Anda di halaman 1dari 55

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 mengenai kesehatan menggariskan bahwa


pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi masyarakat yang setinggi- tingginya sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.
Terwujudnya masyarakat yang sehat merupakan salah satu modal tumpuan dalam
pembangunan yang berkesinambungan bagi suatu bangsa.

Uraian dalam undang-undang kesehatan ini sejalan dengan tujuan Millenium


Development Goals (MDGs) yang dicetuskan pada tahun 2000, yaitu sebuah upaya
untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara
189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melaksanakan delapan
tujuan pembangunan. Salah satu tujuan pembangunan dalam kesepakatan MDGs ini
adalah menurunkan angka kematian bayi dan anak. Seperti diketahui, angka kematian
bayi khususnya bayi baru lahir merupakan salah satu indikator derajat kesehatan.
Laporan keberhasilan MDGs pada tahun 2008 menyebutkan bahwa angka kematian
bayi baru lahir mencapai 34 bayi per 1000 kelahiran hidup, dengan target hingga 19
bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Oleh karenanya, perhatian penting
sudah selayaknya diberikan bagi kesehatan seorang anak khususnya bayi baru lahir
karena mengingat bahwa masa depan suatu bangsa turut ditentukan oleh kualitas
tumbuh kembang anak yang baik pula.

Tumbuh kembang seorang anak sesungguhnya telah dimulai sejak awal konsepsi
dan akan terus berlangsung sampai dengan kelahiran dan tahapan kehidupan
selanjutnya (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005). Adapun tahapan atau periode
awal kehidupan seorang anak setelah kelahiran tersebut dikenal dengan periode
neonatal. Periode neonatal merupakan suatu periode dimana bayi memulai fungsi
organ tubuh secara mandiri (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005). Pada periode ini,
bayi baru lahir melakukan adaptasi dengan kehidupan ekstrauterin yang melibatkan
serangkaian perubahan fisiologis tubuh yang kompleks (Lissauer & Fanaroff, 2009).
Perubahan fisiologis tubuh tersebut meliputi perubahan pada sistem respirasi,
sirkulasi, termoregulasi, keseimbangan asam basa, persarafan, hemopoetika,
2

gastrointestinal, integumen, endokrin, muskuloskeletal, dan eliminasi (Wong et al.,


2009).

Selain merupakan periode dimana bayi melakukan adaptasi dengan kehidupan


ekstrauterin, periode neonatal tersebut juga sekaligus menjadi periode yang rentan
bagi bayi baru lahir untuk mengalami berbagai masalah kesehatan. Hal ini
dikarenakan pada periode neonatal, adaptasi yang dilakukan oleh bayi baru lahir
adakalanya disertai dengan berbagai penyakit, kecacatan, infeksi, penyulit saat
persalinan, dan bahkan kelahiran dengan berat lahir rendah (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005). Kelahiran dengan berat lahir rendah masih merupakan permasalahan
dunia hingga saat ini karena merupakan salah satu penyebab kematian bayi baru lahir
(Sloan et al., 2008). Laporan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari
State of The World’s Mother 2007 (data tahun 2000-2003) mengemukakan bahwa
27% kematian bayi baru lahir disebabkan oleh berat lahir rendah (HTA Indonesia,
2008). Di Indonesia, proporsi nasional kelahiran bayi berat lahir rendah ini mencapai
11,1% (Riset Kesehatan Dasar, 2010).

Bayi berat lahir rendah dapat didefinisikan sebagai bayi yang lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Hal ini berarti
bahwa berat lahir tersebut dapat sesuai dengan masa kehamilan atau kecil masa
kehamilan yaitu apabila berat lahir kurang dari normal menurut usia kehamilan
tersebut (Klauss & Fanaroff, 1987; Saifuddin et al., 2006). Selain itu, kelahiran
berat lahir rendah juga dapat pada usia kehamilan cukup bulan atau bahkan
pada kehamilan kurang dari 37 minggu (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005;
Lissauer & Fanaroff, 2009).

Pada kelahiran dengan berat lahir rendah, bayi dapat mengalami proses adaptasi
yang lebih sulit sebagai akibat ketidakmatangan (imaturitas) sistem organ (Bobak,
Lowdermilk, & Jensen, 2005). Beberapa diantara karakteristik imaturitas sistem
organ tersebut seperti kekurangan surfaktan yang dapat mengakibatkan bayi
mengalami gangguan pada kematangan fungsi pernapasan. Kondisi ini dapat diamati
dari adanya kesulitan untuk bernapas segera setelah lahir, apnu, dan juga penyakit
seperti membran hialin atau sindrom gawat napas. Selain itu, struktur kulit bayi yang
tipis dan transparan, jaringan lemak bawah kulit sedikit, aktivitas otot lemah, dan
perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan yang besar mengakibatkan
bayi mudah mengalami kehilangan panas (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005;
3

Kosim et al., 2010; Kattwinkel et al., 2006; Hockenberry & Wilson, 2007).
Karakteristik lainnya adalah imaturitas sistem gastrointestinal seperti rendahnya
kemampuan absorpsi dan motilitas usus, pengosongan lambung yang lambat, serta
belum berkembangnya kematangan dan koordinasi kemampuan menghisap dan
menelan, sehingga mengakibatkan bayi mengalami kesulitan untuk menerima asupan
oral dan memiliki risiko tinggi untuk mengalami aspirasi (Hockenberry & Wilson,
2007).

Namun demikian sebagai seorang pemberi pelayanan kesehatan profesional,


perawat sedianya juga harus memperhatikan aspek penting lainnya dalam
mengupayakan kesehatan bayi bayi berat lahir rendah tersebut. Sebab sebagaimana
diketahui bahwa salah satu tujuan utama penatalaksanaan bayi risiko tinggi, termasuk
bayi berat lahir rendah, adalah konservasi energi (Wong et al., 2009). Hal ini berarti
bahwa konservasi energi merupakan cerminan dari penatalaksanaan bayi berat lahir
rendah yang tidak semata bertumpu pada bagaimana kebutuhan nutrisi bayi tersebut
terpenuhi, melainkan adanya fokus perhatian terhadap kebutuhan akan serangkaian
perawatan lainnya yang membuat energi yang dimiliki bayi dapat digunakan untuk
tumbuh dan berkembang. Adapun pendekatan praktik asuhan yang dapat dilakukan
untuk mencapai konservasi energi tersebut adalah melalui asuhan perkembangan atau
developmental care.

Konservasi energi sebagai salah satu tujuan utama dari penatalaksanaan bayi
risiko tinggi termasuk bayi berat lahir rendah ini sejalan dengan salah satu teori
keperawatan yaitu teori yang dikembangkan oleh Levine. Levine mengembangkan
sebuah teori keperawatan yang dikenal dengan teori Konservasi. Dalam teorinya,
Levine menjelaskan bahwa keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan berbagai
perubahan lingkungan akan mendukung terjadinya konservasi. Dengan kata lain,
konservasi merupakan hasil dari adaptasi (Alligood & Tomey, 2006; Schaefer &
Pond, 1994). Melalui konservasi maka seorang individu akan dapat memelihara
energi yang ada untuk mempertahankan kesehatan dan penyembuhan sehingga
keutuhan diri (wholeness/integrity) individu dapat tercapai dan dipertahankan
(Alligood & Tomey, 2006).

Demikian halnya pada bayi baru lahir, termasuk bayi berat lahir rendah, dimana
segera setelah kelahiran, bayi dihadapkan pada sebuah tantangan untuk melakukan
4

adaptasi dalam kehidupan ekstrauterin. Keberhasilan adaptasi yang dilalui bayi baru
lahir akan menciptakan sebuah konservasi yang memiliki peran bermakna dalam
mendukung optimalisasi proses pertumbuhan dan perkembangannya. Proses
pertumbuhan dan perkembangan pada bayi baru lahir ini tidak lain adalah bertujuan
untuk mencapai eksistensi dan keutuhan diri.

Oleh karenanya, konsep teori Konservasi demikian ini menjadi latar belakang
mengapa teori Konservasi diaplikasikan dalam teori perkembangan pada neonates
resiko tinggi dengan berat bayi lahir rendah.

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang konsep BBLR

2. Untuk mengetahui tentang teori Keperawatan Myra E Levine

3. Untuk mengetahui integrasi teori keperawatan dengan teori perkembangan pada


BBLR

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
5

A. Konsep BBLR

1. Definisi

Bayi berat lahir rendah didefinisikan sebagai bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Hal ini berarti bahwa
berat lahir dapat sesuai dengan masa kehamilan atau kecil masa kehamilan yaitu
apabila berat lahir kurang dari normal menurut usia kehamilan tersebut (Klauss &
Fanaroff, 1987; Saifuddin et al., 2006). Selain itu, kelahiran berat lahir rendah ini
dapat pula pada usia kehamilan cukup bulan atau bahkan pada kehamilan kurang
dari 37 minggu (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005; Lissauer & Fanaroff,
2009).

Kelahiran dengan berat lahir rendah dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-
faktor tersebut meliputi faktor janin, ibu, dan plasenta. Faktor penyebab berat
lahir rendah yang berasal dari janin antara lain berupa kelainan kromosom,
malformasi organ, dan infeksi. Adapun faktor penyebab yang berasal dari ibu
meliputi usia kehamilan remaja atau kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun,
kehamilan kembar, riwayat kehamilan dengan berat badan rendah dan gizi buruk,
riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan atau prematur sebelumnya,
inkompetensi servik, penyakit hipertensi, penyakit kronis, anemia, infeksi,
riwayat merokok, konsumsi alkohol. Faktor penyebab lainnya berasal dari
plasenta, seperti defek plasenta dan tali pusat (Klauss & Fanaroff, 1987; Ball &
Bindler, 2003; Lissauer & Fanaroff, 2009; Kosim et al., 2010).

Pada kelahiran dengan berat lahir rendah, bayi dapat menjalani proses adaptasi
yang lebih sulit sebagai akibat imaturitas sistem organ yang dimiliki (Bobak,
Lowdermilk, & Jensen, 2005). Beberapa diantara imaturitas sistem organ tersebut
seperti kekurangan surfaktan yang dapat mengakibatkan bayi mengalami
gangguan pada kematangan fungsi pernapasan. Kondisi ini dapat diamati dari
adanya kesulitan untuk bernapas segera setelah lahir, apnu, dan juga penyakit
seperti membran hialin atau sindrom gawat napas. Selain itu, struktur kulit bayi
yang tipis dan transparan, jaringan lemak bawah kulit sedikit, aktivitas otot
lemah, dan perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan yang besar
mengakibatkan bayi mudah mengalami kehilangan panas. Usia sel darah merah
lebih pendek, pembentukan sel darah merah lambat, pembuluh darah kapiler
6

rapuh, dan deposit vitamin E yang rendah menyebabkan bayi dapat mengalami
masalah hematologi seperti anemia dan mudah terjadi perdarahan (Bobak,
Lowdermilk, & Jensen, 2005; Kosim et al., 2010; Kattwinkel et al., 2006;
Hockenberry & Wilson, 2007). Hal lainnya adalah imaturitas pada sistem
gastrointestinal dimana bayi memiliki kemampuan absorpsi dan motilitas usus
yang rendah, pengosongan lambung yang lambat, serta belum berkembangnya
kematangan dan koordinasi kemampuan menghisap dan menelan sehingga
mengakibatkan bayi mengalami kesulitan untuk menerima asupan oral dan
memiliki risiko tinggi untuk mengalami aspirasi (Hockenberry & Wilson, 2007).

Bayi berat lahir rendah juga dapat mengalami imaturitas pada ginjal yang
menyebabkan bayi tidak mampu mengelola air, elektrolit, asam basa, hasil
metabolisme dan pemekatan urin. Bayi juga dapat mengalami ketidakmatangan
retina sehingga menyebabkan bayi rentan mengalami retinophaty of prematurity.
Karakteristik lainnya adalah kurangnya otot polos pembuluh darah dan rendahnya
kadar oksigen darah mengakibatkan terjadinya keterlambatan penutupan duktus
arteriosus dan trauma susunan saraf pusat. Bayi berat lahir rendah pun kerap kali
memiliki pembuluh darah otak dan susunan saraf pusat yang masih imatur.
Imaturitas ini menyebabkan bayi berat lahir rendah belum mampu meregulasi
banyaknya stimulus yang datang dari lingkungan, sehingga bayi rentan untuk
mengalami stres dan menyebabkan perdarahan otak serta mengalami beberapa
hambatan pertumbuhan dan perkembangan di kemudian hari (Maguire et al.,
2008; Kattwinkel et al., 2006). Hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan
yang dapat dialami oleh bayi berat lahir rendah ini berupa pertumbuhan berat dan
tinggi badan yang lambat, keterampilan motorik halus dan kemampuan
konsentrasi yang buruk, kesulitan dalam kemampuan abstrak seperti dalam
bidang matematika, serta dapat mengalami hambatan dalam melakukan beberapa
tugas secara bersamaan (Resnick et al., 1987; Powers et al., 2008; Lissauer &
Fanaroff, 2009).

