Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO E BLOK 28 2018

Tutor : dr. Swanny, M.Sc.

Disusun oleh:
Kelompok 7

Agilandiswary Kumaran 04011381520182


Alyssa Poh Jiawei 04011381520183
Andhika Diaz Maulana 04011381520109
Jesica Moudy 04011181520009
Kurniawan Onti 04011381520181
Muhammad Ikmal Bin MD. Shahrom 04011381520187
Nanda Syauqiwijaya 04011181520056
Nia Githa Sarry 04011381520110
Sonia Edna Rumondang Manik 04011181520010
Vinil Kiran Kalaichelvan 04011381520193

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial skenario E dalam blok 28
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2018. Di sini kami
membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok berdasarkan sistematikanya
mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau ulang dan menyusun
keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran. Bahan laporan ini kami
dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun
materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Palembang, 12 September 2018

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………….............. ii


Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………………….... 4
1.2 Maksud dan Tujuan……………………………………………… 4
BAB II : Pembahasan
2.1 Skenario Kasus ………………………………………………...... 5
2.2 Paparan
I. Klarifikasi Istilah. ................………………………………. 6
II. Identifikasi Masalah...........……………………………........ 7
III. Analisis Masalah ...............................……………………... 8
IV. Aspek Klinis.......................................................................... 20
V. Learning Issue...................................……………………... .33
VI. Tinjauan Pustaka……………………………………………34
VII. Kerangka Konsep…...................……………………………57
BAB III : Penutup
3.1 Kesimpulan .......................................................................................58

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................59

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada laporan tutorial kali ini, laporan membahas tentang Trauma, Gawat
Darurat dan Forensik yang berada dalam blok 28 pada semester 7 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan
datang.

1.2. Maksud Dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari siste
m KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami
konsep dari skenario ini.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Skenario Kasus
Tuan. X, kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
Sakit tipe A oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran. Riwayat
penyakit pasien diketahui batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan mulai sesak
3 hari terakhir.

Hasil Pemeriksaan di IGD:


Survey primer
Airway = Bersuara saat dipanggil.
Breathing = RR: 42x/menit, SPO2: 92,5% (dengan udara bebas), gerakan thoraks statis
dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, ronkhi basah sedang paru
kanan, tidak ada wheezing.
Circulation = Nadi: 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
hangat merah, CRT (Capillary Refill Time) 4 detik, laktat 4,3 mmol/L
Dissability = respond to verbal (Skala AVPU), GCS E3M5V3
Exposure = Temperatur: 39,5oC
Skor Quick SOFA = 3

5
I. Klarifikasi Istilah

No. Istilah Pengertian

Penurunan Kondisi ketika seseorang tidak dapat memberikan respon


1.
kesadaran yang sesuai terhadap lingkungan dan orang sekitar.

Rumah sakit yang mampu memberi pelayanan kedokteran


Rumah Sakit tipe
2. spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah, yang telah
A
ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi.

Suara tambahan di samping suara napas yang dihasilkan


3. Ronkhi basah
oleh udara yang melewati cairan (sekret atau eksudat).

Jenis bunyi kontinu seperti bersiul yang diakibatkan oleh


4. Wheezing
penyempitan saluran napas.

Memiliki frekuensi bunyi yang rendah, merupakan suara


5. Vesikuler
napas normal.

Tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk


CRT (Capillary
6. memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan
Refill Time)
(perfusi).

Skala yang digunakan untuk menilai kesadaran yang


7. Skala AVPU
terdiri atas ‘Alert, Verbal, Painful, Unresponsiveness’.

SOFA adalah skor untuk mengidentifikasi mortalitas

Skor Quick pasien suspek infeksi (sepsis), meliputi penilaian enam

SOFA fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi, hepar,


kardiovaskular, sistem saraf pusat dan ginjal. Quick
8. (Sekuential Organ SOFA merupakan modifikasi dari skor SOFA yang hanya
Failure memiliki tiga komponen penilaian yaitu laju pernapasan,
Assesment) perubahan status mental atau kesadaran, dan tekanan
darah sistolik.

6
II. Identifikasi Masalah
No. Kenyataan Kesesuaian Konsen

Tuan. X, kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi

1. Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit tipe A oleh Masalah I


keluarganya karena mengalami penurunan
kesadaran.

Riwayat penyakit pasien diketahui batuk-batuk


2. disertai demam sejak 1 minggu dan mulai sesak 3 Masalah III
hari terakhir.

Hasil Pemeriksaan di IGD:


Survey primer
Airway = Bersuara saat dipanggil.
Breathing = RR: 42x/menit, SPO2: 92,5% (dengan
udara bebas), gerakan thoraks statis dan dinamis:
simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal,
ronkhi basah sedang paru kanan, tidak ada wheezing. Penunjang
3. Circulation = Nadi: 145x/menit (isi dan tegangan II
Diagnosa
kurang), TD: 70/50 mmHg, akral hangat merah,
CRT (Capillary Refill Time) 4 detik, laktat 4,3
mmol/L
Dissability = respond to verbal (Skala AVPU), GCS
E3M5V3
Exposure = Temperatur: 39,5oC
Skor Quick SOFA = 3

7
III. Analisis Masalah

1. Tuan. X, kisaran usia 51 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
Sakit tipe A oleh keluarganya karena mengalami penurunan kesadaran.
a) Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan Tuan X?
Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia di atas 50 tahun, dan
penderita gangguan sistem kekebalan. Batuk, demam, dan sesak yang dialami
oleh Tuan X merupakan gejala dari pneumonia. Pneumonia semakin sering
dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan insidennya lebih banyak pada laki-
laki, namun untuk angka mortalitas lebih tinggi pada wanita. Dengan demikian
usia dan jenis kelamin pada kasus ini termasuk kedalam faktor risiko timbulnya
pneumonia dengan keluhan yang dialami oleh Tuan X.

b) Bagaimana etiologi dan mekanisme penurunan kesadaran pada kasus?


Patofisiologi syok septik dimulai dari terjadinya sepsis dimana endotoksin
(lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu sitokin, neutrofil,
komplemen, NO dan berbagai mediator lain dan dari adanya tanda klinis
respons inflamasi sistemik (meliputi demam, takikardi, takipnea, dan
leukositosis), kemudian berkembang menjadi pada kondisi vasodilatasi perifer.
Hipotensi menyebabkan resistensi vaskular meningkat dan aliran darah menuju
otak terganggu. Akibatnya, otak tidak mampu menerima oksigen secara
adekuat, dan hal ini mengakibatkan penurunan kesadaran.

c) Bagaimana cara melakukan penilaian kesadaran (GCS & AVPU atau yang
lain)?
 GCS (Glasgow Coma Scale)

GCS dipakai untuk menentukan derajat cedera kepala. Reflek membuka mata,
respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika
kurang dari 13, maka dikatakan seseorang mengalami cedera kepala, yang
menunjukan adanya penurunan kesadaran.

