Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

NSTEMI Inferior-Anterolateral Killip II +


HHD

Oleh:

Nanda Syauqiwijaya, S. Ked 04084821921149


Wiku Hapsara, S. Ked 04084821921

Pembimbing:
Dr. H. Faisal Soleh, SpPD, KKV, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BARI PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

STEMI Inferior-Anterolateral Killip II + HHD

Oleh

Ashifa Maulidya, S. Ked 04084821820044


Anindya Riezkaa Baliera, S. Ked 04084821820061
Kang Yee Ming. S.Ked 04084821820056

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang

Palembang, November 2019

Dr. H. Faisal Soleh, SpPD, KKV, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “STEMI Inferior-Anterolateral
Killip II+ HHD” sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya.
Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. H. Faisal Soleh, SpPD, KKV, selaku pembimbing yang telah membantu
penyelesaian laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam penyusunan laporan kasus ini mengingat keterbatasan kemampuan penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat kepada pembacanya.
Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga bermanfaat untuk penulis dan orang
lain.

Palembang, November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................ 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 15
3.1. Anatomi dan Fisiologi Jantung.......................................................... 15
3.2. Sindrom Koroner Akut ...................................................................... 17
BAB IV ANALISIS KASUS ......................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan gejala klinis yang


menggambarkan kondisi iskemik miokard akut.1,2 Nyeri dada adalah gejala utama yang
dijumpai serta dijadikan dasar diagnostik dan terapeutik awal, namun klasifikasi
selanjutnya didasarkan pada gambaran elektrokardiografi (EKG).3 Terdapat dua
klasifikasi pasien SKA berdasarkan gambaran EKG yaitu infark miokard dengan elevasi
segmen ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI).2,3
NSTEMI biasanya disebabkan oleh penyempitan arteri koroner yang berat,
sumbatan arteri koroner sementara, atau mikroemboli dari trombus dan atau materi-
materi atheromatous. Dikatakan NSTEMI bila dijumpai peningkatan biomarkers
jantung tanpa adanya gambaran ST elevasi pada EKG, apabila tidak didapati
peningkatan enzim-enzim jantung kondisi ini disebut dengan unstable angina (UA) dan
diagnosis banding diluar jantung harus tetap dipikirkan.1,4
Setiap tahunnya di Amerika Serikat 1.360.000 pasien datang dengan SKA,
810.000 diantaranya mengalami infark miokard dan sisanya dengan UA. Sekitar dua per
tiga pasien dengan infark miokard merupakan NSTEMI dan sisanya merupakan
STEMI.5 Didunia sendiri, lebih dari 3 juta orang pertahun diperkirakan mendapatkan
STEMI dan lebih dari 4 juta orang mengalami NSTEMI. Di Eropa diperkirakan
insidensi tahunan NSTEMI adalah 3 dari 1000 penduduk, namun angka ini cukup
bervariasi di negara-negara lain.3 Angka mortalitas di rumah sakit lebih tinggi pada
STEMI namun mortalitas jangka panjang didapati dua kali lebih tinggi pada pasien-
pasien dengan NSTEMI dalam rentang 4 tahun.3,6
Oleh karena itu, manajemen yang optimal terhadap kondisi NSTEMI sangat
penting.6 Anamnese, pemeriksaan fisik, EKG, pertanda biokimia, dan ekokardiografi
merupakan alat- alat yang sangat penting digunakan untuk mendapatkan diagnosis yang
tepat. Manajemen SKA harus berfokus pada diagnosis yang cepat dan tepat, stratifikasi
resiko, tindakan terapi yang sesuai untuk mengembalikan aliran darah pembuluh
koroner dan mengurangi iskemik miokard.1,4

5
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi
Nama : Ny. N
Usia : 85 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. KH Wahid Hasyim, 2 ULU, Seberang ULU 1, Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Pendidikan terakhir : SLTA
MRS : 16 Desember 2019

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis (tanggal 17 November 2019)
Keluhan utama:
Sesak napas sejak ± 1 jam SMRS
Keluhan tambahan:
Nyeri dada sejak ± 1 jam SMRS
Riwayat perjalanan penyakit:
sejak ± 1 jam SMRS pasien mengeluh sesak napas. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas. Sesak
dirasakan terus menerus dan berkurang dengan istirahat. Pasien lebih merasa nyaman dalam
kondisi duduk. Keluhan tidak disertai dengan batuk, batuk darah dan panas badan. Keluhan
tidak disertai mengi. Sesak tidak dipengaruhi cuaca atau emosi. Sesak tidak disertai dengan
badan lemah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh nyeri dada tengah
yang dirasakan seperti ditindih benda berat sejak 1 jam SMRS. Keluhan dirasakan saat
sedang beristirahat dengan durasi sekitar 30 menit. Nyeri dirasakan menjalar ke leher dan
punggung. Pasien belum pernah berobat.
Terdapat keringat dingin, disertai mual tanpa muntah. Keluhan tidak disertai dada
berdebar, pingsan atau hampir pingsan. Saat tiba di RSUD BARI, penderita sudah tidak
merasakan nyeri dada. Demam tidak ada, muntah tidak ada. Penderita kemudian dibawa
6
ke IGD RSUD BARI untuk tatalaksana lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu:


• Riwayat darah tinggi (+) sejak 20 tahun yang lalu, jarang kontrol dan tidak teratur
minum obat
• Riwayat kencing manis (+)
• Riwayat asma dan alergi obat disangkal

Riwayat penyakit dalam keluarga dan lingkungan:


• Riwayat darah tinggi (+) ayah dan ibu pasien
• Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat gizi:
Sebelum sakit, pasien makan teratur sebanyak 3 kali sehari dengan porsi cukup dan
makanan yang bervariasi.

2.3 Pemeriksaan Fisik (tanggal 17 Desember 2019)


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 160/90mmHg
Nadi : 118 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 28 x/menit, regular, thorakoabdominal


Suhu : 36,5o C (aksila)
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 156 cm
IMT : 25 (overweight)

7
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam dengan sebagian putih, lurus, pendek dan tidak mudah
dicabut
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

Mata
Eksoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)

Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Septum : Deviasi (-)

Telinga
Meatus akustikus eks. : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : Baik
8
Mulut
Higiene : Baik
Bibir : Cheilitis (-), rhagaden (-), sianosis (-)
Lidah : Kotor (-), atrofi papil (-), pucat (-)
Tonsil : T1-T1
Mukosa Mulut : Basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Gigi : (-)
Bau pernapasan : Tidak ada bau pernapasan

Leher
Inspeksi : Benjolan (-)
Palpasi : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Auskultasi : Thyroid bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O

