapiramidal, obat antipsikotik juga memiliki efek


samping neuromuskular seperti tardive dyskinesia.Tardive dyskinesia adalah gangguan
gerakan abnormal yang tidak terkontrol.Gangguan ini dapat mempengaruhi fungsi
neuromuskular pada berbagai bagian tubuh, namun yang paling sering terlihat adalah
pada daerah wajah dan sekitar mulut.

Efek-efek samping lain obat antipsikotik antara lain adalah neuroleptic malignant
syndrome, sedasi, efek kardiovaskular, efek antikolinergik dan antiadrenergik,
abnormalitas metabolik dan penambahan berat badan, dan gangguan fungsi seksual.

Efek-efek samping ini perlu menjadi pertimbangan dalam pemilihan antipsikotik


yang tepat untuk pasien.Namun jika penggunaan obat antipsikotik tidak bisa dihindari
penggunaannya, dan pasien mengalami efek samping gejala ekstrapiramidal yang cukup
signifikan dan tidak dapat ditoleransi maka dapat digunakan obat-obatnya dapat dilihat
pada tabel.

Efek
Nama Obat Dosis (mg/hari) Waktu paruh ektrapiramidal
yang disasar
Benztropin 0,5-6,0 24 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Triheksifenidil 1-15 4 Akatisia, distonia,

26
parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Propanolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 1-6 4-8 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Tabel 3.Obat-obat Terpilih Untuk Pengatasan Efek Samping Ektrapiramidal

2.7.3 Terapi Non-Farmakologi


Program rehabilitasi psikososial berorientasi meningkatkan fungsi adaptif pasien
'adalah andalan pengobatannondruguntuk skizofrenia. Program-program ini dapat
mencakup keterampilan hidup dasar,pelatihan keterampilan sosial, pendidikan dasar,
program kerja, dan didukungperumahan. Secara khusus, program yang bertujuan untuk
pekerjaan dan perumahantelah menjadi intervensi yang lebih efektif dan dianggap
"terbaikpraktek "bagi orang-orang dengan gangguan mental serius dan terus-
menerus.Program yang melibatkan keluarga dalam perawatan dan hidup pasien
memilikijuga telah terbukti menurunkan rehospitalization dan meningkatkan berfungsi
dalam masyarakat.Untuk khususnya pasien rendah fungsi,program intervensi tegas
disebut pengobatan masyarakat aktif (ACT) yang efektif dalam meningkatkan hasil
fungsional pasien.tim ACT yang tersedia selama 24 jam dan bekerja dalam pasienrumah
dan tempat kerja untuk memberikan perawatan yang komprehensif,termasuk obat-obatan,
intervensi krisis, keterampilan hidup sehari-hari, dan pekerjaan didukung dan perumahan.

27
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIANNYA
3.6 Deskripsi Kasus

Seorang wanita IT, 20 tahun, dibawa keluarganya karena sudah satu tahun ini
nona IT berdiam diri, tidak mau makan, bahkan sering menangis tersedu-sedu. Sewaktu-
waktu nona IT juga meronta-ronta dan menghancurkan barang-barang disekitarnya.Nona
IT didiagnosis terkena serangan akut pertama skizofrenia.Enam bulan yang lalu dia putus
dengan pacarnya yang sebelumnya telah menjalin hubungan selama 5 tahun. Sejak saat
itu ia sering kelihatan aneh, senyum-senyum, bicara sendiri, dan akan tetapi terkadang
menangis meraung-raung. Diketahui mantan pacar nona IT telah menikah dengan
sahabatnya sendiri.

Riwayat keluarga : Ibu dan ayah serta keluarga intinya tidak memiliki riwayat penyakit
yang sama hanya saja pamannya yang berusia 48 tahun mengalami skizofrenia semenjak
usia remaja.
Riwayat penyakit sekarang :Hasil test pack positif. USG menunjukkan hamil 3 bulan.
Keluarga meyakini nona IT hamil akibat perbuatan mantan pacarnya. Keluarga tetap
mempertahankan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik :
TD : 121/78 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
Pernafasan : 21 x/ menit
Suhu Tubuh : 36ºC
Data Laboratorium :
HbA1C : 6,5%
LDL : 110 mg/dL
HDL : 90 mg/dL
TG : 130 mg/dL
Kolesterol Total : 180 mg/dL
SGOT : 40 u/L
SGPT : 35 u/L

28
3.2 Analisis Kasus dengan Metode SOAP
A. Subjectif
Nama : Nn. IT
Umur : 20 Tahun
Keluhan :
 Berdiam diri, tidak mau makan, bahkan sering menangis tersedu-sedu
 Sewaktu-waktu juga meronta-ronta dan menghancurkan barang-barang
disekitarnya.
 Sejak putus dengan pacarnya, ia sering kelihatan aneh, senyum-senyum,
bicara sendiri, dan akan tetapi terkadang menangis meraung-raung.

Riwayat keluarga : Ibu dan ayah serta keluarga intinya tidak memiliki riwayat
penyakit yang sama hanya saja pamannya yang berusia 48 tahun mengalami
skizofrenia semenjak usia remaja.
Riwayat penyakit sekarang :Hasil test pack positif. USG menunjukkan hamil
3 bulan. Keluarga tetap mempertahankan kehamilan.
B. Objektif

Pemeriksaan Nilai Range normal Keterangan


Tekanan darah 121/78 mmHg 120/80 mmHg Normal
Nadi 80 x/menit Normal
Pernafasan 21 x/menit Normal
Suhu tubuh 36◦c Normal
HbA1C 6,5 % 4-5,6% Beresiko diabetes
LDL 110 mg/dL < dari 130 mg/dL Normal
HDL 90 mg/dL > 50 mg/dL Normal
Kolesterol total 180 mg/dL < 200 mg/dL Normal
SGOT 40 µ/L 3-45µ/L Normal
SGPT 35 µ/L 0-35 µ/L Normal
TG 130 mg/dL < 200 mg/dL Normal