8
Eye (respon membuka mata) :
(4): spontan
(3): dengan rangsangan suara (suruh pasien membuka mata).
(2): dengan rangsangan nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari, menekan sternum, menekan dengan jari pada supraorbita).
(1): tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5): orientasi baik. (Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tidak ada
disorientasi waktu dan tempat)
(4): bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang), terdapat
disorientasi tempat dan waktu.
(3): kata-kata saja (Dapat berbicara dalam kata-kata, namun tidak dalam kalimat
dan tidak tepat)
(2): suara tanpa arti (mengerang)
(1): tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6): mengikuti perintah

9
(5): melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri). Bila oleh rangsangan nyeri pasien mengangkat tangannya sampai
melewati dagu untuk maksud menepis rangsangan tersebut berarti ia dapat
mengetahui lokasi nyeri.
(4): menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(3): flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2): extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1): tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
EVM. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Keterangan :
- Penurunan kesadaran ringan GCS : 13-15
- Penurunan kesadaran sedang GCS : 9-12
- Penurunan kesadaran berat GCS : 3-8

 AVPU (Alert Voice Pain Unrensponsive)

AVPU merupakan skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran


pasien. Hal ini lebih sederhana daripada GCS dan dapat digunakan oleh dokter,
perawat, penolong pertama dan kru ambulans. AVPU biasanya lebih banyak
digunakan pada kasus emergensi. Empat unsur yang diuji:

- Alert - berarti membuka mata spontan, fungsi motorik berbicara dan utuh,
misalnya anggota badan bergerak.
- Voice - merespon bila diajak bicara, misalnya bicara mendengus atau
aktual.
- Pain - merespon rasa sakit, misalnya menggosok sternum.
- Unresponsive - jika tidak ada respon terhadap rasa sakit, yaitu tidak ada
gerakan mata, suara atau motorik.

Namun, ada beberapa kelemahan untuk menggunakan skala AVPU:

10
- Tidak membantu dalam pengelolaan pasien dengan penurunan
berkepanjangan dalam kesadaran.
- Meskipun digunakan dalam kasus-kasus keracunan, itu kurang baik pada
pasien di bawah pengaruh alkohol.
- AVPU lebih mudah digunakan daripada GCS tetapi mungkin tidak
mengidentifikasi perubahan halus kadang-kadang terlihat pada pasien
bangsal di mana kesadaran mungkin diubah oleh gangguan metabolik,
hipoksia atau hipotensi bukan oleh penghinaan traumatis langsung
- Tidak ada satu pun skor yang lebih sederhana yang menggantikan GCS
untuk evaluasi formal pasien yang sakit kritis. AVPU tidak memadai untuk
mendeteksi perubahan awal pada tingkat kesadaran yang dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit kritis. Tidak jelas bagaimana cara menilai pasien
yang bingung atau terdisorientasi yang jelas memiliki tingkat kesadaran
yang berubah tetapi mungkin tidak menanggapi suara.

Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil
yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa
kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah
tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).

d) Apa saja derajat tingkat kesadaran?


1. Compos Mentis (Conscious), yaitu tingkat kesadaran yang normal, orang
tersebut sadar sepenuhnya terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
lingkungannya, serta dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu tingkat kesadaran dimana orang tersebut tidak peduli
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu tingkat kesadaran yang berkabut, dimana orang tersebut
gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Letargi), yaitu tingkat kesadaran menurun, dimana orang
tersebut respon psikomotornya lambat, mudah tertidur, namun kesadaran
dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi akan jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.

11
5. Stupor, yaitu tingkat kesadaran seperti tertidur lelap, tetapi orang tersebut
masih ada respon terhadap nyeri.
6. Coma, yaitu tingkat kesadaran yang tidak bisa dibangunkan, dimana orang
tersebut tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon
kornea mata maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya).

2. Riwayat penyakit pasien diketahui batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan
mulai sesak 3 hari terakhir.
a) Apa hubungan riwayat penyakit pasien dengan keluhan pada Tn X saat ini?
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif yang
berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi
penyebab septicemia. Riwayat penyakit pasien menunjukkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan, kemungkinan besar pnemunonia. Adanya infeksi ditambah
tanda-tanda SIRS dapat menunjukkan telah terjadi sepsis pada pasien ini.

b) Apa makna klinis mulai sesak 3 hari terakhir pada kasus ini?
Riwayat batuk-batuk disertai demam sejak 1 minggu dan sesak 3 hari terakhir
merupakan gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami
infeksi saluran pernapasan. Pasien dengan riwayat infeksi saluran pernapasan
salah satu penyebab paling umum dari terjadinya sepsis. Infeksi saluran napas
akut yang paling sering menjadi penyebab sepsis adalah pneumonia.

c) Bagaimana etiologi dan mekanisme sesak pada kasus?


Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Data dari kepustakaan, pneumoni yang didapat dari
masyarakat (community-acquired pneumonia / pneumonia komuniti) banyak
disebabkan oleh bakteri gram positif, sebaliknya pneumonia yang didapat di
rumah sakit (hospital-aquired pneumonia / pneumonia nosokomial) banyak
disebabkan oleh bakteri gram negatif, sedang pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Meskipun demikian, di Indonesia akhir-akhir
ini sering dilaporkan dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa kuman yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
gram negatif.

12
Tabel 1. Penyebab tersering Pneumonia yang didapat di masyarakat dan
nosokomial.

LOKASI
PENYEBAB
SUMBER

Strepcoccus pneumoniae

Mycoplasma pneumoniae Haemophilus influenza

Masyarakat Legionella pneumophila Chlamydia pneumoniae

Anaerob oral (aspirasi)

Adenovirus

Escherichia coli

Klebsiella pneumoniae
Rumah Sakit
Pseudomonas aeruginosa

Staphylococcus aureus

Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme


dapat berkembang biak dan mencapai permukaan epitel saluran pernapasan
dengan cara seperti inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah,
inhalasi bahan aerosol, kolonisasi dipermukaan mukosa.

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 mm melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi
ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.

13
Setelah mikroba samapai ke saluran napas bawah, maka ada empat rute masuknya
mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu:

- Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus


neurologis dan usia lanjut
- Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien
- Hematogenik
- Penyebaran langsung
Terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih
keluar dari pembuluh darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian, alveoli
yang terinfeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Lobus bagian bawah paru paling sering terkena karena mikroorganisme penyebab
yang paling sering adalah bakteri anaerob sehingga oksigenasi berkurang atau
tidak terlalu dibutuhkan, disamping itu juga karena efek gravitasi.

3. Hasil Pemeriksaan di IGD:


Survey primer
Airway = Bersuara saat dipanggil.
Breathing = RR: 42x/menit, SPO2: 92,5% (dengan udara bebas), gerakan thoraks
statis dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, ronkhi basah
sedang paru kanan, tidak ada wheezing.
Circulation = Nadi: 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
hangat merah, CRT (Capillary Refill Time) 4 detik, laktat 4, 3 mmol/L
Dissability = respond to verbal (Skala AVPU), GCS E3M5V3
Exposure = Temperatur: 39,5°C
Skor Quick SOFA = 3
a) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas pada survey primer?

Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi


Bersuara saat dipanggil Bersuara saat Normal, tidak ada gangguan
dipanggil pada jalan napas.
RR: 42x/menit 16-24x/menit Abnormal (takipnea)

14
SPO2: 92,5% (dengan udara 95-100% Abnormal
bebas)
(Saturasi oksigen menurun)
Gerakan thoraks statis dan Gerakan thoraks Normal, tidak ditemukan
dinamis: simetris statis dan dinamis: gangguan pada dinding
simetris thorax yang dapat
mengakibatkan gangguan
respirasi.

