Anda di halaman 1dari 19

CLINICAL SCIENCE SESSION

ANTENATAL DEPRESSION AND HEMATOCRIT LEVELS AS PREDICTORS OF


POSTPARTUM DEPRESSION AND ANXIETY SYMPTOMS

Oleh:

KM. Alkindy, S. Ked

Fathony Arsyad, S. Ked

Alfa Suryani Ardli, S. Ked

Dessy Daswar, S. Ked

Pembimbing:

dr. Diva Mariska Tarastin , Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
LEMBAR PENGESAHAN

ANTENATAL DEPRESSION AND HEMATOCRIT LEVELS AS PREDICTORS OF


POSTPARTUM DEPRESSION AND ANXIETY SYMPTOMS

Oleh:

KM. Alkindy, S. Ked

Fathony Arsyad, S. Ked

Alfa Suryani Ardli, S. Ked

Dessy Daswar, S. Ked

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
Jambi, Mei 2018
Pembimbing

dr. Diva Mariska Tarastin, Sp.KJ


DEPRESI ANTENATAL DAN KADAR HEMATOKRIT SEBAGAI PEMICU DEPRESI
POSTPARTUM DAN GEJALA CEMAS

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan faktor resiko dan akibat dari depresi
antenatal, termasuk depresi postpartum, dan untuk menilai apakah kadar hematocrit (Ht)
berhubungan dengan depresi maternal. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS),
Spielberger's State Anxiety Inventory (STAI), Kennerley and Gath Maternity Blues Assessment
Scale (KGB), Beck Depression Inventory (BDI) dan Hamilton Depression Rating Scale
(HAMD) diberikan pada akhir (T1), 2–3 hari (T2) dan 4-6 minggu (T3) setelah melahirkan pada
126 wanita dengan dan tanpa depresi antenatal. Kadar Ht dikuru pada T1. Depresi antenatal
diprediksi karena kondisi depresi seumur hidup dan premenstrual syndrome dan pendidikan
rendah. Depresi antenatal tidak berhubungan dengan obstetric maupun neonatus. Gejala depresi
antenatal diprediksi sesuai dengan gejala depresi dan cemas pada T2 dan T3. Skala EPDS, KGB,
STAI dan BDI, namun bukan skala HAMD, ditemukan hasil yang menurun secara signifikan
pada T3 daripada sebelumnya. Insidensi depresi menurun secara signifikan dari T1 (23.8%) ke
T2 (7.8%) dan T3 (5.3%). Kadar Ht pada T1 dinilai dengan skala nilai EPDS, STAI, KGB, dan
BDI pada T3 postpartum. Persalinan secara signifikan meningkatkan gejala cemas dan depresi.
Peningkatan kadar Ht pada trimester ke tiga menjadi biomarker dari depresi postpartum dan
gejala cemas.

1. Pendahuluan

Depresi maternal, adalah suatu tipe depresi yang terjadi dari konsepsi hingga 6 bulan setelah
persalinan, depresi maternal adalah salah satu penyebab terbanyak dari angka kesakitan yang
mengganggu fungsi maternal dan keluaran neonatal. Kesimpulan ini didapat dari kajian, ( British
Psychological Society, 2014; Gentile, 2015; Khalifeh et al., 2015; Rai t al., 2015), sebuah survey
nasional AS pada 14.549 wanita secara acak di USA (Vesga-Lopez et al., 2008) dan telah
dipelajari berpengaruh pada perkembangan anak (Persons et al., 2012; Stein et al., 2014) dan
hubungan pernikahan (Beestin et al., 2014; Khan, 2011; Khan et al., 2009). Depresi postpartum
adalah salah satu tipe dari depresi maternal, yang menggambarkan gejala klinis yang mirip
dengan depresi bukan karena persalinan lainnya (Burns, 2003; Nonacs and Cohen, 1998).
Depresi postpartum terjadi pada 10-28% wanita pada 3 bulan setelah persalinan seperti yang
telah di jelaskan pada suatu penelitian lain berupa kajian sistematik (Brockington, 2004), suatu
penelitian yang menggambarkan prevalensi selama kehamilan dan masa potpartum
menggunakan wawancara klinis terstruktur dari DSM dan EPDS pada 296 wanita dari 10 bagian
pada 8 negara (Gorman et al., 2004), dan penelitian cross sectional (Evagorou et al., 2015; Falah-
Hassani wt al., 2015; Gavin et al., 2005; Rai et al., 2015; Roomruangwong and Epperson, 2011;
Stuart-Parrigon and Stuart, 2014).

Fenomena dan faktor resiko dari depresi postpaprtum sudah cukup diterima, namu baru
sedikit penelitian yang menfokuskan pada depresi antenatal. Insidensi depresi antenatal cukup
luas dan menurut penelitian berada diantara 10% dan 66% (Cankorur et al., 2015; Srinivasan et
al., 2015; Yusuff et al., 2015; Zeng et al., 2015). Menurut beberapa literatur, belum adanya
instrumen spesifik untuk menilai depresi prenatal. Banyak peneliti menggunakan EPDS, yang
sebenarnya digunakan untuk menilai depresi postnatal, untuk menilai keparahan dan
mendiagnosis depresi antenatal dengan spesifitas dan sensitivitas yang baik dapat mengunakan
kriteria depresi umum (Ji et al., 200; Martins et al., 2015; Pearlstein, 2015). Skala Beck
Depression Inventory (BDI) dan Hamilton Depression Rating Scale (HAMD) merupakan
instrumen yang cukup berguna untuk mendiagnosis depresi prenatal (Ji et al., 2011).

