Oleh:
Pembimbing:
Dr. H. Faisal Soleh, SpPD, KKV, FINASIM
Laporan Kasus
Oleh
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “STEMI Inferior-Anterolateral
Killip II+ HHD” sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya.
Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. H. Faisal Soleh, SpPD, KKV, selaku pembimbing yang telah membantu
penyelesaian laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam penyusunan laporan kasus ini mengingat keterbatasan kemampuan penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat kepada pembacanya.
Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga bermanfaat untuk penulis dan orang
lain.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Ny. N
Usia : 85 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. KH Wahid Hasyim, 2 ULU, Seberang ULU 1, Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Pendidikan terakhir : SLTA
MRS : 16 Desember 2019
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis (tanggal 17 November 2019)
Keluhan utama:
Sesak napas sejak ± 1 jam SMRS
Keluhan tambahan:
Nyeri dada sejak ± 1 jam SMRS
Riwayat perjalanan penyakit:
sejak ± 1 jam SMRS pasien mengeluh sesak napas. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas. Sesak
dirasakan terus menerus dan berkurang dengan istirahat. Pasien lebih merasa nyaman dalam
kondisi duduk. Keluhan tidak disertai dengan batuk, batuk darah dan panas badan. Keluhan
tidak disertai mengi. Sesak tidak dipengaruhi cuaca atau emosi. Sesak tidak disertai dengan
badan lemah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh nyeri dada tengah
yang dirasakan seperti ditindih benda berat sejak 1 jam SMRS. Keluhan dirasakan saat
sedang beristirahat dengan durasi sekitar 30 menit. Nyeri dirasakan menjalar ke leher dan
punggung. Pasien belum pernah berobat.
Terdapat keringat dingin, disertai mual tanpa muntah. Keluhan tidak disertai dada
berdebar, pingsan atau hampir pingsan. Saat tiba di RSUD BARI, penderita sudah tidak
merasakan nyeri dada. Demam tidak ada, muntah tidak ada. Penderita kemudian dibawa
6
ke IGD RSUD BARI untuk tatalaksana lebih lanjut.
Riwayat gizi:
Sebelum sakit, pasien makan teratur sebanyak 3 kali sehari dengan porsi cukup dan
makanan yang bervariasi.
7
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam dengan sebagian putih, lurus, pendek dan tidak mudah
dicabut
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)
Mata
Eksoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Septum : Deviasi (-)
Telinga
Meatus akustikus eks. : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : Baik
8
Mulut
Higiene : Baik
Bibir : Cheilitis (-), rhagaden (-), sianosis (-)
Lidah : Kotor (-), atrofi papil (-), pucat (-)
Tonsil : T1-T1
Mukosa Mulut : Basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Gigi : (-)
Bau pernapasan : Tidak ada bau pernapasan
Leher
Inspeksi : Benjolan (-)
Palpasi : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Auskultasi : Thyroid bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O
Dada
Inspeksi : Statis simetris, dinamis simetris, spider nevi (-), venektasi (-),
retraksi (-), scar (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak telihat, pulsasi (-), voussure cardiaque (-)
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), pericardial friction rub (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis dextra
batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ I dan II di semua katup, S3(-)
murmur (-)
Paru-paru (anterior)
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
9
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di kedua basal
paru, wheezing (-)
Paru-paru (posterior)
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di kedua basal
paru, wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), scar (-), caput medusae (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement
ginjal (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas
Inspeksi:
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab (+),