Auskultasi paru: vesikuler (+) Auskultasi paru: Tidak ada penyempitan jalan
normal, ronkhi basah sedang vesikuler (+) normal, napas, tapi terdapat bunyi
paru kanan, tidak ada tidak ada ronkhi, tambahan ronkhi basah,
wheezing tidak ada wheezing disebabkan oleh adanya
sekret di dalam alveoli atau
bronkiolus sehingga udara
yang masuk saat inspirasi
akan melewati media cair
sehingga timbul suara ronkhi
basah. Ronkhi basah halus
dan sedang terdapat pada
pneumonia dan edema paru,
sedangkan ronkhi basah
kasar misalnya pada
bronkiekstatis.
Nadi: 145x/menit (isi dan 60-100x/menit (isi Abnormal (takikardia)
tegangan kurang) dan tegangan cukup)
TD: 70/50 mmHg, Akral ≤120/80; akral Hipotensi; warm sepsis
hangat merah hangat
CRT (Capillary Refill Time) 4 CRT ≤ 2 detik CRT memanjang; terdapat
detik gangguan perfusi (aliran
darah) ke jaringan perifer.
Laktat 4,3 mmol/L Darah Arteri: 0,5 - Meningkat, jaringan tubuh
2,0 mmol/l, <11,3 tidak mendapatkan cukup
mg/dl. oksigen (syok)

15
Darah Vena: 0,5 - 1,5
mmol/l, 8,1 - 15,3
mg/dl
Respond to verbal (Skala Alert and oriented Pasien hanya merespon
AVPU) (menjadi fully alert atau
partially alert) jika diberi
rangsangan verbal seperti
panggilan atau teriakan 
pasien mengalami gangguan
kesadaran
GCS E3M5V3 GCS E4M6V5 Terjadi penurunan kesadaran
(delirium)
Temperatur: 39,5°C 36.5-37.2°C Abnormal (Hiperpireksia)
Skor Quick SOFA = 3 Skor ≥2: Abnormal, terdapat disfungsi
mengindikasikan organ; sepsis
terdapat disfungsi
organ

Skor <2 : tidak


berisiko mengalami
disfungsi organ

b) Bagaimana keterkaitan akral hangat merah dengan kasus ini?


Tekanan darah turun sementara akral hangat merah merupakan akibat dari infeksi
pada sel endotel sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
endotel. Hal ini mengakibatkan robeknya endotel sehingga timbul pendarahan di
ektravaskular dan pasokan aliran di intravaskular menurun. Hal inilah yang
mengakibatkan tekanan darah turun tetapi akral tetap hangat dan merah. Hal ini
merupakan tanda manifestasi klinis dari vasodilatasi perifer dan merupakan respon
tubuh lebih lanjut pada kasus sepsis.

c) Apa indikasi pemeriksaan laktat pada kasus ini?


Pemeriksaan laktat dilakukan pada pasien yang dicurigai mengidap lactic acidosis
(bernapas cepat, berkeringat berlebihan, kulit dingin dan basah, napas berbau

16
manis, sakit perut, mual atau muntah, kebingungan, dan koma), untuk melihat
apakah jumlah oksigen yang tepat mencapai jaringan tubuh, dan menemukan
penyebab tingginya kadar asam (pH rendah) dalam darah.
Pada kasus, pemeriksaan laktat dilakukan oleh karena kecurigaan perfusi oksigen
yang tidak baik. Pada pasien sepsis berat, laktat telah diteliti memiliki peran baik
pada aspek diagnosis, inisiasi resusitasi, parameter akhir resusitasi, bahkan
penentuan prognosis. Berdasarkan kriteria diagnosis menurut Surviving Sepsis
Campaign 2012, yang mengadopsi kriteria the Society of Critical Care Medicine,
The European Society of Intensive Care Medicine, the American College of Chest
Physicians, the American Thoracic Society, and the Surgical Infection Society
(SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS) tahun 2001, kadar laktat merupakan salah satu
komponen variabel perfusi jaringan yang turut mendefinisikan seorang pasien
dengan infeksi, terdokumentasi atau tersangka, ke dalam diagnosis sepsis. Lebih
lanjut, pasien sepsis dengan kadar laktat melebihi batas atas nilai normal
laboratorium akan digolongkan dalam kelompok sepsis berat.10 Demikian
pentingnya kadar laktat dalam diagnosis dan stratifikasi pasien sepsis sehingga
pemeriksaan laktat termasuk salah satu komponen yang harus dikerjakan pada 3
dan 6 jam pertama tata laksana sepsis (three and six hour surviving sepsis campign
bundle).

d) Bagaimana indikasi dan cara melakukan pemeriksaan Quick SOFA?


Indikasi: Untuk memudahkan identifikasi pasien yang berpotensi berisiko
meninggal akibat sepsis.
Cara Kerja:
Kriteria qSOFA Nilai
RR >22x/min 1
Penurunan Kesadaran 1
Tekanan Darah Sistolik < 100 1
mmHg
Skor ini adalah versi modifikasi dari skor penilaian kegagalan organ sekuensial
(yang terkait dengan sepsis) (SOFA). Quick SOFA hanya terdiri dari tiga
komponen yang masing-masing memiliki nilai 1. Skor qSOFA ≥2 poin
menunjukkan terdapat disfungsi organ.

17
e) Bagaimana tatalaksana awal pada kasus ini?
Penatalaksanaan syok sepsis harus dilakukan resusitasi dalam 6 jam pertama
sejak pasien tiba di UGD. Tatalaksana yang diberikan antara lain:
i. Oksigenasi: pada sepsis dapat terjadi hipoksemia dan hipoksia sebagai
akibat disfungsi atau gangguan ventilasi maupun perfusi dari system
respirasi karena transpor oksigen ke jaringan terganggu. Selain itu,
gangguan transpor oksigen ke jaringan dapat juga dipengaruhi oleh
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan agar hipoksia dapat teratasi
melalui upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah sehingga
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di
jaringan.

ii. Terapi Cairan: pada sepsis dapat terjadi peningkatan kapasistas vaskular
(penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun,
kehilangan cairan melalui pernapasan atau keringat), dan terjadinya
perdarahan serta kebocoran kapiler sehingga dapat terjadi hipovolemia.
Keadaan ini harus segera diatasi dengan memberikan cairan baik
kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) maupun koloid. Pilihan utama
pada terapi cairan awal adalah dengan pemberian kristaloid. Volume
cairan yang diberikan harus dimonitor kecukupannya agar tidak kurang
atau lebih yang dapat dinilai dari perbaikan klinis seperti peningkatan
tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, serta produksi urin dan mebaiknya
penurunan kesadaran. Hal yang perlu diwaspadai adalah ketika cairan
diberikan secara berlebih yang dapat dilihat dari gejala klinis berupa
peningkatan vena jugular, ronki, gallop S3, serta penurunan saturasi
oksigen.

iii. Vasopresor dan Inotropik: apabila setelah keadaan hipovolemik diatasi


dengan pemberian cairan secara adekuat namun pasien masih
mengalami hipotensi, maka vasopresor sebaiknya diberikan. Hipotensi
dapat terjadi akibat dari vasodilatasi atau disfungsi miokard sehingga
terjadin penurunan curah jantung. Pemberian terapi dimulai dari dosis

18
yang paling rendah kemudian di titrasi secara bertahap untuk mencapai
MAP 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Selain itu dapat
pula dipantau tingkat kesadaran dan produksi urin yang dapat
menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Vasopresor
yang dapat digunakan antara lain dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik dapat
diberikan dobutamin 2-28 mcg/kg/menit, dopamine 3-8 mcg/kg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterasi (amrinon
dan milrinon).

iv. Terapi antibiotik: pemberian antibiotik dalam beberapa studi mengenai


sepsis dan syok septic menunjukkan bahwa pemberian antibiotik yang
sesuai dapat meningkatkan outcome pasien dengan syok sepsis.
Rekomendasi dari SSC 2017 menyatakan bahwa (1) antimikroba
intravena harus segera mulai diberikan secepat mungkin setelah sepsis
diidentifikasi (idealnya dalam waktu 1 jam); (2) pilihan awal harus
broad-spectrum (dapat diberikan single agent atau dikombinasikan
beberapa agen); (3) spectrum antibiotik harus dipersempit ketika
pathogen telah diisolasi dan diketahui sensitivitasnya, atau ketika
terdapat perbaikan klinis; (4) strategi pemberian dosis antimikroba harus
optimal sesuai dengan prinsip farmakokinetik dan farmakodinamiknya;
dan (5) de-eskalasi antimikroba harus dipertimbangkan per hari dan
dalam tahap awal ketika kondisi klinis memungkinkan.

v. Source control: jaringan yang terinfeksi dibuang, drainase abses, atau


pelepasan suatu alat yang terinfeksi dipertimbangkan menjadi tindakan
manajemen sepsis yang terbaik. Source control dapat dilakukan melalui
drainase perkutaneus atau open surgery.

vi. Kontrol glukosa: konsensus saat ini menyatakan bahwa pengendalian


glukosa untuk dipertahankan <180 mg/dL namun tetap menghindari
pengendalian glukosa secara ketat untuk mencegah hipoglikemi yang
dapat memberikan potensi berbahaya.

