Anda di halaman 1dari 9

1 Difinisi 2 patway dari suden cardiac arest 3 manifestasi klinik 4 diagnose cardiac arest 5

bagaimana management 18 MARET 2018 BALLROOM HOTEL Best Western

WHAT SHOULD YOU DO I SUDDEN CARDIAC ARREST ?


Prof dr Bambang Irawan Internis Kardiologist
FK UGM Yogyakarta

Abstrak
Cadiac arrest is a state of whole body ischaemia. It leads to brain injury and myocardial
dysfunction, as well as sytemic coagulation and inflammation.

Causes of cardiac arrest are cardiac site such as myocardial infarction, cardiomyopathy ect
and non cardiac site such as Pulmonary embolism bleeding ect.

Management consist of first restoration of spontaneous circulation by means of


cardiopulmonary resuscitation and second post cardiac arrest care.

After successful resuscitation must followed by maintenance of physiological homeostasis.


i.e., normotension, normoglycemia, and normocapnia, represents the basic goal.

Key words: cardiac arrest whole body ischaemia neuronal death circulation

Pengantar

Cardiac arrest [ henti jantung ] merupakan kondisi dimana secara mendadak aktifitas pompa
jantung tidak berfungsi lagi. Hal ini sering disebabkan oleh akibat aritmia yang ganas secara
mendadak, namun bisa juga diakibatkan oleh gagal jantung akut yang akibatkan kegagalan
fungsi kontraksi otot jantung sehingga tidak mampu memompa darah untuk menghasilkan
aliran darah dalam sirkulasi darah. Aritmia ganas yang mengakibatkannya bisa berupa
aritmia ventrikuler seperti ventrikel fibrillasi, ventrikel flutter maupun ventrikel takhikardi
yang sedemikian cepatnya sehingga mengakibatkan ventrikel gagal melakukan tugasnya
sebagai pompa darah maupun AV blok maupun SA blok yang berkomplikasi henti ventrikel.
Di North America setiap tahunnya sekitar 350.000 penderita dilakukan resusitasi akibat
henti jantung. Sekitar 25% henti jantung didapatkan nadi yang tidak teraba atau pulseless
ventricular arrhythmias [1]. Kondisi henti jantung dengan nadi tidak teraba ini termasuk
takhikardi ventrikuler maupun fibrillasi ventrikuler mempunya prognosa lebih baik
dibandingkan dengan aritmia yang lain seperti asistole atau pulseless electrical activity [2].
Hal tersebut disebabkan oleh 2 faktor, pertama henti nadi akibat ventrikel aritmia sangat
potensi untuk membaik dengan bantuan defibrillator guna memperbaiki sirkulasi sedangkan
gangguan ritmie yang lain tidak, kedua henti nadi akibat aritmia ventrikuler khas merupakan
kondisi dimana manifestasi klinik ini disebabkan oleh gangguan jantung sedangkan
gangguan ritmie yang lain lebih banyak akibat penyakit non cardiac.

Sudden cardiac death [SCD] merupakan kejadian kematian mendadak yang tidak diharapkan
akibat gangguan jantung yang terjadi dalam 1 jam semenjak onset gejala gangguan jantung
tersebut. Sekitar 80% kasus terjadi di rumah dan sekitar 40% tidak ada yang mengetahuinya
saat terjadi [3].

Resusitasi pada henti jantung merupakan tindakan yang bisa menyelamatkan penderita dari
kematian, namun demikian tindakan ini tidak selalu membuahkan hasil sehingga prevensi
terjadinya henti jantung harus dilakukan se awal mungkin sehingga tidak terjadi kondisi
henti jantung. Tindakan resusitasi jantung tidak hanya tergantung pada tindakan itu sendiri
namun juga tindakan setelah dilakukan resusitasi jantung,

Epidemiologi

Studi epidemiologis mendapatkan bahwa kejadian henti jantung lebih banyak terjadi di luar
rumah sakit dan takhiaritmia ventrikuler merupakan awal yang didapatkan sebelum
terjadinya kematian mendadak, pada data kejadian yang sudah lama didapatkan 75%
fibrillasi ventrikuler merupakan ganggguan ritme sebelum terjadinya kematian. Namun
demikian dari tahun ke tahun kejadian ventrikel fibrillasi sebagai kejadian awal kematian
mulai menurun dari tahun 1980 sampai tahun 2000. Memastikan awal kejadian kematian
bisa sulit. mengingat sering terjadi keterlambatan saat onset kejadian dengan tibanya
tenaga ahli ketempat kejadian tersebut, sementara itu ventrikel takhikardi bisa berubah
menjadi ventrikel fibrillasi secara cepat dan takhiaritmia bisa pula berubah menjadi
bradiaritmia, pulseless electric activity atau asistole dalam periode waktu yang singkat. Pada
data pasien dengan ambulatory monitoring rekaman jantung pada saat meninggal
didapatkan penyebab kematian mendadak paling sering [84%] ada hubungannya dengan
takhiaritmia ventrikuler dan kebanyakan darinya merupakan takhikardi ventrikuler yang
berubah menjadi fibrillasi ventrikuler [62%] [4,5].

Apabila kejadian aritme jantung terlihat oleh petugas medik dalam waktu 4 menit, maka
aritmia ventrikel fibrilasi terdapat pada 95% kasus sedangkan asistole pada 5% kasus [6],
dan seandainya pengamatan dari kondisi kolaps asesmen ritme jantung ini diperpanjang
menjadi 12 menit maka fibrilasi ventrikuler turun jadi 71% dan kasus asistole naik menjadi
29%. Sehingga hasil resusitasi sangat tergantung pada saat dari terjadinya arrest. Hal ini
disebabkan oleh karena tidak ada satupun obat anti aritmia dapat mencegah SCD dan
keberhasilan penyelamatan kalau defibrilator dikerjakan dalam waktu sebelum 4 menit
sejak terjadi arrest. Implatable cardioverter-defibrillator merupakan tindakan yang bisa
mencegah terjadinya SCD.

Pathofisiologi henti jantung

Berbagai gangguan pathologi bisa ber akibat henti jantung dan bisa akibat gangguan jantung
maupun bukan jantung. Gangguan jantung bisa berupa infark miokard, kardiomiopathi,
ganggaun katub jantung, penyakit jantung kongenital ataupun kelainan elektrofisiologi
primer, sedangkan yang bukan jantung diantaranya emboli paru, perdarahan, penyakit paru,
gangguan elektrolit dan metabolisme, trauma dan intoksikasi. Akut miokard infark
merupakan kasus yang terbanyak yang terjadi di luar rumah sakit dengan prosentase sekitar
40% - 60%. Sedangkan kejadian di dalam rumah sakit penyebabnya agak berbeda dan
biasanya disertai dengan ko – morbid yang berat sehingga penyakit penyerta ini lebih
penting sebagai penyebabnya. Henti jantung disini biasnya berlangsung lebih sub – akut
dengan disertai gagal nafas ataupun ketidakstabilan hemodinamika sebelum terjadi henti
jantung. Henti jantung akibatkan berhentinya fungsi pompa ventrikel disertai dengan
turunnya tekanan darah secara cepat dan tidak ada aliran darah yang berjalan, sehingga
secara cepat terjadilah iskemia di seluruh badan secara menyeluruh. Berhentinya aliran
darah berlangsung dalam hitungan menit dengan kesetaraan tekanan arterial dengan
central venous pressure. Supply oksigen maupun substrak lain seperti glukosa ke jaringan
terganggu dan produk metabolik seperti asam laktat ion hidrogen tidak bisa di keluarkan
dan akhirnya karbon dioksida juga tidak bisa dikeluarkan karena terjadinya juga henti nafas.

Kematian neuronal setelah henti jantung

Otak merupakan organ yang paling peka terhadap kejadian iskemia. Hanya dalam hitungan
5 – 6 detik setelah terjadinya henti sirkulasi akibat henti jantung penderita mengalami
gangguan kesadaran. Tanpa adanya vaskularisasi darah di jaringan otak tekanan oksigen di
otak menurun terus dan mencapai angka 0 dalam sekitar 2 menit. Secara bersamaan energi
neuronal ATP akan sangat menurun dan metabolit seperti adenosin, laktat dan ion hidrogen
akan meningkat. Pompa ion pada sel membran alami disfungsi akibatkan gangguan
hemostasis dalam sel tersebut, sebagai konsekuensinya terjadilah pengelompokan secara
masif ion kalsium didalam sel karena fungsi pompa keluar kalsium tidak bisa bekerja,
voltage-gated calcium channels terbuka dan ligand-gated channels menjadi aktif dengan
melepaskan asam amino seperti glutamat dan aspartat. Kondisi overload kalsium ini
merupakan kunci utama terjadinya intoksikasi selluler.

Apabila kondisi iskemia ini berlangsung terus terjadilah nekrosis neuronal sampai ke seluruh
otak. Namun demikian energi neuronal dapat secara cepat membaik kembali dengan
terjadinya reperfusi kembali akibat tindakan resusitasi jantung paru atau terjadinya sirkulasi
kembali secata spontan. Selama reperfusi terbentuk radikal bebas yang dapat memperberat
kerusakan selluler. Kondisi klinis pada keadaan ini berupa gangguan memori, atensi yang
dapat terjadi pada sampai dengan 50% pasien yang tertolong.

Disfungsi miokard setelah henti jantung

Jantung akan mengalami kerusakan akibat sirkulasi yang terhenti. Setelah terjadi
restoration of spontaneous circulation [ROSC] terjadi penurunan fungsi jantung yang sangat
besar, baik fungsi sistolik maupun diastoliknya [stunning] sehingga terjadi ketidak stabilan
hemodinamika. Apalagi kalau penyebabnya dari jantungnya itu sendiri misalnya karena
infrak maka dengan sendirinya hal tersebut akan menambah kerusakan atau gangguan
fungsi jantung tersebut, dan lagi tindakan penyelamatan seperti obat obatan tidakan
resusitasi dan DC shok akn juga menyumbang terjadinya gangguan fungsi jantung. Namun
demikian kalau post arrest myocardial stunning berhasil di terapi secara efektif dengan agen
inotropik maka biasanya akan membaik kembali dalam 72 jam.

Kardiopulmonal resusitasi mekanik

Kompresi dada eksternal mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan takanan ruang
dada dan dengan secara langsung mengkompres jantung. Tekanan darah rata yang terjadi
pada saat tindakan resusitasi jantung paru dengan menggunakan vasopresor sekitar 30 – 50
mmhg, sehingga tindakan ini cukup untuk memberikan vaskularisasi minamal ke jantung
dan otak. Kompresi mesti dilakukan dengan kedalaman sekitar 5 – 6 cm dan setiap kompresi
dada harus kembali pada kondisi semula. Tindakan yang meng interupsi resusitasi ini
seperti tindakan defibrilasi, pemberian obat oabatn bisa mengganggu tingkat keberhasilan
resusitasi. Mengingat tindakan ini akan melelahkan resusitator maka dianjurkan resusitator
diganti setiap 2 menit. Ventilasi dengan menggunakan back-mask ventilator mengalami
beberapa kendala seperti masuknya udara ke usus dan risiko terjadinya aspirasi, demikian
juga tindakan ini akan mengganggu keteraturan tindakan kompresi. Akan lebih bisa diatasi
dengan memakai tracheal tube atau laryngeal tube, namun tindakan ini memerlukan
peralatan dan tenaga ahli dan biasanya hanya bisa dilakukan di rumah sakit.

Tindakan ventilasi akan mengganggu suksesnya kompresi namun demikian tanpa ventilasi
cadangan oksigen berkurang tanpa ventilasi, oleh karenannya diperlukan adanya kombinasi
atau ratio antara kompresi dan ventilasi. Ratio yang dianjukan akhir akhir ini adalah 30
kompresi dan 2 ventilasi [30 : 2].

Tindakan defibrilasi dengan listrik


Tindakan ini dilakukan pada kondisi ventrikel fibrilasi maupun takhikardi dimana aktifitas
elektrik jantung akan berhenti sesaat dan memberi kesempatan untuk sinus mengambil alih
kembali ritme jantung, hanya saja tindakan ini tidak berguna pada keadaan asistole atau
tidak terabanya nadi. Setiap menit keterlambatan tindakan ini keberhasilan defibrilasi akan
berkurang 10 – 15%, oleh karena itu waktu tindakan sangat penting didalam meningkatkan
angka keberhasilan tindakan ini.

Obat obatan selama tindakan resusitasi

Adrenalin

Adrenalin bisa meningkatkan tekanan darah akibat vaso – konstriksi sehingga mampu
memperbaiki perfusi jantung dan otak. Namun demikian disisi lain dosis berlebihan bahkan
akan menimbulkan gangguan perfusi yang lebih berat dan sering tidak sinkron dengan
kenaikan tekanan darah, sehingga akan meningkat mortalitas penderita. Dianjurkan setiap 3
– 5 menit diberikan 1 mg adrenalin selama tindakan resusitasi.

Amiodaron

Obat ini merupakan agen anti-aritmia bisa bermanfaat pada kondisi arrest. Obat ini sangat
membantu untuk diberikan selama perjalanan ke rumah sakit, namun tidak terbukti
menurunkan angka kematian setelah keluar dari rumah sakit. Namun demikian amiodaron
tetap dianjurkan diberikan sebagai obat anti – aritmia.

