Disusun oleh:
Kelompok 7
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial skenario E dalam blok 28
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2018. Di sini kami
membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan sistematikanya
mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau ulang dan menyusun
keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran. Bahan laporan ini kami
dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun
materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Kelompok 7
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Skenario Kasus
Tuan. X, kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
Sakit tipe A oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran. Riwayat
penyakit pasien diketahui batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan mulai sesak
3 hari terakhir.
5
I. Klarifikasi Istilah
6
II. Identifikasi Masalah
No. Kenyataan Kesesuaian Konsen
7
III. Analisis Masalah
1. Tuan. X, kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
Sakit tipe A oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran.
a) Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan Tuan X?
Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia di atas 50 tahun, dan
penderita gangguan sistem kekebalan. Batuk, demam, dan sesak yang dialami
oleh Tuan X merupakan gejala dari pneumonia. Pneumonia semakin sering
dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan insidennya lebih banyak pada laki-
laki, namun untuk angka mortalitas lebih tinggi pada wanita. Dengan demikian
usia dan jenis kelamin pada kasus ini termasuk kedalam faktor risiko timbulnya
pneumonia dengan keluhan yang dialami oleh Tuan X.
c) Bagaimana cara melakukan penilaian kesadaran (GCS & AVPU atau yang
lain)?
GCS (Glasgow Coma Scale)
GCS dipakai untuk menentukan derajat cedera kepala. Reflek membuka mata,
respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika
kurang dari 13, maka dikatakan seseorang mengalami cedera kepala, yang
menunjukan adanya penurunan kesadaran.
8
Eye (respon membuka mata) :
(4): spontan
(3): dengan rangsangan suara (suruh pasien membuka mata).
(2): dengan rangsangan nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari, menekan sternum, menekan dengan jari pada supraorbita).
(1): tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5): orientasi baik. (Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tidak ada
disorientasi waktu dan tempat)
(4): bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang), terdapat
disorientasi tempat dan waktu.
(3): kata-kata saja (Dapat berbicara dalam kata-kata, namun tidak dalam kalimat
dan tidak tepat)
(2): suara tanpa arti (mengerang)
(1): tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6): mengikuti perintah
9
(5): melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri). Bila oleh rangsangan nyeri pasien mengangkat tangannya sampai
melewati dagu untuk maksud menepis rangsangan tersebut berarti ia dapat
mengetahui lokasi nyeri.
(4): menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(3): flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2): extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1): tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
EVM. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Keterangan :
- Penurunan kesadaran ringan GCS : 13-15
- Penurunan kesadaran sedang GCS : 9-12
- Penurunan kesadaran berat GCS : 3-8
- Alert - berarti membuka mata spontan, fungsi motorik berbicara dan utuh,
misalnya anggota badan bergerak.
- Voice - merespon bila diajak bicara, misalnya bicara mendengus atau
aktual.
- Pain - merespon rasa sakit, misalnya menggosok sternum.
- Unresponsive - jika tidak ada respon terhadap rasa sakit, yaitu tidak ada
gerakan mata, suara atau motorik.
10
- Tidak membantu dalam pengelolaan pasien dengan penurunan
berkepanjangan dalam kesadaran.
- Meskipun digunakan dalam kasus-kasus keracunan, itu kurang baik pada
pasien di bawah pengaruh alkohol.
- AVPU lebih mudah digunakan daripada GCS tetapi mungkin tidak
mengidentifikasi perubahan halus kadang-kadang terlihat pada pasien
bangsal di mana kesadaran mungkin diubah oleh gangguan metabolik,
hipoksia atau hipotensi bukan oleh penghinaan traumatis langsung
- Tidak ada satu pun skor yang lebih sederhana yang menggantikan GCS
untuk evaluasi formal pasien yang sakit kritis. AVPU tidak memadai untuk
mendeteksi perubahan awal pada tingkat kesadaran yang dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit kritis. Tidak jelas bagaimana cara menilai pasien
yang bingung atau terdisorientasi yang jelas memiliki tingkat kesadaran
yang berubah tetapi mungkin tidak menanggapi suara.
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil
yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa
kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah
tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).
11
5. Stupor, yaitu tingkat kesadaran seperti tertidur lelap, tetapi orang tersebut
masih ada respon terhadap nyeri.
6. Coma, yaitu tingkat kesadaran yang tidak bisa dibangunkan, dimana orang
tersebut tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon
kornea mata maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya).
2. Riwayat penyakit pasien diketahui batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan
mulai sesak 3 hari terakhir.
a) Apa hubungan riwayat penyakit pasien dengan keluhan pada Tn X saat ini?
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif yang
berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi
penyebab septicemia. Riwayat penyakit pasien menunjukkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan, kemungkinan besar pnemunonia. Adanya infeksi ditambah
tanda-tanda SIRS dapat menunjukkan telah terjadi sepsis pada pasien ini.
b) Apa makna klinis mulai sesak 3 hari terakhir pada kasus ini?
Riwayat batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan sesak 3 hari terakhir
merupakan gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami
infeksi saluran pernapasan. Pasien dengan riwayat infeksi saluran pernapasan
salah satu penyebab paling umum dari terjadinya sepsis. Infeksi saluran napas
akut yang paling sering menjadi penyebab sepsis adalah pneumonia.
12
Tabel 1. Penyebab tersering Pneumonia yang didapat di masyarakat dan
nosokomial.
LOKASI
PENYEBAB
SUMBER
Strepcoccus pneumoniae
Adenovirus
Escherichia coli
Klebsiella pneumoniae
Rumah Sakit
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 mm melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi
ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
13
Setelah mikroba samapai ke saluran napas bawah, maka ada empat rute masuknya
mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu:
14
SPO2: 92,5% (dengan udara 95-100% Abnormal
bebas)
(Saturasi oksigen menurun)
Gerakan thoraks statis dan Gerakan thoraks Normal, tidak ditemukan
dinamis: simetris statis dan dinamis: gangguan pada dinding
simetris thorax yang dapat
mengakibatkan gangguan
respirasi.
Auskultasi paru: vesikuler (+) Auskultasi paru: Tidak ada penyempitan jalan
normal, ronkhi basah sedang vesikuler (+) normal, napas, tapi terdapat bunyi
paru kanan, tidak ada tidak ada ronkhi, tambahan ronkhi basah,
wheezing tidak ada wheezing disebabkan oleh adanya
sekret di dalam alveoli atau
bronkiolus sehingga udara
yang masuk saat inspirasi
akan melewati media cair
sehingga timbul suara ronkhi
basah. Ronkhi basah halus
dan sedang terdapat pada
pneumonia dan edema paru,
sedangkan ronkhi basah
kasar misalnya pada
bronkiekstatis.
Nadi: 145x/menit (isi dan 60-100x/menit (isi Abnormal (takikardia)
tegangan kurang) dan tegangan cukup)
TD: 70/50 mmHg, Akral ≤120/80; akral Hipotensi; warm sepsis
hangat merah hangat
CRT (Capillary Refill Time) 4 CRT ≤ 2 detik CRT memanjang; terdapat
detik gangguan perfusi (aliran
darah) ke jaringan perifer.
Laktat 4,3 mmol/L Darah Arteri: 0,5 - Meningkat, jaringan tubuh
2,0 mmol/l, <11,3 tidak mendapatkan cukup
mg/dl. oksigen (syok)
15
Darah Vena: 0,5 - 1,5
mmol/l, 8,1 - 15,3
mg/dl
Respond to verbal (Skala Alert and oriented Pasien hanya merespon
AVPU) (menjadi fully alert atau
partially alert) jika diberi
rangsangan verbal seperti
panggilan atau teriakan
pasien mengalami gangguan
kesadaran
GCS E3M5V3 GCS E4M6V5 Terjadi penurunan kesadaran
(delirium)
Temperatur: 39,5°C 36.5-37.2°C Abnormal (Hiperpireksia)
Skor Quick SOFA = 3 Skor ≥2: Abnormal, terdapat disfungsi
mengindikasikan organ; sepsis
terdapat disfungsi
organ
16
manis, sakit perut, mual atau muntah, kebingungan, dan koma), untuk melihat
apakah jumlah oksigen yang tepat mencapai jaringan tubuh, dan menemukan
penyebab tingginya kadar asam (pH rendah) dalam darah.
Pada kasus, pemeriksaan laktat dilakukan oleh karena kecurigaan perfusi oksigen
yang tidak baik. Pada pasien sepsis berat, laktat telah diteliti memiliki peran baik
pada aspek diagnosis, inisiasi resusitasi, parameter akhir resusitasi, bahkan
penentuan prognosis. Berdasarkan kriteria diagnosis menurut Surviving Sepsis
Campaign 2012, yang mengadopsi kriteria the Society of Critical Care Medicine,
The European Society of Intensive Care Medicine, the American College of Chest
Physicians, the American Thoracic Society, and the Surgical Infection Society
(SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS) tahun 2001, kadar laktat merupakan salah satu
komponen variabel perfusi jaringan yang turut mendefinisikan seorang pasien
dengan infeksi, terdokumentasi atau tersangka, ke dalam diagnosis sepsis. Lebih
lanjut, pasien sepsis dengan kadar laktat melebihi batas atas nilai normal
laboratorium akan digolongkan dalam kelompok sepsis berat.10 Demikian
pentingnya kadar laktat dalam diagnosis dan stratifikasi pasien sepsis sehingga
pemeriksaan laktat termasuk salah satu komponen yang harus dikerjakan pada 3
dan 6 jam pertama tata laksana sepsis (three and six hour surviving sepsis campign
bundle).
17
e) Bagaimana tatalaksana awal pada kasus ini?
Penatalaksanaan syok sepsis harus dilakukan resusitasi dalam 6 jam pertama
sejak pasien tiba di UGD. Tatalaksana yang diberikan antara lain:
i. Oksigenasi: pada sepsis dapat terjadi hipoksemia dan hipoksia sebagai
akibat disfungsi atau gangguan ventilasi maupun perfusi dari system
respirasi karena transpor oksigen ke jaringan terganggu. Selain itu,
gangguan transpor oksigen ke jaringan dapat juga dipengaruhi oleh
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan agar hipoksia dapat teratasi
melalui upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah sehingga
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di
jaringan.
ii. Terapi Cairan: pada sepsis dapat terjadi peningkatan kapasistas vaskular
(penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun,
kehilangan cairan melalui pernapasan atau keringat), dan terjadinya
perdarahan serta kebocoran kapiler sehingga dapat terjadi hipovolemia.
Keadaan ini harus segera diatasi dengan memberikan cairan baik
kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) maupun koloid. Pilihan utama
pada terapi cairan awal adalah dengan pemberian kristaloid. Volume
cairan yang diberikan harus dimonitor kecukupannya agar tidak kurang
atau lebih yang dapat dinilai dari perbaikan klinis seperti peningkatan
tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, serta produksi urin dan mebaiknya
penurunan kesadaran. Hal yang perlu diwaspadai adalah ketika cairan
diberikan secara berlebih yang dapat dilihat dari gejala klinis berupa
peningkatan vena jugular, ronki, gallop S3, serta penurunan saturasi
oksigen.
18
yang paling rendah kemudian di titrasi secara bertahap untuk mencapai
MAP 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Selain itu dapat
pula dipantau tingkat kesadaran dan produksi urin yang dapat
menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Vasopresor
yang dapat digunakan antara lain dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik dapat
diberikan dobutamin 2-28 mcg/kg/menit, dopamine 3-8 mcg/kg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterasi (amrinon
dan milrinon).
19
ASPEK KLINIS: Syok sepsis ec pneumonia
a) How to diagnose
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai
pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia
dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan
keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita –
wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus
septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal
ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan
temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi
penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan
hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung
kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan
hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan
hipovolemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rontgen dan kultur. Dua kuman yang
sangat virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group
A streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.
20
Kriteria Diagnosis Severe sepsis/Syokseptik
Variable Umum
Temperature >38.3 c atau < 36 c
HR > 90x/mnt
Takipnea
Penurunan status mental
Signifikan edema > 20 ml/kg dalam 24 jam
Hiperglikemia (>120 mg/dl) pada pasien non diabetes
Variabel inflamasi
WBC >12000,<4000 mm
C reaktif protein meningkat
Procalcitonin plasma meningkat
Variabel heodinamik
Sistolik BP <90 mmHg/
MAP < 70 mmHg
SVO2 > 70 %
lama.
3. Tanda-tanda syok.
2. Tanda-tanda sepsis:
21
- Suhu: febris > 38oC atau hipotermia < 36oC.
(band form).
b) WD & Definisi
WD: Syok sepsis ec suspek pneumonia
Definisi: Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran
darah yang melalui tubuh. Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic
Infalammatory Respondense syndrome) di tambah dengan adanya infeksi pada
organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Pnemonia
adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan parenkim paru meliputi
alveolus dan jaringan interstisil.
c) DD
22
- Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB
daribaseline dalam waktu 1
dalam 1
jam
jam
- Tidak membaik dengan
pemberian cairan, serta penyakit
syok hipovolemik, infarkmiokard
dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan.
