Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di negara berkembang seperti Indonesia, masalah trauma pada
ekstremitas masih sering ditemukan. Hal ini disebabkan karena jumlah
kendaraan bermotor yang terus meningkat terutama sepeda motor. Hal
ini tidak disertai dengan kesadaran berlalu lintas yang baik sehingga
jumlah kecelakaan yang tinggi. Menurut data Departemen Perhubungan
Republik Indonesia, sepanjang tahun 2006 untuk setiap hari terjadi kasus
yang menyebabkan 3 orang meninggal dunia per hari akibat kecelakaan.
Dalam hal itu di tunjukan juga pada periode yang sama pada tahun 2007,
kasus kecelakaan sampai bulan Agustus mengalami peningkatan, rata-
rata kecelakaan lalu lintas sebanyak 9 kasus per hari dan menyebabkan 4
(empat) orang meninggal dunia. Data DISHUB juga menyebutkan,
kerugian akibat kecelakaan di Indonesia mencapai 2,17 persen. Akibat
dari kecelakaan kendaraan bermotor maka akan timbul suatu trauma.
Trauma yang timbul dapat menyebabkan fraktur salah satunya dapat
terjadi pada ekstremitas bawah, diantaranya adalah fraktur pada tibia
plateau. Patah tulang tibia plateau disebabkan oleh gaya varus atau
valgus yang dikombinasikan dengan gaya axial. Hal ini sering
disebabkan karena kecelakaan pada pejalan kaki yang tertabrak mobil,
kecelakaan motor, selain itu bisa juga disebabkan karena jatuh dari
ketinggian.Sendi lutut adalah satu dari tiga sendi utama yang menopang
berat badan pada ektremitas bawah. Untuk itu refrat ini kan membahas
hal tersebut1.

B. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui mengenai tibial plateau
2. Mengetahui penatalaksanaan rehabilitasi medik pada kasus tibial
plateau.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Tibia terdiri dari : akhir proksimal disebut sebagai plateau (terbagi


menjadi medial yang berbentuk konkaf dan lateral yang berbentuk konvex),
tubercle, akhir distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial maleolus).
Tibial plateau merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari tibia
dan melakukan artikulasi dengan condylus femoralis untuk membentuk sendi
lutut.3,4
Sebuah os longum, mempunyai corpus, ujung proximal dan ujung
distal, berada di sisi medial dan anterior dari cruris. Pada posisi berdiri, tibia
meneruskan gaya berat badan menuju ke pedis. Ujung proximal lebar,
berhubungan persendian dengan os femur membentuk articulatio genu,
membentuk condylus medialis dan condylus lateralis tibiae, facies proximalis
membentuk facies articularis superior, bentuk besar, oval, permukaan licin5.
Facies articularis ini dibagi menjadi dua bagian, dari anterior ke
posterior, oleh fossa intercondyloidea anterior, eminentia intercondyloidea
dan fossa intercondyloidea posterior5.
Facies articularis dari condylus medialis berbentuk oval, sedangkan
facies articularis condylus lateralis hampir bundar. Condylus lateralis lebih
menonjol daripada condylus medialis. Pada facies inferior dari permukaan
dorsalnya terdapat facies articularis, berbentuk lingkaran, dinamakan facies
articularis fibularis, mengadakan persendian dengan capitulum fibulae. Di
sebelah inferior dari condylus tibiae terdapat tonjolan ke arah anterior,
disebut tuberositas tibiae. Di bagian distalnya melekat ligamentum patellae5.
Corpus tibiae mempunyai tiga buah permukaan, yaitu (1) facies
medialis, (2) facies lateralis dan (3) facies posterior. Mempunyai tiga buah
tepi, yaitu (1) margo anterior, (2) margo medialis dan (3) margo interosseus.