Beberapa studi telah menjelaskan mengenai sosio-demografi dan faktor resiko pada depresi
antenatal (Biaggi et al., 2015). Contohnya resiko kejadian depresi antenatal meningkat pada
wanita dengan keadaan sulit atau status ekonomi, termasuk masalah finansial, kurangnya
dukungan sosial, riwayat aborsi dan siklus menstruasi yang irregular (Yusuff et al., 2015; Zeng
et al., 2015). Faktor protektif pada usia muda, hubungan yang harmonis dan persalinan yang
diinginkan (Zeng et al., 2015).

Studi, kajian dan penelitian meta-analisis baru baru ini menunjukkan bahwa depresi antenatal
bersamaan dengan kejadian depresi sebelumnya diprediksi menyebabkan depresi postpartum
(Beck, 1996; Field et al., 2010; Nonacs and Cohen, 2003; Stewart et al., 2003). Cankorur et al.
(2015) melaporkan depresi antenatal dapat menetap sampai setelah persalinan pada 49,7%
wanita, sedangkan onset baru depresi postpartum terjadi pada 13.9% ibu melahirkan (Cankorur t
al., 2015). Depresi antenatal dapat dihubungkan dengan peningkatan resiko persalinan operatif
walaupun hubungan ini signifikansinya berkurang setelah adanya kontrol dari Body Mass Index
(BMI) (Hu et al., 2015). Terdapat hubungan yang signifikan antara gejala depresi antenatal
dengan persalinan caesarean emergensi walaupun setelah dikontrolnya BMI, merokok dan
variable lain (Bayrampour et al., 2015). Gejala depresi antenatal dapat mempengaruhi garis
perkembangan fetus dan berkontribusi terhadap keluaran neonatus yang buruk, termasuk berat
badan rendah pada neonatus (Henrichs et al., 2010). Pada studi lain tidak adanya hubungan yang
signifikan antara gejala depresi antenatal dengan Apgar scores 1 dan 5 setelah persalinan
(Grigoriadis et al., 2013).

Depresi umumnya disertai dengan aktifasi jalur imunitasinflamasi yang diindikasikan pada
keadaan inflamasi kronis dan aktifasi sel imun (Leonard and Maes, 2012; Maes et al., 1993).
Proses ini biasanya dihubungkan dengan perubahan sekunder dari erythron dan metalisme iron
yang menyebabkan rendahnya hemoglobin, hematocrit (ht) dan kadar iron (Maes et al., 1996;
Rybka et al., 2013). Aktifasi dari jalur imun inflamasi juga ditemukan pada depresi postnatal
dengan biomarker imun pada akhir trimester dapat memprediksi kejadian depresi postnatal
(Anderson and Maes, 2013; Osborne and Monk, 2013). Beberapa data menunjukkan adanya
hubungan antara kadar hemoglobin yang rendah dengan depresi postpartum (Corwin et al., 2003;
Goshtasebi et al., 2013).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan hubngan antara 1) depresi antenatal
dan sosiodemografi (usia, pendidikan, pemasukan, status menikah, kehamilan yang tidak
diinginkan) dan faktor resiko klinis (jumlah persalinan, kehamilan ke berapa, riwayat depresi
sebelumnya, premenstrual tension syndrome (PMS) dan depresi postpartum); 2) depresi
antenatal dan obstetri (caesarian, perdarahan, lama persalinan, komplikasi persalinan) dan
keluaran neonatus (apgar scores, panjang bayi); 3) depresi antenatal dengan kesehatan mental
pada masa postpartum (postpartum blues, depresi posrpartum dan gejala cemas); dan 4)Ht/Mean
Corpuscular Volume (MCV) pada akhir trimester dan gejala cemas dan depresi sebelum dan
setelah persalinan dengan hipotesis utama bahwa depresi periantal diikuti dengan rendahnya
kadar Ht.
2. Subjek dan Metode
2.1 Subjek

Kami mengumpulkan subjek ibu hamil pada sebuah klinik antenatal dari bulan September
hingga November 2014. Ibu hamil yang dipilih untuk penelitian ini adalah 1) usia lebih dari
sama dengan 18 tahun, 2) berencana melahirkan dan melakukan follow up postpartum pada
rumah sakit kami, 3) dapat membaca dan menulis bahasa Thailand. Kriteria ekslusi termasuk
pasien dengan kondisi medis atau obstetric yang menghambat kemampuannya untuk
menyelesaikan kuesioner. Subjek dengan HIV positif atau VDRL serologi diekslusikan dari
penelitian. Skrening dari 200 pasien, 126 memenuhi kriteria (usia rata-rata=29.3 tahun,
SD=±6.5) dan dimasukan dalam analisa. 74 ibu hamil diekslusikan. 12 orang lebih muda dari 18
tahun dan 62 ibu hamil berencana melahirkan pada rumah sakit lain diluar Bangkok. Penelitian
ini telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran, Chulalongkorn University, Bangkok,
Thailand dan telah didapatkan informed consent tertulis pada seluruh subjek.