Magnesium

Walaupun obat ini tidak mengontrol ventrikel fibrillasi namun dianjurkan diberikan pada
torsades de pointes. Direkomendasikan dengan dosis 2 gram mgso4 .

Bikarbonat

Obat ini baru bermanfaat kalu diberikan pada kondisi gangguan metabolis berat seprti
asidosis atau hiperkalemia. Kelebihan dosis bahkan akan akibatkan alkalosis.

Trombolitik

50 – 70% arrest jantung disebabkan oleh infark miokard atau emboli paru. Namun demikain
tindakan ini hanya bermanfaat kalau areest tersebut akibat emboli paru, sehingga agen ini
hanya diberikan selama tindakan resusitasi kalau diperkirakan arest jantung tersebut
disebabkan oleh emboli paru.

Algoritmie resusitasi arest jantung


Cardiac life support dasar

Begitu ditetapkan adanya arest jantung, secepatnya tindakan resusitasi harus segera
dijalankan. Kompresi dilakukan pada sternum dengan posisi pasien berbaring, Pangkal
telapak tangan diletakkan pada setengah bagian bawah sternum dalam kompresi sekitar 5-6
cm Kompresi dada dan ventilasi dikerjakan dengan ratio 30 : 2, kalau perlu setiap 2 menit
tenaga penyelamat jantung mesti diganti untuk mencegah kelelahan. DC shok harus
disiapkan untuk dipergunakan sewaktu waktu diperlukan. Setiap 2 menit harus dilakukan
analisa ritme untuk memastikan apakah DC shok perlu dilakukan atau tidak.

Cardiac life support lanjut yang bisa dilakukan defibrillasi

Ada 2 tipe arrest jantung yang pertama aritmia ventrikel dengan nadi tidak teraba, biasanya
disebabkan oleh jantung, tipe ini biasanya masih bisza ditolong dengan defibrillasi dan yang
kedua asistole atau pulseless electrical activity [PEA] biasanya penyebabnya diluar jantung
dan tidak respon dengan defibrillasi [7]. Tingkat keberhasilan tindakan penyelamatan
jantung tergantung pada kecepatan penetapan arrest jantung dengan aksi dalam
penyelamatan jantung, efektifitas tindakan resusitasi, defibrilasi secara awal, tindakan
suport setelah teratasi arrest dan terapi hipotermi [8].

Pada kasus yang memungkinkan dilakukan defibrilasi [fibrilasi dan takhikardi ventrikel]
tindakan defibrilasi dengan DC shok merupakan tindakan yang ditujukan pada penyebab
arrest. Tindakan ini harus sesegera mungkin begitu diagnosa sudah ditetapkan. Apabila
fibrilasi ventrikel terjadi pada saat dirawat dengan monitor misalnya di ICCU, pukulan
dengan kepalan tangan bisa menyelamatkan penderita dari arrest. Analisa ritmie jantung
dilakukan setiap 2 menit. Nadi diperiksa guna memastikan ada nadi yang teraba atau tidak,
saat nadi bisa diraba tekanan darah harus diukur. Apabila terjadi asistole maka tindakan
penyelamatan jantung harus dikerjakan menurut algoritmie non shockable rhythms. Apabila
sampai dilakukan DC shock sampai 3 kali maka harus diberikan 1 mg adrenalin yang bisa
diulang tiap 2 – 3 menit dan 300mg amiodaron.

Cardiac life support lanjut yang tidak bisa dilakukan defibrillasi

Kalau terjadi asistole maka harus secepatnya dilakukan resusitasi mekanik dan defibrilasi
tidak ada manfaatnya disini. Berbeda denga tipe yang masih bisa dilakukan defibrillasi maka
disini 1mg adrenalin harus segera diberikan. Setelah 2 menit analis ritme jantung harus
dilakukan dan adrenalin bisa diberikan setiap 2 siklus tindakan resusitasi.

Pengamatan setelah terjadinya sirkulasi spontan

Normotensi
Setelah terjadi arrest, banyak penderita dengan kondisi hemodinamika tidak stabil akibat
disfungsi miokard, aritmia dan dilatasi vaskuler perifer. Demikian juga banyak yang
mengalami gangguan total maupun partial autoregulasi aliran darah ke otak. Pada orang
normal aliran darah ke otak tetap normal sepanjang terjadinya hipotensi, namun pada yang
sehabis alami arrest kondisi akan lain dan bisa otak mengalami perfusi yang kritis.