2
Fossa medialis datar, agak konveks, ditutupi langsung kulit dan dapat
dipalpasi secara keseluruhan. Facies lateralis konkaf, ditempati oleh banyak
otot. Bagian distalnya menjadi konveks, berputar ke arah ventral,
melanjutkan diri menjadi bagian ventral ujung distal tibia. Facies posterior
berada di antara margo medialis dan margo interosseus. Pada sepertiga bagian
proximal terdapat linea poplitea, suatu garis yang oblique dari facies
articularis menuju ke margo medialis5.
Margo anterior disebut crista anterior, sangat menonjol, di bagian
proximal mulai dari tepi lateral tuberositas tibiae, dan di bagian distal
menjadi tepi anterior dari malleolus medialis ujung distal tibia membentuk
malleolus medialis. Malleolus 5.

. Anatomi Tibia Fibula


(dikutip dari kepustakaan 3)

3
B. Epidemiologi
Fraktur tibial plateau terjadi pada 1% kasus dari semua fraktur dan 8%
kasus terjadi pada pasien yang tua. Fraktur yang terjadi pada pasien tua
merupakan hasil dari trauma dengan energy rendah. Fraktur pada medial
plateau terjadi pada 23% kasus fraktur plateau sedangkan fraktur lateral
plateau terjadi pada 70% kasus, dan kombinasi antara keduanya terjadi pada
31% kasus4

C. Faktor Resiko
Factor resiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah4 :

a) Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma dengan


kecepatan tinggi (usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu obat)
b). Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko
frakture

D. Mekanisme Cedera
Patah tulang tibia plateau disebabkan olehgaya varus atau valgus
yang dikombinasikan dengan gaya axial. Hal ini sering disebabkan
karena kecelakaan pada pejalan kaki yang tertabrak mobil, kecelakaan
sepeda motor, selain itu bisa juga disebabkan karena jatuh dari
ketinggian.Sendi lutut adalah satu dari tiga sendi utama yang menopang
berat badan padaektremitas bawah. Fraktur yang mengenai tibia
proksimal mempengaruhi fungsi dan stabilitas sendi. Fraktur ini bisa
intraartikular (tibia plateau) atau ekstra artikular, yaitu fraktur pada 1/3
proksimal tibia. Secara umum sebab dari fraktur tibia 1/3 proksimal di
kategorikan menjadi dua yaitu akibat energi lemah dan energi kuat. Ada
berbagai macam klasifikasi yang digunakan untuk mendeskripsikan
trauma yang terjadi. Tetapi tidak ada konsensus yang mengindikasikan
tindakan operasi khusus pada suatu polafraktur. Tujuan tindakan operasi
pada fraktur tibia plateau adalah untuk mengembalikan fungsi dan
mempertahankan fungsi sendi lutut yang normal.4,5

4
E. KLASIFIKASI
Fraktur tibia platue melibatkan aspek proksimal atau metaphysis dari
tibia. Mereka dibagi menjadi enam jenis dengan klasifikasi schatkzer
1. Tipe I adalah fraktur baji atau split dari aspek lateral dataran
proximal tibia, biasanya sebagai akibat dari kekuatan valgus dan
aksial. Pada pola ini, fragmen baji tidak terkompresi (depresi) karena
tulang calcaneus yang mendasari kuat. Pola ini biasanya terlihat
pada pasien dengan usia muda.

2. Tipe II adalah fraktur yang terjadi terkait kompresi yang membagi


fraktur dengan irisan lateral dan melibatkan cedera artikular.
Mekanisme cedera hampir sama dengan fraktur tipe I, tapi biasanya
tulang yang mendasari mungkin tulang yang telah osteoporosis
yang tidak mampu melawan tekanan yang lebih besar.

5
3. Tipe III adalah fraktur kompresi murni dataran tinggi lateral.Sebagai
karena gaya aksial, depresi biasanya terletak lateral atau terpusat,
tetapi mungkin juga dapat melibatkan bagian manapun dari
permukaan artikular.

4. Tipe IV adalah fraktur yang melibatkan medial dataran tinggi.


Sebagai dari gaya kompresi baik varus atau aksial, pola dapat
berupa pecahan atau split dengan kompresi. Karena fraktur ini
melibatkan medial dataran tinggi yang lebih besar.