29
C. Assasment
Etiologi :Stress
Diagnosis : Serangan akut pertama skizofrenia.

D. Plan
 Mencegah kekambuhan dan mengurangi gejala
 Meningkatkan fungsi normal pasien
 Meningkatkan kualitas hidup pasien dan menggembalikan kedaannya menjadi
normal

3.3 Pemilihan Obat Rasional


a. Pengobatan dan Pemeliharaan
SGAs (Second Generation Antipsychotics)
- Klozapin 25 mg/hari dosis awal dan 100–800 mg/hari dosis pemeliharaan (dipiro
ed.6)

3.4 Evaluasi Obat Terpilih


a. Pengobatan dan Pemeliharaan
SGAs (Second Generation Antipsychotics)
- Klozapin 25 mg/hari dosis awal dan 100–800 mg/hari dosis pemeliharaan (dipiro
ed.6)

Jurnal 1 Studi Penggunaan Antipsikotik dan Efek Samping Pasien Skizofrenia.. Yulianty,
dkk.2017
Clozapin bekerja dengan menduduki reseptor D2 hanya sekitar 38- 47%.
Bahkan dengan dosis setinggi 900 mg sehari, kurang dari 50% dari reseptor D2
ditempati.
Clozapin sendiri dapat mengatasi gejala positif,gejala negatif dan kognitif
tanpa menyebabkan gejala ekstrapiramidal.

30
Jurnal 2 perbedaan keefektifan antara clozapin dengan electro convulsive therapy dalam
penatalaksanaan skizofrenia resisten obata pada RSJ daerah surakarta.H.M.Fanani
Clozapin merupakan antipsikotik atipikal yang pertama ditemukan tanpa
menyebabakan EPS dan tidak menyebabkan tardive diskyenesia dan tidak terjadi
peningkatan prolaktin

Clozapin sendiri dapat mengatasi gejala positif, gejala negatif dan kognitif tanpa
menyebabkan gejala ekstrapiramidal disamping itu obat ini merupakan antipsikotik
kategori B pada kehamilan.

3.5 Monitoring dan KIE ( Komunikasi, informasi dan Edukasi)


MONITORING
1. Pemantauan terhadap ESO seperti : EPS (utama), weight gain, antikolinergik, hipotensi
ortostatik, dll.
2. Memeriksa WBC setiap minggu selama terapi karena menggunakan klozapin.

KIE (KOMUNIKASI,INFORMASI,DAN EDUKASI)


1. Memberikan informasi tentang obat kepada keluarga dan pasien
2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai faktor penyebab
skizofenia

3.Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi
obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.

4.Memberikan informasi kepad pasien dan keluarga pasien mengenai kepatuhan pasien
terhadap obat .

31
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Skizofrenia merupakan suatu sindrom heterogen yang tidak teratur berupa


gangguan perilaku-perilaku aneh, delusi, halusinasi, emosi yang tidak wajar, dan
gangguan fungsi utama psikososial.Skizofrenia dapat disebabkan oleh faktor genetik,
faktor biologik, neuropatologi dan psikososial.Penyakit skizofrenia ini dipengaruhi oleh
neurotransmitter seperti dopamine, serotonin dan glutamate.
Gejala dari Skizofrenia ini meliputi gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif,
gejala agresif dan permusuhan, serta gejala depresi dan atau cemas.Diagnosa skizofrenia
sesuai dengan kriteria menurut DSM-IV.Pada penatalaksanaan skizofrenia, dapat
dilakukan secara non farmakologi dan farmakologi menggunakan obat-obatan
antipsikotik.

4.2 Saran
Selesainya makalah ini tidak terlepas dari banyaknya kekurangan-kekurangan
pembahasan dikarenakan karena berbagai macam faktor ketebatasan waktu, pemikiran
dan pengetahuin penulis yang terbatas, oleh karena itu untuk kesempurnaan makalah ini
penulis sangat membutuhkan saran dan masukan yang bersifat membangun bagi para
pembaca.

32
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1993, Pedoman Penggolongan & Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia III,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Anonim, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, FKUI, Jakarta.

Anonim, 2013, Riset Kesehatan Dasar Tentang Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Anonima, 2014, Undang-Undang No.18 Tentang Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yess, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy: A Pathophysiological Approach Sixth Edition, The McGraw-Hill,
New York.

Dipiro, J.T.,Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., and Dipiro, C.V., 2009, Pharmacotherapy
Handbook Seventh Edition, The McGraw-Hill, New York.

Fahrul., Mukaddas, A., Faustine, I., 2014, Rasionallitas Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah Periode
Januari – April 2014, Online Jurnal Of Natural Science, Vol 3(2): 19-29

Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat, Bursa Ilmu, Yogyakarta.

Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhaji, B., Indrayana, M., 2008, Penatalaksanaan Skizofrenia,
Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Riau.

Jarut, Y.M., Fatimawali., Wiyono, W.I., 2013, Tinjauan Penggunaan Antipsikotik pada
Pengobatan Skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado Periode
Januari 2013 – Maret 2013, Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi Unsrat, Vol 2(3): 54-57.

Muslim, R., 2003, Diagnosa Gangguan Jiwa: Ringkasan-ringkasan dari PPDGJ- III, Nuh jaya,
Jakarta.

33
Natari, R.B., 2012, Evaluasi Penggunaan Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia Episode Pertama
di RSJD Provinsi Jambi, Tesis Magister Farmasi, Farmasi ITB, Bandung.

Tjay, T.H dan Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Videbeck, S.L., 2008, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, EGC, Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai