Anda di halaman 1dari 32

SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KEJANG DEMAM

Disusun Oleh:
Salaudin Al Ayubi Pratama 1810029044

Pembimbing:
dr. Annisa Muhyi., Sp.A, M.Biomed

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

KEJANG DEMAM

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Salaudin Al Ayubi Pratama NIM. 1810029044

Pembimbing:
dr. Annisa Muhyi., Sp.A, M.Biomed

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial klinik yang berjudul kejang
demam. Refleksi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulisan refleksi kasus ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Annisa Muhyi., Sp.A, M.Biomed sebagai pembimbing dalam penyusunan
tugas refleksi kasus ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan
untuk memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial klinik ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga tutorial klinik ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak.
Samarinda, September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien ............................................................................... 3
2.2 Anamnesa ........................................................................................ 4
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 5
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 7
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 7
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ........................................................................................... 10
3.2 Epidemiologi .................................................................................. 10
3.3 Klasifikasi ...................................................................................... 11
3.4 Manifestasi Klinis .......................................................................... 11
3.5 Penegakan Diagnosis ..................................................................... 12
3.6 Penatalaksanaan ............................................................................. 14
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 22
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 28

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38˚C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006). Menurut Consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,
biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam
tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Derajat
tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosa demam ialah 38˚C atau
lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui
(Soetomenggolo & Ismael, 2000).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun
(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006). Kejang demam sangat tergantung umur,
85% kejang pertama timbul sebelum berumur 4 tahun, terbanyak di antara berusia
17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum
berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6
tahun pasien tidak kejang demam lagi. Walaupun beberapa pasien masih dapa
mengalami kejang sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan
secara dominan autosomal sederhana. Banyak pasien kejang demam yang orang
tua atau saudara kandungnya menderita penyakit yang sama. Faktor prenatal dan
perinatal dapat berperan dalam kejang demam. Faktor yang penting pada kejang
demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal. Demam sering
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis dan infeksi saluran kemih (Soetomenggolo & Ismael, 2000).
Tingkat kemampuan sebagai dokter umum untuk penanganan kejang
demam yaitu 4 yaitu mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas. Berdasarkan data-data diatas oleh karena itu pentingnya untuk
membahas tentang kejang demam.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya pada kasus kejang demam pada anak.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. CNA
Usia : 1 Tahun 11 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 10 Kg
Tinggi Badan : 83 cm
Anak ke : Kedua dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. S. Parman RT.02 GG. Amal
MRS : 17 September 2018

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. EPA
Usia : 36 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. S. Parman RT.02 GG. Amal Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

Nama Ibu : Ny. DF


Usia : 33 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jl. S. Parman RT.02 GG. Amal Samarinda
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : pertama

3
2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 19 September 2018, di ruang Melati.
Heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.

Keluhan Utama
Kejang >15 menit SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke Poli Anak RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
oleh orangtuanya karena pasien mengalami kejang 1 kali dirumah. Pasien
mengalami kejang seluruh tubuh yang berlangsung selama >15 menit. Orang tua
pasien mengatakan anaknya demam tinggi 1 hari SMRS. Orang tua pasien
mengatakan suhu badan anaknya mencapai hingga 39o celcius setelah di ukur
menggunakan termometer. Selain kejang dan demam, orang tua pasien juga
mengatakan anaknya batuk dan pilek 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat kejang demam sebelumnya

Riwayat Alergi
Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat penyakit keluarga lain HT (-), DM (-), Asma (-).

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : OT lupa
Panjang badan lahir : OT lupa
Berat badan sekarang : 10 kg
Tinggi badan sekarang : 83 cm
Gigi keluar : 10 bulan

4
Tengkurap : OT lupa
Duduk : OT lupa
Merangkak : OT lupa
Berdiri : OT lupa
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 1 tahun 3 bulan

Makan dan Minum Anak


ASI : ASI ekslusif hingga usia 6 bulan
Susu sapi : 7 bulan, namun masih diselingi ASI
Makanan lunak : 7 bulan
Makanan padat : 9 bulan

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada

Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 19 September 2018

5
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 10 Kg
Panjang Badan : 83 cm
Tanda Vital :
Tekanan Darah 100/70 mmHg
Nadi 122 x/menit
Pernafasan 33 x/menit
Temperatur axila 37,1o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tebal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+),
Hidung : Sekret hidung (+), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-),
faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Paru
Inspeksi :Tampak simetris, pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Stridor (-), Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak pada ICS 5 midclavicularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)