Selain itu, diagnose banding pada kasus ini juga termasuk acute renal failure, acute
respiratory distress syndrome, cardiogenic shock, disseminated intravascular
coagulation, hypovolemic shock, pulmonary embolism, shock distributive, shock
d) Faktor risiko
1. Umur
- Pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65 tahun
2. Pemasangan alat invasive
- Venous catheter
- Arterial lines
- Pulmonary artery catheters
- Endotracheal tube
- Tracheostomy tubes
- Intracranial monitoring catheters
- Urinary catheter
3. Prosedur invasive
- Cystoscopic
- Pembedahan
4. Medikasi/Therapeutic Regimens
- Terapi radiasi
- Corticosteroids
23
- Oncologic chemotherapy
- Immunosuppressive drugs
- Extensive antibiotic use
5. Underlying Conditions
- Poor state of health
- Malnutrition
- Chronic Alcoholism
- Pregnancy
- Diabetes Melitus
- Cancer
- Major organ disease – cardiac, hepatic, or renal dysfunction
e) Etiologi
Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70%
(pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri
gram positif 20-40% (stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi
jamur dan virus 2-3% (dengue hemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa
(malaria falciparum). Sedangkan pada kultur yang sering ditemukan adalah
pseudomonas, disusul oleh stapilokokus dan pneumokokus. Shock sepsis yang
terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus.
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri gram (-) yang memproduksi endotoksin
glikoprotein kompleks sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang
merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai
produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk
melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS).
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita. LPS endotoksin gram (-) dinyatakan sebagai penyebab sepsis
terbanyak, dia dapat langsung mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang
dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak
24
mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang
disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL-
1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat
tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.
f) Epidemiologi
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari
jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian).
Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat
kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut.
g) Patofisiologi
25
h) Manifestasi klinis
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif
atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak
darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah
pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.
i) Tatalaksana
Penatalaksanaan syok sepsis harus dilakukan resusitasi dalam 6 jam pertama
sejak pasien tiba di UGD. Tatalaksana yang diberikan antara lain:
26
i. Oksigenasi: pada sepsis dapat terjadi hipoksemia dan hipoksia sebagai
akibat disfungsi atau gangguan ventilasi maupun perfusi dari system
respirasi karena transpor oksigen ke jaringan terganggu. Selain itu,
gangguan transpor oksigen ke jaringan dapat juga dipengaruhi oleh
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan agar hipoksia dapat teratasi
melalui upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah sehingga
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di
jaringan.
ii. Terapi Cairan: pada sepsis dapat terjadi peningkatan kapasistas vaskular
(penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun,
kehilangan cairan melalui pernapasan atau keringat), dan terjadinya
perdarahan serta kebocoran kapiler sehingga dapat terjadi hipovolemia.
Keadaan ini harus segera diatasi dengan memberikan cairan baik
kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) maupun koloid. Pilihan utama
pada terapi cairan awal adalah dengan pemberian kristaloid. Volume
cairan yang diberikan harus dimonitor kecukupannya agar tidak kurang
atau lebih yang dapat dinilai dari perbaikan klinis seperti peningkatan
tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, serta produksi urin dan mebaiknya
penurunan kesadaran. Hal yang perlu diwaspadai adalah ketika cairan
diberikan secara berlebih yang dapat dilihat dari gejala klinis berupa
peningkatan vena jugular, ronki, gallop S3, serta penurunan saturasi
oksigen.
27
menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Vasopresor
yang dapat digunakan antara lain dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik dapat
diberikan dobutamin 2-28 mcg/kg/menit, dopamine 3-8 mcg/kg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterasi (amrinon
dan milrinon).
j) Pemeriksaan penunjang
28
Uji laboratorium yang meliputi CBC, hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati,
kadar asam laktat, gas darah arteri, elektro kardiogram, rontgen (CT scan, MRI,
ekokardiografi) dan/atau pungsi lumbal, serta biakan darah, sputum, urin, dan
tempat lain yang terinfeksi dengan pewarnaan gram.
l) Komplikasi
1. Acute Respiratory Distress Syndrome
Proses inflamasi yang terjadi dalam tubuh juga terjadi di alveoli, akibat proses
inflamasi didalam alveoli terbentuk cairan yang akan mengganggu proses
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan
komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Pada
foto toraks dapat ditemukan gambaran opasitas paru bilateral yang konsisten
dengan edema paru.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
DIC pada sepsis terjadi karena teraktivasinya kaskade koagulasi sebagai
bagian dari respon inflamasi. Pada saat yang sama sistem fibrinolitik, yang
normalnya mempertahankan kaskade pembekuan diaktifkan sehingga dapat
terjadi tendensi perdarahan. Selain itu, pasien juga dapat mengalami komplikasi
akibat thrombosis dan perdarahan.
3. Gagal Jantung
Sepsis akan memberikan peningkatan beban kerja jantung, sehingga dapat
29
memicu terjadinya sindroma koronaria akut/infark miokardium, terutama jika
terjadi pada usia lanjut.
4. Gangguan Fungsi Hati
Manifestasi dari gangguan fungsi hati adalah ikterus, peningkatan bilirubin,
aminotransferase, dan alkali fosfatase.