2. Klasifikasi BBLR

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati,


2010) :
7

a. Menurut harapan hidupnya

1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram.

2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000- 1500 gram.

3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari 1000
gram.

b. Menurut masa gestasinya

1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut
neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).

2) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi pertumbuhan
intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).

3. Faktor Penyebab Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah
(Proverawati dan Ismawati, 2010).

a. Faktor ibu

1) Penyakit

a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum,


preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.

b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi,


HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.

c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.

2) Ibu

a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20


tahun atau lebih dari 35 tahun.

b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
8

c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.

3) Keadaan sosial ekonomi

a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini


dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.

b) Aktivitas fisik yang berlebihan

c) Perkawinan yang tidak sah

4) Faktor janin

Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi


sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.

5) Faktor plasenta

Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio


plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah
dini.

6) Faktor lingkungan

Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi,


terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan dengan bayi berat lahir rendah (Mitayani,
2009):

a. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm, lingkar
dada kurang dari 30 cm, dan lingkar kepala kurang dari 33cm. 12

b. Masa gestasi kurang dari 37 minggu.

c. Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, dan lemak subkutan amat sedikit.

d. Osofikasi tengkorak sedikit serta ubun-ubun dan sutura lebar.

e. Genitalia imatur, labia minora belum tertutup dengan labia miyora.


9

f. Pergerakan kurang dan lemah, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering
mendapatkan serangan apnea.

g. Lebih banyak tidur dari pada bangun, reflek menghisap dan menelan belum
sempurna.

5. Patofisiologi

Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup
bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas. Artinya bayi lahir cukup
bulan (usia kehamilan 38 minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil dari
masa kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500 gram. Masalah ini terjadi karena
adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh
penyakit ibu seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan keadaan-
keadaan lain yang menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi berkurang. Gizi yang
baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin tidak mengalami
hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan 13 berat badan lahir normal.
Kondisi kesehatan yang baik, sistem reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan
tidak ada gangguan gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan
bayi lebih besar dan lebih sehat dari pada ibu dengan kondisi kehamilan yang
sebaliknya. Ibu dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan
bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu
menderita anemia. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi atau penyusutan besi
sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk
metabolisme besi yang normal. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan
atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi
dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, dan
BBLR. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal
secara bermakna lebih tinggi, sehingga kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan
prematur juga lebih besar (Nelson, 2010).

6. Masalah yang dapat terjadi pada BBLR

Masalah yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
terutama pada prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ pada bayi
tersebut. Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada sistem
10

pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastrointerstinal, ginjal,


termoregulasi (Maryunani, dkk, 2009).

a. Sistem Pernafasan

Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernafas segera setelah
lahir oleh karena jumlah alveoli yang berfungsi masih sedikit, kekurangan
surfaktan (zat di dalam paru dan yang diproduksi dalam paru serta melapisi bagian
alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat ekspirasi). Luman sistem
pernafasan yang kecil, kolaps atau obstruksi jalan nafas, insufisiensi klasifikasi
dari tulang thorax, dan pembuluh darah paru yang imatur. Kondisi inilah yang
menganggu usaha bayi untuk bernafas dan sering mengakibatkan gawat nafas
(distress pernafasan).

b. Sistem Neurologi (Susunan Saraf Pusat)

Bayi lahir dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan saraf
pusat. Kondisi ini disebabkan antara lain: perdarahan intracranial karena
pembuluh darah yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses koagulasi, hipoksia
dan hipoglikemia. Sementara itu asfiksia berat yang terjadi pada BBLR juga
sangat berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat (SSP), yang diakibatkan
karena kekurangan oksigen dan kekurangan perfusi.

c. Sistem Kardiovaskuler

Bayi dengan BBLR paling sering mengalami gangguan/ kelainan janin, yaitu
paten ductus arteriosus, yang merupakan akibat intrauterine kehidupan
ekstrauterine berupa keterlambatan penutupan ductus arteriosus.

d. Sistem Gastrointestinal

Bayi dengan BBLR saluran pencernaannya belum berfungsi seperti bayi yang
cukup bulan, kondisi ini disebabkan karena tidak adanya koordinasi mengisap dan
menelan sampai usia gestasi 33– 34 minggu sehingga kurangnya cadangan nutrisi
seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein.

e. Sistem Termoregulasi

Bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain:
11

1) Kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan kulit dengan berat


badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatif luas).

2) Kurangnya lemak subkutan (brown fat / lemak cokelat).

3) Jaringan lemak dibawah kulit lebih sedikit.

4) Tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit.

f. Sistem Hematologi

Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi bila


dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan. Penyebabnya antara lain adalah:

1) Usia sel darah merahnya lebih pendek.

2) Pembuluh darah kapilernya mudah rapuh.

3) Hemolisis dan berkurangnya darah akibat dari pemeriksaan laboratorium yang


sering.

g. Sistem Imunologi

Bayi dengan BBLR mempunyai sistem kekebalan tubuh yang terbatas, sering kali
memungkinkan bayi tersebut lebih rentan terhadap infeksi.

h. Sistem Perkemihan

Bayi dengan BBLR mempunyai masalah pada sistem perkemihannya, di mana


ginjal bayi tersebut karena belum matang maka tidak mampu untuk menggelola
air, elektrolit, asam – basa, tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme dan
obat – obatan dengan memadai serta tidak mampu memekatkan urin.

i. Sistem Integument

Bayi dengan BBLR mempunyai struktur kulit yang sangat tipis dan transparan
sehingga mudah terjadi gangguan integritas kulit.

j. Sistem Pengelihatan
12

Bayi dengan BBLR dapat mengalami retinopathy of prematurity (RoP) yang


disebabkan karena ketidakmatangan retina.

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada bayi dengan berat lahir rendah (Mitayani, 2009) :

a. Sindrom aspirasi mekonium

Sindrom aspirasi mekonium adalah gangguan pernapasan pada bayi baru lahir
yang disebabkan oleh masuknya mekonium (tinja bayi) ke paru-paru sebelum atau
sekitar waktu kelahiran (menyebabkan kesulitan bernafas pada bayi).

b. Hipoglikemi simptomatik

Hipoglikemi adalah kondisi ketidaknormalan kadar glokosa serum yang rendah.


Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai kadar glukosa dibawah 40 mg/dL.
Hipoglikemi sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa rendah ,terutama
pada laki-laki. c. Penyakit membran hialin yang disebabkan karena membran
surfaktan belum sempurna atau cukup, sehingga alveoli kolaps. Sesudah bayi
mengadakan aspirasi, tidak tertinggal udara dalam alveoli, sehingga dibutuhkan
tenaga negative yang tinggi untuk pernafasan berikutnya.

c. Asfiksia neonatorum

Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir.

d. Hiperbilirubinemia (gangguan pertumbuhan hati)

Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar bilirubin di


dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning.

8. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada bayi BBLR (Mitayani, 2009) :

a. Jumlah darah lengkap: penurunan pada Hb (normal: 12- 24gr/dL), Ht (normal: 33


-38% ) mungkin dibutuhkan.
13

b. Dektrosik: menyatakan hipoglikemi (normal: 40 mg/dL).

c. Analisis Gas Darah (AGD): menentukan derajat keparahan distres pernafasan bila
ada. Rentang nilai normal:

1) pH : 7,35-7,45

2) TCO2 : 23-27 mmol/L

3) PCO2 : 35-45 mmHg

4) PO2 : 80-100 mmHg

5) Saturasi O2 : 95 % atau lebih 20

d. Elektrolit serum: mengkaji adanya hipokalsemia.

e. Bilirubin: mungkin meningkat pada polisitemia.

Bilirubin normal:

1) bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl.

2) bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

f. Urinalisis: mengkaji homeostatis.

g. Jumlah trombosit (normal: 200000 - 475000 mikroliter): Trombositopenia


mungkin menyertai sepsis.

h. EKG, EEG, USG, angiografi: defek kongenital atau komplikasi.

9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR yaitu dengan menerapkan
beberapa metode Developemntal care yaitu :

a. Pemberian posisi

Pemberian posisi pada bayi BBLR sangat mempengaruhi pada kesehatan dan
perkembangan bayi. Bayi yang tidak perlu mengeluarkan energi untuk mengatasi
usaha bernafas, makan atau mengatur suhu tubuh dapat menggunakan energi ini
untuk pertumbuhan dan perkembangan. Posisi telungkup merupakan posisi terbaik
bagi kebanyakan bayi preterm dan BBLR yang dapat menghasilkan oksigenasi
yang lebih baik, lebih menoleransi makanan, dan pola tidur istirahatnya lebih
14

teratur. Bayi memperlihatkan aktifitas fisik dan penggunaan energi lebih sedikit
bila diposisikan telungkup. Akan tetapi ada yang lebih menyukai postur berbaring
miring fleksi. Posisi telentang lama bagi bayi preterm dan BBLR tidak disukai,
karena tampaknya mereka kehilangan keseimbangan saat telentang dan
menggunakan energi vital sebagai usaha untuk mencapai keseimbangan dengan
mengubah postur. Posisi telentang jangka lama bayi preterm dan BBLR dapat
mengakibatkan abduksi pelvis lebar (posisi kaki katak), retraksi dan abduksi bahu,
peningkatan ekstensi leher dan peningkatan ekstensi batang tubuh dengan leher
dan punggung melengkung. Sehingga pada bayi yang sehat posisi tidurnya tidak
boleh posisi telungkup (Wong, 2008).

b. Minimal handling

1) Dukungan Respirasi

Banyak bayi BBLR memerlukan oksigen suplemen dan bantuan ventilasi, hal
ini bertujuan agar bayi BBLR dapat mencapai dan mempertahankan respirasi.
Bayi dengan penanganan suportif ini diposisikan untuk memaksimalkan
oksigenasi. Terapi oksigen diberikan berdasarkan kebutuhan dan penyakit
bayi.

2) Termoregulasi

Kebutuhan yang paling krusial pada bayi BBLR adalah pemberian kehangatan
eksternal setelah tercapainya respirasi. Bayi BBLR memiliki masa otot yang
lebih kecil dan deposit lemak cokelat lebih sedikit untuk menghasilkan panas,
kekurangan isolasi jaringan lemak subkutan, dan control reflek yang buruk
pada kapiler kulitnya. Pada saat bayi BBLR lahir mereka harus segera
ditempatkan dilingkungan yang dipanaskan hal ini untuk mencegah atau
menunda terjadinya efek stres dingin.

3) Perlindungan terhadap infeksi

Perlindungan terhadap infeksi merupakan salah satu penatalaksanaan asuhan


keperawatan pada bayi BBLR untuk mencegah terkena penyakit. Lingkungan
perilindungan dalam inkubator yang secara teratur dibersihkan dan diganti
merupakan isolasi yang efektif terhadap agens infeksi yang ditularkan melalui
udara.
15

4) Hidrasi

Bayi resiko tinggi sering mendapat cairan parenteral untuk asupan tambahan
kalori, elektrolit, dan air. Hidrasi yang adekuat sangat penting pada bayi
preterm, karena kandungan air ekstraselulernya lebih tinggi (70% pada bayi
cukup bulan dan sampai 90% pada bayi preterm). Hal ini dikarenakan
permukaan tubuhnya lebih luas dan kapasitas osmotik diuresis terbatas pada
ginjal bayi preterm yang belum berkembang sempurna, sehingga bayi tersebut
sangat peka terhadap kehilangan cairan.