6
5. Frakturtipe V meliputi unsur-unsur perpecahan kedua kondilus
medial dan lateral dan mungkin termasuk kompresi artikular medial
atau lateral, biasanya disebabkan karena hasil dari gaya aksial murni
terjadi sementara ketika lutut dalam keadaan ekstensi.

6. Tipe VI adalah fraktur, kompleks bicondylar dimana


komponencondylar terpisah dari diaphysis. Depresi dan fragmen fraktur
impaksi. Biasanya disebabkan karena tekanan trauma yang tinggi.

7
F. TANDA DAN GEJALA
Pada tibial plateau fracture akan didapatkan gejala yaitu 5,6 :
a. nyeri lutut,
b. nyeri sumbu,
c. hemartrosis (yaitu berupa edem, nyeri pada lutut dimana pasien
tidak dapat memikul berat tubuh)

G. PEMERIKSAAN
Adapaun cara mendiagnosis fraktur adalah ditemukannya tanda tanda
sebagai berikut 6,7 :
a. Anamnesis : didapatkan adanya keluhan nyeri, bengkak, ataupun
deformitas. Keluhan lain yang dipaparkan oleh pasien adalah tidak
mampu untuk menggerakkan lutut secara seluruhan ataupun
sebagian. Anmnesis penting untuk mengetahui apakah pasien
mengalami trauma dengan energy besar atau tidak. Kecelakan motor,
jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan ditabrak dengan
kendaraan sementara berjalan merupakan contoh mekanisme trauma
dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu ditanyakan
adalah factor-faktor komorbid dari pasien yang akan berpengaruh
pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit penyerta
seperti penyakit arteri koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes
tidak terkontrol memiliki resiko besar untuk timbulnya komplikasi
dari cedera yang terjadi adakah cidera khas.

b. Look : inspeksiapakah pasien nampak kesakitan, mencoba


melindungi anggota badan yang patah. Bandingkan kiri dengan
kanan apakah terdapat pembengkakan, bengkok, terputar,
pemendekan, dan gerakan yang tidak normal.

8
c. Feel
Dilakukan analisis nyeri :
1) nyeri subjektif : tanyakan pada pasien,
2) nyeri objektif : dilakukan palpasi pada tempat yang sakit,
3) nyeri lingkar/ nyeri tekan yang sifatnya sirkuler, atau
4) nyeri sumbu pada tarikan dan atau penekanan anggota badan
yang patah searah dengan sumbunya.
Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat
sama.

d. Move
pemeriksaan gerak sendi lutut aktif dan/pasif.
- Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
- Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada
sendinya.
e. Pemeriksan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen,
tractus urinarius dan pelvis.
f. Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian distal
fraktur yang berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit,
pengembalian darah ke kapiler (Capillary refil test), sensasi motorik dan
sensorik. Pada fraktur tibial plateau, perlu dilakukan pemeriksaan
terhadap arteri popliteal yaitu diantara proksimal dari adductor hiatus
dan distal dari soleus serta pemeriksaan nervus peroneal.

9
H. PENATALAKSANAAN
a. Tujuan Pengobatan dapat ditinjau dari dua sisi yaitu :
1. Segi Ortopedi
1) Alignment
Jika tidak mendapat penanganan, fraktur dengan depresi
sendi lebih dari 4 mm dapat meningkatkan risiko terjadinya
perubahan degeneratif dimasa yang akan datang.
2) Stabilitas
Stabilitas maksimal dapat didapatkan dengan mengembalikan
kongruitas tulang dan memfiksasi tulang secara rigid.
2. Segi rehab Medik
1) Range of Motion
a) Mengembalikan full ROM kneebaik secara normal
(fleksi 1300-1400 ekstensi 0-50) maupun fungsional
(00-1100)sesegera mungkin untuk mencegah
disability
b) Mengembalikan dan mempertahankan full ROM ankle dan hip
joint
2) Kekuatan Otot
Mempertahankan dan mengembalikan kekuatan otot-otot berikut :
Muskulus Fungsi
m. quadriceps femoris Knee extensor
m. rectus femoris Fleksi hip
Hamstring muscles (m. semimembranosus Knee flexor, merentangkan dua
m. semitendinosus, m. biceps femoris) sendi, ekstensi hip
m. sartorius & m. gracilis Mencegah deformitas valgus
m. gastroenemius Plantar fleksor pedis

3) Pengembalian fungsi
Mengembalikan gaya bejalan seperti sedia kala dan
mengembalikan stabilitas knee selama fase pemulihan.