flapping tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-)
Palpasi:
Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+), krepitasi (-/-)
ROM:
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas
1
0
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Cukup
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Cukup
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab
Pembuluh Darah
A.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis posterior, a.dorsalis
pedis: teraba
Status Neurologis
Tidak dilakukan pemeriksaan
1
1
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah (17 Desember 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin* 11,4 g/dL 12-14 g/dL
RBC* 4.8 x106/mm3 4,40-6,30x106/mm3
Leukosit 9.1 x103/mm3 4.73-10.89x103/mm3
Hematokrit 37% 41 - 51%
Trombosit 314 x103/ µL 170-396x103/µL
Hitung jenis
Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 2% 1-6%
Netrofil 60% 50-70%
Limfosit 31% 20-40%
Monosit 7% 2-8%
Kimia darah
GDS* 269 mg/dL <180
Cardiac Enzyme
CPK 104 U/l
CK-MB 25 ng/mL 0-24 ng/mL
1
2
EKG
Irama sinus, LAD, QRS rate 144x/menit, gelombang p 0.08 s 0.1 mV, p terminal force di V1
(defleksi negatif lebar >1 mm, amplitudo > 1mm), PR interval 0,12 detik, gelombang QRS
0,8 detik, ST elevasi lead II, III, aVF, V2-V6, T inversi (-), R/S di V1 < 1, R/S di V6 > 1, S
di V1 + R di V5/V6 < 35mm
Kesan: STEMI imferior anterolateral, LAE
Rongent Thorax PA
1
3
2.5 Diagnosis
- STEMI Inferior anterolateral Killip II
- Hypertension Heart Disease
- Hipertensi stage I
- Hiperlipidemia
2.8 Penatalaksanaan
Non farmakologis:
a. Tirah baring
b. O2 2 lpm nasal kanul
c. Pasang urine kateter
d. Penilaian dan stabilisasi hemodinamik
e. Monitoring EKG
f. Edukasi mengenai penyebab penyakit dan pentingnya mengontrol faktor risiko
Farmakologis:
a. IVFD RL gtt X/menit
b. Injeksi furosemide 40 mg per 24 jam iv
c. Aspilet loading 162 mg po dilanjutkan 80 mg per 24 jam po
d. Fondaparinux 1 x 2.5 mg iv per 24 jam dilanjutkan 1 x 2.5 mg sc
e. Clopidogrel loading 300 mg po dilanjutkan 75 mg per 24 jam po
f. NRF 5 mg per 12 jam po
g. ISDN 5 mg per 8 jam
h. Bisoprolol 2.5 mg per 24 jam po
i. Atorvastatin 20 mg per 24 jam po
1
4
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
2.10 Follow Up
Tanggal P
17/10/19 S: sesak (+), nyeri dada (-), jantung berdebar (-) Non farmakologis:
O: a. Tirah baring
Sensorium: compos mentis b. O2 2 lpm nasal kanul
TD: 130/ 80 mmHg c. Monitor urine output
Nadi: 84 x/m d. Penilaian dan stabilisasi
RR: 24 x/m hemodinamik
Temp: 36,2ºC e. Monitoring EKG
VAS: 0 f. Edukasi mengenai
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-), penyebab penyakit dan
sklera ikterik (-) pentingnya mengontrol
Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-) faktor risiko
pembesaran kelenjar tiroid (-)
Farmakologis:
Thorax: a. IVFD RL gtt X/menit
Pulmo: b. Injeksi furosemide 40
Inspeksi : simetris, statis, dinamis mg per 24 jam iv
Palpasi : stem fremitus Kanan=kiri c. Aspilet 80 mg per 24
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru jam po
Auskultasi : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+) d. Fondaparinux 1 x 2.5
basal paru bilateral, wheezing (-) mg sc
e. Clopidogrel 75 mg per
Jantung 24 jam po
Inspeksi : iktus kordis tidak telihat, pulsasi (-), f. NRF 5 mg per 12 jam
voussure cardiaque (-) po
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), g. ISDN 5 mg per 8 jam
pericardial friction rub (-) h. Bisoprolol 2.5 mg per
10
Perkusi : batas jantung atas ICS II linea 24 jam po
parasternalis dextra, batas jantung kanan ICS IV i. Atorvastatin 20 mg per
linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI 24 jam po
linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : HR=82/menit, ireguler, BJ I dan II di
semua katup, S3(-) murmur (-)
Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-),
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-),
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
13
3.1.2 Curah jantung
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa tiap ventrikel per menit.