19
ASPEK KLINIS: Syok sepsis ec pneumonia

a) How to diagnose

Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai
pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia
dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan
keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita –
wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus
septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal
ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.

Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan
temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi
penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan
hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung
kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan
hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan
hipovolemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.

Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rontgen dan kultur. Dua kuman yang
sangat virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group
A streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.

20
Kriteria Diagnosis Severe sepsis/Syokseptik

Variable Umum
Temperature >38.3 c atau < 36 c
HR > 90x/mnt
Takipnea
Penurunan status mental
Signifikan edema > 20 ml/kg dalam 24 jam
Hiperglikemia (>120 mg/dl) pada pasien non diabetes

Variabel inflamasi
WBC >12000,<4000 mm
C reaktif protein meningkat
Procalcitonin plasma meningkat
Variabel heodinamik
Sistolik BP <90 mmHg/
MAP < 70 mmHg
SVO2 > 70 %

Variabel perfusi jaringan


Laktat serum >1mmol/L
CRT> 2 detik

Variable gangguan organ


Pa O2/FiO2 <300
Urine output < 0,5 ml/kgbb/jam
Kreatinin > 0,5 mg/dl
INR> 1.5 atau aPTT>60 detik
Platelet <100000mm
Hiperbilirubin > 4 mg/dl

Sumber : Levy MN et all:2001,Crit Care Med 31:1250,2003.


Anamnesis : 1. Adanya riwayat fokal infeksi.

2. Adanya riwayat demam.

3. Adanya riwayat di rawat di RS dalam jangka


waktu yang

lama.

Pemeriksaan Fisik : 1. Febris dengan suhu >39oC.

2. Takipnea dengan alkalosis respiratorik.

3. Tanda-tanda syok.

Kriteria Diagnosis : 1. Adanya tanda-tanda syok.

2. Tanda-tanda sepsis:

21
- Suhu: febris > 38oC atau hipotermia < 36oC.

- Denyut jantung > 90 denyutan/menit.

- Respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2<32mmHg.

- Leukosit >12.000/μl atau >10% bentuk sel muda

(band form).

3. Gejala dan tanda menetap walaupiun telah


dilakukan

terapi cairan yang adekuat.

PemeriksaanPenunjang Pemeriksaan laboratorium hematologi

b) WD & Definisi
WD: Syok sepsis ec suspek pneumonia
Definisi: Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran
darah yang melalui tubuh. Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic
Infalammatory Respondense syndrome) di tambah dengan adanya infeksi pada
organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Pnemonia
adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan parenkim paru meliputi
alveolus dan jaringan interstisil.

c) DD

Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis

Sindroma sepsis Syok Septik

- Takipneu, respirasi >20x/m


Sindroma sepsis ditambah dengan
- Takikardi >90x/m
gejala:
- Hipertermi >38C
- Hipotermi <35,6C
- Hipotensi 90 mmHg
- Hipoksemia
- Tensi menurun sampai 40 mmHg
- Peningkatan laktat plasma

22
- Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB 
 daribaseline dalam waktu 1
dalam 1 
 jam 

jam
- Tidak membaik dengan
pemberian cairan, serta penyakit
syok hipovolemik, infarkmiokard
dan emboli pulmonal sudah

disingkirkan. 


Tabel 2. Perbedaan Sindrom Sepsis dan Syok Septik

Selain itu, diagnose banding pada kasus ini juga termasuk acute renal failure, acute
respiratory distress syndrome, cardiogenic shock, disseminated intravascular
coagulation, hypovolemic shock, pulmonary embolism, shock distributive, shock

hemorrhagic, toxic shock syndrome ataupun transfusion reactions. 


d) Faktor risiko
1. Umur
- Pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65 tahun
2. Pemasangan alat invasive
- Venous catheter
- Arterial lines
- Pulmonary artery catheters
- Endotracheal tube
- Tracheostomy tubes
- Intracranial monitoring catheters
- Urinary catheter
3. Prosedur invasive
- Cystoscopic
- Pembedahan
4. Medikasi/Therapeutic Regimens
- Terapi radiasi
- Corticosteroids

23
- Oncologic chemotherapy
- Immunosuppressive drugs
- Extensive antibiotic use
5. Underlying Conditions
- Poor state of health
- Malnutrition
- Chronic Alcoholism
- Pregnancy
- Diabetes Melitus
- Cancer
- Major organ disease – cardiac, hepatic, or renal dysfunction

e) Etiologi

Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70%
(pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri
gram positif 20-40% (stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi
jamur dan virus 2-3% (dengue hemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa
(malaria falciparum). Sedangkan pada kultur yang sering ditemukan adalah
pseudomonas, disusul oleh stapilokokus dan pneumokokus. Shock sepsis yang
terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus.

Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri gram (-) yang memproduksi endotoksin
glikoprotein kompleks sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang
merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai
produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk
melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS).

LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita. LPS endotoksin gram (-) dinyatakan sebagai penyebab sepsis
terbanyak, dia dapat langsung mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang
dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak

24
mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang
disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL-
1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat
tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

f) Epidemiologi

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika


Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus
sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun
1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian
sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar
660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun
di Amerika Serikat.

Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari
jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian).
Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat
kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut.

g) Patofisiologi

25
h) Manifestasi klinis
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif
atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak
darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah
pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.

i) Tatalaksana
Penatalaksanaan syok sepsis harus dilakukan resusitasi dalam 6 jam pertama
sejak pasien tiba di UGD. Tatalaksana yang diberikan antara lain:

26
i. Oksigenasi: pada sepsis dapat terjadi hipoksemia dan hipoksia sebagai
akibat disfungsi atau gangguan ventilasi maupun perfusi dari system
respirasi karena transpor oksigen ke jaringan terganggu. Selain itu,
gangguan transpor oksigen ke jaringan dapat juga dipengaruhi oleh
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan agar hipoksia dapat teratasi
melalui upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah sehingga
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di
jaringan.

ii. Terapi Cairan: pada sepsis dapat terjadi peningkatan kapasistas vaskular
(penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun,
kehilangan cairan melalui pernapasan atau keringat), dan terjadinya
perdarahan serta kebocoran kapiler sehingga dapat terjadi hipovolemia.
Keadaan ini harus segera diatasi dengan memberikan cairan baik
kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat) maupun koloid. Pilihan utama
pada terapi cairan awal adalah dengan pemberian kristaloid. Volume
cairan yang diberikan harus dimonitor kecukupannya agar tidak kurang
atau lebih yang dapat dinilai dari perbaikan klinis seperti peningkatan
tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, serta produksi urin dan mebaiknya
penurunan kesadaran. Hal yang perlu diwaspadai adalah ketika cairan
diberikan secara berlebih yang dapat dilihat dari gejala klinis berupa
peningkatan vena jugular, ronki, gallop S3, serta penurunan saturasi
oksigen.

iii. Vasopresor dan Inotropik: apabila setelah keadaan hipovolemik diatasi


dengan pemberian cairan secara adekuat namun pasien masih
mengalami hipotensi, maka vasopresor sebaiknya diberikan. Hipotensi
dapat terjadi akibat dari vasodilatasi atau disfungsi miokard sehingga
terjadin penurunan curah jantung. Pemberian terapi dimulai dari dosis
yang paling rendah kemudian di titrasi secara bertahap untuk mencapai
MAP 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Selain itu dapat
pula dipantau tingkat kesadaran dan produksi urin yang dapat