Dada
Inspeksi : Statis simetris, dinamis simetris, spider nevi (-), venektasi (-),
retraksi (-), scar (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak telihat, pulsasi (-), voussure cardiaque (-)
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), pericardial friction rub (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis dextra
batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Reguler, BJ I dan II di semua katup, S3(-)
murmur (-)
Paru-paru (anterior)
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis

9
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di kedua basal
paru, wheezing (-)

Paru-paru (posterior)
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi basah halus (+) di kedua basal
paru, wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), scar (-), caput medusae (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement
ginjal (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal

Ekstremitas
Inspeksi:
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab (+),
flapping tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-)
Palpasi:
Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+), krepitasi (-/-)

ROM:
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas
1
0
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Cukup
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Cukup
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab

Kelenjar Getah Bening (KGB)


Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular, submandibula, cervical
anterior dan posterior, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan inguinal

Pembuluh Darah
A.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis posterior, a.dorsalis
pedis: teraba

Status Neurologis
Tidak dilakukan pemeriksaan

1
1
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah (17 Desember 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin* 11,4 g/dL 12-14 g/dL
RBC* 4.8 x106/mm3 4,40-6,30x106/mm3
Leukosit 9.1 x103/mm3 4.73-10.89x103/mm3
Hematokrit 37% 41 - 51%
Trombosit 314 x103/ µL 170-396x103/µL
Hitung jenis
 Basofil 0% 0-1%
 Eosinofil 2% 1-6%
 Netrofil 60% 50-70%
 Limfosit 31% 20-40%
 Monosit 7% 2-8%
Kimia darah
GDS* 269 mg/dL <180
Cardiac Enzyme
CPK 104 U/l
CK-MB 25 ng/mL 0-24 ng/mL

1
2
EKG

Irama sinus, LAD, QRS rate 144x/menit, gelombang p 0.08 s 0.1 mV, p terminal force di V1
(defleksi negatif lebar >1 mm, amplitudo > 1mm), PR interval 0,12 detik, gelombang QRS
0,8 detik, ST elevasi lead II, III, aVF, V2-V6, T inversi (-), R/S di V1 < 1, R/S di V6 > 1, S
di V1 + R di V5/V6 < 35mm
Kesan: STEMI imferior anterolateral, LAE

Rongent Thorax PA

Kesan : Kardiomegali , edema paru (kranialisasi)

1
3
2.5 Diagnosis
- STEMI Inferior anterolateral Killip II
- Hypertension Heart Disease
- Hipertensi stage I
- Hiperlipidemia

2.6 Diagnosis Banding


- NSTEMI + HHD + Hipertensi stage I + Hiperlipidemia
- Unstable angina pectoris + HHD + Hipertensi stage I + Hiperlipidemia

2.7 Rencana Pemeriksaan


1. Echocardiography

2.8 Penatalaksanaan
Non farmakologis:
a. Tirah baring
b. O2 2 lpm nasal kanul
c. Pasang urine kateter
d. Penilaian dan stabilisasi hemodinamik
e. Monitoring EKG
f. Edukasi mengenai penyebab penyakit dan pentingnya mengontrol faktor risiko

Farmakologis:
a. IVFD RL gtt X/menit
b. Injeksi furosemide 40 mg per 24 jam iv
c. Aspilet loading 162 mg po dilanjutkan 80 mg per 24 jam po
d. Fondaparinux 1 x 2.5 mg iv per 24 jam dilanjutkan 1 x 2.5 mg sc
e. Clopidogrel loading 300 mg po dilanjutkan 75 mg per 24 jam po
f. NRF 5 mg per 12 jam po
g. ISDN 5 mg per 8 jam
h. Bisoprolol 2.5 mg per 24 jam po
i. Atorvastatin 20 mg per 24 jam po

1
4
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

2.10 Follow Up
Tanggal P
17/10/19 S: sesak (+), nyeri dada (-), jantung berdebar (-) Non farmakologis:
O: a. Tirah baring
Sensorium: compos mentis b. O2 2 lpm nasal kanul
TD: 130/ 80 mmHg c. Monitor urine output
Nadi: 84 x/m d. Penilaian dan stabilisasi
RR: 24 x/m hemodinamik
Temp: 36,2ºC e. Monitoring EKG
VAS: 0 f. Edukasi mengenai
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-), penyebab penyakit dan
sklera ikterik (-) pentingnya mengontrol
Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-) faktor risiko
pembesaran kelenjar tiroid (-)
Farmakologis:
Thorax: a. IVFD RL gtt X/menit
Pulmo: b. Injeksi furosemide 40
Inspeksi : simetris, statis, dinamis mg per 24 jam iv
Palpasi : stem fremitus Kanan=kiri c. Aspilet 80 mg per 24
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru jam po
Auskultasi : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+) d. Fondaparinux 1 x 2.5
basal paru bilateral, wheezing (-) mg sc
e. Clopidogrel 75 mg per
Jantung 24 jam po
Inspeksi : iktus kordis tidak telihat, pulsasi (-), f. NRF 5 mg per 12 jam
voussure cardiaque (-) po
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), g. ISDN 5 mg per 8 jam
pericardial friction rub (-) h. Bisoprolol 2.5 mg per
10
Perkusi : batas jantung atas ICS II linea 24 jam po
parasternalis dextra, batas jantung kanan ICS IV i. Atorvastatin 20 mg per
linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI 24 jam po
linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : HR=82/menit, ireguler, BJ I dan II di
semua katup, S3(-) murmur (-)

Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-),
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas: akral hangat (+/+), palmar eritem (-


/-), edema pretibial (-/-)
A:
- STEMI Inferior anterolateral Killip I
- Hypertension heart disease
- Hipertensi stage I
- Hiperlipidemia

18/10/19 S: sesak berkurang, nyeri dada (-), jantung Non farmakologis:


berdebar (-) a. Tirah baring
O: b. O2 2 lpm nasal kanul
Sensorium: compos mentis c. Monitor urine output
TD: 130/70 mmHg d. Penilaian dan stabilisasi
Nadi: 78 x/m hemodinamik
RR: 22 x/m e. Monitoring EKG
Temp: 36,2ºC f. Edukasi mengenai
VAS: 0 penyebab penyakit dan
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-), pentingnya mengontrol
sklera ikterik (-) faktor risiko
Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
11
pembesaran kelenjar tiroid (-) Farmakologis:
a. IVFD RL gtt X/menit
Pulmo: b. Injeksi furosemide 40
Inspeksi : simetris, statis, dinamis mg per 24 jam iv
Palpasi : stem fremitus Kanan=kiri c. Aspilet 80 mg per 24
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru jam po
Auskultasi : vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-) d. Fondaparinux 1 x 2.5
mg sc
Jantung e. Clopidogrel 75 mg per
Inspeksi : iktus kordis tidak telihat, pulsasi (-), 24 jam po
voussure cardiaque (-) f. NRF 5 mg per 12 jam
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), po
pericardial friction rub (-) g. ISDN 5 mg per 8 jam
Perkusi : batas jantung atas ICS II linea h. Bisoprolol 2.5 mg per
parasternalis dextra, batas jantung kanan ICS IV 24 jam po
linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS VI i. Atorvastatin 20 mg per
linea axillaris anterior sinistra 24 jam po
Auskultasi : HR=78/menit, ireguler, BJ I dan II di
semua katup, S3(-) murmur (-)

Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-),
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas: akral hangat (+/+), palmar eritem (-


/-), edema pretibial (-/-)
A:
- STEMI Inferior anterolateral Killip I
- Hypertension heart disease
- Hipertensi stage I
- Hiperlipidemia
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung


Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga dada
dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Ukuran jantung lebih
kurang sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram.1
Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan
ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan berdinding tipis, sedangkan
ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan mempunyai dinding lebih tebal karena
harus memompa darah ke seluruh tubuh. Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah
rendah oksigen dari seluruh tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen
dari paru-paru dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi
menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru.ventrikel kiri
berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh. Jantung juga terdiri
dari tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan selaput pembungkus disebut
epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari jantung terdiri dari otot-otot jantung
disebut miokardium dan lapisan terluar yang terdiri jaringan endotel disebut endokardium.2

3.1.1 Siklus jantung


Siklus jantung merupakan kejadian yang terjadi dalam jantung selama peredaran
darah. Gerakan jantung terdiri dari 2 jenis yaitu kontraksi (sistolik) dan relaksasi
(diastolik). Sistolik merupakan sepertiga dari siklus jantung. Kontraksi dari ke-2 atrium
terjadi secara serentak yang disebut sistolik atrial dan relaksasinya disebut diastolik atrial.
Lama kontraksi ventrikel ±0,3 detik dan tahap relaksasinya selama 0,5 detik. Kontraksi
kedua atrium pendek, sedangkan kontraksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Daya
dorong ventrikel kiri harus lebih kuat karena harus mendorong darah keseluruh tubuh
untuk mempertahankan tekanan darah sistemik. Meskipun ventrikel kanan juga
memompakan darah yang sama tapi tugasnya hanya mengalirkan darah ke sekitar paru-
paru ketika tekanannya lebih rendah.2

13
3.1.2 Curah jantung
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa tiap ventrikel per menit.
Pada keadaan normal (fisiologis) jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel kanan
dan ventrikel kiri sama besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi penimbunan darah di
tempat tertentu. Jumlah darah yang dipompakan pada setiap kali sistolik disebut volume
sekuncup. Dengan demikian curah jantung = volume sekuncup x frekuensi denyut jantung
per menit. Umumnya pada tiap sistolik ventrikel tidak terjadi pengosongan total ventrikel,
hanya sebagian dari isi ventrikel yang dikeluarkan. Jumlah darah yang tertinggal ini
dinamakan volume residu. Besar curah jantung seseorang tidak selalu sama, bergantung
pada keaktifan tubuhnya. Curah jantung orang dewasa pada keadaan istirahat lebih
kurang 5 liter dan dapat meningkat atau menurun dalam berbagai keadaan.1,2

3.1.3 Denyut Jantung dan Daya pompa Jantung


Pada saat jantung normal dalam keadaan istirahat, maka pengaruh sistem
parasimpatis dominan dalam mempertahankan kecepatan denyut jantung sekitar 60
hingga 80 denyut per menit. Kecepatan denyut jantung dalam keadaan sehat dipengaruhi
oleh pekerjaan, tekanan darah, emosi, cara hidup dan umur. Pada waktu banyak
pergerakan, kebutuhan oksigen (O2) meningkat dan pengeluaran karbondioksida (CO2)
juga meningkat sehingga kecepatan jantung bisa mencapai 150 x/ menit dengan daya
pompa 20-25 liter/menit.3 Pada keadaan normal jumlah darah yang dipompakan oleh
ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama sehingga tidak teradi penimbunan. Apabila
pengembalian dari vena tidak seimbang dan ventrikel gagal mengimbanginya dengan
daya pompa jantung maka vena-vena dekat jantung jadi membengkak berisi darah
sehingga tekanan dalam vena naik dalam jangka waktu lama, bisa menjadi edema.1

Gambar 1. Anatomi Jantung


14
3.2 Sindroma Koroner Akut
3.2.1 Definisi
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang
terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan
segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker jantung.4
Keadaan iskemia yang akut dapat menyebabkan nekrosis miokardial yang dapat
berlanjut menjadi Infark Miokard Akut. Nekrosis atau kematian sel otot jantung
disebabkan karena adanya gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot yang tidak
mendapat aliran darah dan tidak dapat mempertahankan fungsinya, dikatakan
mengalami infark.5

3.2.2 Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab
utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati urutan ke tiga. Di
negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang Sindrom koroner akut
(SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang bermakna. Sindrom koroner akut
merupakan salah satu kasus penyebab rawat inap di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta
adalah kasus SKA, 0, 81 juta di antaranya adalah infark miokardium, dan sisanya
angina pektoris tidak stabil.1 Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis
yang paling sering di negara maju. Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada IMA adalah
30% dengan separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Infark
Miokard Akut terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA
dengan ST elevasi.6
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia
pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara
berdasarkan diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340
orang. Berdasarkan diagnosis dokter estimasi jumlah penderita di Provinsi Jawa Barat
Sebanyak 0,5% atau sekitar 160.812 orang, sedangkan di Provinsi Maluku Utara paling
sedikit, yaitu 1.436 orang(0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah
penderita terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.1227 orang atau
sekitar (1,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua
Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis
15
di Jawa Tengah sebesar 0,5 persen, dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4
persen, sedangkan di Kota Surakarta angka prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7
%.7