5) Nutrisi

Nutrisi yang optimal sangat kritis dalam manajemen bayi BBLR, tetapi
terdapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi mereka karena berbagai
mekanisme ingesti dan digesti makanan belum sepenuhnya berkembang.
Jumlah, jadwal, dan metode pemberian nutrisi ditentukan oleh ukuran dan
kondisi bayi. Nutrisi dapat diberikan melalui parenteral ataupun enteral atau
dengan kombinasi keduanya. Kebutuhan bayi untuk tumbuh cepat dan
pemeliharaan harian harus dipenuhi dalam keadaan adanya banyak
kekurangan anatomi dan fisiologis. Meskipun beberapa aktivitas menghisap
dan menelan sudah ada sejak sebelu lahir, namun koordinasi mekanisme ini
belum terjadi sampai kurang lebih 32 sampai 34 minggu usia gestasi, dan
belum sepenuhnya sinkron dalam 36 sampai 37 minggu. Pemberian makan
bayi awal ( dengan syarat bayi stabil secara medis) dapat menurunkan insidens
faktor komplikasi seperti hipoglikemia, dehidrasi, derajat hiperbilirubinemia
bayi BBLR dan preterm yang terganggu memerlukan metode alternatif, air
steril dapat diberikan terlebih dahulu. Jumlah yang diberikan terutama
ditentukan oleh pertambahan berat badan bayi BBLR dan toleransi terhadap
pemberian makan sebelum dan ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai
asupan kalori yang memuaskan dapat tercapai. Bayi BBLR dan preterm
menuntut waktu yang lebih lama dan kesabaran dalam memberikan makan
dibandingkan pada bayi cukup bulan, dan mekanisme oral-faring dapat
terganggu oleh usaha pemberian makan yang terlalu cepat. Penting untuk tidak
membuat bayi kelelahan atau melebihi kapasitas mereka dalam menerima
makanan.
16

c. Perawatan Metode Kanguru (Kangaroo Mother Care)

1. Definisi dan manfaat perawatan metode kanguru

Perawatan metode kanguru (PMK) merupakan salah satu alternatif cara


perawatan yang murah, mudah, dan aman untuk merawat bayi BBLR. Dengan
PMK, ibu dapat menghangatkan bayinya agar tidak kedinginan yang membuat
bayi BBLR mengalami bahaya dan dapat mengancam hidupnya, hal ini
dikarenakan pada bayi BBLR belum dapat mengatur suhu tubuhnya karena
sedikitnya lapisan lemak dibawah kulitnya. PMK dapat memberikan
kehangatan agar suhu tubuh pada bayi BBLR tetap normal, hal ini dapat
mencegah terjadinya hipotermi karena tubuh ibu dapat memberikan
kehangatan secara langsung kepada bayinya melalui kontak antara kulit ibu
dengan kulit bayi, ini juga dapat berfungsi sebagai pengganti dari inkubator.
PMK dapat melindungi bayi dari infeksi, pemberian makanan yang sesuai
untuk bayi (ASI), berat badan cepat naik, memiliki pengaruh positif terhadap
peningkatan perkembangan kognitif bayi, dan mempererat ikatan antara ibu
dan bayi, serta ibu lebih percaya diri dalam merawat bayi (Perinansia, 2008).

Menurut penelitian Morgan, 2017 mengatakan bahwa Perawatan ibu kanguru


(KMC) untuk neonatus stabil ≤2000 g dikaitkan dengan penurunan mortalitas,
sepsis, hipotermia, dan lama tinggal dibandingkan dengan perawatan
konvensional. Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa KMC "harus
dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil". Namun, mayoritas kematian
terjadi pada neonatus yang tidak stabil. Kami bertujuan untuk menentukan
proporsi neonatus yang diterima memenuhi kriteria ketidakstabilan yang
diusulkan, menilai kelayakan menyediakan KMC untuk neonatus yang tidak
stabil, dan mengevaluasi penerimaan intervensi ini kepada orang tua dan
penyedia di Rumah Sakit Rujukan Regional di Uganda.

2. Teknik menerapkan PMK pada bayi BBLR

Beberapa teknik yang dapat dilakukan pada bayi BBLR (Perinansia, 2008).

a) Bayi diletakkan tegak lurus di dada ibu sehingga kulit bayi menempel pada
kulit ibu.

b) Sebelumnya cuci tangan dahulu sebelum memegang bayi.


17

c) Pegang bayi dengan satu tangan diletakkan dibelakang leher sampai


punggung bayi.

d) Sebaiknya tidak memakai kutang atau beha (perempuan) atau kaos dalam
(laki-laki) selama PMK.

Gambar 2.1 posisi bayi dalam gendongan PMK

e) Topang bagian bawah rahang bayi dengan ibu jari dan jari-jari lainnya,
agar kepala bayi tidak tertekuk dan tidak menutupi saluran napas ketika
bayi berada pada posisi tegak.

f) Tempatkan bayi dibawah bokong, kemudian lekatkan antara kulit dada ibu
dan bayi seluasluasnya.

g) Pertahankan posisi bayi dengan kain gendongan, sebaiknya ibu memakai


baju yang longgar dan berkancing depan.

Gambar 2.2 perawatan metode kanguru


18

h) Kepala bayi sedikit tengadah supaya bayi dapat bernapas dengan baik.

i) Sebaiknya bayi tidak memakai baju, bayi memakai topi hangat, memakai
popok dan memakai kaus kaki.

j) Selama perpisahan antara ibu dan bayi, anggota keluarga (ayah nenek, dll),
dapat juga menolong melakukan kontak kulit langsung ibu dengan bayi
dalam posisi kanguru.

Gambar 2.3 mengeluarkan bayi dari baju kanguru

Gambar 2.4 menyusui dalam PMK


19

Gambar 2.5 ayah dapat bergantian dengan ibu dalam PMK

PMK tidak diberikan sepanjang waktu tetapi hanya dilakukan jika ibu
mengunjungi bayinya yang masih berada dalam perawatan di inkubator
dengan durasi minimal satu jam secara terus-menerus dalam satu hari atau
disebut PMK intermiten. Sedangkan PMK yang diberikan sepanjang
waktu yang dapat dilakukan di unit rawat gabung atau ruangan yang
dipergunakan untuk perawatan metode kanguru disebut PMK kontinu.

d. Perawatan pada inkubator

Inkubator adalah suatu alat untuk membantu terciptanya suatu lingkungan yang
optimal, sehingga dapat memberikan suhu yang normal dan dapat
mempertahankan suhu tubuh. Pada umumnya terdapat dua macam inkubator yaitu
inkubator tertutup dan inkubator terbuka (Hidayat, 2005). 30

1) Perawatan bayi dalam inkubator tertutup

a) Inkubator harus selalu tertutup dan hanya dibuka apabila dalam keadaan
tertentu seperti apnea, dan apabila membuka inkubator usahakan suhu bayi
tetap hangat dan oksigen harus selalu disediakan.

b) Tindakan perawatan dan pengobatan diberikan melalui hidung.

c) Bayi harus dalam keadaan telanjang (tidak memakai pakaian) untuk


memudahkan observasi.

d) Pengaturan panas disesuaikan dengan berat badan dan kondisi tubuh.

e) Pengaturan oksigen selalu diobservasi.


20

f) Inkubator harus ditempatkan pada ruangan yang hangat kira-kira dengan


suhu 27 derajat celcius.

2) Perawatan bayi dalam inkubator terbuka

a) Pemberian inkubator dilakukan dalam keadaan terbuka saat pemberian


perawatan pada bayi.

b) Menggunakan lampu pemanas untuk memberikan keseimbangan suhu


normal dan kehangatan.

c) Membungkus dengan selimut hangat.

d) Dinding keranjang ditutup dengan kain atau yang lain untuk mencegah
aliran udara.

e) Kepala bayi harus ditutup karena banyak panas yang hilang melalui
kepala.

f) Pengaturuan suhu inkubator disesuaikan dengan berat badan sesuai dengan


ketentuan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada BBLR

Pada saat kelahiran bayi baru harus menjalani pengkajian cepat namun seksama untuk
menentukan setiap masalah yang muncul dan mengidentifikasi masalah yang
menuntut perhatian yang cepat. Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk
mengevaluasi kardiopulmonal dan neurologis. Pengkajian meliputi penyusunan nilai
APGAR dan evaluasi setiap anomaly congenital yang jelas atau adanya tanda gawat
neonatus (Wong, 2008).

1. Pengkajian

a. Pengkajian umum

1) Timbang bayi tiap hari, atau lebih bila ada permintaan dengan
menggunakan timbangan elektronik.

2) Ukur panjang badan, dan lingkar kepala secara berkala.


21

3) Jelaskan bentuk dan ukuran tubuh secara umum, postur saat istirahat,
kemudian bernafas, dan adanya lokasi edema.

4) Observasi adanya deformitas yang tampak.

5) Observasi setiap tanda kegawatan, warna yang buruk, hipotonia,

6) tidak responsive, dan apnea.

b. Pengkajian respirasi

1) Observasi bentuk dada (barrel, konkaf), simetri, adanya insisi, slang dada,
atau devisiasi lainnya.

2) Observasi adanya penggunaan otot penapasan tambahan cuping hidung


atau retraksi substernal, interkostal atau subklavikular.

3) Tentukan frekuensi pernapasan dan keteraturannya.

4) Lakukan auskultasi dan jelaskan suara napas (stridor, krepitasi, mengi,


suara basah berkurang, daerah tanpa suara, grunting), berkurangnya
masukan udara, dan kesamaan suara napas.

5) Tentukan apakah diperlukan pengisapan.

c. Pengkajian kardiovaskuler
1) Tentukan denyut jantung dan iramanya.
2) Jelaskan bunyi jantung, termasuk adanya bising.
3) Tentukan titik intensitas maksimal (point of maximum intensity/ PMI), titik
ketika bunyi denyut jantung paling keras terdengar dan teraba (perubahan
PMI menunjukkan adanya pergeseran imediastinum).
4) Jelaskan warna bayi ( bisa karena gangguan jantung, respirasi atau
hematopoetik), sianosis pucat, plethora, jaundis, dan bercakbercak.
5) Kaji warna dasar kuku, membran mukosa, dan bibir.
6) Tentukan tekanan darah, dan tunjukkan ekstermitas yang dipakai.

d. Pengkajian gastrointestinal
1) Tentukan adanya distensi abdomen, adanya edema dinding abdomen,
tampak pelistaltik, tampak gulungan usus, dan status umbilicus.
22

2) Tentukan adanya tanda regurgitasi dan waktu yang berkaitan dengan


pemberian makanan, karakter dan jumlah residu jika makanan keluar, jika
terpasang selang nasogasrtik, jelaskan tipe penghisap, dan haluaran (warna,
konsistensi, pH).
3) Palpasi batas hati (3 cm dibawah batas kosta kanan).
4) Jelaskan jumlah, warna, dan konsistensi feses, periksa adanya darah.
5) Jelaskan bising usus.

e. Pengkajian genitourinaria
1) Jelaskan setiap abnormalitas genitalia.
2) Jelaskan jumlah (dibandingkan dengan berat badan), warna pH, temuan
lab-stick, dan berat jenis kemih (untuk menyaring kecukupan hidrasi).
3) Periksa berat badan (pengukuran yang paling akurat dalam mengkaji
hidrasi).

f. Pengkajian neurologis-muskuloskeletal
1) Jelaskan gerakan bayi, kejang, kedutan, tingkat aktivitas terhadap
rangsang, dan evaluasi sesuai masa gestasinya.
2) Jelaskan posisi bayi atau perilakunya (fleksi, ekstensi).
3) Jelaskan refleks yang ada ( moro, rooting, sucking, plantar, tonick neck,
palmar).
4) Tentukan tingkat respons dan kenyamanan.

g. Suhu tubuh
1) Tentukan suhu kulit dan aksilar.
2) Tentukan hubungan dengan suhu sekitar lingkungan.
h. Pengkajian kulit
1) Terangkan adanya perubahan warna, daerah yang memerah, tanda iritasi,
melepuh, abrasi, atau daerah terkelupas, terutama dimana peralatan
pemantau infus atau alat lain bersentuhan dengan kulit.
2) Periksa juga dan catat preparat kulit yang dipakai (missal plester, povidone-
jodine).
3) Tentukan tekstur dan turgor kulit kering, lembut, bersisik,terkelupas dan
lain-lain.
23

4) Terangkan adanya ruam, lesi kulit, atau tanda lahir.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan oleh seorang perawat pada
bayi dengan BBLR (NANDA, 2016):
a. Tidak efektifnya pola pernafasan.
1) Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak menyediakan ventilasi
yang adekuat.
2) Batasan karateristik:
Napas dalam, perubahan gerakan dada, mengambil posisi tiga titik,
bradipneu, penurunan tekanan ekspirasi, penurunan tekanan inspirasi,p
enurunan ventilasi semenit, penurunan kapasitas vital, dispneu,
peningkatan diameter anterior-posterior, napas cuping hidung, ortopneu,
fase ekspirasi yang lama, pernapasan pursed-lip, takipneu dan penggunaan
otot-otot bantu untuk bernapas.

b. Termoregulasi tubuh tidak efektif.


1) Definisi : Fluktuasi suhu antara hipotermia dan hipertermia.
2) Batasan karakteristik:
Kulit dingin, sianosis, fluktuasi suhu tubuh di atas dan di bawah kisaran
normal, kulit memerah, hipertensi, peningkatan frekuensi napas,
menggigil, pucat, piloereksi, penurunan suhu tubuh di bawah kisaran
normal, teraba hangat.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
1) Definisi: asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme.
2) Batasan karakteristik:
Kram abnormal, sakit perut, keengganan untuk makan, berat badan 20%
atau lebih di bawah ideal, kerapuhan kapiler, diare, kehilangan rambut
yang berlebihan, hiperaktif suara usus, kekurangan makanan, membran
mukosa kering, dan merasa tidak mampu menelan makanan.
d. Resiko infeksi.
1) Definisi: peningkatan resiko invasif oleh organisme patogen.
2) Faktor resiko:
24

Prosedur invasif, trauma, kerusakan jaringan dan peningkatan paparan


lingkungan, ruptur membran amnion,malnutrisi, peningkatan paparan
lingkungan pathogen, ketidakadekuatan sistem imun, penyakit kronik,
tidakadekuat pertahanan tubuh primer ( kulit tidak utuh, trauma jaringan,
penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan
peristaltik), ketidakadekuatan pertahanan tubuh skunder (penurunan Hb,
leucopenia, penekanan respon inflamasi).