6
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 17 September 2018
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 15.770/mm3 6.000 – 17.000/ mm3
Eritrosit 4.30 ul 3.90 – 5.90 ul
Hemoglobin 11.6 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 34.3 % 34,0 – 40.0%
Trombosit 225.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 79,7 fl 81.0 – 99.0 %
MCH 26.9 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 33.8 g/dl 33.0 – 37.0 g/dl

2.5 Diagnosis Kerja


Kejang demam sederhana

2.6 Penatalaksanaan Awal


1. PCT 4x150mg IV
2. Diazepam Puyer 3x1 mg PO
3. Diazepam supp 5mg per rektal (bila kejang)
4. Infus D5 ¼ NS 1000 cc/24jam
2.7 Planning :
- Cek Darah Lengkap

2.8 Lembar Follow Up


Tanggal Pemeriksaan Terapi
17 September S: Kejang terakhir kemarin A:

7
2018 (perawatan malam sebelum masuk rumah - KDS
- Susp. ISK
H-1) sakit. Batuk (+) dan pilek (+)
- ISPA
sejak 2 hari yang lalu. Tidak ada
demam, BAK (+), BAB (+) P:
dalam batas normal - IVFD D5 ¼ NS 750
cc/hari
O: KU sedang, kesadaran - Ampicilin 3x350 mg IV
composmentis, akral hangat, - Diazepam 3mg IV
anemis (-/-), UE Eksternus (kp/kejang)
kemerahan - PCT 3x100 mg
BB: 10kg - NAC 3x100 mg PO
GCS :E4V5M6 - CTM 3x0,5 mg PO
N: 108x/menit - Diazepam 3x1 mg PO
RR: 34x/menit
T: 37,2 oC

Hasil DL 17/09/2018
Leu 15.770/mm3
Eri 4.30 ul
Hb 11.6 g/dl
Ht 34.3 %
Plt 225.000 / mm3
MCV 79,7 fl
MCH 26.9 pg
MCHC 33.8 g/dl

18 September S: tidak ada kejang, Batuk (+), A:


2018 (perawatan pilek (+), tidak ada demam, - KDS
- ISPA
H-2) BAK (+), BAB (+) dalam batas
normal
P:
- IVFD D5 ¼ NS 750
O: KU sedang, kesadaran
cc/hari

8
composmentis, akral hangat, - Ampicilin 3x350 mg IV
anemis (-/-). - Diazepam 3mg IV
BB= 10kg (kp/kejang)
GCS :E4V5M6 - PCT 3x100 mg (kp)
N: 102x/menit - NAC 3x100 mg PO
RR: 30x/menit - CTM 3x0,5 mg PO
T: 36.8 oC - Diazepam 3x1 mg PO

19 September S: tidak ada kejang, Batuk (+), A:


2018 (perawatan pilek (+), tidak ada demam, - KDS
- ISPA
H-3) BAK (+), BAB (+) dalam batas
normal P:
- NAC 3x100 mg
O: KU sedang, kesadaran - CTM 3x0,5 mg
composmentis, akral hangat, - Pct 3x1 cth
anemis (-/-), edem anasarka. - Cefixime 2x1/2 cth
BB= 10kg
GCS : E4V5M6
N: 100x/menit
RR: 32x/menit
T: 36,9 oC

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38˚C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006). Menurut Consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,
biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam
tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Derajat
tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosa demam ialah 38˚C atau
lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui
(Soetomenggolo & Ismael, 2000).

1.2 Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun


(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006). Kejang demam sangat tergantung umur,
85% kejang pertama timbul sebelum berumur 4 tahun, terbanyak di antara berusia
17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum
berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6
tahun pasien tidak kejang demam lagi. Walaupun beberapa pasien masih dapa
mengalami kejang sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan
secara dominan autosomal sederhana. Banyak pasien kejang demam yang orang
tua atau saudara kandungnya menderita penyakit yang sama. Faktor prenatal dan
perinatal dapat berperan dalam kejang demam. Faktor yang penting pada kejang
demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal. Demam sering
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis dan infeksi saluran kemih (Soetomenggolo & Ismael, 2000).