3.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab tersering Sindrom Koroner Akut adalah deposit ateroma di jaringan
subintima pada arteri koroner besar dan sedang (aterosklerosis). Aterosklerosis adalah
proses kronis yang progresif dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen
fibrosa dan molekul inflamasi pada dinding arteri koroner. Progresivitas aterosklerosis
berhubungan dengan faktor lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut akan
berubah menjadi faktor resiko penyakit jantung koroner.6
Aterosklerosis ditandai dengan penebalan dinding arteri yang membentuk unit
lesi, atau ateroma. Pada tahun 1990, teori inflamasi mulai berkembang sebagai
patofisiologi aterosklerosis. Salah satu dasar terjadinya atherosklerosis adalah
terbentuknya cedera endotel akibat faktor-faktor resiko klasik seperti hiperlipidemia,
hipertensi, merokok, kenaikan homosistein plasma, diabetes militus yang akan
menyebabkan disfungsi endotel dan berlanjut ke inflamasi kronis pada dinding endotel.8
Terjadinya inflamasi berpengaruh pada peningkatan permeabilitas vaskuler.
Ketika terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler, maka terjadi migrasi, adhesi leukosit,
dan terjadi influks Ox-LDL ke dalam tunika intima. Beberapa monosit pun mulai masuk
ke dalam tunika intima dan berubah menjadi makrofag jaringan. Makrofag jaringan
karena suatu respon akan memakan Ox-LDL dan berubah menjadi foam cell.9 Foam
cells akan berubah menjadi fatty streaks. Fibrous cup terdiri dari otot polos dan jaringan
fibrosa sangat berperan dalam stabilitas plak ateroma.8 Apabila terjadi peningkatan
degradasi matriks oleh MMP, penurunan sekresi matriks akan sangat berpengaruh pada
stabilitas dari plak ateroma.Apabila plak ateroma mengalami ruptur, akan menimbulan
trombosis dan memicu terjadinya oklusi. Hal ini bila terjadi di dalam pembuluh darah
jantung akan mengakibatan menurunnya fungsi miokard sehingga terjadi manifestasi
klinis berupa sindroma koroner akut. Terjadinya inflamasi dalam proses aterosklerosis
ditandai dengan kenaikan kadar leukosit atau leukositosis.10
Faktor resiko penyakit jantung koroner dapat dibagi kepada dua faktor resiko
utama dan faktor resiko pendukung. Faktor resiko utama adalah faktor yang sering
menyebabkan penyakit jantung koroner. Faktor resiko utama dapat dibagi lagi kepada
16
dua yaitu faktor resiko utama yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor resiko utama
yang dapat dimodifikasi, yaitu:4
1. Faktor Resiko Utama
a) Faktor Resiko Utama yang Tidak Dapat Dimodifikasi
 Usia
Seiring pertambahan usia maka akan terdapat peningkatan resiko
untuk terjadinya perubahan pada arteri koroner yang dapat
menyebabkan terjadinya Sindrom Koroner Akut. Perubahan utama
yang terjadi berupa penebalan tunika intima disertai tunika media
yang menjadi fibrosis.
 Jenis Kelamin
Pria mempunyai risiko lebih besar dan kecenderungan mendapat
serangan lebih awal dalam kehidupannya kalau dibandingkan
wanita. Setelah menopause, estrogen tidak melindungi wanita,
maka angka kematian pada wanita akibat penyakit jantung
koroner meningkat. Wanita mempunyai faktor resiko tambahan
yang berperan meningkatkan kejadian terjadinya penyakit jantung
coroner seperti sindrom ovarium polikistik, preeklampsia,
menopause, penggunaan obat kontrasepsi oral dan terapi hormonal.
Wanita dengan sindrom ovarium polikistik menyebabkan
peningkatan resiko terjadinya sindroma metabolik dan faktor
resiko penyakit jantung koroner. Wanita hamil dengan
preeklampsia ditandai dengan hipertensi (>140/90 mmHg) dan
proteinuria (> 0,3g/24 jam) masa kehamilan 20 minggu berisiko 2
kali terkena penyakit jantung koroner dibanding dengan wanita
normotensi selama masa kehamilan. Menopause awal pada wanita
meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner atau stroke
dibanding dengan wanita yang dapat menopause pada waktu
normal.
 Genetik
Studi mengenai genom berhasil mengidentifikasi SNPs (single
nucleotide polymorphism) berkaitan dengan penyakit jantung
koroner, infark miokard atau keduanya. Gen Ch9p21 SNP adalah
17
gen yang berperan dalam terjadinya penyakit jantung koroner dan
infark miokard. Anak dari orang tua dengan penyakit jantung
koroner lebih berpotensi terkena penyakit jantung. Baik pria atau
wanita yang memiliki minimum satu orang tua yang memiliki
penyakit jantung koroner beresiko 1,4 - 1,6 kali untuk terkena
penyakit jantung coroner.
b) Faktor Resiko Utama yang Dapat Dimodifikasi
 Merokok
Rokok mengandung zat kimia seperti nikotin, karbon monoksida,
ammonia, formaldehida, tar dan lain-lain. Bahan aktif utama
adalah nikotin yang memberi efek akut dan tar memberi efek
kronis. Nikotin menyebabkan efek simpatomimetik pada sistem
kardiovaskuler seperti takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol,
meningkatkan noradrenalin dalam plasma, meningkatkan tekanan
darah, cardiac output naik, dan meningkatkan konsumsi oksigen
sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik, penempelan
platelet dan menurunkan HDL. Merokok dapat meningkatkan
oksidasi dari LDL yang dapat meningkatkan faktor lain seperti
hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes melittus. Merokok
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner sebanyak 2-4 kali
dari orang yang tidak merokok. Orang yang merokok satu
bungkus rokok setiap hari resiko serangan jantung berlipat 2 kali
dari orang yang tidak merokok. Wanita yang merokok mempunyai
resiko 25% lebih besar terkena penyakit jantung koroner
dibanding dengan pria yang merokok.
 Hiperlipidemia
Kolesterol adalah salah satu komponen lemak tubuh yang sangat
penting bagi sel yang sehat. Bila tubuh mengakumulasikannya
dalam jumlah banyak, maka kolesterol akan deposit ke dinding
pembuluh darah dan menghambat aliran darah. Ini akan
meningkatkan resiko serangan jantung. Kolesterol terdiri dari
HDL (high density lipoprotein) dan LDL (low density lipoprotein).
HDL berperan membawa kadar lemak yang tinggi ke dalam
18
jaringan hati untuk dimetabolisme dan diekskresi dari tubuh. LDL
berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner
18. Komponen lain adalah trigliserida. Kadarnya selalu
berpasangan dengan kadar HDL yang rendah 30. Rasio non-HDL
kolesterol, trigliserida dan total kolesterol dengan HDL kolesterol
lebih berhubungan dengan resiko penyakit jantung koroner
dibandingkan dengan hanya LDL kolesterol.
 Hipertensi
Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding
jantung menjadi kaku dan tebal yang menyebabkan jantung tidak
bekerja dengan baik dan meningkatkan resiko serangan jantung,
stroke dan gagal ginjal. Terdapat dua patofisiologi bagaimana
hipertensi menyebabkan penyakit jantung koroner. Teori pertama
adalah, hipertensi menyebabkan kerusakn pada endotel yang
menybabkan senyawa vasodilator tidak keluar dan membuat
penumpukan oksigen reaktif serta penumpukan faktor -faktor
inflamasi yang mendukung aterosklerosis, trombosis dan
penyumbatan pembuluh darah. Teori kedua, hipertensi
menyebabkan peningkatan afterload yang mengakibatkan
hipertropi dari ventrikel kiri yang menybabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokardium dan penurunan aliran darah
koroner. Orang dengan hipertensi memiliki resiko 3 kali lebih
besar untuk terkena penyakit jantung koroner dibanding dengan
orang yang normotensi.
 Aktivitas Fisik Kurang
Aktivitas fisik yang kurang dapat meningkatkan resiko penyakit
jantung koroner sebanyak 2 kali lipat dan dapat memperburukkan
faktor-faktor resiko yang lain seperti tekanan darah, kadar
kolesterol, trigliserida yang tinggi, diabetes dan berat badan.
Seseorang dengan aktivitas fisik sedang yang intensif selama 150
menit/minggu dan tambahan 300 menit/minggu akan menurunkan
resiko penyakit jantung koroner sebesar 14% dibanding dengan
orang yang tidak melakukan aktivitas fisik.
19
 Obesitas
Obesitas abdominal atau sentral, dapat diukur melalui berat badan
dan juga lingkar pinggang. Obesitas sentral dapat menyebabkan
berbagai hal seperti peningkatan kadar insulin dan resistensi
insulin (diabetes melitus) dimana insulin bisa menyebabkan
peningkatan tekanan darah dengan mempengaruhi retensi garam.
Berat badan berlebihan akan meningkatkan kerja jantung karena
meningkatkan jumlah tahanan perifer total sehingga tekanan darah
menjadi tinggi. Ini menyebabkan penebalan dinding ventrikel
sehingga meningkatkan massa pada ventrikel terutama ventrikel
kiri. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan
trigliserida serta menurunkan kadar HDL. Peningkatan 10kg berat
badan akan meningkatkan tekanan sistol sebesar 3mmHg dan
tekanan diastol sebesar 2,5mmHg dan setiap peningkatan IMT
sebesar 4kg/m² meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
iskemik sebesar 26%.
 Diabetes Mellitus
Kadar gula dalam darah yang tinggi menyebabkan peningkatan
plak ateromatous pada arteri 18. Kematian pasien diabetes melitus
sering disebabkan serangan sindroma koroner akut dibandingkan
dengan yang tidak memiliki diabetes melitus 39. Diabetes dapat
meningkatkan resiko menjadi penyakit jantung sebesar 2 kali lipat.
2. Faktor Resiko Pendukung
Faktor resiko pendukung adalah faktor yang berhubungan dengan peningkatan
resiko penyakit jantung koroner, tetapi hasilnya tidak terlalu bermakna. Faktor
resiko pendukung terdiri dari:
a) Stress
Stress merupakan efek fisik dan emosi yang dapat berefek pada jantung
akibat perlepasan hormon-hormon tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah dan dapat mendorong pembentukan clotting pada arteri. Stress bisa
meningkatkan tekanan darah karena menyebabkan vasokonstriksi pada
pembuluh darah arteri. Ini bisa menyebabkan peningkatan serangan jantung.
Faktor psikologi seperti stress, depresi, dan anxiety secara signifikan
20
kontribusi dalam onset, gejala klinis dan prognosis penyakit jantung koroner.
Orang yang mengalami stres berat beresiko terkena penyakit jantung koroner
sebesar 1,27 kali dibanding yang mengalami stres ringan.
b) Alkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sehingga
menyebabkan gagal jantung dan memicu stroke. Minum alkohol dalam
jumlah sedang dapat menurunkan resiko penyakit jantung. Alkohol dengan
dosis 15g/hari untuk wanita dan 30g/hari untuk pria secara signifikan dapat
meningkatkan kadar HDL, apolipoprotein A1, adiponektin dan tidak berefek
pada level trigliserida.
c) Diet
Mengkonsumsi daging yang telah diproses berkaitan dengan insidensi yang
lebih tinggi dari penyakit jantung koroner. Diet yang tidak sehat seperti tinggi
gula, lemak, dan garam dapat menyebabkan peningkatan berat badan, tekanan
darah, kadar lemak dalam tubuh dan kadar gula darah sehingga meningkatkan
resiko penyakit jantung koroner. Untuk mencegah penyakit jantung, asam
lemak jenuh diganti dengan asam lemak tidak jenuh rantai jamak daripada
asam lemak tidak jenuh rantai tunggal atau karbohidrat dan menghindari
konsumsi makanan trans-fatty acid dan makanan tinggi indeks glikemik.