10
`1 b. Penatalaksanaan operatif dan konservatif Operatif
1. Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel
yang hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada
fraktur terbuka dengan luka terkontaminasi. Dengan cara ini, luka
operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari kemungkinan
trauma tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan
penyembuhan.

2. Fiksasi internal
a. Open reduction with internal fixation (ORIF)
Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke
metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu
gerakan sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah
mudahnya terjadi komplikasi pada penyembuhan luka operasi. Berikut
ini merupakan gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.

a) Biomechanics: Alat pelindung tekanan


b) Gaya untuk penyembuhan tulang : Primernya, walaupun
tidak terjadi penyembuhan tukang secara primer, pada
kasus-kasus tersebut lebih sering terjadi penyembuhan
sekunder.
c) Indikasi : pada fraktur dengan adanya pergeseran lebih dari 3 mm
pada daerah persendian, pada fraktur yang berhubungan dengan
terperangkapnya meniscus, dan fraktur yang melibatkan sisi medial
plateau, ORIF sangat dibutuhkan upaya untuk menjaga permukaan
sendi dan apabila mampu dilakukakn koreksi reposisi meniskus
yang terjadi. Tekhnik-tekhnik yang digunakan pada reknostruksi
permukaan sendi tersebut biasanya melibatkan penanaman tukang
pada daerah metafisis serta menempatkan beberapa screw untuk
menjaga supaya upaya tersebut berhasil.

11
b. Konservatif : Reposisi tertutup dgn anestesi umum Cast immobilization
dg Long leg cast (LLC)
a. Perawatan post LLC :

1. Edukasi keluarga ( perawatan cast & komplikasi yang mungkin


terjadi )

2. Kontrol hari II => evaluasi kemungkinan sindroma kompartemen


3. Kontrol hari VII - X => LLC skin tight
4. Ganti PTB setelah clinical union ( ± 6 mgg )
5. Pembukaan cast ± 12 mgg => evaluasi radiologi

c. Penatalaksanaan rehabilitasi medic pada pasien post op


a. Fase 1 (0-6 minggu)
1) Hari pertama hingga minggu pertama
Pada hari ke 0-7 : ROM antara 400-600, setelah seminggu
ditingkatkan ROM menjadi fleksi 900, Mobilisasi patella
(mesial, lateral, superior, inferior). Mulai active atau active
assisted ROM exercise (non-weight bearing pada ekstremitas
yang terkena) serta ambulasi menggunakan kruk.

2) Pada minggu ke dua tidak dilakukan stress verus/valgus pada


knee dan tidak dilakukan ROM pasif. ROM dilakukan aktif
dan aktif dengan
bantuan hingga mencapai fleksi 900. Strengthening dilakukan
isometric exercise pada m. quadriceps femoris dan hamstring
muscle dengan straight leg raises Aktivitas pindah non
weight bearing dan ambulasi menggunakan kruk. Pada
ekstremitas yang terkena masih tetap non weight bearing.