10
1.3 Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam (Pusponegoro,
Widodo, & Ismael, 2006).
Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini (Pusponegoro, Widodo, &
Ismael, 2006):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial
satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang
adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak
sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang
demam (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

1.4 Manifestasi Klinis

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik


atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa
detik atau menit anak terbangun dan sadarkembali tanpa defisit neurologis.
Kejang dapat diikuti dengan hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
dapat diikuti dengan hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang lama

11
lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24
jam ditemukan pada 16% pasien (Soetomenggolo & Ismael, 2000).

1.5 Diagnosis

Anamnesis
- Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lamanya kejang
- Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi sususnan saraf pusat (gejala
infeksi saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media
akut/OMA, dan lain-lain)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lainnya (misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).

Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh : apakah
terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal : kaku kudul, brudzinski I dan II, Kernig dan
Laseque
- Pemeriksaan nervus kranialis
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun-ubun besar (UUB) menonjol,
papil edema
- Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK dan lain-lain
- Pemeriksaan neurologi : tonus, motorik, refleks fisiologis dan refleks patologis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

12
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis terutama pada kejang demam yang
pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan lumbal pungsi hanya
pada kasus yang dianggao mengalami meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama (Soetomenggolo & Ismael, 2000). Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan
atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas.
Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada (Pusponegoro, Widodo, & Ismael,
2006):
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan
EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.
Misalnya: kejang demam kompleks (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).
EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral,
sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88%
pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila
EEG dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang. Perlambatan
aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik. Walaupun Aicardi melaporkan
bahwa pasien kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG
abnormal. Saat ini tidak dianjurkan untuk melakukan EEG pada pasien dengan
kejang demam sederhana (Soetomenggolo & Ismael, 2000).

13
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006; Pudjiadi,
Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009):
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan
adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas)
2. Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, ubun-ubun besar menonjol, paresis nervus VI dan papil edema).

1.6 Diagnosa Banding

Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis


dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang
diikuti dengan hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena
proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar
dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang
demam (Soetomenggolo & Ismael, 2000).

1.7 Penatalaksanaan

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang
ketat dibuka dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi.
Jalan nafas harus bebas agar okigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan
secara teratur, diberikan oksigen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan
vital sign seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung.
Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres dan pemberian antipiretik.
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2

14
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg
(Soetomenggolo & Ismael, 2000; Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat
bagan penatalaksanaan kejang demam) (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti
maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya (Pusponegoro, Widodo, &
Ismael, 2006).
Dalam waktu 30-60 menit kadar diazepam dalam otak sudah menurun dan
pasien dapat mengalami kejang kembali. Oleh karena itu setelah kejang berhenti
harus diberikan obat dengan masa kerja yang lama misalnya asam valproat atau
fenobarbital. Fenobarbital dosis tinggi intavena dapat menyebabkan depresi
pernafasan, hipotensi, letargi dan somnolen, sehingga pemberiannya harus
dipantau dengan ketat. Diazepam juga mempunyai efek samping hipotensi dan
depresi pernafasan, oleh sebab itu setelah pemberian fenobarbital dosis tinggi
jangan diberikan diazepam. Pasien dengan status konvulsi disamping mengobati
kejangnya perlu diperhatika fungsi vitalnta, perhatikan jalan napas, kalau banyak
lendir dilakukan penghisapan lendir. Berikan oksigeb, pasang infus intravena dan
cari penyebab dengan memeriksa darah dan cairan serebrospinal. Pemeriksaan
lain dilakukan atas dasar indikasi (Soetomenggolo & Ismael, 2000).

15
Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 –15
mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (Pusponegoro, Widodo, &
Ismael, 2006).
Antikonvulsan
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orang tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5˚C.
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada
saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (Soetomenggolo &
Ismael, 2000; Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

Pemberian obat rumat

Indikasi pemberian obat rumat


Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu) (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila (Pusponegoro, Widodo, & Ismael,
2006):
• Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

16
• Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
• kejang demam > 4 kali per tahun
Penjelasan:
• Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat
• Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan
bukan merupakan indikasi pengobatan rumat
• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-
40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2
dosis (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006) Fenitoin dan carbamazepin tidak
efektif untuk pencegahan kejang demam. Profilaksis secara terus menerus berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan
kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari
(Soetomenggolo & Ismael, 2000).