Pada keadaan normal (fisiologis) jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel kanan
dan ventrikel kiri sama besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi penimbunan darah di
tempat tertentu. Jumlah darah yang dipompakan pada setiap kali sistolik disebut volume
sekuncup. Dengan demikian curah jantung = volume sekuncup x frekuensi denyut jantung
per menit. Umumnya pada tiap sistolik ventrikel tidak terjadi pengosongan total ventrikel,
hanya sebagian dari isi ventrikel yang dikeluarkan. Jumlah darah yang tertinggal ini
dinamakan volume residu. Besar curah jantung seseorang tidak selalu sama, bergantung
pada keaktifan tubuhnya. Curah jantung orang dewasa pada keadaan istirahat lebih
kurang 5 liter dan dapat meningkat atau menurun dalam berbagai keadaan.1,2
3.2.2 Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab
utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati urutan ke tiga. Di
negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang Sindrom koroner akut
(SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang bermakna. Sindrom koroner akut
merupakan salah satu kasus penyebab rawat inap di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta
adalah kasus SKA, 0, 81 juta di antaranya adalah infark miokardium, dan sisanya
angina pektoris tidak stabil.1 Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis
yang paling sering di negara maju. Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada IMA adalah
30% dengan separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Infark
Miokard Akut terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA
dengan ST elevasi.6
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia
pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara
berdasarkan diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340
orang. Berdasarkan diagnosis dokter estimasi jumlah penderita di Provinsi Jawa Barat
Sebanyak 0,5% atau sekitar 160.812 orang, sedangkan di Provinsi Maluku Utara paling
sedikit, yaitu 1.436 orang(0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah
penderita terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.1227 orang atau
sekitar (1,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua
Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis
15
di Jawa Tengah sebesar 0,5 persen, dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4
persen, sedangkan di Kota Surakarta angka prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7
%.7
3.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG) dan pemeriksaan biomarker jantung, sindrom koroner akut dapat
diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST Segment Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST Segment Elevation Myocardial Infarction
(STEMI). Penyebab tersering kunjungan ke RS pada penyakit jantung adalah UA dan
NSTEMI.11
Pada STEMI terjadi oklusi total arteri koroner sehingga menyebabkan daerah
infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG
ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard non ST-elevasi
(NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh
miokardium, sehingga pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen
ST. STEMI memerlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran
21
darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara medikamentosa dapat menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan apabila terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarker jantung.12
NSTEMI adalah salah satu spektrum Sindrom Koroner Akut dimana oklusi
bersifat parsial.13 Pada saat terjadi nekrosis miokard, permeabilitas miokard meningkat
sehingga enzim dan protein jantung keluar dan terdeteksi di sirkulasi. Beberapa
biomarker jantung yang terdeteksi sirkulasi seperti troponin, Mioglobin, Myosin,
CKMB, LDH, dan SGOT.14 SGOT sendiri telah diteliti perbedaannya pada spektrum
Sindrom Koroner Akut pada tahun sebelumnya dan menunjukkan kenaikan kadar
SGOT pada pasien NSTEMI.15
STEMI dan UAP dicurigai terjadi pada orang yang mengalami angina pektoris
akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelahan. Rekaman
EKG dapat berupa depresi segment ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan. STEMI dan UAP
dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarker jantung. Bila pada hasil
pemeriksaan biomarker jantung terdapat peningkatan yang bermakna maka
diagnosisnya adalah STEMI sedangkan apabila tidak terdapat peningkatan bermakna
dari biomarker jantung maka diagnosisnya adalah UAP. Pada Sindrom Koroner Akut,
nilai ambang untuk peningkatan biomarker jantung adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas.16
3.2.5 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
22
oksigen yang berhenti sekitar 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).16
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia,
selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating
dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak
plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis
akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan
arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak
atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.16
23
Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka yang
memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki
prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada
waktu istirahat.
Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
c) Infark Miokard ST-elevasi (STEMI)
Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas.
3.2.7 Diagnosis
a) Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang,
area interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten (beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis (keringat dingin), mual,
muntah, nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.16
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di area
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan angina
atipikal sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes mellitus, gagal ginjal menahun atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,
24
keluhan patut dicurigai bila berhubungan dengan aktivitas, terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner. Hilangnya keluhan angina
setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis Sindrom
Koroner Akut.16
Diagnosis Sindrom Koroner Akut menjadi lebih kuat jika ditemukan gejala
sebagai berikut:16
- Pria
- Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer/karotis)
- Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner atau IKP
- Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dyslipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifikasikan sebagai risiko
tinggi, risiko sedang atau risiko rendah menurut National Cholestrol
Education Program.