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)


keperawatan hasil

(NOC)
25

1 Tidak efektifnya Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tingkat


pola pernafasan. keperawatan selama 3x24 jam, pernapasan, kedalaman, dan
diharapkan pasien mampu : kemudahan bernafas. Rasional:
1. Status Pernapasan: Kepatenan Membantu
jalan napas. dalam membedakan
2. Status Pernapasan: Ventilasi. periode perputaran pernapasan
normal dari serangan
3. Status tanda-tanda vital. apnetik sejati, terutama sering
terjadi pada gestasi minggu ke-30
Dengan kriteria hasil : 2. Perhatikan pola nafas klien.

1. Menunjukkan pola pernapasan yang Rasional: mengetahui jika terdapat


mendukung hasil gas darah dalam tanda-tanda yang menyebabkan
parameter atau kisaran normal. dispneu.
2. Pasien melaporkan bernafas 3. Tentukan apakah klien dispneu
dengan nyaman. fisiologis atau psikologis.
3. Mendemonstrasikan kemampuan Rasional: Studi menemukan bahwa
untuk melakukan pernapasan dengan ketika penyebabnya adalah
pursed lip (mengerutkan bibir) dan fisiologis memiliki tanda gejala
pernapasan dapat terkontrol. kecemasan dan kesemutan pada
4. Mengidentifikasi dan menghindari extremitas, sedangkan bila dipsneu
faktor-faktor spesifik yang dapat itu psikologisl tanda gejalanya
memperburuk pola nafas. mengi terkait, batuk, dahak, dan
palpitasi.
4. Berikan terapi oksigenasi (Atur
peralatan oksigenasi, monitor aliran
oksigen, pertahankan posisi pasien).
Rasional: Perbaikan kadar oksigen
dan
karbondioksida dapat meningkatkan
26

funsi pernapasan.

5. Monitor Tekanan darah, nadi, suhu,


dan Respiration rate (pernafasan).
Rasional: memantau vital sign klien.

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi (NIC)


(NOC)
2 Termoregulasi tubuh tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Ukur suhu setiap 2 jam, gunakan

efektif. selama 3x24 jam, diharapkan pasien termometer elektronik di ketiak pada

mampu: bayi di bawah usia 4 minggu.

Termoregulasi menjadi efektif sesuai Rasional: memantau apakah adanya

dengan perkembangan. peningkatan atau penurunan suhu

Dengan kriteria hasil: tubuh.

1. Dapat mempertahankan suhu tubuh 2. Catat apakah ada tanda-tanda

dalam kisaran normal. hipertermi dan hipotermi.

2. Menjelaskan langkah-langkah yang Rasional: Hipertermi dengan

diperlukan untuk mempertahankan suhu peningkatan laju metabolisme

tubuh agar dalam batas normal. kebutuhan oksigen dan glukosa serta

3. Menjelaskan gejala hipotermia atau kehilangan air dapat terjadi bila suhu

hipertermia. lingkungan terlalu tinggi.

3. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi.

Rasional: untuk mencegah terjadinya

dehidrasi.

4. Lakukan tepid sponge.

Rasional: dapat menurunkan suhu tubuh


bayi
27

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi (NIC)


keperawatan hasil

(NOC)
3 Perubahan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Perhatikan gejala kekurangan
kurang dari kebutuhan keperawatan selama 3x24 jam gizi termasuk perawakan pendek,
tubuh. diharapkan pasien mampu: lengan kurus dan kaki.
1. Intake nutrien normal. Rasional: sebagai langkah awal
pengkajian untuk melaksanakan
2. Intake makanan dan cairan normal. intervensi selanjutnya.
2. Perhatikan adanya penurunan
3. Berat badan normal. berat badan.
Rasional: Mengidentifikasikan
4. Massa tubuh normal. adanya resiko derajat dan resiko
terhadap pola pertumbuhan. Bayi
5. Pengukuran biokimia normal. SGA (Baby small for gestational
age) dengan kelebihan cairan
Dengan kriteria hasil: ekstrasel yang kemungkinan
kehilangan 15% BB lahir. Bayi
1. Berat badan bertambah. SGA (Baby small for gestational
age) mungkin telah mengalami
2. Berat badan dalam kisaran normal penurunan berat badan dalam
untuk tinggi dan uterus atau mengalami penurunan
usia. simpanan lemak atau glikogen.
3. Mengenali faktor yang 3. Kaji kulit apakah kering,

berkontribusi terhadap berat badan monitor turgor kulit dan perubahan


dibawah normal. pigmentasi. Rasional : untuk
4. Mengidentifikasi kebutuhan gizi. mengetahui adanya tanda-tanda
dehidrasi.
5. Bebas dari kekurangan gizi. 4. Berikan makanan yang terpilih.
(sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi).
28

Rasional: membantu dalam rencana diet


untuk memenuhi kebutuhan individual
5. Monitor kalori dan intake nutrisi.

Rasional: mengawasi masukan nutrisi


dan kalori dalam tubuh.

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi (NIC)


(NOC)
4 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1.Kaji adanya fluktuasi suhu tubuh,

selama 3x24 jam diharapkan pasien letargi, apnea, malas minum, gelisah

mampu: dan ikterus.

Terhindar dari resiko infeksi. Rasional: suhu tubuh meningkat dan

Dengan kriteria hasil: nadi cepat mmerupakn awal terjadinya

1. Pengetahuan: Kontrol infeksi infeksi.

Indikador: 2. Kaji riwayat ibu, kondisi bayi selama

a. Menerangkan cara-cara penyebaran. kehamilan, dan epidemi infeksi diruang

b. Menerangkan faktor-faktor yang perawatan.

berkontribusi dengan penyebaran. Rasional: mengetahui adanya riwayat

c. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala. infeksi selama kehamilan.

d. Menjelaskan aktivitas yang dapat 3 Ambil sampel darah.

meningkatkan resistensi terhadap infeksi. Rasional: untuk sampel pada

2. Status Nutrisi. pemeriksaan laboratorium seperti

Indikator: eritrosit, leukosit, diferensiasi, dan

a. Asupan nutrisi immunoglobulin.

b. Asupan makanan dan cairan 4. Upayakan pencegahan infeksi dari

c. Energi lingkungan. Misalnya : cuci tangan

d. Masa tubuh sebelum dan sesudah memegang bayi.

e. Berat badan Rasional: untuk mencegah


29

3.Penyembuhan luka: Primer berpindahnya mikroorganisme dari jari


tangan ke tubuh bayi.
a. Kulit utuh

b. Berkurangnya drainase purulen

c. Eritema disekitar kulit berkurang

d. Edema disekitar kulit berkurang

e. Suhu kulit tidak meningkat

f. Luka tidak berbau

C. Konsep Teori Myra E Levine

1. Biografi Myra E Levine

Myra Estrin Levine (1920-1996) lahir di Chicago, Illinois. Ia adalah anak tertua
dari tiga bersaudara. Levine mengembangkan minat dalam perawatan karena
ayahnya sering sakit (mengalami masalah gastrointestinal) dan memerlukan
perawatan(George, 2002).

Levine lulus dari Cook County School of Nursing tahun 1944 dan memperoleh
gelar Bachelor Science of Nursing (BSN) dari University of Chicago pada tahun
1949. Setelah lulus, Levine bekerja sebagai perawat sipil untuk US Army, sebagai
supervisor perawat bedah, dan administrasi keperawatan. Setelah mendapatkan
gelar Master Science of Nursing (MSN) di Wayne State University pada tahun
1962, ia mengajar keperawatan di berbagai lembagaseperti University of Illinois
di Chicago dan Tel Aviv University di Israel. Levine menulis 77 artikel yang
dipublikasikan yang termasuk artikel “An Introduction to Clinical Nursing” yang
dipublikasikan berulang kali pada tahun pada tahun 1969, 1973 & 1989.Ia juga
menerima gelar doktor kehormatan dari Loyola University pada tahun
1992(Tomey&Alligood, 2006).

Levine meninggal pada tanggal 20 Maret 1996 di usianya ke 75 tahun. Levine


pribadi menyatakan bahwa ia tidak bertujuan khusus untuk mengembangkan
“Teori keperawatan,” tetapi ingin menemukan cara untuk mengajarkan konsep-
30

konsep utama dalam Keperawatan Medikal Bedah dan berusaha untuk


mengajarkan siswa keperawatan sebuah pendekatan baru dalam kegiatan
keperawatan. Levine juga ingin berpindah dari praktek keperawatan pendidikan
yang menurutnya sangat prosedural dan kembali fokus pada pemecahan masalah
secara aktif dan perawatan pasien (George, 2002).

2. Major Konsep

Selama bertahun-tahun, perawat (seperti Myra Levine) telah mengembangkan


berbagai teori yang memberikan penjelasan berbeda tentang disiplin keperawatan.
Seperti Model Konservasinya, semua teori berbagi empat konsep utama atau
utama: orang, lingkungan, keperawatan dan kesehatan. Selain itu, Model Levine
juga membahas bahwa orang dan lingkungan tersebut bergabung atau menjadi
kongruen dari waktu ke waktu, karena akan dibahas di bawah ini.

a. Manusia

Manusia adalah makhluk holistik yang selalu berusaha untuk mempertahankan


keutuhan dan integritas dan satu “yang hidup, berpikir, berorientasi masa
depan, dan sadar di masa lalu.” Keutuhan (integritas) dari tuntutan individu
bahwa “kehidupan individu memiliki hanya berarti dalam konteks kehidupan
sosial ”(Levine, 1973, hal. 17). Orang tersebut juga digambarkan sebagai
individu yang unik dalam kesatuan dan integritas, perasaan, kepercayaan,
pemikiran dan keseluruhan sistem sistem.

b. Lingkungan

Lingkungan melengkapi keutuhan individu. Individu memiliki lingkungan


internal dan eksternal. Lingkungan internal menggabungkan aspek fisiologis
dan patofisiologi individu dan terus ditantang oleh lingkungan eksternal.
Lingkungan internal juga merupakan integrasi fungsi tubuh yang menyerupai
homeorresis daripada homeostasis dan tunduk pada tantangan lingkungan
eksternal, yang selalu merupakan bentuk energi.

Homeostasis adalah keadaan hemat energi yang juga menyediakan baseline


yang diperlukan untuk banyak faktor fisiologis dan psikologis yang sinkron,
sementara homeorrhesis adalah aliran yang stabil daripada keadaan statis.
Lingkungan internal menekankan fluiditas perubahan dalam kontinum ruang-
31

waktu. Ini menggambarkan pola adaptasi, yang memungkinkan tubuh individu


untuk mempertahankan kesejahteraannya dengan perubahan besar yang
merambahnya dari lingkungan.

Lingkungan eksternal dibagi menjadi lingkungan perseptual, operasional, dan


konseptual. Lingkungan perseptual adalah bagian dari lingkungan eksternal
yang direspon individu dengan organ indera mereka dan termasuk cahaya,
suara, sentuhan, suhu, perubahan kimia yang tercium atau terasa, dan posisi
indera dan keseimbangan. Lingkungan operasional adalah bagian dari
lingkungan eksternal yang berinteraksi dengan jaringan hidup meskipun
individu tidak memiliki organ sensorik yang dapat merekam keberadaan
faktor-faktor ini dan mencakup semua bentuk radiasi, mikroorganisme, dan
polutan. Dengan kata lain, unsur-unsur ini secara fisik dapat mempengaruhi
individu tetapi tidak dirasakan oleh yang kedua. Lingkungan konseptual
adalah bagian dari lingkungan eksternal yang terdiri dari bahasa, ide, simbol,
dan konsep dan penemuan dan mencakup pertukaran bahasa, kemampuan
untuk berpikir dan mengalami emosi, sistem nilai, keyakinan agama, tradisi
etnis dan budaya, dan pola psikologis individu yang berasal dari pengalaman
hidup.

c. Kesehatan dan penyakit

Kesehatan dan Penyakit adalah pola perubahan adaptif. Kesehatan tersirat


berarti kesatuan dan integritas dan "adalah keutuhan dan adaptasi yang
sukses". Tujuan keperawatan adalah untuk meningkatkan kesehatan. Levine
(1991, p. 4) mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan kesehatan sebagai: “...
jalan kembali ke aktivitas sehari-hari yang dikompromikan oleh kesehatan
yang buruk. Bukan hanya penghinaan atau luka yang diperbaiki tetapi orang
itu sendiri ... Ini bukan hanya penyembuhan bagian yang tersakiti. Ini lebih
merupakan pengembalian kepada diri sendiri, di mana pelanggaran kecacatan
dapat dikesampingkan sepenuhnya, dan individu bebas untuk mengejar sekali
lagi kepentingannya sendiri tanpa kendala. "Di sisi lain, penyakit" tidak diatur
dan tidak disiplin. berubah dan harus dihentikan atau kematian akan terjadi ”.

d. Keperawatan
32

Keperawatan melibatkan terlibat dalam "interaksi manusia" (Levine, 1973,


hal.1). “Perawat masuk ke dalam kemitraan pengalaman manusia di mana
berbagi momen dalam waktu — beberapa hal yang sepele, beberapa dramatis
— meninggalkan tanda selamanya pada setiap pasien” (Levine, 1977, hal.
845). Tujuan keperawatan adalah untuk mempromosikan adaptasi dan
mempertahankan keutuhan (kesehatan).