3.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG) dan pemeriksaan biomarker jantung, sindrom koroner akut dapat
diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST Segment Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST Segment Elevation Myocardial Infarction
(STEMI). Penyebab tersering kunjungan ke RS pada penyakit jantung adalah UA dan
NSTEMI.11
Pada STEMI terjadi oklusi total arteri koroner sehingga menyebabkan daerah
infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG
ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard non ST-elevasi
(NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh
miokardium, sehingga pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen
ST. STEMI memerlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran
21
darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara medikamentosa dapat menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan apabila terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarker jantung.12
NSTEMI adalah salah satu spektrum Sindrom Koroner Akut dimana oklusi
bersifat parsial.13 Pada saat terjadi nekrosis miokard, permeabilitas miokard meningkat
sehingga enzim dan protein jantung keluar dan terdeteksi di sirkulasi. Beberapa
biomarker jantung yang terdeteksi sirkulasi seperti troponin, Mioglobin, Myosin,
CKMB, LDH, dan SGOT.14 SGOT sendiri telah diteliti perbedaannya pada spektrum
Sindrom Koroner Akut pada tahun sebelumnya dan menunjukkan kenaikan kadar
SGOT pada pasien NSTEMI.15
STEMI dan UAP dicurigai terjadi pada orang yang mengalami angina pektoris
akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelahan. Rekaman
EKG dapat berupa depresi segment ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan. STEMI dan UAP
dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarker jantung. Bila pada hasil
pemeriksaan biomarker jantung terdapat peningkatan yang bermakna maka
diagnosisnya adalah STEMI sedangkan apabila tidak terdapat peningkatan bermakna
dari biomarker jantung maka diagnosisnya adalah UAP. Pada Sindrom Koroner Akut,
nilai ambang untuk peningkatan biomarker jantung adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas.16

3.2.5 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
22
oksigen yang berhenti sekitar 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).16
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia,
selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating
dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak
plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis
akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan
arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak
atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.16

3.2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang timbul dapat dikategorikan berdasarkan klasifikasinya
yaitu UAP, NSTEMI dan STEMI yaitu:4
a) Unstable Angina Pectoris (UAP)
 Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari serangan sebelumnya.
 Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal.
 Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah,
kadang-kadang disertai keringat dingin.
 Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.
b) Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI)
 Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium
dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar.
 Nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala
yang sering ditemukan pada NSTEMI.

23
 Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka yang
memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki
prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada
waktu istirahat.
 Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
c) Infark Miokard ST-elevasi (STEMI)
 Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial.
 Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
 Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas.