5. Gagal Ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal
ginjal pada keadaan sepsis, yang dapat dimanifestasikan sebagai
oliguria,azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.
6. Sindroma Disfungsi Multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis. Terdapan 2 macam, yaitu :
a. Primer gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru
pada keadaan pneumonia yang berat.
b. Sekunder gangguan fungsi organ disebabkan oleh respon peradangan
yang menyeluruh terhadap serangan. Misal ARDS pada keadaan urosepsis.
m) Prognosis
30
Faktor Risiko Skor MEDS
n) SKDI
Sepsis
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk
3B. Gawat darurat
31
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Pneumonia
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
32
IV. Learning Issue:
Gejala Klinis,
Syok Patogenesis dan
Definisi How to
patofisiologi
Diagnose
Penatalaksanaan
Patogenesis dan
primary survey
Sepsis (Syok Definisi patofisiologi
dan secondary Text book,
Sepsis) trauma
survey
e-book,
internet,
Sistem
jurnal
Respirasi & Anatomi,
Definisi -
Kardiovaskular Fisiologi
Gejala Klinis,
Pneumonia Patogenesis dan
Definisi How to
patofisiologi
Diagnose
33
V. Tinjauan Pustaka
1) SYOK
a) Definisi
b) How to diagnose
34
Kesadaran masih normal, diuresis mungkin berkurang sedikit dan belum terjadi
asidosis metabolik.
2. Syok sedang; kehilangan 20% sampai 40% dari volume darah total. Hipoperfusi
merambat ke organ non vital seperti hati, usus dan ginjal, kecuali jantung dan
otak. Gambaran klinik haus, hipotensi telentang, takikardi, liguria atau anuria,
dan asidosis metabolik. Kesadaran relatif normal.
3. Syok berat; kehilangan lebih dari 40% dari volem darah total. Hipoperfusi
terjadi juga pada janberattung atau otak. Gambaran klinik; penurunan kesadaran
(agitasi atau delirium), hipotensi, takikardia, nafas cepat dan dalam, oliguria,
asidosis metabolik.
d) Etiologi
Syok Obtruktif
(gangguan Syok Distributif
Syok (Berkurangnya
Syok Kardiogenik kontraksi jantung
Hipovolemik tahanan pembuluh
akibat di luar
jantung) darah perifer)
35
mengakibatkan katup jantung dan adanya reaksi
gangguan berat miokardium antigen antibodi
pada perfusi yang
jaringan dan mengeluarkan
hantaran histamine dengan
oksigen ke akibat
jaringan peningkatan
permeabilitas
membran kapiler
dan terjadi
dilatasi arteriola
sehingga venous
return menurun.
Misalnya : reaksi
tranfusi, sengatan
serangga, gigitan
ular berbisa
- Syok
Neurogenik
Pada syok
neurogenik terjadi
gangguan perfusi
jaringan yang
disebabkan karena
disfungsi sistim
saraf simpatis
sehingga terjadi
vasodilatasi.
36
Etiologi - Kehilangan Aritmia, AMI Tamponade Trauma pada
darah/syok (Infark Miokard kordis, tulang belakang,
hemoragik Akut). koarktasio aorta, spinal syok
emboli paru,
·
hipertensi
Hemoragik
pulmoner primer.
eksternal :
trauma,
perdarahan
gastrointestinal
·
Hemoragik
internal
:hematoma,
hematotoraks
-Kehilangan
plasma : luka
bakar
- Kehilangan
cairan dan
elektrolit
·
Eksternal :
muntah, diare,
keringat yang
berlebih
·
Internal :
asites,
obstruksi usus
37
Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi:
38
e) Patofisiologi
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya
aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam
penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling
berkaitan yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas
vena. Jika salah satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi
maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi
peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun
dan vasokontriksi perifer meningkat.
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler.
Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke
jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital.
Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume
darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar
oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan denyut dan
kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal
mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi
jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh.
Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga
terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran
darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme
terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
39
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi
bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti
dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat
menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas
(DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi
di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan
terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia
usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri
usus ke sirkulasi.
Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro
sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari
aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam
laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki.
Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem
kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku,
timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
f) Manifestasi klinis
Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang
meliputi:
2. Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai 30%.
40
3. Sistem saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi tergantung
derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan tidak sadar.
7. Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang
normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba
g) Tatalaksana
Terapi umum
A. Letakkan pasien pada posisi telentang kaki lebih tinggi agar aliran darah otak maksimal.
Gunakan selimut untuk mengurangi pengeluaran panas tubuh.