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

17
Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya
(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006):
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping obat.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang (Pusponegoro,


Widodo, & Ismael, 2006) :
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap
anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000
anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000.
Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam,
terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak
merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian
(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

18
1.8 Prognosis

Beberapa hal yang perlu dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental


dan neurologis, berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi di
kemudian hari. Mortalitas pada kejang demam sangat rendah, hanya sekitar
0,64%-0,74%. Perkembangan mental umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Peneliti lain mengemukakan adanya kelainan neurologis
pada sebagian kecil kasus. Kelainan neurologis yang terbanyak adalah
hemiparesis, disusul diplegia, koreoatetosis atau rigiditas dengan serebrasi.
Kelainan ini biasanya terjadi pada pasien dengan kejang demam lama atau kejang
berulang baik umum maupun fokal. Gangguan intelek dan gangguan belajar
jarang terjadi pada kejang demam sederhana. Ellenberg dan Nelson melaporkan
bahwa IQ pada 42 pasien dengan kejang demam tidak berbeda dengan saudara
kandungnya yang tidak kejang demam. IQ lebih rendah ditemukan pada pasien
yang kejang demam berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko
retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar pada kejang demam yang diikuti
kejang tanpa demam. Livingston melaporkan bahwa diantara 201 pasien kejang
demam sederhana hanya 6 (3%) yang menderita kejang tanpa demam (epilepsi),
sedangkan diantara 297 pasien yang digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh
demam sekitar 276 (93%) menderita epilepsi. Prichard dan Mc Greal
mendapatkan angka epilepsi 2% pada kejang demam sederhana dan 30% pada
kejang atipikal. Lumbantobing melaporkan 5 (6,5%) diantara 83 pada pasien
kejang demam menjadi epilepsi (Soetomenggolo & Ismael, 2000).

Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis


Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal
(Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

19
Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (Pusponegoro,
Widodo, & Ismael, 2006).

Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006) :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko
menjadi epilepsi adalah (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006):
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Bila hanya ada satu faktor risiko kemungkinan untuk menjadi epilepsi
adalah 2-3%. Apabila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor diatas, kemungkinan
menjadi epilepsi adalah 13 %. Epilepsi yang timbul dapat bermacam-macam,
paling sering adalah epilepsi motor umum yaitu kira-kira 50%. Kejang demam
yang lama biasanya diikuti oleh epilepsi parsial kompleks. Sebanyak 30%-35%
pasien mengalami berulangnya kejang demam. Sebagian besar kasus hanya
berulang sebanyak 2-3 kali kecuali pada 9-17% kasus yang berulang lebih dari 3
kali. Nelson dan Ellenberg melaporkan berulangnya kejang demam pada 35%
pasien diantara 1706 pasien. Berulangnya kejang demam lebih sering bila

20
serangan pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun yaitu sebanyak
50%. Bila kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 1 tahun, risiko
berulangnya adalah 28%. Berulangnya kejang multipel lebih sering pada bayi.
Anak dengan perkembangan abnormal atau mempunyai riwayat epilepsi dalam
keluarga juga lebih sering mengalami berulangnya kejang demam
(Soetomenggolo & Ismael, 2000). Masing-masing faktor risiko yang telah
disebutkan meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian
obat rumat pada kejang demam (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

21
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An.CNA. usia 1


tahun 11 bulan datang bersama orang tuanya ke IGD RSUD AWS Samarinda
pada 17 September 2018 dengan keluhan utama kejang. Diagnosis kerja pasien ini
adalah Kejang Demam Sederhana. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
Pada anamnesis perlu di gali : Pasien datang dengan keluhan
- Adanya kejang, jenis kejang, kejang seluruh tubuh, beberapa jam
kesadaran, lamanya kejang sebelum masuk rumah sakit. Kejang
- Suhu sebelum atau saat kejang, sebanyak 1 kali selama >15 menit.
frekuensi dalam 24 jam, interval, Sebelumnya pasien sempat demam
keadaan anak pasca kejang, sejak 1 hari sebelum masuk rumah
penyebab demam di luar infeksi sakit. Orang tua pasien mengatakan
sususnan saraf pusat (gejala infeksi demam tersebut disertai dengan
saluran napas akut/ISPA, infeksi batuk dan pilek. Mual ( - ), Muntah (
saluran kemih/ISK, otitis media - ), BAB dan BAK dalam batas
akut/OMA, dan lain-lain) normal.
- Riwayat perkembangan, riwayat
kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang
lainnya (misalnya diare/muntah
yang mengakibatkan gangguan
elektrolit, sesak yang
mengakibatkan hipoksemia, asupan
kurang yang dapat menyebabkan
hipoglikemia).