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada non kardiak):
- Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
- Nyeri abdomen tengah atau bawah
- Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral
- Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
- Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
- Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, rhonki basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap Sindrom Koroner Akut. Pericardial Friction Rub karena pericarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
25
pneumothoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding Sindrom Koroner
Akut.16
c) Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin sesampainya di ruang gawat daruat. Sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non
diagnostic. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali.16
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu normal, non diagnostik, left bundle branch block (LBBB)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥ 20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.16
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada
sadapan dengan komplek QRS positif dan depresi segmen ST ≥ 1 mm di V1-
V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan
yang mempunyai spesivisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis
iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan
komplek QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.13
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen
segmen ST persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non elevasi segmen
ST (NSTEMI) atau angina pectoris tidak stabil (UAP). Depresi segmen ST
yang diagnostik untuk iskemia adalah ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1
mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai
juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (< 20 menit) dan dapat terdeteksi
di > 2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV
mempunyai spesifisitas tinggi untuk iskemia akut.16
26
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan diagnosis Sindrom
Koroner Akut tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi
di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada
hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.
Depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di ≥ 2 sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetap mengingat kesulitan untuk mengukur
depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan
depresi segmen ST ≥ 1 mm. Depresi segmen ST ≥ 1 mm dan atau inversi
gelombang T ≥ 2 mm di beberapa sadapan precordial sangat sugestif untuk
mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Gelombang Q ≥
0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan atau inversi gelombang T
menunjukkan tingkat persangkaan terhadap Sindrom Koroner Akut tidak
tinggi sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan
Sindrom Koroner Akut atau Definitif Sindrom Koroner Akut.16
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non diagnostik sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian
(rekam juga V7-V9). Pada keadaan dimana EKG ulang tetap menunjukkan
kelainan non diagnostik dan biomarker jantung negatif sementara keluhan
angina sangat sugestif Sindrom Koroner Akut maka pasien dipantau selama
12-24 jam, EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali
dalam 24 jam. Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG misalnya
depresi segmen ST dan atau inversi gelombang T yang signifikan maka
diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan.16
d) Pemeriksaan Biomarker Jantung
Pemeriksaan troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai
sensitifitas dan spesivisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan biomarka
jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit namun tidak dapat dipakai
untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyabab koroner atau
non koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat pada kelainan kardiak non
koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan non kardiak yang dapat meningkatkan
kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, emboli paru,
hipertensi pulmonal, kemoterapi dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya
27
troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesivisitas yang lebih tinggi daripada
troponin T.16
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi
dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis
NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan
perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung
meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN).
Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang sebaiknya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes
yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien
infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin
biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu. Mengingat troponin I/T tidak
terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung
ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium
setempat. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB
dapat digunakan.4
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau Troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan Sindrom
Koroner Akut sehingga pemeriksaan baiknya diulang setelah 8-12 jam setelah
awitan angina. Jika awitan Sindrom Koroner Akut tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CKMB yang meningkat dapat dijumpai pada
kerusakan otot skeletal dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CKMB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark maupun infark periprosedural.16
28
3.2.8 Tatalaksana
a) Evaluasi Awal
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa dan pemeriksaan fisik terarah serta
gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari: STEMI, NSTEMI,
UAP dan kemungkinan bukan SKA.
b) Penanganan Awal
Penanganan awal dimulai dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang
telah terbukti dapat memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian
antiplatelet jangka panjang untuk menurunkan risiko thrombosis arteri koroner
berulang, penyekat beta dan statin.
c) Terapi Anti-Iskemia dan Analgesik
- Oksigen dianjurkan bila saturasi O₂ perifer < 90%.
- Nitrogliserin spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan
1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai 3 kali. Nitrogliserin
intravena diberikan kepada pasien yang tidak responsif dengan 3 dosis
nitrogliserin sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia nitrogliserin, isoborbid
dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
- Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas dengan dosis 1-5 mg
intravena dan dapat diulang setiap 10-30 menit bagi pasien yang tidak responsif
terhadap terapi 3 dosis nitrogliserin sublingual.