B. Periksa adanya gangguan respirasi. Dagu ditarik kebelakang supaya posisi kepala
menengadah dan jalan nafas bebas, beri O2, kalau perlu diberi nafas buatan.
C. Pasang segera infus cairan kristaloid dengan kanukl yang besar (18, 16)
D. Lakukan pemeriksaan fisik yang lengkap termasuk kepala dan punggung. Bila tekanan
darah dan kesadaran relatif normal pada posis telentang, coba periksa dengan posisi
duduk atau berdiri.
E. Keluarkan darah dari kanul intravena untuk pemeriksaan laboratorium : darah lengkap,
penentuan golongan darah, analisis gas darah elektrolit. Sampel darah sebaiknya diambil
sebelum terapi cairan dilakukan.
1. Pada syok hipovolemik, kanulasi dilakukan pada v.safena magna atau v.basilika
dengan kateter nomor 16 perkutaneus atau vena seksi. Dengan memakai kateter yang
panjang untuk kanulasi v.basilika dapat sekaligus untuk mengukur tekanan vena
sentral (TVS).
2. Pada kecurigaan syok kardiogenik, kanulasi vena perkutan pada salah satu vena
ekstrimitas atas atau vena besar leher dilakukan dengan kateter nomor 18-20.
41
F. Peubahan nilai PaCO2, PaO2, HCO3, dan PH oada analisis gas darah dapat dipakai
sebagai indikator beratnya gangguan fungsi kardiorespirasi, derajat asidosis metabolik,
dan hipoperfusi jaringan.
G. Beri oksigen sebanyak 5-10 L/menit dengan kanul nasal atau sungkup muka dan
sesuaikan kebutuhan oksigen PaO2. Pertahankan PaO2 tetap di atas 70 mmHg.
H. Beri natrium bikarbonat 1 atau 2 ampul bersama cairan infus elektrolit untuk
mempertahankan nilai Ph tetap di atas 7,1, walaupn koreksi asidosis metabolik yang
terbaik pada syok adalah memulihkan sirkulasi dan perfusi jaringan.
1. Adrenalin dapat diberikan jika terdapat kolaps kardivaskuler berat (tensi/nadi hampir
tidak teraba) dengan dosis 0,5-1 mg larutan 1 : 1000 intra muskuler atau 0,1-0,2 mg
larutan 1 : 1000 dalam pengenceran denan 9 ml NaCl 0,9 % intra vena. Adrenalin
jangan dicampur dengan natrium bikarbonat karena adrenalin dapat menyebabkan
inaktivasi larutan basa.
2. Infus cepat dengan Ringer’s laktat (50 ml/menit) terutama pada syok hipovolemik.
Dapat dikombinasi dengan cairan koloid (dextran L).
3. Vasopresor diberikan pada syok kardiogenik yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan terapi cairan. Dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5 Ug/kg/menit (larutkan
dopamin 200 mg dalam 500 ml cairan dekstrosa 5%. Setiap ml larutan mengandung
400 Ug dopamin). Dosis dopamin secara bertahap dapat ditingkatkan hingga 10-20
Ug/kg/menit. Pemberian vasopresor pada hipovolemia sedang sampai berat tidak
bermanfaat.
J. Pantau irama jantung dan buat rekaman EKG (terutama syok kardiogenik). Syok adalah
salah satu predisposisi aritmia karena sering disertai gangguan keseimbangan elektrolit,
asam dan basa.
L. Pemeriksaan foto toraks umumnya bergantung pada penyebab dan tingkat kegawatan
syok.
Semua pasien syok harus dirujuk ke rumah sakit, terutama untuk perawatan intensif
42
2) SYOK SEPSIS
a) Definisi
Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang
melalui tubuh.(Kamus Keperawatan).
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang
memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel
maupun jaringan.(Nasroedin,2007)
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume
darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh
darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Infalammatory Respondense syndrome) di
tambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respons systemic
terhadap infeksi, adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang di buktikan (proven) atau
dengan suspek infeksi secara klinis.
Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih criteria:
Suhu >38 C atau <36
Denyut Jantung >90x/menit
Laju Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg
Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau >10 % sel imatur/band.
Penyebab respon sistemik dihipotesiskan sebagia infeksi local yang tidak
terkontrol,sehingga menyebabkan bakterimia atau toksemia (endotoksin/eksotoksin) yang
menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah atau organ lain.
Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis
berat, dan syok septic.Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ
akibat hipoperfusi.Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten
setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan.Pada 10% -
30 % kasus syok septic didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas
mencapai 40-150%.
Syok septik adalah Shock yang disebabkan infeksi yang menyebar luas yang
merupakan bentuk paling umum shock distributif.
43
b) Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari
bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala
septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang
merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi
trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung
(Hermawan, 2007).
c) Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin.
Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk
sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel
menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi
adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka
menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan
perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit
oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC),
kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan
pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan
perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony
stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
44
IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-
α merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan
TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis,
dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum
jelas. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel,
termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan
neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel
terdiri dari 3 langkah, yaitu:
a. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-
selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
b. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
c. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang
melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal
bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga
akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut
menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel.(
Meisner M,2000)
Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ
multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan
IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan
fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila
IL-10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis
dapat dicegah.(Hermawan, 2007).
d) Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO,
dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
45
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.( Vienna,2000)
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah
jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF
merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan
perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang
diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan,
2007).
e) Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif
seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala
sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
46
i. Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan
apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
ii. PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi
dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
iii. Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat
mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat.
Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik
terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
1. RONGGA HIDUNG
47
Hidung merupakan organ utama saluran pernapasan yang langsung berhubungan dengan dunia
luar yang berfungsi sebagai jalan masuk dan keluarnya udara melalui proses pernapasan. Selain
itu hidung juga berfungsi untuk mempertahankan dan menghangatkan udara yang masuk,
sebagai filter dalam membersihkan benda asing yang masuk dan berperan untuk resonansi
suara, sebagai tempat reseptor alfaktorius.
2. FARING
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan, terdapat
di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang
leher.
3. LARING
Laring merupakan saluran pernapasan yang terletak antara orofaring dan trakea , fungsi dari
laring adalah sebagai jalan masuknya udara, membersihkan jalan masuknya makanan ke
esofagus dan sebagai produksi suara.
- Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan
48
4. TRAKHEA
Trakea merupakan organ tabung antara laring sampai dengan puncak paru, panjangnya
sekitar 10-12 cm, setinggi servikal 6-torakal 5 Disebut juga batang tenggorokan Ujung trakea
bercabang menjadi dua bronkus yang disebut karina
5. BRONKUS
Bronkus merupakan cabang dari trakea yang bercabang dua keparu-paru kanan dan paru-
paru kiri.Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar diameternya.Bronkus kiri lebih
horizontal, lebih panjang dan lebih sempit.
1) Bronkus
o Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri Disebut bronkus lobaris kanan (3
lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus)
o Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus
lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental
o Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi subsegmental yang
dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan saraf
2) Bronkiolus
o Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus
o Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang memproduksi yang membentuk
selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan napas
3) Bronkiolus Terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak mempunyai
kelenjar lendir dan silia)
4) Bronkiolus respiratori
49
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus respiratori
dianggap sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan udara pertukaran
gas.
6. PARU PARU
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar berada pada rongga dada bagian
atas, di bagian samping di batasi oleh otot dan rusuk dan di bagianb bawah di batasi oleh
diafragma yang berotot kuat.
Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut Terletak dalam rongga dada atau toraks
Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh
darah besar Setiap paru mempunyai apeks dan basis Paru kanan lebih besar dan terbagi
menjadi 3 lobus oleh fisura interlobaris Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus Lobos-
lobus tersebut terbagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya.
7. ALVEOLUS
Merupakan bagian terminal cabang-cabang bronkus dan bertanggung jawab akan struktur
paru-paru yang menyerupai kantong kecil terbuka pada salah satu sisinya dan tempat
50
pertukaran O2 dan CO2 Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu lembar
akan seluas 70 m2.
Fungsi paru – paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.Pada pernapasan
melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada
waktu bernapas; oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat
berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapis membran, yaitu
membran alveoli-kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran
ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa
di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru – paru pada tekanan oksigen
100 mm Hg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen.
Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru
menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan, lebih banyak darah datang di
paru – paru membawa terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak
dapat dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang
pusat pernapasan dalam otak unutk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan.
Penambahan ventilasi ini mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2.
4)PNEUMONIA
a) Definisi.
51
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan parenkim paru meliputi
alveolus dan jaringan interstisiil. Terjadinya pnemonia pada anak seringkali bersamaan dengan
proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).
b) Etiologi.
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi,dll). Secara klinis sulit membedakan
pneumonia bakterial dan pneumonia viral. Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan
laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi.
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B
dan bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory
Syncytial virus (RSV), Rhinovirus, dan virus parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae.
Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak
daripada anak berusia di bawah 2 tahun.
c) Klasifikasi.
Pneumonia
o nafas cepat (+) atau sesak (+)
52
o harus dirawat
Bukan pneumonia
o nafas cepat dan sesak (-)
o obat simptomatis saja
2. Usia 2 bulan – 5 tahun:
Pneumonia berat
Pneumonia
Bukan pneumonia
d)Patofisiologi.