12
3) Pada minggu ke empat hingga keenam stressor vagus dan
varus dihentikan dan ROM pasif dihentikan, hanya dilakukan
ROM aktif dan aktif dengan bantuan. Belum dilakukan
strengthening pada knee, dalam menjalankan aktivitas cara
berpindah dengan Non-weight bearing menggunakan kruk.
Pada ekstremitas yang terkena tetap Non-Wight Bearing
b. Fase 2
Pada fase yang kedua (6 – 12 minggu) dilakukan beberapa
tahapan antara lain : memulai sebuah perubahan weight-bearing
secara progresif tetapi hal ini tergantung dari stabilitas fraktur
yang didapat dari gejala klinis yang muncul dan yang terpeting
dari gambaran radiologis setelah dilakukan ORIF, kemudian
melakukan latihan-latihan closed chain dengan beban yang tidak
terlalu berpengaruh pada ekstremitas yang terkena. Pada fase
ketiga (3-6 bulan) melakukan program untuk full weight bearing
dan menurunkan keterbatasan gerak dengan menggunakan kruk,
melanjutkan latihan-latihan closed chain, kemudian latihan
menaiki anak tangga dan dapat kembali beraktivitas seperti
semula. Fase keempat atau merupakan fase yang terakhir adalah
dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan
maksimal, namun masih diperlukan evaluasi lebih lanjut terhadap
kegiatan-kegiatan yang cukup berat sperti olahraga.
c. Fase 3(3-6 bulan)
Mulai menggunakan “full weight bearing” dan
ketergantunganpenuhpada alatbantu untuk rawat jalan dengan
mode bertahap(cructhes- satukruk-cane).

13
2) Lanjutkan latihan “open dan closed chain” sampai paha dan
betis lingkar yang sama dengan kaki yang berbeda
3) Naik tanggatanpa bantuan
4) Kembali melakukan tugas dan pekerjaan
d. Fase 4 ( 6 bulan)
5) Kemajuan aktivitas pekerjaan yang ditoleransi. mungkin
memerlukan evaluasi kemampuan fungsional untuk dapat
melakukan pekerjaan berat
6) Lanjutkan rekreasi ringan. tidak ada aktifitas fisik yang
direkomendasikan untuk 1 tahun.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling berat dari tibial plateau ini adalah
kekakuan sendi lutut akibat perlekatan intra dan periartikuler. Kekakuan
yang berlangsung hingga 6 bulan pasca injury memrupakan sebuah
indikasi silakukannya manipulasi knee dengan anestesi dan diteruskan
dengan Continue Passive Movement/ CPM.
Terjadinya trauma nervus popliteal lateralis dapat terjadi baik akibat
cidera langsung ataupu karena penggunaan plester. Artrosis degenerative
juga dapat terjadi dikemudian hari.

J. PROGNOSIS
Bagian proksimal tibia dengan korteks yang tipis mudah terkena
cedera, terutama pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun dengan
kondisi tulang yang porotic. Mekanisme cedera biasanya trauma
abduksi, atau juga biasanya trauma langsung di bagian lateral tungkai
dengan kaki terfiksasi pada permukaan tanah.
Patah tulang plato tibia akan sembuh dalam waktu singkat tanpa
gangguan proses pertautan yang tidak bergantung pada ada atau tidak
adanya dislokasi. Penyembuhan patah tulang plato tibia dengan dislokasi

14
pada letak varus atau valgus dapat mengakibatkan gangguan faal dan
artrosis degeneratif.

K. Definisi Frakture

Fraktur adalah hilanganya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi,


tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial1.

L. Proses Terjadinya Fraktur

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami


kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma
yang dapat menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur
yang dapat menahan kompresi dan tekanan memutar (shearing).
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan1.
Trauma bisa bersifat 10,12, :
a. Trauma langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung
pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami
kerusakan.
b. Trauma tidak langsung. Disebut trauma tidak langsung apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh
dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada
keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
a) Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
b) Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
c) Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
d) Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atay memecah
misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak

15
e) Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
f) Fraktur oleh karena remuk
g) Trauma karena tarikan pada ligament atau tendo akan menarik sebagian
tulang

Gambar Mekanisme Trauma


(a) berputar (b) kompresi (c) fragmen triangular butterfly (d) tension
(dikutip dari kepustakaan 2)

3. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologis, klinis, dan radiologis.
Klasifikasi Etiologis
a) Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba
b) Fraktur patologis. Terjadi kerana kelemahan tulang sebelumnya akibat
kelainan patologis di dalam tulang
c) Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat tertentu
Klasifikasi Klinis
a) Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah suatu fraktur
yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