Tujuan keperawatan adalah untuk mempromosikan keutuhan, menyadari


bahwa setiap individu membutuhkan suatu kelompok kegiatan yang unik dan
terpisah. Integritas individu adalah kekhawatirannya yang patuh dan tanggung
jawab perawat adalah membantu pasien untuk mempertahankan dan mencari
realisasinya. Tujuan keperawatan dicapai melalui penggunaan prinsip-prinsip
konservasi: energi, struktur, pribadi, dan integritas sosial.

e. Seperti yang telah disebutkan di atas, Model Konservasi Levine membahas


bahwa cara di mana orang dan lingkungan menjadi kongruen dari waktu ke
waktu. Ini adalah kesesuaian orang dengan kesulitan ruang dan waktunya.
Respons adaptif khusus membuat konservasi mungkin terjadi pada banyak
tingkatan; molekuler, fisiologis, emosional, psikologis, dan sosial. Tanggapan
ini didasarkan pada tiga faktor (Levine, 1989): historisitas, spesifisitas dan
redundansi.

1) Historisitas mengacu pada gagasan bahwa tanggapan adaptif sebagian


didasarkan pada sejarah masa lalu pribadi dan genetik. Setiap individu
terdiri dari kombinasi sejarah pribadi dan genetik, dan respons adaptif
adalah hasil dari keduanya.

2) Kekhususan mengacu pada fakta bahwa setiap sistem yang membentuk


manusia memiliki jalur stimulus-respons yang unik. Tanggapan dirangsang
oleh stres khusus dan berorientasi tugas. Tanggapan yang dirangsang
dalam berbagai jalur cenderung disinkronkan dan terjadi dalam kaskade
(atau merugikan dalam beberapa kasus) reaksi.

3) Redundansi menggambarkan gagasan bahwa jika satu sistem atau jalur,


tidak dapat memastikan adaptasi, maka jalur lain mungkin dapat
mengambil alih dan menyelesaikan pekerjaan. Ini mungkin membantu
ketika respons korektif (misalnya, penggunaan bidikan alergi selama
33

periode waktu yang panjang untuk mengurangi efek alergi parah dengan
secara bertahap menurunkan daya sensitif sistem kekebalan). Namun,
redundansi dapat merugikan, seperti ketika tanggapan yang sebelumnya
gagal dipulihkan (mis., Ketika kondisi autoimun menyebabkan sistem
kekebalan seseorang sendiri menyerang jaringan yang sebelumnya sehat di
dalam tubuh).

Perubahan perilaku individu selama upaya untuk beradaptasi dengan


lingkungan disebut respon organisme. Ini membantu individu untuk
melindungi dan menjaga integritas mereka. Ada empat jenis, yaitu

1) Penerbangan atau perkelahian: Tanggapan seketika terhadap ancaman


nyata atau bayangan, sebagian besar tanggapan primitive.

2) Radang: respons dimaksudkan untuk menyediakan integritas struktural


dan promosi penyembuhan.

3) Stres: Respons berkembang seiring waktu dan dipengaruhi oleh setiap


pengalaman stres yang dialami orang.

4) Persepsi: Melibatkan mengumpulkan informasi dari lingkungan dan


mengubahnya menjadi pengalaman makna.

3. Teori Konsep Keperawatan Menurut Myra E Levine

Teori konsep keperawatan menurut Myra E Levine difokuskan dalam


mempromosikan adaptasi dan mempertahankan keutuhan menggunakan prinsip-
prinsip konservasi. Model memandu perawat untuk focus pada pengaruh dan
tanggapan di tingkat organismic. Perawat menyelesaikan tujuan dari model
melalui konservasi energy, struktur, dan integritas personal dan social (Levine,
1967). Meskipun konservasi adalah pandangan dasar guna mencapai hasil yang
diharapkan, Levine juga membahas dua konsep penting lainnya penting untuk
penggunaan modelnya yaitu adaptasi dan keutuhan. Adaptasi adalah proses
perubahan dan konservasi adalah hasil dari adaptasi. Adaptasi adalah proses
dimana pasien mempertahakan integritas dalam realitas lingkungan. Adaptasi
dicapai melalui terkendalinya sumber daya lingkungan oleh individu dalam
hubungannya dengan sesame (Levine, 1991).
34

Interaksi terus menerus terjadi antara organisme individu dengan lingkungannnya


dalam kondisi kesehatan (Levine, 1973). Keutuhan ada jika interaksi atau adaptasi
lingkungan ada dalam semua dimensi kehidupan. Dinamika ini terus menerus
berlanjut melalui interaksi terbuka anatara lingkungan internal (fisiologis/normal
dan patofisiologis/tidak normal) dan eksternal (persepsi, operasional dan
konseptua). Konsep memberikan dasar untuk berfikir holistic, pandangan individu
secara keseluruhan.

Konservasi adalah produk adaptasi, conservation dalam bahasa latinnya yang


berarti menjaga bersama-sama. Konservasi menggambarkan cara system yang
kompleks dapat terus berfungsi bahkan pada saat yang sangat menantang. Melalui
konservasi individu dapat menghadapi hambatan, beradaptasi sesuai dengan
lingkungannya, dan mempertahankan keunikan mereka. Tujuan dari konservasi
adalah dalam situasi dimana semua keperawatan selalu dibutuhkan. Focus utama
dari konservasi adalah menjaga bersamasa-sama keutuhan individu.

4. Kunci dari konsep Myra E Levine

Model konsep Myra Levine memandang klien sebagai makhluk hidup terintgrasi
yang berinteraksi dan beradaptasi terhadap lingkungannya, dan intervensi
keperawatan suatu aktifitas konservasi dan konservasi energi adalah bagian yang
menjadi pertimbangan kemudian sehat menurut Levine itu dilihat dari sudut
pandang keperawatan terdapat empat konservasi diantaranya energi klien, struktur
integritas, integritas personal dan integritas sosial, sehingga pendekatan asuhan
keperawatan ditujukan pada penggunaan sumber-sumber kekuatan klien secara
optimal, dan konservasi itu dilihat sebagai berikut.

a. Model Konservasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya konsep konservasi ini


memiliki empat buah konsep, yaitu :

1) Konservasi Energi

Individu memerlukan keseimbangan energi dan memperbaharui energi


secara konstan untuk mempertahankan aktifitas hidup. Konservasi energi
dapat digunakan dalam praktek keperawatan.
35

2) Konservasi Integritas Struktur

Penyembuhan adalah suatu proses pergantian dari integritas struktur.


Seseorang harus membatasi jumlah jaringan yang terlibat dengan penyakit
melalui perubahan dan intervensi keperawatan.

3) Konservasi Intefritas Persona

Seorang perawat dapat menghargai klien ketika klien dipanggil dengan


namanya. Sikap menghargai tersebutterjadi karena adanya proses nilai
personal yang menyediakan privasi selama prosedur keperwatan
berlangsung.

4) Konservasi integritas

Kehidupan berarti komunitas sosial dan kesehatan merupakan keadaan


sosial yang telah ditentukan. Oleh karena itu, perawat berperan
menyediakan kebutuhan terhadap keluarga, membantu kehidupan religius
dan menggunakan hubungan interpersonal untuk konservasi integritas
sosial.

b. Tiga Konsep Utama Dari Model Konservasi

1) Wholeness (Keutuhan)

Erikson dalam Levine (1973) menyatakan wholeness sebagai sebuah


sistem terbuka:“Wholeness emphasizes a sound, organic, progressive
mutuality between diversified functions and parts within an entirety, the
boundaries of which are open and fluent. (Keutuhan menekankan pada
suara, organik, mutualitas progresif antara fungsi yang beragam dan
bagian-bagian dalam keseluruhan, batas-batas yang terbuka)” Levine
(1973, hal 11) menyatakan bahwa “interaksi terus-menerus dari organisme
individu dengan lingkungannya merupakan sistem yang ‘terbuka dan cair’,
dan kondisi kesehatan, keutuhan, terwujud ketika interaksi atau adaptasi
konstan lingkungan, memungkinkan kemudahan (jaminan integritas) di
semua dimensi kehidupan”. Kondisi dinamis dalam interaksi terbuka
antara lingkungan internal dan eksternal menyediakan dasar untuk berpikir
holistik, memandang individu secara keseluruhan.
36

2) Adaptasi

Adaptasi merupakan sebuah proses perubahan yang bertujuan


mempertahankan integritas individu dalam menghadapi realitas
lingkungan internal dan eksternal. Konservasi adalah hasil dari adaptasi.
Beberapa adaptasi dapat berhasil dan sebagian tidak berhasil.

Levine mengemukakan 3 karakter adaptasi yakni: historis, spesificity, dan


redundancy. Levin menyatakan bahwa setiap individu mempunyai pola
respon tertentu untuk menjamin keberhasilan dalm aktivitas kehidupannya
yang menunjukkan adaptasi historis dan spesificity. Selanjutnya pola
adaptasi dapat disembunyikan dalam kode genetik individu. Redundancy
menggambarkan pilihan kegagalan yang terselamatkan dari individu untuk
menjamin adaptasi. Kehilangan redundancy memilih apakah melalui
trauma, umur, penyakit, atau kondisi lingkungan yang membuat individu
sulit mempertahankan hidup.

a) Lingkungan

Levine memandang setiap individu memiliki lingkungannya sendiri


baik lingkungan internal maupun eksternal. Perawat dapat
menghubungkan lingkungan internal individu dengan aspek fisiologis
dan patofisiologis, dan lingkungan eksternal sebagai level persepsi,
opersional dan konseptual. Level perseptual melibatkan kemampuan
menangkap dan menginterpretasi dunia dengan organ indera. Level
operasional terdiri dari segala sesuatu yang mempengaruhi individu
secara fisiologis meskipun mereka tidak dapat mempersepsikannya
secara langsung, seperti mkroorganisme. Pada konseptual level,
lingkungan dibentuk dari pola budaya, dikarakteristikkan dengan
keberadaan spiritual, dan ditengahi oleh simbol bahasa, pikiran dan
pengalaman.

b) Respon organisme
37

Respon organisme adalah kemampuan individu untuk beradaptasi


dengan lingkungannya, yang bisa dibagi menjadi fight atau flight,
respon inflamasi, respon terhadap stress, dan kewaspadaan persepsi.

1) Fight-flight merupakan respon yang paling primitif dimana


ancaman yang diterima individu baik nyata maupun tidak,
merupakan respon terhadap ketakutan melalui menyerang atau
menghindar hal ini bersifat reaksi yang tiba-tiba. Respon yang
disampaikan adalah kewaspadaan untuk mencari informasi untuk
rasa aman dan sejahtera.

2) Respon peradangan atau inflamasi merupakan mekanisme


pertahanan yang melindungi diri dari lingkungan yang merusak,
merupakan cara untuk menyembuhkan diri, respon individu adalah
menggunakan energi sistemik yang ada dalam dirinya untuk
membuang iritan atau patogen yang merugikan, untuk hal ini
sangat dibutuhkan kontrol lingkungan.

3) Respon terhadap stress menghasilkan respon defensif dalam bentuk


perubahan yang tidak spesifik pada manusia, perubahan structural
dan kehilangan energi untuk beradaptasi secara bertahap terjadi
sampai rasa lelah terjadi, dikarakteristikkan dengan pengaruh yang
menyebabkan pasien atau individu berespon terhadap pelayanan
keperawatan.