Paru memiliki beberapa mekanisme pertahanan yang efektif yang diperlukan karena
sistem respiratori selalu terpajan dengan udara lingkungan yang seringkali terpolusi serta
mengandung iritan, patogen, dan alergen. Sistem pertahanan organ respiratorik terdiri dari tiga
unsur, yaitu refleks batuk yang bergantung pada integritas saluran respiratori, otot-otot
pernapasan, dan pusat kontrol pernapasan di sistem saraf pusat.
53
infeksius, dan (3) penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi
agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara
penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi.
1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama): eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui
pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Stadium Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): paru tampak merah dan bergranula
karena sel-sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli.
3. Stadium Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari): paru tampak kelabu karena leukosit dan
fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Stadium Resolusi (7 sampai 11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula.
e) Gambaran Klinis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
penyakit, pada bayi gejalanya tidak jelas seringkali tanpa demam dan batuk, namun secara
umum adalah sebagai berikut:
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk (nonproduktif / produktif), sesak napas, retraksi
dada, napas cepat/takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih/grunting, dan
sianosis.
WHO telah menggunakan penghitungan frekuensi napas per menit berdasarkan
golongan umur sebagai salah satu pedoman untuk memudahkan diagnosa Pneumonia, terutama
di institusi pelayanan kesehatan dasar. Napas cepat/ takipnea, bila frekuensi napas:
54
- umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
Pada pemeriksaan fisik paru dapat ditemukan tanda klinis sebagai berikut, auskultasi
terdengar suara nafas menurun dan fine crackles (ronki basah halus) pada daerah yang terkena,
dull (redup) pada perkusi.
f)Pemeriksaan penunjang.
g)Tatalaksana.
- Medikamentosa:
Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan sehingga pemberian
antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering yaitu
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Pemberian antibiotik sesuai
dengan kelompok umur. Untuk bayi di bawah 3 bulan diberikan golongan penisillin
dan aminoglikosida. Untuk umur >3 bulan, ampisilin dipadu dengan kloramfenikol
merupakan obat pilihan pertama. Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema,
antibiotik pilihan adalah golongan sefalosporin.
55
Bila anak disertai demam (≥ 39º C) yang tampaknya menyebabkan distress, berikan
parasetamol.
Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronchodilator kerja cepat, dengan salah satu
cara berikut:
- Salbutamol nebulisasi.
- Jika kedua cara tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin)secara subkutan.
- Suportif:
Pemberian oksigen sesuai derajat sesaknya, pemberian dilakukan sampai tanda
hipoksia (seperti tarikan dinding dada ke dalam yang berat atau napas cepat) tidak
ditemukan lagi.
Nutrisi parenteral diberikan selama pasien masih sesak. Kebutuhan cairan rumatan
diberikan sesuai umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
h)Komplikasi.
i)Langkah Promotif/Preventif.
56
95%. Infeksi H. influenzae bisa dicegah dengan rifampisin bagi kontak di rumah tangga atau
di tempat penitipan anak.
57
VI. Kerangka Konsep
Dibawa ke 𝐶𝐷4
Eksudat masuk
↑Proses Koagulasi
ke dalam
alveolus
Deposisi Fibrin Konsumsi
trombosit & Ronkhi basah
faktor koagulasi ↑ sedang paru kanan
Thrombosis
DIC
Defisit 02
ke jaringan
↓ Kesadaran HR ↑ ↑ Laktat
RR ↑
dalam
darah
58
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
59
DAFTAR PUSTAKA
Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-prose penyaki jlid 1, ed 4.1995.
Jakarta: EGC.
American College of Surgeon Committee on Trauma. 2018. Advance Trauma Life Support
Student Course Manual 10th Edition.
Chen, K. dan Pohan, H. T. 2015. Penatalaksanaan Syok Sepsis. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3 Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
Giustini, A., Pistarini, C., dan Pisoni, C. 2013. Traumatic and Nontraumatic Brain Injury.
Handbook of Clinical Neurology. 110(3): 401-409.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1, ed 3. 2001. Jakarta: Media
Aesculapius.
Marik, P. E. dan Taeb, A. M. 2017. SIRS, qSOFA and New Sepsis Definition. Journal of
Thoracic Disease. 9(4): 943-945.
Muhiman, Muhardi, dkk. Anestesiologi. 2004. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FKUI.
60
Nicks, B. A. dan McGinnis, H. D. 2018. Acute Lactic Acidosis. Medscape.
(https://emedicine.medscape.com/article/768159-overview diakses 9 Oktober 2018).
Singer, M. dkk. 2016. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3). JAMA. 315(8): 801-810.
Sobbota. 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 21. EEG Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.
61