- Penyekat beta secara kompetitif mengambat efek katekolamin terhadap miokard
dengan cara menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan darah, sehingga
konsumsi oksigen oleh miokard menurun.
d) Agen Antiplatelet
Peran aktivasi dan agregasi platelet merupakan target utama pada penanganan pasien
SKA. Pemberian antiplatelet dilakukan untuk mengurangi risiko komplikasi iskemia
akut dan kejadian aterotrombosis berulang.
- Penyekat Glycoprotein IIb/IIIa
Pengunaan GIIb/IIIa akan meningkatkan kejadian perdarahan mayor, sehingga
potensi keuntungannya harus dinilai bersama dengan risiko perdarahannya.
- Antikoagulan
29
Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi thrombin dan aktivitasnya.
Banyak studi telah membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan antiplatelet
sangat efektif dalam mengurangi serangan jantung akibat thrombosis.
e) Revaskularisasi Koroner
Pada pasien dengan risiko tinggi menjalani kematian dan kejadian kardivaskular,
pemeriksaan angiografi koroner dengan tujuan untuk revaskularisasi (strategi invasif)
telah terbukti mengatasi simptom, memperpendek hari perawatan dan memperbaiki
prognosis.
f) Intervensi Koroner Perkutan
Intervensi koroner perkutan (PCI) umumnya menggunakan stent/cincin untuk
mengurangi kejadian oklusi tiba-tiba (abrupt closure) dan penyempitan kembali.
g) Intervensi Bedah: Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Proses trombosis merupakan target terapi antiplatelet dan antikoagulan, sehingga bila
pasien menjalani CABG risiko perdarahan dan komplikasi perioperatif lebih tinggi.
Secara umum bila memungkinkan, CABG dilakukan setelah minimal 48-72 jam.
h) Tatalaksana Jangka Panjang
Pasien dengan SKA non ST elevasi memiliki risiko tinggi untuk berulangnya iskemia
setelah fase awal. Oleh sebab itu, prevensi sekunder secara aktif sangat penting
sebagai tatalaksana jangka panjang, yang mencakup :
- Perbaikan gaya hidup seperti berhenti merokok, aktivitas fisik teratur, dan diet.
- Penurunan berat badan pada pasien obesitas dan kelebihan berat badan overweight.
- Intervensi terhadap profil lipid yaitu Statin direkomendasikan pada semua pasien
dengan SKA tanpa ST elevasi, diberikan hari ke 1-4, dengan tujuan menstabilisasi
dinding plak aterosklerosis serta Disarankan terapi penurunan level lipid secara
intensif dengan target LDL.
- Meneruskan pemakaian anti-platelet.
- Pemakaian penyekat beta harus diberikan pada semua pasien, termasuk pasien
dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan, dengan atau tanpa gejala gagal
jantung.
30
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien wanita bernama Ny. FD, 55 tahun, datang dengan keluhan sesak napas disertai
nyeri dada sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan
istirahat. Sesak disertai nyeri Keluhan dirasakan saat pada saat bangun tidur dengan durasi
sekitar 1 jam. Nyeri dirasakan menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dada seperti ini sering
hilang timbul sejak 1 tahun SMRS dan mereda bila beristirahat. Nyeri saat ini dirasa
memberat sejak 1 hari SMRS disertai dengan sesak napas. Keringat dingin (+), Mual (+),
dada berdebar-debar (-). Sejak 6 tahun SMRS, pasien mempunyai hipertensi dan tidak teratur
minum obat. Orthopnea -. PND -. DOE -. Kebiasaan merokok -. Menopause -. Riwayat
Diabetes mellitus disangkal. Riwayat darah tinggi, Diabetes mellitus, penyakit jantung dalam
keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sesak, pernapasan 28x/menit, Tekanan
darah 140/90 mmHg, pada perkusi jantung didapatkan batas jantung kiri melebar, pada
auskultasi paru didapatkan ronkhi basah halus di basal paru bilateral. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan WBC: 14.300/mm3, CKMB: 40 ng/ml, Kolestrol total: 228 ng/ml,
HDL: 63 mg/dL, LDL: 151 mg/dL ; EKG didapatkan Irama sinus, LAD, QRS rate
144x/menit, gelombang p 0.08 s 0.1 mV, p terminal force di V1 (defleksi negatif lebar >1
mm, amplitudo > 1mm), PR interval 0,12 detik, gelombang QRS 0,8 detik, ST elevasi lead II,
III, aVF, V2-V6, T inversi (-), R/S di V1 < 1, R/S di V6 > 1, S di V1 + R di V5/V6 < 35mm
, pada foto torax didapatkan kardiomegali, apex lateral downward dan edema paru.
