Anda di halaman 1dari 7

ABOUT BUKITTINGGI…

Bukittinggi is one of the larger cities in West Sumatra, Indonesia, with a population of
over 91,000 people and an area of 25.24 km². It is situated in the Minangkabau
highlands, 90 km by road from the West Sumatran capital city of Padang. It is located
at 0°18′20″S 100°22′9″E / 0.30556°S 100.36917°E, near the volcanoes Mount
Singgalang (inactive) and Mount Marapi (still active). At 930 m above sea level, the city
has a cool climate with temperatures between 16.1°-24.9°C.

Bukittinggi adalah salah satu kota luas di Sumatra Barat dengan populasi lebih dari
91.000 jiwa dan luasnya adalah 25.24 km2. Bukittinggi berlokasi di daerah minangkabau,
90 km dari ibukota Sumatra Barat, Padang. Lokasi Bukittinggi terletak pada 0°18′20″S
100°22′9″E / 0.30556°S 100.36917°E, berdekatan dengan Gunung Singgalang (tidak
aktif) dan Gunung Merapi (aktif). Bukittinggi beriklim dingin dengan suhu antara 16.1°-
24.9°C, dan terletak pada ketinggian 930 m diatas permukaan laut.

History
SEJARAH

Bukittinggi city began to stand in line with the arrival of the Dutch who later
founded the fort in 1825 during the Padri War in one of the hill contained in
this town, known as the fortress Fort de Kock, as well as a resting place for the
Dutch officers who were in area towns. Later in the reign of the Dutch East
Indies, this area always increased role in state administration which later
developed into a Stadsgemeente (city), and also served as the capital Afdeeling
Padangsche Bovenlanden and Onderafdeeling Oud Agam.

Kota Bukittinggi mulai berdiri sejalan dengan kedatangan Belanda yang kemudian
mendirikan benteng pada tahun 1825 selama Perang Padri di salah satu bukit yang
terdapat di kota ini, yang dikenal sebagai benteng Fort de Kock, serta sebagai tempat
peristirahatan bagi para tentara Belanda yang berada di wilayah kota. Kemudian pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini selalu meningkatkan peran dalam
administrasi negara yang kemudian berkembang menjadi Stadsgemeente (kota), dan juga
menjabat sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud
Agam.

During the Japanese occupation, the town of Bukittinggi used as a control


center for the region of Sumatra military government, even to Singapore and
Thailand, where the city became the seat of the military commander to 25
Kenpeitai, under the command of Major General Hirano Toyoji. Later town
changed its name from Fort de Kock Stadsgemeente be Bukittinggi The Yaku
Sho, whose land extended to include village-like surrounding villages Sianok
Anam Tribe, Gadut, Kapau, Ampang Tower, Bukit Batu Taba and Batabuah. Now
the village-the village into the Agam regency.

Selama pendudukan Jepang, kota Bukittinggi digunakan sebagai pusat kontrol untuk
wilayah Sumatera pemerintahan militer, bahkan ke Singapura dan Thailand, dimana kota
menjadi tempat komandan militer untuk 25 ‘Kenpeitai’, di bawah komando Mayor
Jenderal Hirano Toyoji . Kemudian kota berubah nama dari Fort de Kock menjadi
Bukittinggi Stadsgemeente Yaku Sho The, yang tanahnya diperluas untuk mencakup desa
seperti desa-desa sekitarnya Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Menara, Bukit
Batu Taba dan Batabuah. Sekarang desa-desa Kabupaten Agam ke dalam.

After the independence of Indonesia, was elected Bukittinggi Sumatra's


provincial capital, with its governor Mr. Teuku Muhammad Hasan. Then
Bukittinggi is also defined as an area of city government based on the
assessment of Sumatra Province Governor No. 391 dated June 9, 1947.