4) Kewaspadaan perceptual, respon sensori menghasilkan kesadaran


persepsi, informasi dan pengalaman dalam hidup hanya bermanfaat
ketika diterima secara utuh oleh individu, semua pertukaran energi
terjadi dari individu ke lingkungan dan sebaliknya. Hasilnya adalah
aktivitas fisiologi atau tingkah laku. Respon ini sangat tergantung
kepada kewaspadaan perceptual individu, hanya terjadi saat
individu menghadapi dunia (lingkungan) baru disekitarnya dengan
cara mencari dan mengumpulkan informasi dimana hal ini
bertujuan untuk mempertahankan keamanan dirinya.
38

3) Trophicognosis

Levine merekomendasikan trophicognosis sebagai alternatif untuk


diagnosa keperawatan. Ini merupakan metode ilmiah untuk menentukan
sebuah penentuan rencana keperawatan.

5. Kelemahan dan kelebihan Teori

a. Kelemahan Teori

Meskipun kelengkapan teori dan aplikasi teori Levine luas, model ini bukan
tanpa batasan. Sebagai contoh model konservasi levine berfokus pada penyakit
yang bertentangan dengan kesehatan demikian, intervensi keperawatan
dibatasi hanya untuk mengatasi kondisi penyajian individu. Oleh karena itu,
intervensi keperawatan berdasarkan teori Levine adalah berfokus pada saat ini
dan jangka pendek, dan tidak mendukung prinsip-prinsip promosi dan
pencegahan penyakit, meskipun ini adalah komponen penting dari praktek
keperawatan saat ini. Dengan demikian, keterbatasan utama adalah fokus
individu dalam keadaan sakit dan pada ketergantungan pasien. Selanjutnya,
perawat memiliki tanggung jawab untuk menentukan kemampuan pasien
untuk berartisipasi dalam perawatan, dan jika persepsi perawat dan pasien
tentang kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam keperawatan tidak
cocok, ketidakcocokan ini akan menjadi daerah konflik.

Selain itu, ada beberapa keterbatasan ketika ke empat prinsip model


konservasi diterapkan. Pada konservasi energi, tujuan Levine adalah untuk
menghindari penggunaan energi yang berlebihan atau kelelahan. Hal ini diatur
dalam perawatan sakt samping tempat tidur klien. Dalam kasus dimana
kebutuhan energi untuk digunakan dari pada seperti pada pasien mania,
ADHD (Attention-Defict Hyperactivity Disorder) pada anak-anak atau mereka
dengan gerakan terbatas seperti klien lumpuh, teori Levine itu tidak berlaku.

Pada konservasi integritas struktural, fokusnya adalah untuk melestarikan


struktur anatomi. Ini sekali lagi memiliki keterbatasan. Dalam kasus-kasus
dimana struktur anatomis tidak begitu sempurna tapi tanpa diidentifikasi cacat
atau masalah seperti dalam operasi plastik, prosedur seperti perangkat
tambahan patudara dan liposuctions, integritas struktural seseorang
39

dikompromikan tetapi pilihan pasien mencari kecantikan fisik dan epuasan


psikologis yang dibawa ke pertimbangan. Jika tidak demikia, proedur tidak
boleh dipromosikan.

Pada konservasi integritas personal, perawat diharapkan memberikan


pengetahuan dan kebutuhan pasien harus dihormati, dilengkapi dengan privasi,
didorong dan psikologis terganggu dan lumpuh dan tidak bisa memahami dan
menyerap pengetahuan, pasien koma yaitu individu atau klien bunuh diri.

Tujuan konservasi integritas sosial adalah untuk melestarikan dan pengakuan


dari interaksi manusia, terutama dengan klien, orang lain yang signifikan yang
terdiri dari sistem dukungannya. Keterbatasan khusus untuk ini, adalah ketika
klien tidak memiliki orang lain yang signifikan seperti ditinggalkan anak-anak,
pasien psikiatris yagn tidak mampu berinteraksi, klien tidak responsif seperti
orang tak sadar, fokus disini adalah tidak lagi pasien sendiri tetapi orang-orang
yang terlibat dalam perawatansakit samping tempat tidur klien. Dalam kasus
dimana kebutuhan energi untuk digunakan dari pada seperti pada pasien
mania, ADHD pada anak-anak atau mereka dengan gerakan terbatas seperti
pasien lumpu, teori lavine itu tak dapat berlaku.

b. Kelebihan dari Teori Lavine

Pada teori akan terlihat lebih menguntungkan saat dimana keadaan klien
mempunyai partner pengawas non perawat yang turut membantu dalam
penjadwalan keperawatan. Dan perawat yang dapat mengerti keadaan dan
integritas klien secara penuh. Dengan didukung dari klien yang mampu
beradaptasi dan melakukan persepsi dengan normal.

BAB III
APLIKASI TEORI KEPERAWATAN
40

A. Gambaran Kasus
Bayi S merupakan anak ketiga, usia 2 hari, dengan sectio caesarea (SC) atas
indikasi ibu mengalami ancaman gagal napas ec edema paru ec chronic heart failure,
sepsis, dan anemia ec perdarahan. Usia gestasi 33 minggu, berat badan lahir 1900
gram, panjang badan 42 cm, nilai apgar 5 pada menit pertama dan 8 pada menit
kelima (5/8), air ketuban jernih, lahir tidak langsung menangis, terdapat sianosis,
frekuensi denyut jantung (FDJ) <60 x/m. Pada bayi dilakukan resusitasi dan setelah
berhasil dilakukan, bayi dipindahkan ke special care nursery (SCN) 4 dengan
diberikan continuous positive airway pressure (CPAP) dengan positive end expiratory
pressure (PEEP) 7 dan FiO2 21%.

Pengkajian yang dilakukan diketahui bahwa bayi sudah bernapas spontan tanpa
tambahan oksigen, CPAP dilepas tanggal 16 April 2012 jam 12.00, suhu tubuh
36,50C, suhu inkubator 35,50C, frekuensi pernapasan (FP) 51 x/m, frekuensi nadi
(FN) 128 x/m, retraksi dinding dada dan sianosis tidak ada, capillary refilling
time CRT) kurang dari 3 detik. Pada bayi terpasang orogastric tube (OGT); infus
terpasang di tangan kiri dengan cairan parenteral berupa PG2 3,2 ml/jam dan
Dextrose10 (D10) + Calcium Glukonas (Ca Glukonas) 4,4 ml/jam, serta di kaki kiri
dengan cairan berupa Lipid 20% 0,4 ml/jam; berat badan 1835 gram, menurun 65
gram dari berat badan lahir; bayi masih dipuasakan dan pemberian nutrisi enteral dini
ditunda karena produksi cairan maagslang kecoklatan.

Trophicognosis Bayi S yaitu normal kurang bulan (NKB) dengan berat badan sesuai
masa kehamilan (SMK), riwayat respiratory distress ec hyaline membran disease
grade I, dan perdarahan saluran cerna ec sepsis. Masalah keperawatan bayi S ini yaitu
risiko tinggi tidak adekuatnya nutrisi bayi, risiko tinggi ketidakefektifan
termoregulasi, risiko tinggi infeksi, dan ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan diri.

Intervensi Perawatan yang diberikan pada bayi berupa observasi tanda vital dan
cairan maagslang; mempuasakan bayi; perawatan dalam inkubator; asuhan
perkembangan; kolaborasi pemberian nutrisi parenteral, antibiotika, dan pemeriksaan
penunjang.
41

Evaluasi cairan maagslang masih berwarna coklat muda keruh, bayi masih
dipuasakan, berat badan 1682 gram, nutrisi parenteral masih dilanjutkan berupa PG 2 9
ml/jam dan Lipid 20% 1 ml/jam, ikterik masih ada (minimal), terapi sinar masih
diberikan, terapi omeperazole 1x2 mg per oral masih dilanjutkan. rencana
pemeriksaan kadar bilirubin, PT, dan APTT.

B. Asuhan Perkembangan
Salah satu tujuan utama penatalaksanaan bayi risiko tinggi, termasuk bayi berat lahir
rendah, adalah konservasi energi (Wong et al., 2009). Adanya konservasi energi menjadi
cerminan bahwa penatalaksanaan keperawatan pada bayi berat lahir rendah tidak semata
bertumpu pada bagaimana kebutuhan nutrisi bayi tersebut terpenuhi, melainkan adanya
fokus perhatian terhadap kebutuhan akan serangkaian perawatan lainnya yang membuat
energi yang dimiliki bayi dapat digunakan untuk tumbuh dan berkembang. Adapun
pendekatan praktik asuhan yang dapat dilakukan untuk mencapai konservasi energi pada
bayi berat lahir rendah tersebut adalah asuhan perkembangan atau developmental care.
Asuhan perkembangan merupakan asuhan yang berfokus pada fasilitasi pencapaian
perkembangan bayi melalui pengelolaan lingkungan dan observasi perilaku individu,
sehingga terjadi peningkatan stabilisasi fisiologis tubuh dan penurunan stres (McGrath et
al., 2002; Byers, 2003; Rick, 2006). Seperti diketahui bayi berat lahir rendah belum
mampu meregulasi setiap stimulus yang berlebihan yang datang dari lingkungan sehingga
bayi sangat rentan untuk mengalami stres (Maguire et al, 2008).
Stres yang dialami bayi berat lahir rendah ini tidak lain bersumber dari lingkungan
perawatan, prosedur pengobatan, dan pemeriksaan lain yang dilakukan, serta beberapa
fasilitas penunjang yang digunakan. Adapun sumber stres bagi bayi berat lahir rendah
tersebut diantaranya berupa pencahayaan ruang perawatan (Bowen, 2009; Mirmiran &
Ariagno, 2000); penggantian popok; nyeri yang disebabkan oleh prosedur invasif dan
pelepasan plester; kebisingan yang ditimbulkan oleh inkubator, ventilator, peralatan
monitoring, percakapan para staf di ruang perawatan, serta suara buka tutup pintu
incubator. Selain itu, adanya perpisahan dengan orangtua juga menjadi sumber stres
lainnya dalam lingkungan perawatan bagi bayi berat lahir rendah ini (Resnick et al., 1987;
Lissauer & Fanaroff, 2009).
Westrup, et al. (2000) dan Maguire, et al. (2008) mengatakan bahwa kondisi
lingkungan dan aktivitas perawatan yang demikian menyebabkan bayi dapat mengalami
hipoksemia dan periode apnu, nyeri, ketidaknyamanan, serta adanya peningkatan level
42

hormon stres. Selain itu, kondisi lainnya yang dapat dialami bayi berat lahir rendah
adalah adanya perubahan fisiologis tubuh berupa peningkatan denyut nadi dan penurunan
saturasi oksigen, serta periode istirahat dan tidur yang lebih pendek karena seringkali
terjaga (Westrup et al., 2000). Padahal seperti diketahui bahwa fase tidur dan istirahat
bagi anak, khususnya bayi, merupakan fase yang sangat penting untuk tumbuh dan
berkembang karena selama fase tidur terjadi sekresi hormon pertumbuhan dan imunitas
tubuh (Ward, Clarke, & Linden, 2009).
Oleh karenanya menciptakan lingkungan perawatan tanpa stres bagi bayi berat lahir
rendah merupakan suatu hal yang penting karena dapat memfasilitasi bayi beradaptasi
dengan lingkungan ekstrauterin, dalam hal ini lingkungan perawatan sehingga konservasi
pada bayi dapat tercapai. Lingkungan perawatan tersebut dapat diciptakan melalui asuhan
perkembangan ini.
Praktik asuhan perkembangan sesungguhnya merupakan praktik perawatan yang
sederhana dan dapat dengan mudah dilakukan. Praktik asuhan perkembangan tersebut
diantaranya seperti minimal handling. Minimal handling dilakukan untuk memberikan
waktu istirahat dan tidur bagi bayi tanpa adanya gangguan dari aktivitas pengobatan,
perawatan, dan pemeriksaan lainnya dengan cara sesedikit mungkin memberikan
penanganan pada bayi atau memungkinkan penanganan bayi untuk beberapa tindakan
dalam satu waktu (Als et al., 1994; Sizun & Westrup, 2004; Maguire et al., 2008) serta
melalui touching time yaitu pengaturan waktu penanganan pada bayi. Praktik asuhan
perkembangan lainnya berupa fasilitasi ikatan atau interaksi orang tua- anak. Fasilitasi
ikatan atau interaksi orangtua-anak dapat berupa kunjungan orangtua yang tidak dibatasi
dan kontak kulit ke kulit (skin to skin contact) atau yang dikenal juga dengan perawatan
metode kanguru, dimana keduanya sangat penting untuk mendukung proses adaptasi bayi
dan orangtua terhadap kehadiran dan penerimaan satu sama lain (Sizun & Westrup, 2004;
Maguire et al., 2008; Kenner & McGrath, 2004).
Praktik lainnya yang juga merupakan aspek lain dari asuhan perkembangan atau
developmental care ini adalah pemasangan nesting atau sarang yang mengelilingi bayi
dan posisi fleksi. Seperti diketahui bahwa perilaku bayi berat lahir rendah dan prematur
cenderung pasif dan malas. Perilaku ini dapat diamati dari ekstremitas yang tetap
cenderung ekstensi dan tidak berubah sesuai dengan pemosisian (Wong et al., 2009).
Perilaku ini tentunya berbeda dengan bayi yang lahir cukup bulan yang menunjukkan
perilaku normal fleksi dan aktif. Oleh karenanya, nesting sebagai salah satu aspek dalam
asuhan perkembangan merupakan asuhan yang memfasilitasi atau mempertahankan bayi
43