27
menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Vasopresor
yang dapat digunakan antara lain dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik dapat
diberikan dobutamin 2-28 mcg/kg/menit, dopamine 3-8 mcg/kg/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterasi (amrinon
dan milrinon).

iv. Terapi antibiotik: pemberian antibiotik dalam beberapa studi mengenai


sepsis dan syok septic menunjukkan bahwa pemberian antibiotik yang
sesuai dapat meningkatkan outcome pasien dengan syok sepsis.
Rekomendasi dari SSC 2017 menyatakan bahwa (1) antimikroba
intravena harus segera mulai diberikan secepat mungkin setelah sepsis
diidentifikasi (idealnya dalam waktu 1 jam); (2) pilihan awal harus
broad-spectrum (dapat diberikan single agent atau dikombinasikan
beberapa agen); (3) spectrum antibiotik harus dipersempit ketika
pathogen telah diisolasi dan diketahui sensitivitasnya, atau ketika
terdapat perbaikan klinis; (4) strategi pemberian dosis antimikroba harus
optimal sesuai dengan prinsip farmakokinetik dan farmakodinamiknya;
dan (5) de-eskalasi antimikroba harus dipertimbangkan per hari dan
dalam tahap awal ketika kondisi klinis memungkinkan.

v. Source control: jaringan yang terinfeksi dibuang, drainase abses, atau


pelepasan suatu alat yang terinfeksi dipertimbangkan menjadi tindakan
manajemen sepsis yang terbaik. Source control dapat dilakukan melalui
drainase perkutaneus atau open surgery.

vi. Kontrol glukosa: konsensus saat ini menyatakan bahwa pengendalian


glukosa untuk dipertahankan <180 mg/dL namun tetap menghindari
pengendalian glukosa secara ketat untuk mencegah hipoglikemi yang
dapat memberikan potensi berbahaya.

j) Pemeriksaan penunjang

28
Uji laboratorium yang meliputi CBC, hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati,
kadar asam laktat, gas darah arteri, elektro kardiogram, rontgen (CT scan, MRI,
ekokardiografi) dan/atau pungsi lumbal, serta biakan darah, sputum, urin, dan
tempat lain yang terinfeksi dengan pewarnaan gram.

k) Edukasi dan pencegahan (KIE)


- Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri
Gram-negatif
- Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk
mencegah pneumonia gram-negatif nosokomial
- Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis gram-negatif pada
pasien neutropenia.
- Lingkungan yang protektif bagi pasien berisiko kurang berhasil karena
sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen).

l) Komplikasi
1. Acute Respiratory Distress Syndrome
Proses inflamasi yang terjadi dalam tubuh juga terjadi di alveoli, akibat proses
inflamasi didalam alveoli terbentuk cairan yang akan mengganggu proses
pertukaran gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan
komplian, dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Pada
foto toraks dapat ditemukan gambaran opasitas paru bilateral yang konsisten
dengan edema paru.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
DIC pada sepsis terjadi karena teraktivasinya kaskade koagulasi sebagai
bagian dari respon inflamasi. Pada saat yang sama sistem fibrinolitik, yang
normalnya mempertahankan kaskade pembekuan diaktifkan sehingga dapat
terjadi tendensi perdarahan. Selain itu, pasien juga dapat mengalami komplikasi
akibat thrombosis dan perdarahan.
3. Gagal Jantung
Sepsis akan memberikan peningkatan beban kerja jantung, sehingga dapat

29
memicu terjadinya sindroma koronaria akut/infark miokardium, terutama jika
terjadi pada usia lanjut.
4. Gangguan Fungsi Hati
Manifestasi dari gangguan fungsi hati adalah ikterus, peningkatan bilirubin,
aminotransferase, dan alkali fosfatase.
5. Gagal Ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal
ginjal pada keadaan sepsis, yang dapat dimanifestasikan sebagai
oliguria,azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis.
6. Sindroma Disfungsi Multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis. Terdapan 2 macam, yaitu :
a. Primer  gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru
pada keadaan pneumonia yang berat.
b. Sekunder  gangguan fungsi organ disebabkan oleh respon peradangan
yang menyeluruh terhadap serangan. Misal ARDS pada keadaan urosepsis.

m) Prognosis

Prognosis suatu syok sangat tergantung dari kecepatan diagnosa dan


pengelolaannya sehingga pada umumnya adalah dubia ad bonam.

Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan


infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan potensi tinggi untuk
menjadi kritis. Meskipun pasien telah memenuhi kriteria SIRS, hal ini hanya
mampu memberikan sedikit prediksi dalam menentukan tingkat keparahan
penyakit dan mortalitas. Angka Mortalitas di Emergency Department Sepsis
(MEDS) telah membuat skor sebagai metode untuk mengelompokkan resiko
mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan untuk menilai risiko
kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar kemungkinan
pasien meninggal selama perawatan di ICU/UPI (Shapiro et al, 2010).

Tabel 3. Prognosis Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS).

30
Faktor Risiko Skor MEDS

Penyakit terminal (kemungkinan kematian dalam 6 poin


30 hari)
3 poin
Takipnea dan hipoksia
3 poin
Syok Septik
3 poin
Trombosit <150.000/min3
3 poin
Bands >5%
3 poin
Umur >65 tahun
2 poin
Pneumonia
2 poin
Pasien panti jompo
2 poin
Perubahan status mental

Risiko Kematian Total skor MEDS (%


dari kematian akibat
sepsis)

Sangat rendah 0-4 (1,1%)

Rendah 5-7 (4,4%)

Sedang 8-12 (9,3%)

Tinggi 13-15 (16,1%)

Sangat tinggi >15 (39%)

Sumber: Shapiro et al, 2010.

n) SKDI
 Sepsis
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk
3B. Gawat darurat

31
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
 Pneumonia
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

32
IV. Learning Issue:

Pokok What I What I Don’t What I Have to


How I Learn
Bahasan Know Know Prove

Gejala Klinis,
Syok Patogenesis dan
Definisi How to
patofisiologi
Diagnose

Penatalaksanaan
Patogenesis dan
primary survey
Sepsis (Syok Definisi patofisiologi
dan secondary Text book,
Sepsis) trauma
survey
e-book,
internet,
Sistem
jurnal
Respirasi & Anatomi,
Definisi -
Kardiovaskular Fisiologi

Gejala Klinis,
Pneumonia Patogenesis dan
Definisi How to
patofisiologi
Diagnose

33
V. Tinjauan Pustaka
1) SYOK
a) Definisi

Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom


klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi
hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya
perfusi jaringan. Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan
oksigen jaringan, baik karena suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang
meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok. Syok merupakan keadaan darurat yang
disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan
gangguan metabolisme sel. Kematian karena syok terjadi bila keadaan ini
menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel. Terapi syok bertujuan
memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.

b) How to diagnose

Syok membakat (Impending shock)

1. Penurunan atau perubahan kesadaran


2. Hipotensi, pada orang dewasa tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg. Bila
terdapat keraguan (pasien hipertensi), amati tanda vital ortostatik.
3. Tanda vital ortostatik (terutama pada syok hipovolemik), yaitu perbedaan
tekanan darah dan atau frekuensi nadi pada posisi telentang dengan posisi duduk
atau berdiri sebesar 10 mmHg dan atau di atas 15 kali/menit. Fenomena ini
merupakan indikasi kuat kekurangan volume cairan intra vaskular ringan
sampai sedang.
4. Hipotensi perifer. Kulit teraba dingin, lembab, dan isi nadi lemah
.
c) Tingkat syok
1. Syok ringan; kehilangan volume darah dibawah 20% dari volume total.
Hipoperfusi hanya terjadi pada organ non vital seperti kulit, jaringan lemak, otot
rangka, dan tulang. Gambaran klinik perasaan dingin, hipotensi postural,
takikardi, pucat, kulit lembab, kolaps vena-vena leher, dan urin yang pekat.