Berdasarkan riwayat penyakit tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesak dan nyeri
dada yang dialami pasien ini berasal dari gangguan jantung. Pada pasien ini, sesak dirasakan
terus menerus dan tidak hilang dengan istirahat. Kemudian bersifat kronik progresif dimana
sejak 1 bulan sesak muncul dan memberat sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis juga dapat
disingkirkan sesak dari penyebab lain. Keluhan sesak napas tidak membaik dengan posisi
setengah duduk atau posisi miring ke kanan atau kiri menyingkirkan penyebab efusi pleura.
Keluhan tidak disertai dengan batuk, batuk darah dan panas badan menyingkirkan sesak
akibat TB paru. Keluhan tidak disertai mengi dan tidak dipengaruhi cuaca atau emosi
31
menyingkirkan penyebab asma. Sesak tidak disertai dengan lemah badan dan BAK sedikit-
sedikit menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit ginjal.
Dari anamnesis juga didapatkan keluhan nyeri dada yang dirasakan saat istirahat
dengan durasi 1 jam. Nyeri dirasakan di dada tengah menjalar ke leher dan punggung.yang
dirasakan seperti ditindih benda berat. Gejala nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala
kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina berlokasi di sub/retrosternal, prekordial dengan
sifat rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan
dipelintir yang menjalar biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri biasanya membaik atau
hilang dengan istirahat, atau nitrat. Pada pasien ini juga didapatkan gejala penyerta seperti
mual, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas. Dari anamnesis durasi gejala >30
menit disertai keringat dingin dan mereda saat istirahat mengarah ke STEMI dibandingkan
dengan UAP dan NSTEMI. Dari hasil pemeriksaan penunjuang didapatkan hasil EKG
menunjukkan STEMI infero-anterolateral dan LAE dan didapatkan peningkatkan
biomarker jantung yaitu CK-MB. Temuan LAE pada EKG dan kranialisasi pada rongent
thoraks menandakan adanya gejala kongesti paru atau edema paru yang merupakan salah satu
tanda dekompensasi jantung akibat iskemia miokard.
Pada pasien ini juga terdapat riwayat hipertensi 6 tahun yang tidak terkontrol dan dari
hasil chest x-ray menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Sehingga diagnosis penyakit
jantung hipertensi belum dapat disingkirkan. Hipertensi lama yang dapat menyebabkan
resistensi perifer yang tinggi dalam jangka waktu lama dan tidak terkontrol menyebabkan
daya kontraktilitas jantung semakin menurun akibat kompensasi hipertrofi otot jantung untuk
meningkatkan stroke volume. Dilatasi ventrikel kiri lama kelamaan menyebabkan penipisan
otot ventrikel kiri dan fraksi ejeksi menjadi tidak maksimal. Hal ini dapat memperberat
kondisi perfusi jantung sendiri dan peningkatan resistensi perifer pada hipertensi
memperberat kerja pompa jantung sehingga lama kelamaan dapat terjadi dilatasi ventrikel
yang dapat menyebabkan penipisan otot ventrikel kiri dan fraksi ejeksi menjadi tidak
maksimal.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Hipertensi dan
hiperlipidemia pada pasien ini merupakan faktor risiko terjadinya ACS. Pasien memiliki
32
kadar kolestrol tinggi dengan HDL rendah dan LDL yang tinggi. Kolesterol terdiri dari HDL
(high density lipoprotein) dan LDL (low density lipoprotein). HDL berperan membawa kadar
lemak yang tinggi ke dalam jaringan hati untuk dimetabolisme dan diekskresi dari tubuh.
LDL berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Jika terakumulasi
dalam jumlah banyak, maka kolesterol akan deposit ke dinding pembuluh darah dan
menghambat aliran darah. Ini akan meningkatkan resiko serangan jantung. Rasio non-HDL
kolesterol, trigliserida dan total kolesterol dengan HDL kolesterol lebih berhubungan dengan
resiko penyakit jantung koroner dibandingkan dengan hanya LDL kolesterol.