2.2 Pengukuran

Subjek penelitian di evaluasi pada 3 waktu; 1). Trimester ke 3 kehamilan (T1), 2) 2-3 hari
setelah persalinan (T2), dan 3) 4-6 minggu setelah persalinan (T3) dengan penilaian klinis
(psikiatri dan obstetric) dan kuesioner. Pada T1, subjek melengkapi koesioner mengenai
informasi demografis (termasuk usia, status perkawinan, agama, pendidikan, pekerjaan,
tempat tinggal, pemasukan bulanan dan apapun yang mempengaruhi pemasukan secara
adekuat). Pada T1, seluruh subjek melengkapi kuesioner mengenai informasi medis dan
obstetris termasuk usia menarce, siklus menstruasi, riwayat dismenore, substansi yang
digunakan, riwayat aborsi, dll. Seluruh subjek dinilai menggunakan Mini International
Neuropsychiatric Interview (MINI) versi Thailand oleh psikiatri. Dengan menggunakan
MINI kami mendiagnosis riwayat axis 1 gangguan emosi, termasuk riwayat selama hidup
dari depresi (yang menetap lebih dari 2 minggu), depresi setelah melahirkan, distimia,
iritabilitas, penurunan konsentrasi dan gejala psikosomatik (badan lelah, perut kembung,
nafas berat, kelelahan) yang muncul pada fase luteal (setelah ovulasi, 1-2 minggu sebelum
menstruasi) dan membaik dengan menstruasi. Riwayat persalinan dari subjek dinilai dengan
informasi persalinan seperti lamanya persalinan tiap fase, model persalinan, panjang dan
berat badan bayi, apgar score, berat plasenta, dan estimasi perdarahan.
Pada 3 poin waktu, subjek melengkapi EPDS (versi Thailand), terdiri dari 10 item
kuiosioner yang dinilai secara subjektif untuk menilai gejala depresi dari kehamilan dan
posrpartum. Penilaian dinilai menurut skala Likert dengan 4 tingkatan, mulai dari 0 (bukan
semuanya) hingga 3 (selalu), jadi kemungkinan range tiap poin skala adalah 0-30 dengan
nilai tertinggi mengindikasikan keparahan gejala depresi. Subjek dengan nilai EPDS ≥ 11
dikategorikan sebagai subjek dengan depresi prenatal (Pitanupong et al., 2007; Vacharaporn
et al., 2003). Skala BDI terdiri dari 21 item kuisioner yang dinilai sendiri, dinilai pada 3 poin
waktu. Penilian dinilai menurut skala Likert dengan 4 tingkatan, mulai dari 0 hingga 3
tergantung keparahan dari gejela spesifik, jadi kemungkinan range tiap poin skala adalah 0-
63 dengan nilai tertinggi mengindikasikan keparahan depresi; 0-9 mengindikasikan depresi
minimal; 10-18 depresi ringan; 19-29 depresi sedang, dan 30-63 depresi berat (Beck et al.,
1988). Seluruh subjek di wawancara oleh psikiatri untuk menilai gejala depresi menggunakan
HAMD pada 3 poin waktu. Skala HAMD terdiri dari 17 item dari gejala klinis pada
kuesinoer. Nilai total dengan menjumlahkan nilai tiap item, 0-4 (gejala nihil, ringan, sedang,
atau berat) atau 0-2 (nihil, sedikit atau trivial, jelas terlihat). Pada 17 versi item, rangenya
dari 0-54. Nilai tertinggi mengindikasikan gejala depresi dengan keparahan terbesar. Nilai
antara 0-6 artinya tanpa depresi, nilai antara 7-17 depresi ringan, nilai antara 18-24 depresi
sedang, dan nilai diatas 24 artinya depresi berat (Hamilton, 2000). Bagaimanapun, seluruh
subjek mengisi Kennerley and Gath’s Blues Questionnare (KGB), terdiri dari 28 item
kuesioner untuk mengevaluasi status emosional setelah persalinan. Jawaban terdiri dari ya
dan tidak dan kemungkinan range dari nilai KGB adalah 0-28 dengan skor tertinggi berarti
blues maternal dengan keparahan tertinggi (Kennerley and Gath, 1986). Pada 3 poin waktu,
subjek juga mengisi Spielberger’s State-Trait Anxiety Inventory (STAI) versi AS. Terdiri
dari 20 item yang dinilai gejala cemas. Penilian dinilai menurut skala Likert dengan 4
tingkatan, mulai dari 0 (nihil) hingga 4 (banyak), jadi kemungkinan range tiap poin skala
adalah 20-80 dengan nilai tertinggi mengindikasikan keparahan status cemas (Spielberger
and Vagg, 1984). Pada T1 kami juga mengukur kadar Hematokrit (ht) dan MCV
menggunakan penghitung sel automatis dengan koefisien tiap variasi kurang dari 6%.
2.3 Statistik