34
Kesadaran masih normal, diuresis mungkin berkurang sedikit dan belum terjadi
asidosis metabolik.
2. Syok sedang; kehilangan 20% sampai 40% dari volume darah total. Hipoperfusi
merambat ke organ non vital seperti hati, usus dan ginjal, kecuali jantung dan
otak. Gambaran klinik haus, hipotensi telentang, takikardi, liguria atau anuria,
dan asidosis metabolik. Kesadaran relatif normal.
3. Syok berat; kehilangan lebih dari 40% dari volem darah total. Hipoperfusi
terjadi juga pada janberattung atau otak. Gambaran klinik; penurunan kesadaran
(agitasi atau delirium), hipotensi, takikardia, nafas cepat dan dalam, oliguria,
asidosis metabolik.
d) Etiologi

Syok Obtruktif
(gangguan Syok Distributif
Syok (Berkurangnya
Syok Kardiogenik kontraksi jantung
Hipovolemik tahanan pembuluh
akibat di luar
jantung) darah perifer)

Definisi Perubahan  Kegagalan Ketidakmampuan - Syok Septik


dalam volume kerja ventrikel untuk
Syok yang terjadi
sirkulasi jantungnya mengisi selama
karena
sendiri. diastol sehingga
penyebaran atau
 Gangguan secara nyata
invasi kuman dan
perfusi menurunkan
toksinnya didalam
jaringan yang volume sekuncup
tubuh yang
disebabkan dan endnya curah
berakibat
karena jantung.
vasodilatasi.
disfungsi Disebabkan oleh
jantung. faktor-faktor
- Syok
 Gangguan ekstrinsik
Anafilaktif
fungsi terhadap katup-
ventrikel kiri, Gangguan perfusi
yang jaringan akibat

35
mengakibatkan katup jantung dan adanya reaksi
gangguan berat miokardium antigen antibodi
pada perfusi yang
jaringan dan mengeluarkan
hantaran histamine dengan
oksigen ke akibat
jaringan peningkatan
permeabilitas
membran kapiler
dan terjadi
dilatasi arteriola
sehingga venous
return menurun.

Misalnya : reaksi
tranfusi, sengatan
serangga, gigitan
ular berbisa

- Syok
Neurogenik

Pada syok
neurogenik terjadi
gangguan perfusi
jaringan yang
disebabkan karena
disfungsi sistim
saraf simpatis
sehingga terjadi
vasodilatasi.

36
Etiologi - Kehilangan Aritmia, AMI Tamponade Trauma pada
darah/syok (Infark Miokard kordis, tulang belakang,
hemoragik Akut). koarktasio aorta, spinal syok
emboli paru,
·
hipertensi
Hemoragik
pulmoner primer.
eksternal :
trauma,
perdarahan
gastrointestinal

·
Hemoragik
internal
:hematoma,
hematotoraks

-Kehilangan
plasma : luka
bakar

- Kehilangan
cairan dan
elektrolit

·
Eksternal :
muntah, diare,
keringat yang
berlebih

·
Internal :
asites,
obstruksi usus

37
Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi:

38
e) Patofisiologi

Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya
aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam
penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling
berkaitan yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas
vena. Jika salah satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi
maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi
peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun
dan vasokontriksi perifer meningkat.

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :

1. Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler.
Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke
jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital.
Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume
darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar
oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan denyut dan
kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal
mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi
jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.

2. Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh.
Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga
terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran
darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme
terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.

39
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi
bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti
dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat
menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas
(DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).

Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi
di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan
terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia
usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri
usus ke sirkulasi.

Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro
sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari
aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam
laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

3. Fase Irrevesibel/Refrakter

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki.
Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem
kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku,
timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.

f) Manifestasi klinis

Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang
meliputi:

1. Sistem pernafasan : nafas cepat dan dangkal

2. Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai 30%.

40
3. Sistem saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi tergantung
derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan tidak sadar.

4. Sistem pencernaan : mual, muntah

5. Sistem ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)

6. Sistem kulit/otot : turgor menurun, mata cekung, mukosa lidah kering.

7. Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang
normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba

g) Tatalaksana

Terapi umum

A. Letakkan pasien pada posisi telentang kaki lebih tinggi agar aliran darah otak maksimal.
Gunakan selimut untuk mengurangi pengeluaran panas tubuh.

B. Periksa adanya gangguan respirasi. Dagu ditarik kebelakang supaya posisi kepala
menengadah dan jalan nafas bebas, beri O2, kalau perlu diberi nafas buatan.

C. Pasang segera infus cairan kristaloid dengan kanukl yang besar (18, 16)

D. Lakukan pemeriksaan fisik yang lengkap termasuk kepala dan punggung. Bila tekanan
darah dan kesadaran relatif normal pada posis telentang, coba periksa dengan posisi
duduk atau berdiri.

E. Keluarkan darah dari kanul intravena untuk pemeriksaan laboratorium : darah lengkap,
penentuan golongan darah, analisis gas darah elektrolit. Sampel darah sebaiknya diambil
sebelum terapi cairan dilakukan.

1. Pada syok hipovolemik, kanulasi dilakukan pada v.safena magna atau v.basilika
dengan kateter nomor 16 perkutaneus atau vena seksi. Dengan memakai kateter yang
panjang untuk kanulasi v.basilika dapat sekaligus untuk mengukur tekanan vena
sentral (TVS).
2. Pada kecurigaan syok kardiogenik, kanulasi vena perkutan pada salah satu vena
ekstrimitas atas atau vena besar leher dilakukan dengan kateter nomor 18-20.

41
F. Peubahan nilai PaCO2, PaO2, HCO3, dan PH oada analisis gas darah dapat dipakai
sebagai indikator beratnya gangguan fungsi kardiorespirasi, derajat asidosis metabolik,
dan hipoperfusi jaringan.

G. Beri oksigen sebanyak 5-10 L/menit dengan kanul nasal atau sungkup muka dan
sesuaikan kebutuhan oksigen PaO2. Pertahankan PaO2 tetap di atas 70 mmHg.

H. Beri natrium bikarbonat 1 atau 2 ampul bersama cairan infus elektrolit untuk
mempertahankan nilai Ph tetap di atas 7,1, walaupn koreksi asidosis metabolik yang
terbaik pada syok adalah memulihkan sirkulasi dan perfusi jaringan.

I. Terapi medikamentosa segera

1. Adrenalin dapat diberikan jika terdapat kolaps kardivaskuler berat (tensi/nadi hampir
tidak teraba) dengan dosis 0,5-1 mg larutan 1 : 1000 intra muskuler atau 0,1-0,2 mg
larutan 1 : 1000 dalam pengenceran denan 9 ml NaCl 0,9 % intra vena. Adrenalin
jangan dicampur dengan natrium bikarbonat karena adrenalin dapat menyebabkan
inaktivasi larutan basa.
2. Infus cepat dengan Ringer’s laktat (50 ml/menit) terutama pada syok hipovolemik.
Dapat dikombinasi dengan cairan koloid (dextran L).
3. Vasopresor diberikan pada syok kardiogenik yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan terapi cairan. Dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5 Ug/kg/menit (larutkan
dopamin 200 mg dalam 500 ml cairan dekstrosa 5%. Setiap ml larutan mengandung
400 Ug dopamin). Dosis dopamin secara bertahap dapat ditingkatkan hingga 10-20
Ug/kg/menit. Pemberian vasopresor pada hipovolemia sedang sampai berat tidak
bermanfaat.