berada dalam posisi normal fleksi. Hal ini dikarenakan nesting dapat menopang tubuh
bayi dan juga sekaligus memberi bayi tempat yang nyaman (Lissauer & Fanaroff, 2009).
Posisi fleksi sendiri merupakan posisi terapeutik karena posisi ini bermanfaat dalam
mempertahankan normalitas batang tubuh dan mendukung regulasi diri karena melalui
posisi ini, bayi difasilitasi untuk meningkatkan aktivitas tangan ke mulut dan tangan
menggenggam (Kenner & McGrath, 2004; Wong et al., 2009). Adanya kemampuan
regulasi diri ini merupakan cerminan bahwa bayi mampu mengorganisir perilakunya dan
menunjukkan kesiapan bayi untuk berinteraksi dengan lingkungan. Dalam Bobak,
Lowdermilk, dan Jensen (2005) disebutkan pula bahwa posisi fleksi bayi baru lahir
diduga berfungsi sebagai sistem pengaman untuk mencegah kehilangan panas karena
sikap ini mengurangi pemajanan permukaan tubuh pada suhu lingkungan. Bayi baru lahir
memiliki rasio permukaan tubuh yang lebih besar terhadap berat badan sehingga berisiko
tinggi untuk mengalami kehilangan panas.
Selain itu, aspek lainnya yang juga menjadi bagian penting dari pengelolaan
lingkungan perawatan dalam asuhan perkembangan ini adalah pengaturan pencahayaan.
Pengelolaan lingkungan perawatan terkait pencahayaan ini adalah dengan memberikan
penutup inkubator dan menurunkan pencahayaan ruang perawatan (Sizun & Westrup,
2004; Wong et al., 2009). Adapun pencahayaan untuk melakukan prosedur medis dan
perawatan direkomendasikan sebesar 60 footcandles (ftc) (Blatz, 2001; American
Academy of Pediatrics [AAP], 1997, dalam Kenner & McGrath, 2004). White (2002,
dalam Kenner & McGrath, 2004) merekomendasikan pula mengenai intensitas
pencahayaan yaitu sebesar 10-20 ftc sebagai pencahayaan yang adekuat dalam
lingkungan perawatan bayi.
Praktik asuhan perkembangan selanjutnya adalah membuka dan menutup inkubator
secara pelan dan hati-hati, pengaturan suara inkubator, serta mendorong para petugas
kesehatan untuk berbicara dengan tenang selama di ruang perawatan (Als et al., 1994;
Sizun & Westrup, 2004; Maguire et al., 2008). Pada tahun 1997, American Academy of
Pediatrics [AAP] (dalam Kenner & McGrath, 2004) secara khusus merekomendasikan
pengelolaan lingkungan perawatan neonatal berupa pengaturan intensitas suara di ruang
perawatan untuk tidak melebihi 48 desibel (dB).

C. Integrasi Teori dan Konsep Keperawatan dalam Proses Keperawatan


1. Teori Konservasi
Terdapat banyak teori dan konsep keperawatan yang diperkenalkan oleh para ahli
44

keperawatan. Salah satunya adalah teori Konservasi yang dikembangkan oleh


Myra Estrin Levine. Fokus teori Konservasi dari Levine ini adalah
mempromosikan adaptasi dan mempertahankan keutuhan diri
(wholeness/integrity) melalui penggunaan prinsip-prinsip konservasi (Schaefer &
Pond, 2009; Alligood & Tomey, 2006).
Levine memandang bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana individu
melakukan interaksi dengan lingkungan untuk mencapai dan mempertahankan
integritas atau keutuhan diri (Schaefer & Pond, 2009; Alligood & Tomey, 2006).
Individu sesungguhnya senantiasa hidup dalam interaksinya dengan lingkungan
dimana dalam proses interaksi tersebut, respon setiap individu terhadap perubahan
lingkungan berbeda antara satu dengan lainnya.
Adapun lingkungan yang melingkupi individu tersebut meliputi lingkungan
internal dan eksternal. Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologi dan
patofisiologi dari individu dimana lingkungan ini secara konstan dipengaruhi oleh
perubahan yang terjadi di dalam lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal
sendiri meliputi lingkungan perseptual, operasional, dan konseptual. Lingkungan
perseptual merupakan lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan individu
menginterpretasikan sesuatu seperti halnya melalui penginderaan. Adapun
lingkungan operasional meliputi unsur-unsur yang mempengaruhi individu secara
fisik namun tidak secara langsung dirasakan oleh individu tersebut, contohnya
seperti radiasi dan mikroorganisme. Lingkungan eksternal lainnya adalah
lingkungan konseptual yang meliputi pola kebudayaan dan eksistensi spiritual
dengan simbolisasi melalui bahasa, pikiran, sejarah, nilai-nilai, dan keyakinan
individu (Alligood & Tomey, 2006).
Keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan lingkungan
akan mendukung terjadinya konservasi. Dengan kata lain, konservasi merupakan
hasil dari adaptasi (Alligood & Tomey, 2006; Schaefer & Pond, 1994). Melalui
konservasi maka seorang individu akan dapat memelihara energi yang ada untuk
mempertahankan kesehatan dan penyembuhan sehingga keutuhan diri
(wholeness/integrity) individu dapat tercapai dan dipertahankan (Alligood &
Tomey, 2006). Demikian halnya pada bayi baru lahir dimana segera setelah
kelahiran, bayi dihadapkan pada sebuah tantangan untuk melakukan adaptasi
dalam kehidupan ekstrauterin. Keberhasilan adaptasi yang dilalui bayi baru lahir
akan menciptakan sebuah konservasi yang memiliki peran bermakna dalam
45

mendukung optimalisasi proses pertumbuhan dan perkembangannya. Proses


pertumbuhan dan perkembangan pada bayi baru lahir ini tidak lain bertujuan
untuk mencapai eksistensi dan keutuhan diri.
Pencapaian keutuhan diri pada praktiknya dilakukan dengan menggunakan
prinsip-prinsip konservasi. Levine menjelaskan bahwa perawat menggunakan
prinsip konservasi untuk mengidentifikasi intervensi apa yang dapat dilakukan
untuk membantu individu dalam mencapai dan mempertahankan keutuhan diri.
Intervensi yang telah dilakukan tersebut dapat diobservasi melalui respon
organismik yang ditampilkan oleh individu (Schaefer & Pond, 1994). Dengan kata
lain, respon organismik ini merupakan perubahan perilaku individu yang diamati
sebagai hasil dari intervensi yang dilakukan dalam upaya mencapai dan
mempertahankan keutuhan diri (Alligood & Tomey, 2006).
Adapun prinsip-prinsip konservasi dalam teori Konservasi yang dikembangan
oleh Levine tersebut meliputi prinsip konservasi energi, integritas struktural,
integritas personal, dan integritas sosial (Alligood & Tomey, 2006). Pada prinsip
konservasi energi, Levine menjelaskan bahwa keseimbangan energi tercapai dan
terpelihara melalui adanya keseimbangan antara asupan dan keluaran energi.
Keseimbangan energi penting dalam mencegah terjadinya kelelahan yang
berlebihan (Alligood & Tomey, 2006). Demikian halnya pada perawatan bayi baru
lahir, khususnya bayi berat lahir rendah, konservasi energi menjadi salah satu
pencapaian yang penting dalam proses adaptasi yang dilalui. Hal ini berarti bahwa
prinsip konservasi energi pada asuhan keperawatan pada bayi baru lahir
memfokuskan pada bagaimana seorang bayi dapat menggunakan energi yang ada
untuk tumbuh dan berkembang.
Adapun pada prinsip integritas struktural, tujuan asuhan keperawatan adalah
mempertahankan atau memulihkan struktur tubuh sehingga mencegah terjadinya
kerusakan fisik dan meningkatkan proses penyembuhan (Alligood & Tomey,
2006). Seperti halnya asuhan keperawatan pada bayi baru lahir umumnya dan bayi
berat lahir rendah khususnya, mempertahankan dan atau memulihkan struktur
tubuh merupakan suatu tujuan asuhan yang penting. Hal ini mengingat bahwa bayi
baru lahir, dalam hal ini bayi berat lahir rendah memiliki fisik tubuh yang rentan
untuk mengalami infeksi dan gangguan integritas tubuh seperti misalnya
kerentanan akan cedera pada area kulit tubuh yang tipis (Wong et al., 2009) dan
kerusakan retina mata akibat pencahayaan yang terang (Bowen, 2009; Mirmiran
46

& Ariagno, 2000). Oleh karenanya, kemampuan adaptasi dengan memelihara


integritas struktural diri juga menjadi prinsip yang bermakna dalam asuhan
keperawatan pada bayi khususnya bayi berat lahir rendah untuk mendukung
tercapainya keutuhan diri.
Prinsip lainnya dalam teori Konservasi ini adalah integritas personal. Prinsip ini
memandang bahwa individu berhak mendapat pengakuan dan rasa hormat, serta
memiliki martabat dan tujuan (Alligood & Tomey, 2006). Pada praktiknya, prinsip
integritas personal dalam asuhan keperawatan dapat dilakukan dengan
menunjukkan penghargaan pada individu, yaitu dengan menyapa dan memanggil
nama mereka, menghargai nilai dan keyakinan yang dianut, serta menjaga privasi
individu. Demikian pula dalam asuhan keperawatan bayi berat lahir rendah,
prinsip konservasi integritas personal juga selayaknya diimplementasikan. Hal ini
mengingat bahwa bayi sebagai individu juga memiliki harkat dan martabat serta
hak yang sama untuk dihormati dan dihargai seperti halnya manusia dewasa.
Prinsip selanjutnya dalam teori Konservasi ini adalah integritas sosial. Prinsip ini
memandang individu sebagai seseorang yang bersama dalam sebuah ikatan
keluarga, komunitas, etnis, dan bahkan dalam lingkup yang lebih besar yaitu
sistem politik dan negara (Alligood & Tomey, 2006). Prinsip konservasi integritas
sosial ini memandang bahwa seorang individu tidak hanya berinteraksi dengan
lingkungan secara fisik, namun juga secara sosial melalui interaksi dengan
individu lainnya. Pada asuhan keperawatan bayi, pencapaian konservasi integritas
sosial tersebut dapat difasilitasi melalui interaksi bayi dengan orangtua dan
keluarga serta pemberi asuhan itu sendiri.

2. Integrasi Teori Konservasi dalam Proses Keperawatan


Integrasi teori keperawatan dalam asuhan keperawatan merupakan suatu hal
yang bermakna. Hal ini dikarenakan teori keperawatan merupakan teori yang
dibangun berdasarkan kesatuan konsep-konsep, definisi, dan asumsi yang
menjelaskan dan menguraikan fenomena dalam keperawatan. Selain itu, teori
keperawatan juga merupakan gambaran empiris dalam pengembangan ilmu
keperawatan yang memberikan arahan dalam asuhan keperawatan (Alligood &
Tomey, 2006). Dengan kata lain, integrasi teori keperawatan dalam asuhan
keperawatan memberikan pedoman dalam mengorganisasi setiap komponen
47

dalam proses keperawatan (Christensen & Kenney, 2009).