Hipertensi tidak terkontrol pada pasien dapat menyebabkan kerusakan pada endotel
yang menybabkan senyawa vasodilator tidak keluar dan membuat penumpukan oksigen
reaktif serta penumpukan faktor -faktor inflamasi yang mendukung aterosklerosis, trombosis
dan penyumbatan pembuluh darah. Hipertensi juga menyebabkan peningkatan afterload yang
mengakibatkan hipertropi dari ventrikel kiri yang menybabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen miokardium dan penurunan aliran darah koroner. Orang dengan hipertensi memiliki
resiko 3 kali lebih besar untuk terkena penyakit jantung koroner dibanding dengan orang
yang normotensi.
Jadi, berdasarkan adanya gejala nyeri dada tipikal, tidak menghilang dengan istirahat,
gejala otonom, sesak napas, dan gambaran EKG yang menunjukkan ST elevasi daerah
inferior-anteriorlateral, serta kenaikan eznim jantung CKMB. Disimpulkan diagnosis pada
pasien ini adalah STEMI infero-anteriolateral + HHD .
Klasifikasi IMA pasien ini berdasarkan klasifikasi Killip adalah Killip kelas II, di
mana ditemukannya adanya tanda-tanda gagal jantung ringan (ronkhi basah halus pada
setengah lapangan paru). Untuk prognosis pasien ini berdasarkan skoring TIMI adalah 9/14
(usia = 0, tekanan darah sistolik <100 mmHg = 3, laju jantung >100x/menit = 2, Killip kelas
II-IV = 0, elevasi ST anterior atau BBB = 1, riwayat DM/HT /angina = 1, berat badan <67 kg
= 1, waktu perawatan >4 jam = 1).
Skor TIMI risk score
Faktor risiko (b) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3) 0(0,8) / 1(1,6)
DM/HT/angina (1) 2(2,2)
SBP<100 (3) 3(4,4)
HR >100 (2) 4(7,3)
Klasifikasi killip II-IV (2) 5(12,4)
Berat <67 kg (1) 6(16,1)
33
ST elevasi anterior atau LBBB (1) 7(23,4)
Waktu ke reperfusi >4jam (1) 8(26,8)
(skor maksimum 14 poin) >8(35,9)
Rencana edukasi
- Hindari diet tinggi lemak dan kolesterol
- Kontrol dan minum obat teratur
- Kendalikan emosi (jangan sering cemas atau gelisah)
34
DAFTAR PUSTAKA
1. O’gara P. T., Kushner F. G., et al., 2013. Practice Guideline : 2013 ACCF/AHA
2. Alwi I. 2009. Infark miokard akut dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo A. W, Setryohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu pengetahuan penyakit dalam jilid II.
3. Sherwood, Lauralee. 2001. Sistem kardiovaskular. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke
4. Guyton A.C, Hall J.E., 2007. Fisiologi Jantung, dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
5. Thomas A. Pearson, MD, PhD; Steven N. Blair, PED; Stephen R. Daniels, MD, PhD;
Robert H. Eckel, MD; Joan M. Fair, RN, PhD; Stephen P. Fortmann, MD; Consensus
Panel Guide to Comprehensive Risk Reduction for Adult Patients Without Coronary or
7. O'Brien, Terrence. 2006. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical University of
8. Baim, Donald S. 2008. Hypertensive vascular disease in: Harrison’s Principles of Internal
1
9. Kumar, A., Cannon, C.P. 2009. Acute Coronary Syndrome:Diagnosis and
10. Santoso, S., & Ranti, A. L. (2013). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.
11.Boer C, A Zirlik. 2007. STEMI and STEMI: The dangerous brother.European Hearth
Journal. P:1403-4.
Access. P:2045-51.
13.Ozben B, Erdogan O. 2008. The role of inflammation and allergy in acute coronary
15.Stivano RV, Torry A, Lucia P, Jeffrey O. 2013. Gambaran faktor resiko penderita SKA.
16.Nur S, Djanggan S. 2007. Sensitivitas dan spesifitas troponin T dan I pada diagnosis infark
17.Izzatul MM. 2015. Perbedaan Kadar SGOT pada Sindrom Klinis Penyaki Sindrom
Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi Jember. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.