3.2.7 Diagnosis
a) Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang,
area interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten (beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis (keringat dingin), mual,
muntah, nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.16
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di area
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan angina
atipikal sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes mellitus, gagal ginjal menahun atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,

24
keluhan patut dicurigai bila berhubungan dengan aktivitas, terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner. Hilangnya keluhan angina
setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis Sindrom
Koroner Akut.16
Diagnosis Sindrom Koroner Akut menjadi lebih kuat jika ditemukan gejala
sebagai berikut:16
- Pria
- Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer/karotis)
- Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner atau IKP
- Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dyslipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifikasikan sebagai risiko
tinggi, risiko sedang atau risiko rendah menurut National Cholestrol
Education Program.
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada non kardiak):
- Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
- Nyeri abdomen tengah atau bawah
- Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral
- Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
- Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
- Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, rhonki basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap Sindrom Koroner Akut. Pericardial Friction Rub karena pericarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
25
pneumothoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding Sindrom Koroner
Akut.16
c) Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin sesampainya di ruang gawat daruat. Sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non
diagnostic. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali.16
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu normal, non diagnostik, left bundle branch block (LBBB)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥ 20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.16
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada
sadapan dengan komplek QRS positif dan depresi segmen ST ≥ 1 mm di V1-
V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan
yang mempunyai spesivisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis
iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan
komplek QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.13
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen
segmen ST persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non elevasi segmen
ST (NSTEMI) atau angina pectoris tidak stabil (UAP). Depresi segmen ST
yang diagnostik untuk iskemia adalah ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1
mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai
juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (< 20 menit) dan dapat terdeteksi
di > 2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV
mempunyai spesifisitas tinggi untuk iskemia akut.16
26
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan diagnosis Sindrom
Koroner Akut tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi
di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada
hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.
Depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di ≥ 2 sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetap mengingat kesulitan untuk mengukur
depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan
depresi segmen ST ≥ 1 mm. Depresi segmen ST ≥ 1 mm dan atau inversi
gelombang T ≥ 2 mm di beberapa sadapan precordial sangat sugestif untuk
mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Gelombang Q ≥
0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan atau inversi gelombang T
menunjukkan tingkat persangkaan terhadap Sindrom Koroner Akut tidak
tinggi sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan
Sindrom Koroner Akut atau Definitif Sindrom Koroner Akut.16
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non diagnostik sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian
(rekam juga V7-V9). Pada keadaan dimana EKG ulang tetap menunjukkan
kelainan non diagnostik dan biomarker jantung negatif sementara keluhan
angina sangat sugestif Sindrom Koroner Akut maka pasien dipantau selama
12-24 jam, EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali
dalam 24 jam. Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG misalnya
depresi segmen ST dan atau inversi gelombang T yang signifikan maka
diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan.16
d) Pemeriksaan Biomarker Jantung
Pemeriksaan troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai
sensitifitas dan spesivisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan biomarka
jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit namun tidak dapat dipakai
untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyabab koroner atau
non koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat pada kelainan kardiak non
koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan non kardiak yang dapat meningkatkan
kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, emboli paru,
hipertensi pulmonal, kemoterapi dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya
27
troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesivisitas yang lebih tinggi daripada
troponin T.16
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi
dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis
NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan
perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung
meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN).
Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang sebaiknya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes
yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien
infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin
biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu. Mengingat troponin I/T tidak
terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung
ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium
setempat. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB
dapat digunakan.4
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau Troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan Sindrom
Koroner Akut sehingga pemeriksaan baiknya diulang setelah 8-12 jam setelah
awitan angina. Jika awitan Sindrom Koroner Akut tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CKMB yang meningkat dapat dijumpai pada
kerusakan otot skeletal dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CKMB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark maupun infark periprosedural.16

28
3.2.8 Tatalaksana
a) Evaluasi Awal
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa dan pemeriksaan fisik terarah serta
gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari: STEMI, NSTEMI,
UAP dan kemungkinan bukan SKA.
b) Penanganan Awal
Penanganan awal dimulai dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang
telah terbukti dapat memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian
antiplatelet jangka panjang untuk menurunkan risiko thrombosis arteri koroner
berulang, penyekat beta dan statin.
c) Terapi Anti-Iskemia dan Analgesik
- Oksigen dianjurkan bila saturasi O₂ perifer < 90%.
- Nitrogliserin spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan
1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai 3 kali. Nitrogliserin
intravena diberikan kepada pasien yang tidak responsif dengan 3 dosis
nitrogliserin sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia nitrogliserin, isoborbid
dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
- Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas dengan dosis 1-5 mg
intravena dan dapat diulang setiap 10-30 menit bagi pasien yang tidak responsif
terhadap terapi 3 dosis nitrogliserin sublingual.
- Penyekat beta secara kompetitif mengambat efek katekolamin terhadap miokard
dengan cara menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan darah, sehingga
konsumsi oksigen oleh miokard menurun.
d) Agen Antiplatelet
Peran aktivasi dan agregasi platelet merupakan target utama pada penanganan pasien
SKA. Pemberian antiplatelet dilakukan untuk mengurangi risiko komplikasi iskemia
akut dan kejadian aterotrombosis berulang.
- Penyekat Glycoprotein IIb/IIIa
Pengunaan GIIb/IIIa akan meningkatkan kejadian perdarahan mayor, sehingga
potensi keuntungannya harus dinilai bersama dengan risiko perdarahannya.
- Antikoagulan

29
Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi thrombin dan aktivitasnya.
Banyak studi telah membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan antiplatelet
sangat efektif dalam mengurangi serangan jantung akibat thrombosis.
e) Revaskularisasi Koroner
Pada pasien dengan risiko tinggi menjalani kematian dan kejadian kardivaskular,
pemeriksaan angiografi koroner dengan tujuan untuk revaskularisasi (strategi invasif)
telah terbukti mengatasi simptom, memperpendek hari perawatan dan memperbaiki
prognosis.
f) Intervensi Koroner Perkutan
Intervensi koroner perkutan (PCI) umumnya menggunakan stent/cincin untuk
mengurangi kejadian oklusi tiba-tiba (abrupt closure) dan penyempitan kembali.
g) Intervensi Bedah: Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Proses trombosis merupakan target terapi antiplatelet dan antikoagulan, sehingga bila
pasien menjalani CABG risiko perdarahan dan komplikasi perioperatif lebih tinggi.
Secara umum bila memungkinkan, CABG dilakukan setelah minimal 48-72 jam.
h) Tatalaksana Jangka Panjang
Pasien dengan SKA non ST elevasi memiliki risiko tinggi untuk berulangnya iskemia
setelah fase awal. Oleh sebab itu, prevensi sekunder secara aktif sangat penting
sebagai tatalaksana jangka panjang, yang mencakup :
- Perbaikan gaya hidup seperti berhenti merokok, aktivitas fisik teratur, dan diet.
- Penurunan berat badan pada pasien obesitas dan kelebihan berat badan overweight.
- Intervensi terhadap profil lipid yaitu Statin direkomendasikan pada semua pasien
dengan SKA tanpa ST elevasi, diberikan hari ke 1-4, dengan tujuan menstabilisasi
dinding plak aterosklerosis serta Disarankan terapi penurunan level lipid secara
intensif dengan target LDL.
- Meneruskan pemakaian anti-platelet.
- Pemakaian penyekat beta harus diberikan pada semua pasien, termasuk pasien
dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan, dengan atau tanpa gejala gagal
jantung.