J. Pantau irama jantung dan buat rekaman EKG (terutama syok kardiogenik). Syok adalah
salah satu predisposisi aritmia karena sering disertai gangguan keseimbangan elektrolit,
asam dan basa.

K. Pantau diuresis dan pemeriksaan analisis urin.

L. Pemeriksaan foto toraks umumnya bergantung pada penyebab dan tingkat kegawatan
syok.

Semua pasien syok harus dirujuk ke rumah sakit, terutama untuk perawatan intensif

42
2) SYOK SEPSIS
a) Definisi

Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang
melalui tubuh.(Kamus Keperawatan).
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang
memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel
maupun jaringan.(Nasroedin,2007)
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume
darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh
darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Infalammatory Respondense syndrome) di
tambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respons systemic
terhadap infeksi, adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang di buktikan (proven) atau
dengan suspek infeksi secara klinis.
Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih criteria:
 Suhu >38 C atau <36
 Denyut Jantung >90x/menit
 Laju Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg
 Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau >10 % sel imatur/band.
Penyebab respon sistemik dihipotesiskan sebagia infeksi local yang tidak
terkontrol,sehingga menyebabkan bakterimia atau toksemia (endotoksin/eksotoksin) yang
menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah atau organ lain.
Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis
berat, dan syok septic.Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ
akibat hipoperfusi.Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten
setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan.Pada 10% -
30 % kasus syok septic didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas
mencapai 40-150%.
Syok septik adalah Shock yang disebabkan infeksi yang menyebar luas yang
merupakan bentuk paling umum shock distributif.

43
b) Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari
bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala
septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang
merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi
trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung
(Hermawan, 2007).
c) Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin.
Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk
sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel
menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi
adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi
ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka
menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan
perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit
oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC),
kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan
pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan
perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony
stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.

44
IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-
α merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan
TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis,
dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum
jelas. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel,
termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan
neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel
terdiri dari 3 langkah, yaitu:
a. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-
selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
b. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
c. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang
melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal
bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga
akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut
menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel.(
Meisner M,2000)
Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ
multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan
IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan
fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila
IL-10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis
dapat dicegah.(Hermawan, 2007).
d) Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO,
dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis

45
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.( Vienna,2000)
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah
jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF
merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan
perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang
diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan,
2007).
e) Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif
seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala
sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

a. Sindrom distress pernapasan pada dewasa


b. Koagulasi intravascular
c. Gagal ginjal akut
d. Perdarahan usus
e. Gagal hati
f. Disfungsi sistem saraf pusat
g. Gagal jantung
h. Kematian. (Hermawan, 2007).
f) Diagnosis

46
i. Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan
apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

a. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau


instrumentasi
b. Hipotensi, oliguria, atau anuria
c. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
d. Perdarahan

ii. PemeriksaanFisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi
dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
iii. Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat
mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat.
Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik
terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

3)SISTEM RESPIRASI (ANATOMI, FISIOLOGI)

Berikut anatomi system pernafasan sebagai berikut :

1. RONGGA HIDUNG

47
Hidung merupakan organ utama saluran pernapasan yang langsung berhubungan dengan dunia
luar yang berfungsi sebagai jalan masuk dan keluarnya udara melalui proses pernapasan. Selain
itu hidung juga berfungsi untuk mempertahankan dan menghangatkan udara yang masuk,
sebagai filter dalam membersihkan benda asing yang masuk dan berperan untuk resonansi
suara, sebagai tempat reseptor alfaktorius.

2. FARING

Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan, terdapat
di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang
leher.

3. LARING

Laring merupakan saluran pernapasan yang terletak antara orofaring dan trakea , fungsi dari
laring adalah sebagai jalan masuknya udara, membersihkan jalan masuknya makanan ke
esofagus dan sebagai produksi suara.

Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas :

- Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan

- Glotis : ostium antara pita suara dalam laring

48
4. TRAKHEA

Trakea merupakan organ tabung antara laring sampai dengan puncak paru, panjangnya
sekitar 10-12 cm, setinggi servikal 6-torakal 5 Disebut juga batang tenggorokan Ujung trakea
bercabang menjadi dua bronkus yang disebut karina

5. BRONKUS

Bronkus merupakan cabang dari trakea yang bercabang dua keparu-paru kanan dan paru-
paru kiri.Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar diameternya.Bronkus kiri lebih
horizontal, lebih panjang dan lebih sempit.

1) Bronkus
o Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri Disebut bronkus lobaris kanan (3
lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus)
o Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus
lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental
o Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi subsegmental yang
dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan saraf
2) Bronkiolus
o Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus
o Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang memproduksi yang membentuk
selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan napas
3) Bronkiolus Terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak mempunyai
kelenjar lendir dan silia)
4) Bronkiolus respiratori

49
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus respiratori
dianggap sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan udara pertukaran
gas.

6. PARU PARU

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar berada pada rongga dada bagian
atas, di bagian samping di batasi oleh otot dan rusuk dan di bagianb bawah di batasi oleh
diafragma yang berotot kuat.

Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut Terletak dalam rongga dada atau toraks
Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh
darah besar Setiap paru mempunyai apeks dan basis Paru kanan lebih besar dan terbagi
menjadi 3 lobus oleh fisura interlobaris Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus Lobos-
lobus tersebut terbagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya.

7. ALVEOLUS

Merupakan bagian terminal cabang-cabang bronkus dan bertanggung jawab akan struktur
paru-paru yang menyerupai kantong kecil terbuka pada salah satu sisinya dan tempat

50
pertukaran O2 dan CO2 Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu lembar
akan seluas 70 m2.

FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN

Fungsi paru – paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.Pada pernapasan
melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada
waktu bernapas; oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat
berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapis membran, yaitu
membran alveoli-kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran
ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa
di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru – paru pada tekanan oksigen
100 mm Hg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen.

Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan metabolisme,


menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa
bronkial dan trakea, dinapaskan keluar melalui hidung dan mulut.

Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru
menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan, lebih banyak darah datang di
paru – paru membawa terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak
dapat dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang
pusat pernapasan dalam otak unutk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan.
Penambahan ventilasi ini mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2.

Pernapasan jaringan atau pernapasan interna. Darah yang telah menjenuhkan


hemoglobinnya dengan oksigen (oksihemoglobin) megintari seluruh tubuh dan akhirnya
mencapai kapiler, di mana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari
hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung, dan darah menerima, sebagai
gantinya, yaitu karbon dioksida.

4)PNEUMONIA

a) Definisi.

51
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan parenkim paru meliputi
alveolus dan jaringan interstisiil. Terjadinya pnemonia pada anak seringkali bersamaan dengan
proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).

b) Etiologi.

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi,dll). Secara klinis sulit membedakan
pneumonia bakterial dan pneumonia viral. Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan
laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi.

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B
dan bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.

Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory
Syncytial virus (RSV), Rhinovirus, dan virus parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae.
Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak
daripada anak berusia di bawah 2 tahun.

c) Klasifikasi.

Klasifikasi pneumonia menurut WHO:

1. Bayi berusia dibawah 2 bulan:

 Pneumonia
o nafas cepat (+) atau sesak (+)

52
o harus dirawat
 Bukan pneumonia
o nafas cepat dan sesak (-)
o obat simptomatis saja
2. Usia 2 bulan – 5 tahun:

 Pneumonia sangat berat


o sesak napas dan napas cepat (+)
o harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Pneumonia berat
o sesak napas (+)
o napas cepat (-)
o harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Pneumonia
o sesak napas(-)
o napas cepat (+)
o tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
Klasifikasi pneumonia menurut MTBS:

 Pneumonia berat
 Pneumonia
 Bukan pneumonia

d)Patofisiologi.