Analisis tabel kontingensi (X2-uji) digunakan untuk menilai hubungan tiap kelompok.
Perbedaan sosiodemografi, data klinis, kadar Ht dan MCV tiap kelompok dicek
menggunakan analisis variasi (ANOVAs). Analisis regresi biner logistic bertahap telah
digunakan untuk menggambarkan faktor resiko dari depresi prenatal, penilaian tergantung
variable yang mengikuti (dan tanpa depresi prenatal seperti pada tiap kelompok) dan
sosiodemografis dan data klinis dari tiap variable yang telah dijelaskan. Kami menggunakan
pengukuran multivariated berulang (RM) analisis GLM dengan 5 tingkat skala pada T1, T2
dan T3 pada tiap poin waktu tergantung pada interaksi depresi antenatal sebagai faktor resiko
kepada tiap subjek. Jika waktu multivariate dengan diagnosis secara signifikan kami
menggunakan hasil univariat terhadapat subjek analisis GLM untuk menginterpretasi efek
dari waktu dan atau interaksi pada 5 rating skala secara terpisah. Kami menggunakan analisi
GLM multivariate dengan 5 rating skala pada T2 dan T3 tergantung pada variable dan nilai
EPDS T1 dan data klinis lain seperti variable yang telah dijelaskan. Jika signifikan, analisis
GLM univariat digunakan untuk menilai skala T2 atau T3 yang diprediksi dengan nilai EPDS
T1 atau faktor relefan yang lain. Kami menggunakan Uji McNemar untuk mencek perbedaan
pada pengukuran data biner antara T1, T2 dan T3. Ukuran sampel (n=126) tergantung pada
analisis ANOVA menggunakan ukuran efek 0.25 dengan alpha=0.05; kekuatan=0.8 dan 2
kelompok. Menggunakan karekteristik ini pada model RM ANOVA dengan 3 kali
pengulangan pengukuran menunjukkan bahwa kekuatan interaksi waktu dengan diagnosis
sebesar 0.99. tidak pada seluruh pengukuran telah lengkap untuk seluruh variable terkadang
terdapat beberapa tidak adanya informasi pada beberapa data klinis atau sosiodemografis.
Analisi statistic ditunjukkan dengan data actual yang tersedia dan tanpa teknik imputasi.
Semua uji terdiri dari 2 pengikut dan nilai p 0.05 digunakan untuk signifikasi statistik.

3. Hasil

Tabel 1 menggambarkan data sosiodemografi subjek pada penelitian ini. Pasien dengan
depresi antenatal memiliki usia lebih muda daripada yang tidak. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada pendidikan, pemasukan bulanan, kepuasan pemasukan, status pernikahan dan
kehamilan yang diinginkan ataupun tidak diinginkan antara wanita dengan atau tanpa depresi
antenatal. Wanita dengan depresi antenatal memiliki innsidensi PMS lebih tinggi, depresi
postpartum dan depresi selama hidup (depresi umum or distimia). Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara tiap kelompok pada kegawatan, jumlah kehamilan, lama persalinan,
perdarahan saat persalinan, berat plasenta, persalinan sesar, komplikasi persalinan, apgar
score, panjang bayi, Ht, dan MCV.

Tabel 2 menggambarkan hasil dari analisis regresi logistic biner bertingkat otomatis
sebagai variabel dependen dan tanpa depresi sebagai kelompok referensi. Kami memasukkan
seluruh variabel yang terdapat pada tabel 1 sebagai variabel independen, tiga dari variabel
tersebut memberikan hasil signifikan pada analisi regresi logistik (X2=20.79, df+3, p,0.001,
Nagelkerke=0.280). Riwayat depresi dan PMS sebelumnya memiliki hubungan dengan
depresi antenatal, dimana lamanya pendidikan berbanding terbalik dengan depresi antenatal.

Insidensi depresi diukur dengan EPDS (> 11) sebanyak 24.6% (31/126) pada T1, 8%
(9/115) pada T2 dan 5.3% (6/113) pada T3. Dari T1 dan T2 (McNemar test: p=0.001) status
depresi prenatal menghilang pada 24 subjek, sedangkan pada 4 wanita ditemukan depresi
yang persisten, dan 5 lainnya menunjukkan onset baru dari depresi. Dari T1 sampai T3
(McNemar test: p < 0.001) kami menemukan terdapat depresi yang persisten pada 3 wanita
dan 3 wanita dengan onset depresi baru dan status depresi menghilang pada 23 wanita. Dari
T2 ke T3 terdapat 1 wanita dengan depresi persisten dan 5 wanita dengan onset baru depresi
(McNemar test: p=0.774).

Tabel 3 menunjukkan hasil pengukuran 5 skala pada 3 poin waktu dan hasil dari analisis
GLM univariat yang dilakukan pada tiap poin waktu. Subjek dengan depresi antenatal
menunjukan nilai yang tinggi pada 5 skala pada tiap poin waktu dibandingkan dengan wanita
tanpa depresi. Tabel 4 menggambarkan hasil analisi GLM multivariat pengukuran berulang
(RM) dengan 5 skala pada 3 poin waktu sebagai variabel dependen dan waktu dan waktu X
interaksi depresi antenatal yang berefek pada subjek. Uji multivariate menggambarkan
bahwa waktu maupun waktu X interaksi depresi antenatal cukup signifikan. Uji univariat
menggambarkan pada efek waktu yang signifikan pada EPDS, STAI, KGB, dan STAI, tapi
bukan pada HAMD, EPDS, STAI, BDI, dan KGB menurun seiring waktu dan terdapat
perbedaan yang signifikan pada 3 poin waktu. Uji univariat menggambarkan interaksi dari
waktu X depresi antenatal cukup signifikan pada seluruh skala pengukuran (lihat juga Tabel
3). Penurunan nilai skala EPDS, STAI, KGB, dan BDI seiring waktu lebih sering di sebutkan
pada subjek depresi antenatal. Ada penurunan HAMD pada subjek depresi namun tidak pada
subjek tanpa depresi.

Kami juga menilai kegawatan, riwayat depresi postpartum sebelumnya, depresi dan PMS,
tipe persalinan dan persalinan yang tidak diharapkan memilik efek yang signifikan pada
desain analis GLM RM. Kami belum dapat menemukan hasil yang signifikan antara interaksi
waktu dan beberapa variabel. Misalnya, keparahan (F=1.52, df=18/182, p=0.089), depresi
sebelumnya (F=1.52, df=18/182, p=0.089), depresi postpartum sebelumnya (F=1.33,
df=18/182, p=0.175) dan PMS (F=1.18, df=9/91, p=0.316) secara signifikan pada analisis
GLM desain RM.