30
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien wanita bernama Ny. FD, 55 tahun, datang dengan keluhan sesak napas disertai
nyeri dada sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan
istirahat. Sesak disertai nyeri Keluhan dirasakan saat pada saat bangun tidur dengan durasi
sekitar 1 jam. Nyeri dirasakan menjalar ke leher dan punggung. Nyeri dada seperti ini sering
hilang timbul sejak 1 tahun SMRS dan mereda bila beristirahat. Nyeri saat ini dirasa
memberat sejak 1 hari SMRS disertai dengan sesak napas. Keringat dingin (+), Mual (+),
dada berdebar-debar (-). Sejak 6 tahun SMRS, pasien mempunyai hipertensi dan tidak teratur
minum obat. Orthopnea -. PND -. DOE -. Kebiasaan merokok -. Menopause -. Riwayat
Diabetes mellitus disangkal. Riwayat darah tinggi, Diabetes mellitus, penyakit jantung dalam
keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sesak, pernapasan 28x/menit, Tekanan
darah 140/90 mmHg, pada perkusi jantung didapatkan batas jantung kiri melebar, pada
auskultasi paru didapatkan ronkhi basah halus di basal paru bilateral. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan WBC: 14.300/mm3, CKMB: 40 ng/ml, Kolestrol total: 228 ng/ml,
HDL: 63 mg/dL, LDL: 151 mg/dL ; EKG didapatkan Irama sinus, LAD, QRS rate
144x/menit, gelombang p 0.08 s 0.1 mV, p terminal force di V1 (defleksi negatif lebar >1
mm, amplitudo > 1mm), PR interval 0,12 detik, gelombang QRS 0,8 detik, ST elevasi lead II,
III, aVF, V2-V6, T inversi (-), R/S di V1 < 1, R/S di V6 > 1, S di V1 + R di V5/V6 < 35mm
, pada foto torax didapatkan kardiomegali, apex lateral downward dan edema paru.
Berdasarkan riwayat penyakit tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesak dan nyeri
dada yang dialami pasien ini berasal dari gangguan jantung. Pada pasien ini, sesak dirasakan
terus menerus dan tidak hilang dengan istirahat. Kemudian bersifat kronik progresif dimana
sejak 1 bulan sesak muncul dan memberat sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis juga dapat
disingkirkan sesak dari penyebab lain. Keluhan sesak napas tidak membaik dengan posisi
setengah duduk atau posisi miring ke kanan atau kiri menyingkirkan penyebab efusi pleura.
Keluhan tidak disertai dengan batuk, batuk darah dan panas badan menyingkirkan sesak
akibat TB paru. Keluhan tidak disertai mengi dan tidak dipengaruhi cuaca atau emosi

31
menyingkirkan penyebab asma. Sesak tidak disertai dengan lemah badan dan BAK sedikit-
sedikit menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit ginjal.
Dari anamnesis juga didapatkan keluhan nyeri dada yang dirasakan saat istirahat
dengan durasi 1 jam. Nyeri dirasakan di dada tengah menjalar ke leher dan punggung.yang
dirasakan seperti ditindih benda berat. Gejala nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala
kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina berlokasi di sub/retrosternal, prekordial dengan
sifat rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan
dipelintir yang menjalar biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri biasanya membaik atau
hilang dengan istirahat, atau nitrat. Pada pasien ini juga didapatkan gejala penyerta seperti
mual, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas. Dari anamnesis durasi gejala >30
menit disertai keringat dingin dan mereda saat istirahat mengarah ke STEMI dibandingkan
dengan UAP dan NSTEMI. Dari hasil pemeriksaan penunjuang didapatkan hasil EKG
menunjukkan STEMI infero-anterolateral dan LAE dan didapatkan peningkatkan
biomarker jantung yaitu CK-MB. Temuan LAE pada EKG dan kranialisasi pada rongent
thoraks menandakan adanya gejala kongesti paru atau edema paru yang merupakan salah satu
tanda dekompensasi jantung akibat iskemia miokard.
Pada pasien ini juga terdapat riwayat hipertensi 6 tahun yang tidak terkontrol dan dari
hasil chest x-ray menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Sehingga diagnosis penyakit
jantung hipertensi belum dapat disingkirkan. Hipertensi lama yang dapat menyebabkan
resistensi perifer yang tinggi dalam jangka waktu lama dan tidak terkontrol menyebabkan
daya kontraktilitas jantung semakin menurun akibat kompensasi hipertrofi otot jantung untuk
meningkatkan stroke volume. Dilatasi ventrikel kiri lama kelamaan menyebabkan penipisan
otot ventrikel kiri dan fraksi ejeksi menjadi tidak maksimal. Hal ini dapat memperberat
kondisi perfusi jantung sendiri dan peningkatan resistensi perifer pada hipertensi
memperberat kerja pompa jantung sehingga lama kelamaan dapat terjadi dilatasi ventrikel
yang dapat menyebabkan penipisan otot ventrikel kiri dan fraksi ejeksi menjadi tidak
maksimal.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Hipertensi dan
hiperlipidemia pada pasien ini merupakan faktor risiko terjadinya ACS. Pasien memiliki
32
kadar kolestrol tinggi dengan HDL rendah dan LDL yang tinggi. Kolesterol terdiri dari HDL
(high density lipoprotein) dan LDL (low density lipoprotein). HDL berperan membawa kadar
lemak yang tinggi ke dalam jaringan hati untuk dimetabolisme dan diekskresi dari tubuh.
LDL berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Jika terakumulasi
dalam jumlah banyak, maka kolesterol akan deposit ke dinding pembuluh darah dan
menghambat aliran darah. Ini akan meningkatkan resiko serangan jantung. Rasio non-HDL
kolesterol, trigliserida dan total kolesterol dengan HDL kolesterol lebih berhubungan dengan
resiko penyakit jantung koroner dibandingkan dengan hanya LDL kolesterol.
Hipertensi tidak terkontrol pada pasien dapat menyebabkan kerusakan pada endotel
yang menybabkan senyawa vasodilator tidak keluar dan membuat penumpukan oksigen
reaktif serta penumpukan faktor -faktor inflamasi yang mendukung aterosklerosis, trombosis
dan penyumbatan pembuluh darah. Hipertensi juga menyebabkan peningkatan afterload yang
mengakibatkan hipertropi dari ventrikel kiri yang menybabkan meningkatnya kebutuhan
oksigen miokardium dan penurunan aliran darah koroner. Orang dengan hipertensi memiliki
resiko 3 kali lebih besar untuk terkena penyakit jantung koroner dibanding dengan orang
yang normotensi.
Jadi, berdasarkan adanya gejala nyeri dada tipikal, tidak menghilang dengan istirahat,
gejala otonom, sesak napas, dan gambaran EKG yang menunjukkan ST elevasi daerah
inferior-anteriorlateral, serta kenaikan eznim jantung CKMB. Disimpulkan diagnosis pada
pasien ini adalah STEMI infero-anteriolateral + HHD .
Klasifikasi IMA pasien ini berdasarkan klasifikasi Killip adalah Killip kelas II, di
mana ditemukannya adanya tanda-tanda gagal jantung ringan (ronkhi basah halus pada
setengah lapangan paru). Untuk prognosis pasien ini berdasarkan skoring TIMI adalah 9/14
(usia = 0, tekanan darah sistolik <100 mmHg = 3, laju jantung >100x/menit = 2, Killip kelas
II-IV = 0, elevasi ST anterior atau BBB = 1, riwayat DM/HT /angina = 1, berat badan <67 kg
= 1, waktu perawatan >4 jam = 1).
Skor TIMI risk score
Faktor risiko (b) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3) 0(0,8) / 1(1,6)
DM/HT/angina (1) 2(2,2)
SBP<100 (3) 3(4,4)
HR >100 (2) 4(7,3)
Klasifikasi killip II-IV (2) 5(12,4)
Berat <67 kg (1) 6(16,1)