Paru memiliki beberapa mekanisme pertahanan yang efektif yang diperlukan karena
sistem respiratori selalu terpajan dengan udara lingkungan yang seringkali terpolusi serta
mengandung iritan, patogen, dan alergen. Sistem pertahanan organ respiratorik terdiri dari tiga
unsur, yaitu refleks batuk yang bergantung pada integritas saluran respiratori, otot-otot
pernapasan, dan pusat kontrol pernapasan di sistem saraf pusat.

Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga


kuman patogen dapat mencapai saluran napas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang
menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer: (1) aspirasi sekret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, (2) infeksi aerosol yang

53
infeksius, dan (3) penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi
agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara
penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi.

Setelah mencapai alveoli, maka mikroorganisme patogen akan menimbulkan respon


khas yang terdiri dari empat tahap berurutan:

1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama): eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui
pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Stadium Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): paru tampak merah dan bergranula
karena sel-sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli.
3. Stadium Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari): paru tampak kelabu karena leukosit dan
fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Stadium Resolusi (7 sampai 11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula.

e) Gambaran Klinis.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
penyakit, pada bayi gejalanya tidak jelas seringkali tanpa demam dan batuk, namun secara
umum adalah sebagai berikut:

 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner.
 Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk (nonproduktif / produktif), sesak napas, retraksi
dada, napas cepat/takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih/grunting, dan
sianosis.
WHO telah menggunakan penghitungan frekuensi napas per menit berdasarkan
golongan umur sebagai salah satu pedoman untuk memudahkan diagnosa Pneumonia, terutama
di institusi pelayanan kesehatan dasar. Napas cepat/ takipnea, bila frekuensi napas:

- umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit

- umur 2-11 bulan : ≥ 50 kali/menit

- umur 1-5 tahun : ≥ 40 kali/menit

54
- umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit

Pada pemeriksaan fisik paru dapat ditemukan tanda klinis sebagai berikut, auskultasi
terdengar suara nafas menurun dan fine crackles (ronki basah halus) pada daerah yang terkena,
dull (redup) pada perkusi.

f)Pemeriksaan penunjang.

Foto Rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama


pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi pleura. Pada
bayi dan anak yang kecil gambaran radiologi seringkali tidak sesuai dengan gambaran klinis.
Tidak jarang secara klinis tidak ditemukan apa-apa tetapi gambaran foto toraks menunjukkan
pneumonia berat. Gambaran radiologis yang klasik dapat dibedakan menjadi 3 macam:

 Konsolidasi lobar atau segmental disertai adanya air bronchogram (pneumatokel),


biasanya disebabkan infeksi akibat pneumococcus atau bakteri lain.
 Pneumonia interstisial, biasanya karena virus atau Mycoplasma; gambaran berupa
corakan bronchovaskular bertambah, peribronchial cuffing, dan overaeriation; bila
berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
 Gambaran pneumonia karena S. aureus dan bakteri lain biasanya menunjukkan
gambaran bilateral yang difus, corakan peribronchial yang bertambah, dan tampak
infiltrat halus sampai ke perifer.

g)Tatalaksana.

- Medikamentosa:
 Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan sehingga pemberian
antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering yaitu
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Pemberian antibiotik sesuai
dengan kelompok umur. Untuk bayi di bawah 3 bulan diberikan golongan penisillin
dan aminoglikosida. Untuk umur >3 bulan, ampisilin dipadu dengan kloramfenikol
merupakan obat pilihan pertama. Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema,
antibiotik pilihan adalah golongan sefalosporin.

55
 Bila anak disertai demam (≥ 39º C) yang tampaknya menyebabkan distress, berikan
parasetamol.
 Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronchodilator kerja cepat, dengan salah satu
cara berikut:
- Salbutamol nebulisasi.

- Salbutamol dengan MDI (metered dose inhaler) dengan spacer.

- Jika kedua cara tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin)secara subkutan.

- Suportif:
 Pemberian oksigen sesuai derajat sesaknya, pemberian dilakukan sampai tanda
hipoksia (seperti tarikan dinding dada ke dalam yang berat atau napas cepat) tidak
ditemukan lagi.
 Nutrisi parenteral diberikan selama pasien masih sesak. Kebutuhan cairan rumatan
diberikan sesuai umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.

h)Komplikasi.

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,


pneumotoraks atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis prulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri, curiga ke arah ini apabila
terdapat demam persisten meskipun sedang diberi antibiotik, ditemukan tanda klinis dan
gambaran foto dada yang mendukung yaitu adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada.

Ilten F dkk, melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik kanan


meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.

i)Langkah Promotif/Preventif.

Pencegahan untuk Pneumococcus dan H.influenzae dapat dilakukan dengan vaksin


yang sudah tersedia. Efektivitas vaksin pneumokok adalah sebesar 70% dan untuk H.influenzae

56
95%. Infeksi H. influenzae bisa dicegah dengan rifampisin bagi kontak di rumah tangga atau
di tempat penitipan anak.

57
VI. Kerangka Konsep

Dinding sel (superantigen) berikatan


dgn reseptor di makrofog

Dibawa ke 𝐶𝐷4

Mengeluarkan Merubah set point


Sintesis HO sitokin proinflamasi di hypothalamus
TNF⍺, IL-1, 1L-6

Vasodilatasi pembuluh Temperature ↑


Injury pada
darah seluruh tubuh
sel endotel
Permeabilitas
pendarahan
TD ↓ Akral Hangat Mengeluarkan
alveolus
Merah tissue factor

Eksudat masuk
↑Proses Koagulasi
ke dalam
alveolus
Deposisi Fibrin Konsumsi
trombosit & Ronkhi basah
faktor koagulasi ↑ sedang paru kanan
Thrombosis

DIC

Defisit 02
ke jaringan

↑ Ventilasi Saturasi Perfusi 𝑂2 Kompensasi Metaboisme


2
𝑂 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛 ke otak ↓ ↑ CO Anaerob

↓ Kesadaran HR ↑ ↑ Laktat
RR ↑
dalam
darah

58
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tn. X, 51 tahun mengalami syok septik ec suspek pneumonia.

59
DAFTAR PUSTAKA

Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-prose penyaki jlid 1, ed 4.1995.
Jakarta: EGC.
American College of Surgeon Committee on Trauma. 2018. Advance Trauma Life Support
Student Course Manual 10th Edition.

Cecconi, M. dkk. 2018. Sepsis and Septic Shock.

Chen, K. dan Pohan, H. T. 2015. Penatalaksanaan Syok Sepsis. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3 Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.

Gamache, J. dan Harrington, A. 2018. Bacterial Pneumonia. Medscape.


(https://emedicine.medscape.com/article/300157-overview#a5 diakses 9 Oktober
2018).

Giustini, A., Pistarini, C., dan Pisoni, C. 2013. Traumatic and Nontraumatic Brain Injury.
Handbook of Clinical Neurology. 110(3): 401-409.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,

Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.

Johnson, S. dan Gotter, A. 2016. Septic Shock. (https://www.healthline.com/health/septic-


shock diakses 9 Oktober 2018)

Kalil, A. dan Bailey, K. L. 2018. Septic Shock. Medscape.


(https://emedicine.medscape.com/article/168402-overview#a4 diakses 9 Oktober
2018)

Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1, ed 3. 2001. Jakarta: Media
Aesculapius.

Marik, P. E. dan Taeb, A. M. 2017. SIRS, qSOFA and New Sepsis Definition. Journal of
Thoracic Disease. 9(4): 943-945.

Muhiman, Muhardi, dkk. Anestesiologi. 2004. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FKUI.

60
Nicks, B. A. dan McGinnis, H. D. 2018. Acute Lactic Acidosis. Medscape.
(https://emedicine.medscape.com/article/768159-overview diakses 9 Oktober 2018).

Singer, M. dkk. 2016. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3). JAMA. 315(8): 801-810.

Sobbota. 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 21. EEG Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.

Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.

61

Anda mungkin juga menyukai