Tabel 5 menggambarkan hasil dari analisis GLM multivariat dengan 5 skala pada hari ke
2-3 dan minggu ke 4-6 setelah persalinan sebagai variabel dependen dan nilai EPDS
antenatal dan usia, lama pendidikan, pemasukan, kegawatan, jumlah kehamilan, riwayat
depresi postpartum, epresi dan PMS, tipe persalinan, persalinan yang tidak diinginkan, dan
lama persalinan seperti variabel yang dijelaskan. Uji multivariate mengambarkan efek yang
signifikan pada nilai EPDS antenatal menurut pengukuran 5 skala pada 2-3 hari dan 4-6
minggu setelah persalinan. Uji univariat menggambarkan nilai EPDS prenatal berhubungan
secara signifikan dengan nilai 5 skala pada hari ke 2-3 dan 4-6 minggu setelah persalinan.
Memasukan usia, lama masa penddikan, kegawadan, riwayat depresi dan PMS sebelumnya,
tipe persalinan, dll. mengambarkan bahwa variabel tersebut tidak signifikan. Bagaimanapun,
analisis GLM univariat dan analisi regresi logistik tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan antara intervensi sesar, perdarahan saat persalinan, lama persalinan, apgar score,
depresi prenatal, usia, riwayat depresi dan PMS seperti variabel yang telah dijelaskan.

Kami juga telah memeriksa kemungkinan hubungan antara Ht dan MCV dan nilai pada 5
skala setelah dan sebelum persalinan. Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara Ht dan nilai dari EPDS antenatal (r=0.060, p=0.527), STAI (r=0.072, p=0.449), KGB
(r=0.069, p=0.464), BDI (r=-0.049, p=0.603) dan HAMD (r=0.071, p=0.451). tidak adanya
hubungan yang signifikan antara MCV dengan nilai dari EPDS (r=0.091, p=0.334), STAI
(r=0.076, p=0.421), KGB (r=-0.011, p=0.907), BDI (r=0.094, p=0.316) dan HAMD (r=-
0.025, p=0.7931).
Tabel 6 mengambarkan nilai analisis GLM dengan 5 skala pada T2 dan T3 sebagai
variabel dependen dan Ht dan MCV sebagai variabel yang telah dijelaskan. Efek multivariate
menunjukkan efek yang signifikan dari Ht, namun tidak pada MCV, pada skala ukur pada T2
dan T3. Uji univariat menunjukkan bahwa Ht berhubungan secara signifikan dengan EPDS
T2 dan nilai STAI dan nilai EPDS T3, STAI, BDI dan KGB. Efek dari Ht menetap secara
signifikan setelah pengenalan dari depresi antenatal sebagai variabel lain. Misalnya, uji
multivariate menunjukkan efek yang signifikan dari nilai EPDS antenatal (F=6.21, df=5/98,
p<0.001) dan Ht (F=4.00, df=5/98, p=0.002) pada 5 skala pengukuran di T3, sedangkan uji
univariat menunjukkan efek yang signifikan terhadap Ht pada nilai EPDS T3 (F=9.94,
df=1/102, p=0.002), STAI (F=16.51, df=1/102, p<0.001), KGB (F=9.05, df=1/102, p=0.003)
dan BDI (F=4.13, df=1/102, p=0.045) namun tidak pada nilai HAMD (F=2.15, df= 1/102,
p=0.145).

4. Diskusi

Penemuan pertama pada penelitian ini adalah depresi prenatal berhubungan dengan
beberapa faktor resiko sosiodemografi, termasuk usia muda dan kurangnya pendidikan serta
faktor resiko klinis lainnya, contohnya riwayat depresi (depresi umum + distimia), depresi
postpartum dan PMS. Berlawanan dengan penemuan kami dilaporkan bahwa usia muda
adalah salah satu faktor protektif (Zeng et al., 2015). Namun pada analisis regresi logistic
bivariate otomatis termasuk pendidikan, dan riwayat depresi dan PMS, usia bukan
merupakan variabel yang secara signifikan berhubungan dnegan depresi antenatal. Kami
tidak dapat menemukan hubungan antara depresi antenatal dan data sosiodemografi seperti
pemasukan, kepuasan terhadap pemsukan dan status pernikahan (cerai dan single degan
menikah). Bagaimanapun kami tidak mendapatkan bukti untuk kemungkinan hubungan
antara data sosiodemografis dan depresi prenatal seperti yang dijelaskan pada studi
sebelumnya, misalnya masalah finansial (Yusuff et al., 2015; Zeng et al., 2015). Pada
penelitian sebelumnya (Zeng et al., 2015) kami tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara kehamilan yang tidak diinginkan dengan depresi antenatal. Riwayat aborsi dan siklus
menstruasi yng irregular sebagai faktor resiko lain yang berhubungan dengan depresi
antenatal (Yusuff et al., 2015; Zeng et al., 2015). Namun kami menemukan hubungan yang
signifikan antara depresi antenatal dan riwayat aborsi meskipun terdapat hubungan yang
signifikan dengan riwayat depresi dan depresi posrpartum (Beck, 1996, 2001; Cohen and
Nonacs, 2005; Field et al., 2010; Stewart et al., 2003).. sebaliknya pada depresi postpartum
(Kakyo et al., 2012), kami menemukan hubungan yang signifikan antara depresi prenatal dan
kelahiran dan jumlah kehamilan. Dan juga pada penelitian meta-analisis yang memasukkan 7
studi dan terdiri dari 2000 persalinan tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara depresi postpartum dan persalinan (Beck, 2001; O’Hara and Swain, 1996).