Setelah kemerdekaan Indonesia, terpilih ibukota provinsi Sumatera adalah


Bukittinggi, dengan gubernurnya Mr Teuku Muhammad Hasan. Kemudian
Bukittinggi juga didefinisikan sebagai daerah pemerintah kota berdasarkan
penilaian dari Propinsi Sumatera Gubernur No 391 tanggal 9 Juni.

At times defend the independence of Indonesia, the City Bukitinggi role as the
city struggles, where on 19 December 1948, the city is designated as the capital
city of Indonesia after the Yogyakarta fall into the hands of the Dutch or
known by the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI). Later
on, the event was designated a State-Defense Day, according to the Republic of
Indonesia Presidential Decree No. 28 of 2006 dated December 18, 2006.

Pada saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan


sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini
ditunjuk sebagai ibu kota Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda
Pemerintah Darurat Belanda atau yang dikenal Republik Indonesia (PDRI).
Kemudian, hari tersebut ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, menurut Republik
Indonesia Nomor Keputusan Presiden 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006
During the Indonesian National Revolution, the city was the headquarters for
the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) from December
19, 1948 to July 13, 1949.

Selama revolusi nasional Indonesia, Indonesia merupakan ibukota darurat


Republik Indonesia dari tanggal 19 Desember 1948 sampai tangal 13 Juli 1949.

The city was officially renamed Bukittinggi in 1949, replacing its colonial name.
From 1950 until 1957, Bukittinggi was the capital city of a province called
Central Sumatra, which encompassed mencakup West Sumatra, Riau and Jambi.

Kota Bukittinggi berganti nama dengan nama ‘Bukittinggi’ pada tahun 1949, yang
merupakan pengganti dari nama jajahan. Dari tahun 1950 sampai 1957,
Bukittinggi adalah ibukota provinsi yang disebut dengan Central Sumatra, yang
mencakup Sumatra Barat, Riau dan Jambi.

Administration

Bukittinggi is divided in 3 subdistricts (kecamatan), which are further divided


into 5 villages (nagari) and 24 kelurahan. The subdistricts are: Guguk Panjang,
Mandiangin Koto Selayan, and Aur Birugo Tigo Baleh.

Bukittinggi terbagi menjadi 3 kecamatan, dengan pembagian 5 desa (nagari) dan


24 kelurahan. Kecamatan tersebut antara lain : Guguk Panjang, Mandiangin Koto
Selayan dan Aur Birugo Tigo Baleh.

Transportation

Bukittinggi is connected to Padang by road, though a dysfunctional railway line


also exists. For inner-city transport, Bukittinggi employs a public transportation
system known as Mersi (Merapi Singgalang) and IKABE that connect locations
within the city. The city also still preserves the traditional horse-cart widely
known in the area as Bendi, although the use is limited and more popular to be
used as vehicle for tourist, both domestic and foreign.

Bukittinggi dihubungkan dengan Padang melalui jalan raya meskipun jalur kereta
api ada, namun di disfungsionalkan. Untuk transportasi dalam kota, Bukittinggi
menggunakan sistem transportasi umum yang dikenal sebagai Mersi (Merapi
Singgalang) dan IKABE yang menghubungkan lokasi dalam kota. Kota ini juga
masih mempertahankan tradisional kuda yang dikenal sebagai Bendi, meskipun
penggunaan yang terbatas dan lebih populer untuk digunakan sebagai kendaraan
bagi wisatawan, baik domestik dan asing.
Tourism

It is a city popular with tourists due to the climate and central location.
Attractions within the city include:

Kota Bukittinggi terkenal denga kota wisata karena iklim dan lokasinya. Tempat
wisata dalam kota meliputi:

Sianok Canyon

Lobang Jepang : a network of underground bunkers & tunnels built by the Japanese during
World War II

Jam Gadang : a large clock tower built by the Dutch in 1926

Pasar Atas and Pasar Bawah: traditional markets in downtown

Bundo Kanduang park: The park includes a replica Rumah Gadang (literally: big house, with
the distinctive Minangkabau roof architecture) used as a museum of Minangkabau culture,
and a zoo. The Dutch hilltop outpost Fort de Kock is connected to the zoo by the Limpapeh
Bridge pedestrian overpass.

Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta (Museum of Bung Hatta Birthplace) : the house
where Indonesian founding father Mohammad Hatta was born, now a museum.
Jam Gadang

Jam Gadang adalah nama untuk sebuah menara jam yang terletak di jantung
kota Bukittinggi, provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Masayarakat setempat
menamakannya "Jam Gadang", oleh karena menara jam ini memiliki 4 buah jam
dengan ukuran yang besar; dimana "gadang" dalam bahasa Indonesia memiliki arti
"besar".

Sejarah

Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh seorang arsitek bernama Yazid
Sutan Gigi Ameh. Jam Gadang ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada
Rook Maker.

Sedemikian fenomenalnya, sejak dibangun dan sejak berdirinya, Jam Gadang


telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam
Gadang dijadikan sebagai penanda atau markah tanah kota Bukittinggi dan juga
sebagai salah satu ikon provinsi Sumatera Barat. Selain itu, ruangan bawah Jam
Gadang juga pernah dijadikan sebagai loket karcis, pos polisi, dan gudang pada
tahun 1970.

Pembangunan Jam Gadang konon menghabiskan biaya pembangunan dengan total


sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu.
Namun hal itu terbayar dengan terkenalnya Jam Gadang sebagai markah tanah
yang sekaligus juga menjadi ikon kota Bukittinggi. Selain itu, Jam Gadang juga
ditetapkan sebagai titik nol kota Bukittinggi.
Sejak didirikannya, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada
bentuk atapnya. Awal didirikan di masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada
Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah
timur di atasnya. Kemudian di masa pemerintahan pendudukan Jepang berbentuk
klenteng. Dan sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, atap pada Jam Gadang
berbentuk atap pada rumah adat Minangkabau (Rumah Gadang).

Renovasi terakhir yang dilakukan adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian
Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan
kedutaan besar Belanda di Jakarta, dan diresmikan tepat pada ulang tahun kota
Bukittinggi yang ke 262 pada tanggal 22 Desember 2010.

Stuktur

Luas denah dasar dari Jam Gadang adalah 13 x 4 meter, dengan tinggi menara 26
meter. Sementara itu empat buah jamnya yang didatangkan dari Rotterdam,
Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur digerakkan oleh mesin secara mekanik dan
memiliki diameter masing-masing 80 cm. Konon mesin pada Jam Gadang hanya
dibuat dua unit di dunia; Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris.

Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen.
Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Keunikan dari Jam Gadang
sendiri adalah pada kesalahan penulisan angka Romawi empat ("IV") pada masing-
masing jam yang tertulis "IIII". Dimana kesahalan penulisan seperti itu juga
sering terjadi di belahan dunia, seperti angka 9 yang ditulis "VIIII" (seharusnya
"IX") ataupun angka 28 yang ditulis "XXIIX" (seharusnya "XXVIII").

History

The structure was built in 1926 during the Dutch colonial era, as a gift from the
Queen to city's controleur. It was designed by architects Yazin and Sutan Gigi
Ameh. Originally a rooster figure was placed on the apex, but it was changed
into a Jinja-like ornament during the Japanese occupation of Indonesia.
Following Indonesian independence, it was reshaped to its present form
resembling traditional Minangkabaun roofs (see Rumah gadang). It is said to
have cost 3,000 Guilder.
Clock structure

Each clock face has a diameter of 80 centimeters. Its base is 13 metres long
and 4 metres wide, and it stands 26 metres tall.

One unique feature of the clock is that it uses "IIII" for the number 4 instead
of the traditional Roman number "IV". Based on a local story, the figure four
made of four vertical lines represents the four persons who died while
constructing the building.

The laying of the Jam Gadang cornerstone was done by the 6-year-old son of
Rook Maker, the city secretary of Bukittinggi at the time.

Anda mungkin juga menyukai