Proses keperawatan merupakan suatu langkah sistematis yang menuntun perawat
untuk berpikir kritis dalam melaksanakan praktik keperawatan. Dalam uraian
umum proses keperawatan, perawat melakukan pengkajian terhadap kondisi klien,
menganalisis data hasil pengkajian dan menginterpretasikan data tersebut dalam
bentuk masalah dan diagnosa keperawatan, merumuskan rencana penatalaksanaan
asuhan keperawatan, menerapkan dan mengevaluasi setiap tindakan keperawatan
yang telah dilakukan (Christensen & Kenney, 2009).
Demikian halnya pada integrasi teori Konservasi dalam proses keperawatan.
Levine mengembangkan langkah-langkah dalam proses keperawatan melalui
integrasi teori Konservasi sebagai berikut:
a. Assessment
Assessment atau pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan.
Pada tahapan ini, perawat melakukan pengkajian secara komprehensif melalui
wawancara dan observasi. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi
pengkajian mengenai respon klien terhadap penyakit, telaah catatan medis dan
evaluasi hasil pemeriksaan diagnostik, dan menggali informasi lainnya terkait
kondisi kesehatan dan penyakit klien melalui wawancara dengan klien dan
atau keluarga. Pada klien usia bayi, wawancara dilakukan pada orangtua atau
anggota keluarga lainnya. Pada tahapan ini pula, perawat melakukan
pengkajian mengenai lingkungan, baik internal maupun eksternal, serta
pengkajian terhadap hal-hal yang mempengaruhi prinsip konservasi (Alligood
& Tomey, 2006).

b. Judgement/Trophicognosis
Tahapan judgement merupakan tahapan dimana perawat menginterpretasikan
atau menetapkan masalah atau kebutuhan klien akan bantuan. Interpretasi ini
dilakukan atas dasar analisis terhadap data hasil pengkajian yang sebelumnya
telah diperoleh (Alligood & Tomey, 2006).
c. Hypothesis
Tahapan hypothesis memuat mengenai perencanaan asuhan keperawatan yang
akan dilakukan. Pada tahapan hypothesis ini, perawat menyusun rencana
asuhan keperawatan dimana rumusan rencana asuhan keperawatan ini
didasarkan pada tujuan untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan diri
48

klien (Alligood & Tomey, 2006).


d. Intervention
Tahapan intervention merupakan tahapan dimana perawat melakukan
intervensi berupa asuhan keperawatan langsung pada klien. Pada tahapan ini,
perawat menggunakan hypothesis yang sebelumnya telah disusun sebagai
panduan melakukan asuhan keperawatan. Intervensi dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip konservasi (Alligood & Tomey, 2006).
e. Evaluation
Evaluation merupakan tahapan dimana perawat mengobservasi respon
organismik klien terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan. Pada
praktik tahapan ini, perawat juga mengobservasi apakah hypothesis yang
sebelumnya telah disusun dan dilakukan dalam bentuk asuhan keperawatan,
mampu mendukung proses adaptasi klien sehingga tujuan asuhan keperawatan
pada klien untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan diri klien
tersebut dapat tercapai (Alligood & Tomey, 2006).

D. Aplikasi Teori Konservasi dalam Proses Keperawatan Dengan Kasus


1. Assessment
a. Lingkungan internal
Bayi S berusia 2 hari, lahir pada usia gestasi 33 minggu, kesadaran
komposmentis, bayi bernapas spontan tanpa tambahan oksigen, CPAP
dilepas, suhu tubuh 36,50C, frekuensi napas 51 x/m, frekuensi nadi 128
x/m, retraksi dinding dada dan sianosis tidak ada, CRT <3 detik.
b. Lingkungan eksternal

Bayi dirawat di dalam inkubator dengan suhu 35,50C, terpasang


orogastric tube (OGT), infus terpasang di tangan kiri dengan cairan
nutrisi parenteral berupa PG2 3,2 ml/jam dan D10+Ca Glukonas 4,4
ml/jam, serta di kaki kiri dengan cairan berupa Lipid 20% 0,4 ml/jam.
c. Konservasi energi

Berat badan bayi saat ini 1835 gram, mengalami penurunan sebesar

65 gram dari berat badan lahir, bayi masih dipuasakan karena


produksi cairan maagslang kecoklatan di dalam selang. Bayi
mendapat nutrisi parenteral berupa PG2 3,2 ml/jam, D10% + Ca
49

Glukonas 4,4 ml/jam, dan Lipid 20% 0,4 ml/jam. Bayi tidak
mengalami instabilitas suhu tubuh.
d. Integritas struktural

Bayi lahir dengan berat lahir rendah dan prematur. Bayi didiagnosa
mengalami respiratory distress ec hyaline membrane disease grade I,
dan perdarahan saluran cerna ec sepsis, saat ini bayi mendapat terapi
injeksi antibiotika amoxyclav 2x100 mg dan gentamisin 10 mg setiap
36 jam. Ibu diketahui memiliki riwayat infeksi saluran kemih, batuk
sejak 8 bulan yang lalu. Ibu tidak mengalami keputihan dan rasa gatal,
demam tidak ada. Hasil pemeriksaan laboratorium terakhir diketahui
bahwa kadar hemoglobin ibu sebesar 7,57 gr/dl, leukosit 24700/ui,
trombosit 504000/ui. Adapun hasil pemeriksaan urin lengkap yaitu
berat jenis 1.03, protein positif, dan LEA +1.
e. Integritas personal

Bayi merupakan anak ketiga dan sekaligus anak laki-laki pertama di


dalam keluarga. Bayi sudah diberi nama oleh orangtua, pemenuhan
kebutuhan bayi masih bergantung sepenuhnya pada pemberi
perawatan.
f. Integritas sosial

Saat ini bayi masih lebih banyak berinteraksi dengan pemberi


perawatan, ayah bayi sudah datang berkunjung namun ibu bayi belum
karena masih menjalani perawatan.

2. Judgment/Trophicognosis
Bayi S mengalami:

a. Risiko ketidakadekuatan nutrisi bayi

b. Risiko ketidakefektifan termoregulasi

c. Risiko pola napas tidak efektif

d. Risiko infeksi

e. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan diri


50

3. Hypothesis

a. Pemberian minum pada bayi ditunda karena produksi cairan maagslang


kecoklatan; observasi produksi cairan maagslang dan perubahan berat
badan; kolaborasi pemberian nutrisi parenteral berupa PG2 3,2 ml/jam ,
D10% + Ca Glukonas 4,4 ml/jam, dan Lipid 20% 0,4 ml/jam; pemberian
asuhan perkembangan seperti minimal handling, pemasangan nesting
dan penutup inkubator, penurunan pencahayaan ruang rawat,
positioning, buka dan tutup pintu inkubator dengan pelan dan hati-hati,
berbicara dengan tenang selama di ruang perawatan, dan minimal
handling dapat membantu bayi dalam beristirahat dengan lebih baik
sehingga mengurangi pengeluaran energi yang berlebihan.

b. Perawatan bayi di dalam inkubator, gunakan topi atau penutup kepala,


observasi suhu tubuh bayi setiap tiga jam, sesuaikan pengaturan suhu
inkubator dengan berat badan bayi, hindari buka tutup inkubator untuk
hal yang tidak perlu, dan pastikan bahwa inkubator menutup dengan
baik.

c. Observasi pola dan frekuensi napas bayi, adakah pernapasan cuping


hidung, sesak, dan retraksi dada.

d. Pertahankan tindakan aseptik selama perawatan seperti mencuci tangan


dengan benar setiap sebelum dan setelah melakukan tindakan
perawatan, perhatikan prinsip steril dalam pemberian terapi medikasi,
gunakan sarung tangan; observasi insersi kateter intravena; kolaborasi
pemberian terapi injeksi antibiotika berupa amoxyclav 2x100 mg dan
gentamisin 10 mg setiap 36 jam.

e. Pemenuhan kebutuhan diri bayi seperti dengan membantu penggantian


alat tenun dan popok, serta lakukan perawatan kebersihan area perianal
bayi.

4. Intervention

a. Konservasi energy
51

Mengobservasi produksi cairan maagslang; mengobservasi perubahan


berat badan bayi; melanjutkan kolaborasi pemberian nutrisi parenteral
dengan PG2 3,2 ml/jam, D10%+Ca Glukonas 4,4 ml/jam, dan Lipid 20% 0,4
ml/jam; memberikan asuhan perkembangan berupa minimal handling,
pemasangan nesting dan penutup inkubator, penurunan pencahayaan ruang
rawat, positioning, membuka dan menutup pintu inkubator dengan pelan
dan hati-hati, berbicara dengan tenang selama di ruang perawatan,
menjelaskan pada orangtua bayi mengenai pentingnya pemberian ASI dan
persiapan pemberian ASI; merawat bayi dalam inkubator, memberikan
penutup kepala, dan mengobservasi suhu tubuh bayi.

b. Integritas struktural

Mengobservasi pola napas, frekuensi napas, saturasi oksigen;


mengobservasi adakah pernapasan cuping hidung, retraksi dada, dan
sesak; mempertahankan tindakan aseptik selama perawatan bayi;
melakukan kolaborasi melalui pemberian terapi injeksi antibiotika berupa
berupa amoxyclav 2x100 mg dan gentamisin 10 mg setiap 36 jam, serta
pemeriksaan penunjang; mengobservasi daerah insersi kateter intravena;
dan membantu bayi dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri seperti
mengganti popok dan alat tenun, serta membantu perawatan kebersihan
area perianal bayi.

c. Integritas personal

Berkomunikasi dengan bayi seperti memanggil bayi, memberitahukan


mengenai perawatan yang akan dilakukan, merespon perilaku bayi seperti
ketika menangis.

d. Integritas sosial

Berinteraksi dengan bayi pada saat touching time, memfasilitasi interaksi


orangtua-bayi, memberikan informasi pada ayah bahwa orangtua boleh
menjenguk bayi kapan saja.
5. Organismic Response (Evaluation)

Evaluasi perawatan :

a. Bayi masih dipuasakan, belum dapat menerima asupan nutrisi enteral


52

dini karena produksi cairan maagslang masih coklat muda keruh. Berat
badan bayi 1682 gram, mengalami penurunan sebesar 11,47% dari
berat badan lahir. Bayi masih mendapat nutrisi parenteral berupa PG 2 9
ml/jam dan Lipid 20% 1 ml/jam.

b. Suhu tubuh bayi dalam rentang normal. Selama menjalani perawatan,


instabilitas suhu tidak terjadi.

c. Pola napas bayi efektif selama menjalani perawatan, frekuensi napas


bayi dalam rentang normal, retraksi dada dan napas cuping hidung
tidak ada, bayi bernapas spontan tanpa tambahan oksigen.

d. Bayi masih berisiko mengalami infeksi. Bayi mendapat terapi injeksi


antibiotika berupa amoxyclav 2x100 mg dan gentamisin 10 mg setiap
36 jam selama 2 hari. Sehari setelah lahir bayi mulai mendapat
tambahan terapi omeperazole 1x2 mg per oral. Hasil pemeriksaan
laboratorium : Hb 11,1 g/dl, Ht 33%, Leukosit 7400/ui, trombosit
166000/ui, CRP 0,6 mg dL, IT ratio 0,09, albumin 3,11 g/dl, bilirubin
total 9,57 mg/dl, bilirubin direk 0,46 mg/dl, bilirubin indirek 9,11
mg/dl, prothrombin time (PT) 15,6 detik (meningkat 1,2 kali), dan
activated partial thromboplastin time (APTT) 66,8 detik (meningkat
2,1 kali). Terdapat pemanjangan PT dan APTT. Bayi selanjutnya
mendapat tambahan terapi berupa transfusi cryopresipitat 3x18 ml.
Selain itu, bayi juga mendapat program terapi dengan albumin
sebanyak 3x7,5 ml dan lasik 1,5 mg intravena.

e. Pemenuhan kebutuhan diri bayi masih bergantung sepenuhnya pada


pemberi perawatan. Pemenuhan kebutuhan diri tersebut meliputi
penggantian popok (diapers) dan alat tenun, serta perawatan area
perianal
53

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konservasi energi merupakan cerminan dari penatalaksanaan bayi berat lahir


rendah yang tidak semata bertumpu pada bagaimana kebutuhan nutrisi bayi
tersebut terpenuhi, melainkan adanya fokus perhatian terhadap kebutuhan akan
serangkaian perawatan lainnya yang membuat energi yang dimiliki bayi dapat
digunakan untuk tumbuh dan berkembang.Integrasi teori Konservasi memfasilitasi
pelaksanaan teori pada bayi berat lahir rendah yang mengalami penundaan
pemberian nutrisi enteral dini. Teori Konservasi menyediakan empat ranah kajian
yang tidak lain merupakan empat prinsip konservasi yaitu prinsip konservasi
energi, integritas struktural, integritas personal, dan integritas sosial. Pada prinsip
54

konservasi energi, prinsip tersebut sejalan dengan tujuan utama dari tatalaksana
bayi berat lahir rendah yaitu tercapainya konservasi energi.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M.R., & Tomey, A.M. (2006). Nursing theory: Utilization & application.
(3th ed). St. Louis: Mosby Elsevier.

Byers, J.F. (2003). Components of developmental care and the evidence for their use
in the NICU. American Journal of Maternal Child Nursing, 28(3), 174-180.

Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s: Nursing care of infants and
children. (8th ed). St. Louis: Mosby.

Indrasanto, E., et al. (2008). Paket Pelatihan: Pelayanan obstetri dan neonatal
emergensi komprehensif (PONEK), asuhan neonatal esensial. Jakarta: JPNK-
KR.
55

Morgan, 2018. Kangaroo mother care for clinically unstable neonates weighing ≤2000
g: Is it feasible at a hospital in Uganda?. www.jogh.org

Rasaily, 2017. Community based kangaroo mother care for low birth weight babies: A
pilot study. Indian J Med Res 145

Anda mungkin juga menyukai