Penemuan kedua dari penelitian ini adalah depresi antenatal dan depresi serta tingkat
kecemasan pada trimester akhir tidak signifikan memprediksi konsekuensi obstetric,
termasuk intervensi sesar, perdarahan selama persalinan, lama persalinan, dan komplikasi
persalinan, dan karakteristik keluaran neonates, termasuk apgar score dan panjang bayi.
Penelitian lain menemukan depresi antenatal mungkin dihubungkan dengan peningkatan
insidensi intervensi sesar (Bayrampor et al., 2015; Hu et al., 2015) dan berat badan bayi
rendah (Henrichs et al., 2010). Seperti pada Grigoriadis et al., (2013) kami tidak menemukan
hubungan yang signifikan antara gejala depresi antenatal dengan apgar score yang bernilai 1
dan 5.

Penemuan lain pada penelitian ini adalah depresi antenatal dan kecemasan (EPDS, KGB,
STAI, dan BDI), namun tidak pada nilai HAMD yang menurun secara signifikan setelah 4-6
minggu persalinan daripada sebelumnya dan insidensi depresi menurun secara signifikan dari
T1 (23.8%) ke T2 (7.8%) dan T3 (5.3%). Insidensi depresi prenatal dibuktikan pada
penelitian ini dalam range yang ditemukan pada penelitian lain, misalnya anatar 10% dan
66% (Cankorur et al., 2015; Srinivasan et al., 2015; Yusuff et al., 015; Zeng et al., 2015).
Pada penelitian kami depresi maternal persisten pada 3 wanita yang menderita depresi
prenatal, meskipun onset awal depresi postnatal terlihat pada 3 wanita. Hal ini mempengaruhi
23 dari 31 wanita dengan depresi prenatal inisial yang meningkat pada 4-6 minggu setelah
persalinan. Cankorur et al., (2015) pada hal lain ditemukan bahwa depresi antenatal persisten
pada 49.7% dari wanita (Cankorur et al., 2015), sedangkan onset baru depresi postpartum
terjadi pada 13.9% wanita. Kesimpulannya, pada penelitian kami depresi prenatal lebih tinggi
prevalensinya daripada depresi postpartum dan keparahan depresi dan kecemasan lebih besar
pada trimester akhir daripada setelah persalinan. Pada beberapa kondisi, ada penurunan yang
cukup tinggi pada nilai skala wanita dengan depresi antenatal yang dibandingkan dengan yag
tidak. Menariknya terdapat perbedaan antara peningkatan skala pada akhir trimester hingga
masa postnatal. Dengan demikian, peningkatan HAMD hanya sedikit berbeda dengan skala
instrument yang lainnya, missal wawancara (HAMD) dengan skala yang dinilai sendiri
(semua skala ukur lainnya). Bagaimanapun, kemungkinan dari HAMD pada tingkat yang
lebih rendah kurang sensitive dibandingkan alat ukur yang dinilai sndiri untuk mengukur
perubahan emosi dari trimester akhir hingga massa postnatal.

Yang paling penting, kami menemukan bahwa depresi prenatal dan gejala depresi dapat
memprediksi depresi postpartum dan gejala kecemasan (p<0.001). hal ini mendukung
penelitian sebelumnya bahwa depresi prenatal menjadi faktor resiko depresi postnatal
kedepannya (lihat pendahuluan; Clout and Brown, 2015; Eberhard-Gran et al., 2014;
Lefkovics et al., 2014; Leigh and Milgrom, 2008; Robertson et al., 2004; Tachibana et al.,
2015). Namun, hasil penelitian kami mendukung hipotesis bahwa persalinan memberikan
efek positif dari depresi dan gejala cemas dan depresi postpartum dan gejala cemas
ditetapkan dengan gejala prenatal. Telah dijelaskan secara berbeda bahwa mungkin depresi
prenatal dan postnatal ditunjukkan sebagai depresi perinatal atau maternal untuk
menyimpulkam bahwa depresi postnatal sebagai konsekuensi gejala prenatal. Hasil penelitian
kami mungkin berbeda dengan pandangan umum yang mengatakan bahwa masa postnatal
adalah masa dengan risiko tertinggi terjadinya depresi.