33
ST elevasi anterior atau LBBB (1) 7(23,4)
Waktu ke reperfusi >4jam (1) 8(26,8)
(skor maksimum 14 poin) >8(35,9)

Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah:


 Tirah baring
Sebagai usaha untuk menurunkan demand kerja jantung sehingga mismatch
supply-demand tidak terjadi
 Penilaian dan stabilisasi hemodinamik
 Monitoring EKG
 Oksigen nasal kanul 3 l/menit
 Injeksi furosemide 40 mg per 24 jam iv
Digunakan untuk mengurangi sesak karena edema paru akibat dekompensasi
jantung
 Aspillet loading 162 mg po dilanjutkan 1x80 mg po
Digunakan sebagai antiplatelet untuk menghindari pembentukan trombus baru
melalui penghambatan pembentukan tromboksan A2.
 Klopidogrel1x75 mg
 Fondaparinux 1 x 2.5 mg iv per 24 jam dilanjutkan 1 x 2.5 mg sc
 NRF 2x 5 mg
Vasodilator untuk meningkatkan perfusi oksigen ke miokard
 ISDN 3x5 mg
Digunakan untuk mengatasi nyeri dada.
 Bisoprolol 1x2.5 mg
Bermanfaat pada pasien dengan hipertensi dan takikardia.
 Atorvastatin1x20 mg
Mengatasi hiperkolestrolemia

Rencana edukasi
- Hindari diet tinggi lemak dan kolesterol
- Kontrol dan minum obat teratur
- Kendalikan emosi (jangan sering cemas atau gelisah)

34
DAFTAR PUSTAKA

1. O’gara P. T., Kushner F. G., et al., 2013. Practice Guideline : 2013 ACCF/AHA

Guidelines fot the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. Journal of the

American College of Cardiology. 61(4) : 4-30.

2. Alwi I. 2009. Infark miokard akut dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo A. W, Setryohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu pengetahuan penyakit dalam jilid II.

Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, P: 1741-56.

3. Sherwood, Lauralee. 2001. Sistem kardiovaskular. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke

sistem edisi 2. Jakarta : EGC. Hal 565.

4. Guyton A.C, Hall J.E., 2007. Fisiologi Jantung, dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Edisi 11. Jakarta: EGC, pp. 262-3.

5. Thomas A. Pearson, MD, PhD; Steven N. Blair, PED; Stephen R. Daniels, MD, PhD;

Robert H. Eckel, MD; Joan M. Fair, RN, PhD; Stephen P. Fortmann, MD; Consensus

Panel Guide to Comprehensive Risk Reduction for Adult Patients Without Coronary or

Other Atherosclerotic Vascular Diseases in AHA Guidelines for Primary Prevention of

Cardiovascular Disease and Stroke: 2002 Update.

6. Cannon Christopher P, Braunwald Eugene. ST-Elevation Myocardial Infarction.In Kasper

DL, Braunwald E, Fauchi AS et. Al (editor). Harrison’s Principle of Internal Medicine 17

ed,Mc GrawHill: 2008. 1527-32.

7. O'Brien, Terrence. 2006. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical University of

South Carolina. Available from URL: (http://www.emedicinehealth.com/)

8. Baim, Donald S. 2008. Hypertensive vascular disease in: Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 7thEd. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. p. 241

1
9. Kumar, A., Cannon, C.P. 2009. Acute Coronary Syndrome:Diagnosis and

Management,Part I. Mayo Clin Proc;84(10)917-938

10. Santoso, S., & Ranti, A. L. (2013). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.

11.Boer C, A Zirlik. 2007. STEMI and STEMI: The dangerous brother.European Hearth

Journal. P:1403-4.

12.Libby PMD. 2012. History of discovery : Inflammation athreosclerotic. NIH Public

Access. P:2045-51.

13.Ozben B, Erdogan O. 2008. The role of inflammation and allergy in acute coronary

syndromes. Inflammation & Allergy – Drug Targets. P:136-44.

14.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana

Sindroma Koroner Akut. Jakarta: Centra communicatons.

15.Stivano RV, Torry A, Lucia P, Jeffrey O. 2013. Gambaran faktor resiko penderita SKA.

Jurnal Ilmiah Fakultas Kedokteran Unsrat. P:1-8.

16.Nur S, Djanggan S. 2007. Sensitivitas dan spesifitas troponin T dan I pada diagnosis infark

miokard akut. Majalah Kedokteran Indonesia. P:363-72.

17.Izzatul MM. 2015. Perbedaan Kadar SGOT pada Sindrom Klinis Penyaki Sindrom

Koroner Akut di RSD. dr. Soebandi Jember. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas

Jember.

18.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2018. Pedoman Tatalaksana

Sindroma Koroner Akut. Jakarta: Centra communicatons.

Anda mungkin juga menyukai