Oleh karena itu penjagaan tekanan darah yang normal sangat penting pada penderita yang
habis alami arrest jantung. Hipotensi jamgam sampai terjadi. Hemodinamika harus dijaga
dengan menjaga volume substitusi yang baiatau adekuat. Walaupun penderita arrest
jantung mengalami disfungsi miokard pemberian cairan intravenous tetap harus dijalankan
dan jantung dapat mentoleransinya. Cairan 8 liter dapat diberikan dalam 72 jam pertama
guna menstabilkan kondisi hemodinamika pasien. Hal ini diperlukan karena pada saat arrest
jantung terjadi respos radang secara sistemis sehingga terjadi vaso-dilatasi dan keluarnya
cairan dari vaskuler. Apabila loading cairan ini gagal meningkatkan tekanan darah atau
menstabilkan hemodinamika, bisa diberikan vasopressor dan agen inotropik.

Normoglikemia

Terjadinya hiperglikemia setelah arrest akan meningkatkan angka mortalitas maupun


membaiknya sistem saraf. Namun hiperglikemia ringan kurang dari 150mg% tidak perlu
diberikan insulin mengingat terjadinya hipoglikemia juga mengakibatkan kondisi pasien
tidak baik.

Normokapnia

Perlu dipertahankan kondisi normokapnia, pemberian oksigen yang berlebihan


[hiperventilasi] dapat memperburuk kondisi pasienakibat terjadinya vasokonstriksi serebral.
Oleh karena itu kontrol ventilasi sebaik mungkin guna mendapatkan dan menjaga
normokapnia.

Normoksemia

Selama resusitasi arest jantung ventilasi sedapat mungkin memakai oksigen 100% . Namun
demikian hiperoksia dapat meningkatkan stres oksidatif dan akan memperburuk kondisi
pasien. Rekomendasinya dipertahankan saturasi oksigen antara 94 – 98%.

Therapi hipothermi
Bisa dianjurkan diberikan terapi hipothermi pada penderita arest jantung yang alami koma
post-ventrikel fibrillasi setelah iaram kembali normal dengan suhu antara 32 – 34 derajad
selsius selama 12 – 24 jam tindakan ini memperbaiki kondisi pasien dan membaiknya sistem
saraf. Namun pada pasien yang bukan akibat fibrillasi ventrikel tidak dianjurkan terapi
hipothermi ini.

Prognosa

Sangat tergantung berbagai faktor, pada kondisi sebelum arest seperti usia, jenis kelamin,
tingkat kesehatan, pada saat arrest tergantung lamanya arrest, ada tidaknya gangguan
irama namun demikian prognosa lebih tergantung pada kondisi post arrest.

Kesimpulan

Tindakan kompresi thorak merupakan tindakan penyelamatan jantung yang utama


kompresi adequat dan cepat seminimal mungkin adanya interupsi.

Daftar pustaka

1. Nichol G., Thomas E., Callaway CM., et al. 2008. Regional variation in out-of hospital cardciac
arrest incidence and outcome. JAMA 300[12] : 1423-31.
2. Nadkarni VM., Larkin GL., Peberdy MA., et al. 2006. First documented rhythm and clinical
outcome from in hospital cardiac arrest among children and adults. JAMA 295[1] : 50-7.
3. Chugh SS., Jul J., Gunson K., et al. 2004. Current burden of sudden cardiac death: multiple
source surveillance versus retrospective death certificate-based review in a large U>S>
community. J Am Coll Cardiol 44:1268-75.
4. Weaver WD., Cobb LA., Hallstrom AP., et al. 1986. Considerations for improving survival
from out of hospital cardiac arrest. Ann Emerg Med 15 : 1181-6.
5. Hallstrom AP., Eisenberg MS., Bergner L., et al. 1983. The persistence of ventricular
fibrillation and its implications for evaluating EMS. Emerg Health Serv Q.1:41-7.
6. Myerberg RJ., Interian A., Mitrani MR., et al. 1997. Frequency of sudden death and profiles
of risk. Am J Cardiol 80:10F-9F.
7. Nadkarni VM., Larkin GI., Peberdy MA., et al. 2006. First documented rhythm and clinical
outcome from in-hospital cardiac arrest among children and adults. JAMA 295:[i] 50-7.
8. Travers AH., Rea TD., Bobrow BJ., et al. 2010. CPR overview AHA guidelinesfor
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 122:5676-
684.

Anda mungkin juga menyukai