16
b) Fraktur terbuka (compound fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit
dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from
without (dari luar)
c) Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture). Fraktur dengan
komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya
malunion, delayed union, nonunion, infeksi tulang.
Klasifikasi Radiologis
1. Berdasarkan lokalisasi :
a) Diafisal
b) Metafisal
c) Intra-artikuler
d) Fraktur dengan dislokasi
2. Berdasarkan konfigurasi :
a) Fraktur transversal
b) Fraktur oblik
c) Fraktur spiral
d) Fraktur Z
e) Fraktur segmental
f) Fraktus komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
g) Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
h) Fraktur avulse, fragmen kecil oleh otot atau tendo misalnya
fraktur epikondilus humeri
i) Fraktur depresi, karena trauma langsung
j) Fraktur impaksi
k) Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah
misalnya pada fraktur vertebra, patella, talus, kalkaneus
l) Fraktur epifisis
3. Menurut ekstensi
a) Fraktur total
b) Fraktur tidak total

17
c) Fraktur buckle
d) Fraktur garis rambut
e) Fraktur green stick
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
a) Tidak bergeser (undisplaced)
b) Bergeser (displaced)
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara :
a) Bersampingan
b) Angulasi
c) Rotasi
d) Distraksi
e) Over-riding
f) Impaksi

Gambar . Klasifikasi Fraktur


4. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase yaitu1
:
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati
kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk
hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan
terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.

18
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan
kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada
sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal


Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan.
Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk
membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas
seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam
jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel
osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat
dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma
suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang
meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)


Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari
setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian
pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast
diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang
imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada
pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan
merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan
fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah menjadi tulang
yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan
diresorpsi secara bertahap.

5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru
membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang
tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-
lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses
osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak
dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.

19
Gambar 3. Proses penyembuhan fraktur.
(a) hematom. Kerusakan jaringan dan perdarahan pada daerah fraktur. (b)
inflamasi. Sel-sel inflamasi tampak pada daerah hematom. (c) callus. Populasi
sel akan berubah menjadi osteoblast dan osteoclast. (d) konsolidasi. Woven bone
diganti oleh tulang lamellar dan fraktur menyatu secara sempurna. (e)
Remodelling. Terjadi perubahan struktur tulang sehingga akan tampak seperti
struktur normalnya

20
BAB III
SIMPULAN

1. Tibial Plateau adalah fraktur yang mengenai tibia proksimal


mempengaruhi fungsi danstabilitas sendi. Fraktur ini bisa
intraartikular (tibia plateau) atau ekstra artikular, yaitufraktur pada 1/3
proksimal tibia.
2. Rehabilitasi pada tibial plateau terdiri dari 4 fase yang keberhasilannya
akan menentukan juga dalam prognosis.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Perhubungan Republik Indonesia,tahun 2006
2. Hoppenfeld S, Treatment and Rehabilitation of Fractures. New York :
Lippincott Williams & Wilkins (2008)
3. Brotzman SB, Clinical Orthopaedic Rehabilitation, berlin,2009
4. Rasjad C. dkk, 2005, Sistem Muskuloskeletal dalam : Buku Ajar Ilmu
Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 829 – 949.
5. http://arthritis.about.com/od/arthritisbyanatomy/ss/causejointpain.htm
6. Gardner E. Gray DJ. O’rahilly R, Anatomy A Regional Study of Human
Structure. Philadelphia : W.B. Saunders Company

7. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah


Ortopedi. 2003. Makasar
8. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th
edition. Butterworths Medical Publications. 2010.

9. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition.


Saunders Elseiver.

10. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition.
Lippuncolt William & Wilkins. 2007

11. Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.
12. Chapman, Michael W. Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd edition.
Lippincolt William & Wilkins. 2001.
13. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William
& Wilkins. 2006
14. Kingsley Chin, dkk. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition.
Lippincolt William & Wilkins. 2008
15. Dirchsl Douglas, dkk. Staged Management of Tibial Plateau. American
Journal of Orthopaedic. 2007

22
16. Reznik, Alan M. Tibial Plateau Fractures. The Orthopaedic Group. 2011
17. Cluet Jonathan. Tibial Plateau Fracture. 2005.

23

Anda mungkin juga menyukai