Penemuan yang disebutkan diatas menyarankan patofisiologi dari depresi postnatal


berhubungan kuat untuk merubah masa antenatal dan patofisiologi depresi antenatal. Dalam
hal ini, kami menemukan bahwa peningkatan kadar Ht pada trimester akhir berhubungan
secara signifikan dengan depresi postnatal dan gejala cemas, meskipun tidak ditemukannya
hubungan yang signifikan dengan data klinis prenatal. Yang menarik, peningkatan kadar Ht
berhubngan dengan 4 skala yang dinilai sendiri namun tidak pada nilai HAMD. Hal ini juga
menyarankan bahwa HAMD kurang sensitive untuk mengukur perubahan emosi dari akhir
trimester hingga periode postnatal seperti pada skala yang dinilai sendiri. Biomarker pada
depresi umum misalnya penurunan ht (Maes et al., 1996; Rybka et al., 2013) tidak ditemukan
pada depresi prenatal, pada depresi postpartum dan gejala cemas diprediksi dengan
peningkatan nilai Ht (Maes et al., penelitian terdiri dari 38 pasien depresi dan 15 subjek
sehat, sedangkan Rybka et al. penelitian terdiri dari 15 pasien depresi dan 19 kontrol).
Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar hemoglobin yang rendah (<11 g/dL) pada
peningkatan resiko persalinan depresi postpartum (Goshtasebi et al., 2013). Corwin et al.,
(2003) ditemukan hubungan yang berbanding terbalik antara konsentrasi hemoglobin 7 hari
setelah persalinan dan gejala depresi pada hari ke 28 (Corwin et al., 2003). Beard et al.,
(2005) melaporkan defisiensi iron maternal berhubungan dengan fungsi kognitif postpartum
dan perubahan emosi termasuk depresi dan kecemasan (Beard et al., 2005). Di Cina, tidak
ditemukannya hubungan yang signifikan antara status iron maternal dan depresi postnatal
(Armony-Sivan et al., 2012).

Namun, hasil penelitian kami tidak sesuai dengan hipotesis utami yang mengatakan
depresi perinatal diikuti oleh kadar Ht yang rendah yang mengindikasikan aktivasi sistem
imun. Kami menemukan beberapa bukti bahwa kadar Ht (dan MCV) pada akhir trimester
tidak berhubungan dengan biomarker imunitas lainnya, termasuk kadar zinc serum,
haptoglobin, C-reactive protein dan respon autoimun IgA/IgM terhadap katabolit triptopan,
termasuk kynurenine, asam quinolinik, asam picolinik dan asam kynurenik
(Roomruangwrong et al., data pribadi). Hal ini menunjukkan kadar Ht pada trimester ke tiga
tidak berhubungan dengan aktifasi jalur imun inflamasi. Jadi hubungan antara Ht pada
trimester akhir dan gejala depresi postnatal tidak dapat dijelaskan dengan adanya aktifasi
jalur imun inflamasi pada akhir trimester. Kemungkinan lain adalah Ht berefek terhadap
stress psikososial (peningkatan depresi dan tingkat kecemasan), yang diketahui dapat
meningkatkan kadar Ht. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa stress mental dapat
meningkatkan kadar Ht pada pasien hipertensi dan sukarelawan sehat (Jern et al., 1989;
Kitahara et al., 1988). Pemeriksaan untuk stress suatu stressor psikososial meningkatkan Ht
dan MCV, stress menimbulkan peningkatan Ht dan MCV dan berhubngan dengan
peningkatan cemas dan stress (Maes et al., 1998). Namun kadar Ht pada akhir trimester tidak
berhubungan dengan depresi dan tingkat kecemasan pada akhir trimester. Selama kehamilan
dari minggu ke 8 sampai minggu ke 16-22, nilai Ht menurun secara bertahap dari 40-50%,
peningkatan volum plasma, yang yang dikompensasi dengan peningkatan kebutuhan sirkulasi
dari organ maternal (Cantagallo et al., 1997; Faupel-Badger et al., 2007). Nilai Ht pada
trimester ke tiga lebih rendah dari wanita yang tidak hamil (Abbassi-Ghanavati et al., 2009).
Bagaimanapun, perubahan pada Ht maternal, termasuk elevasi dan reduksi, peningkatan
resiko dari obstetric postnatal dan komplikasi neonates (Nasiri-Amiri et al., 2007). Misalnya,
peningkatan Ht atau penurunan reduksi kadar Ht selama kehamilan dapat memicu
preeclampsia (Khoigani et al., 2012). Jadi hasil dari penelitian kami menyarankan bahwa
jalur penurunan reduksi pada Ht dan ekspansi volum plasma (PVE) dapat dihubungkan
dengan depresi maternal di masa mendatang. Penelitian berikutnya dianjurkan memeriksa
hubungan antara jalur penyangga pada perubahan PVE dan depresi postnatal.

Kekurangan dari penelitian ini adalah penelitian relatif kecil walaupun analisis utama
tergantung pada kekuatan 0.8 untuk ANOVAs dan 0.99 untuk desain ANOVAs pengukuran
berulang, hal ini lebih informatif termasuk jumlah sel darah merah (RBC), hemoglobin (Hb)
MC Hb (MCH), konsentrasi MC Hb (MCHC) dan RBC distribution widhth (RDW).
TELAAH JURNAL

DEPRESI ANTENATAL DAN KADAR HEMATOKRIT SEBAGAI PEMICU DEPRESI


POSTPARTUM DAN GEJALA CEMAS

I. PROBLEM
1. Depresi maternal merupakan salah satu penyebab terbanyak angka kesakitan
2. Depresi postpartum terjadi pada 10-28% wanita pada 3 bulan pasca persalinan.
3. Depresi dapat disertai dengan aktifasi jalur imunitas-inflamasi sehingga dapat
dihubungkan dengan perubahan sekunder dari erythron dan metalisme iron dimana
rendahnya hemoglobin, hematocrit (ht) dan kadar iron