22
Kejang demam sederhana yang
berlangsung singkat, kurang dari 15
menit, dan umumnya akan berhenti
sendiri. Kejang berbentuk umum tonik
dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik perlu digali : Composmentis, E4V5M6
- Kesadaran : apakah terdapat Nadi 122 x/menit, regular; RR 33
penurunan kesadaran, suhu tubuh : x/menit; Temperatur 39o C per axial;
apakah terdapat demam BB 10 kg, TB 83 cm, Status Gizi :
- Tanda rangsang meningeal : kaku Gizi Baik
kuduk, brudzinski I dan II, Kernig Kepala & leher, thoraks, abdomen
dan Laseque dan ekstremitas dalam batas normal.
- Pemeriksaan nervus kranialis Kaku kuduk (-), refleks fisiologis (-),
- Tanda peningkatan tekanan refleks patologis (-)
intrakranial : ubun-ubun besar
(UUB) menonjol, papil edema
- Tanda infeksi di luar SSP : ISPA,
OMA, ISK dan lain-lain
- Pemeriksaan neurologi : tonus,
motorik, refleks fisiologis dan
refleks patologis.

DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan Pasien didiagnosa sebagai Kejang
fisik dan pemeriksaan penunjang, Demam Sederhana + ISPA
diagnosa pasien ini adalah Kejang
Demam Sederhana + ISPA
PEMERIKSAAN PENUNJANG

23
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan, namun hasil (-). Tidak
dikerjakan secara rutin pada kejang ada indikasi untuk melakukan
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk pungsi lumbal, EEG dan radiologis.
mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam.
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan
meningitis terutama pada kejang
demam yang pertama. pungsi lumbal
dianjurkan pada :
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat
dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara
klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau
memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam.
Saat ini tidak dianjurkan untuk
melakukan EEG pada pasien dengan
kejang demam sederhana
(Soetomenggolo & Ismael, 2000).
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan

24
seperti computed tomography scan
(CT-scan) atau magnetic resonance
imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti
1. Kelainan neurologik fokal yang
menetap (hemiparesis) atau
kemungkinan adanya lesi struktural di
otak (mikrosefali, spastisitas)
2. Terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial
PENATALAKSANAAN
Apabila datang dalam keadaan kejang - IVFD D5 ¼ NS 750 cc/hari
obat yang paling cepat untuk - Ampicilin 3x350 mg IV
menghentikan kejang adalah diazepam - Diazepam 3mg IV (kp/kejang)
yang diberikan secara intravena atau - PCT 3x100 mg
intrarektal. - NAC 3x100 mg PO
Dosis parasetamol yang digunakan - CTM 3x0,5 mg PO
adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 - Diazepam 3x1 mg PO
kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10 kg.

25
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38˚C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosa
demam ialah 38˚C atau lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering
tidak diketahui. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Kejang demam sangat tergantung umur, 85% kejang pertama timbul
sebelum berumur 4 tahun, terbanyak di antara berusia 17-23 bulan (Pusponegoro,
Widodo, & Ismael, 2006; Soetomenggolo & Ismael, 2000).
Terdapat 2 macam kejang demam yaitu : kejang demam sederhana (Simple
febrile seizure) dan kejang demam kompleks (Complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana yaitu kejang yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit,
dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang
demam dengan salah satu ciri berikut ini : kejang lama > 15 menit, kejang fokal
atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial dan berulang
atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20
mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk

26
berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat
setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan
bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat
menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek (Pusponegoro, Widodo, & Ismael, 2006).

27
DAFTAR PUSTAKA

Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Pusponegoro, H. D., Widodo, D. P., & Ismael, S. (2006). Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Soetomenggolo, T. S., & Ismael, S. (2000). Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.

28

Anda mungkin juga menyukai