II. INTERVENSI
1. Subjek pada penelitian ini adalah 200 pasien, dimana 126 pasien diantaranya diikutkan
dalam penelitian karena memenuhi kriteria inklusi, kemudian dilakukan analisa terhadap
variabel-variabel yang diteliti.
2. Evaluasi pada pasien dilakukan pada trimester ke 3 kehamilan (T1), 2-3 hari setelah
persalinan (T2), dan 4-6 minggu setelah persalinan (T3) dengan melakukan penilaian
klinis (psikiatri dan obstetric) dan kuesioner.
3. Pada saat T1 juga dilakukan mengukur kadar Hematokrit (ht) dan MCV dengan
menggunakan penghitung sel automatis
4. Analisis tabel kontingensi (X2-uji) digunakan untuk menilai hubungan tiap kelompok
5. Analisis variasi (ANOVAs) digunakan untuk menilai perbedaan sosiodemografi, data
klinis, kadar Ht dan MCV dari tiap kelompok
6. Instrumen penelitian yang digunakan pada semua tahap (T1, T2, T3) meliputi:
a. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)
b. Spielberger's State Anxiety Inventory (STAI)
c. Kennerley and Gath Maternity Blues Assessment Scale (KGB)
d. Beck Depression Inventory (BDI)
e. Hamilton Depression Rating Scale (HAMD)
III. COMPARE
Studi ini meneliti hubungan antara:
1. Depresi antenatal dan sosiodemografi (usia, pendidikan, finansial, status menikah,
kehamilan yang tidak diinginkan) dan faktor resiko klinis (jumlah persalinan, kehamilan
ke berapa, riwayat depresi sebelumnya, premenstrual tension syndrome (PMS) dan
depresi postpartum)
2. Depresi antenatal dan obstetri (caesarian, perdarahan, lama persalinan, komplikasi
persalinan) dan keluaran neonatus (apgar scorespanjang bayi)
3. Depresi antenatal dengan kesehatan mental pada masa post partum (postpartum
blues, depresi posrpartum dan gejala cemas)
4. Ht/Mean Corpuscular Volume (MCV) pada akhir trimester dan gejala cemas dan
depresi sebelum dan setelah persalinan dengan hipotesis utama bahwa depresi perinatal
diikuti dengan rendahnya kadar Ht.

IV. OUTCOME
1. Insidensi depresi diukur dengan EPDS (> 11) sebanyak 24.6% (31/126) pada T1, 8%
(9/115) pada T2 dan 5.3% (6/113) pada T3
2. Depresi prenatal berhubungan dengan beberapa faktor resiko sosiodemografi, rmasuk
usia muda dan kurangnya pendidikan serta faktor resiko klinis lainnya, contohnya
riwayat depresi (depresi umum + distimia), depresi postpartum dan PMS
3. Tidak ditemukan hubungan antara depresi antenatal dan data sosiodemografi seperti
pemasukan, status pernikahan , masalah finansial, kehamilan yang tidak diinginkan
4. Hubungan yang signifikan antara depresi antenatal dan riwayat aborsi
5. Depresi antenatal serta tingkat kecemasan pada trimester akhir tidak signifikan
memprediksi konsekuensi obstetric, termasukintervensi sesar, perdarahan selama
persalinan, lama persalinan, dan komplikasi persalinan, dan karakteristik keluaran
neonates, termasuk apgar score dan panjang bayi
6. Depresi prenatal dan gejala depresi dapat memprediksi depresi postpartum dan gejala
kecemasan
7. Peningkatan kadar Ht pada trimester akhir berhubungan secara signifikan dengan
depresi postnatal dan gejala cemas, maka dari itu hasil penelitian tidak sesuai dengan
hipotesis utama yang mengatakan depresi perinatal diikuti oleh kadar Ht yang rendah
yang mengindikasikan aktivasi sistem imun
8. Depresi antenatal serta tingkat kecemasan pada trimester akhir tidak signifikan
memprediksi konsekuensi obstetric, termasuk intervensi sesar, perdarahan selama
persalinan, lama persalinan, dan komplikasi persalinan, dan karakteristik keluaran
neonates, termasuk apgar score dan panjang bayi
9. Depresi prenatal dan gejala depresi dapat memprediksi depresi postpartum dan gejala
kecemasan

V. VALADITY
1. Penelitian berfokus pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara
depresi antenatal dan sosiodemografi, depresi antenatal dan obstetri, depresi antenatal
dengan kesehatan mental pada masa post partum , serta Ht/ Mean corpuscular Volume
(MCV) pada akhir trimester dan gejala cemas dan depresi sebelum dan setelah persalinan
2. Subjek penelitian diambil sesuai dengan tujuan penellitian yaitu sebanyak 126 ibu hamil
pada sebuah klinik antenatal dari bulan September hingga November 2014 yang dipilih
berdasarkan kriteria inklusi penelitian

VI. IMPORTANCE
1. Penelitian ini dinilai penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat berhubungan
dengan terjadinya depresi antenatal. Bila faktor yang diteliti berpengaruh tersebut dapat
dieliminasi, didapatkanlah pengupayaan tindakan pencegahan sebelum terjadinya depresi
antenatal sehingga angka kesakitan yang mengganggu fungsi maternal dan keluaran
neonatal dapat ditekan.

VII. APPLICABLE
1. Penelitian ini menggunakan berbagai macam instrumen dalam menggali faktor-faktor
risiko yang terkait sehingga kurang dapat diterapkan, hasil penelitian terhadap nilai
hematokrit juga berlawanan dengan hipotesis utama dan penelitian-penelitian
sebelumnya, sehingga jurnal ilmiah ini dapat menjadi pertimbangan dalam menerapkan
tingkat hematokrit sebagai prediksi depresi antenatal.

Anda mungkin juga menyukai