Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

(HIPERBILIRUBIN)

A. Latar Belakang Askep Hiperbillirubin

Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat


pada bayi baru lahir adalah terjadinya hiperbillirubinemia yang
merupakan salah satu kegawatan pada bayi baru lahir karena dapat
menjadi penyebab gangguan tumbuh kembang bayi (Guyton & Hall,
2006).

Kasus ikterus ditemukan pada ruang neonatus sekitar 60% bayi


aterm dan pada 80% bayi prematur selama minggu pertama kehidupan.
Ikterus tersebut timbul akibat penimbunan pigmen bilirubin tak
terkonjugasi dalam kulit. Bilirubin tak terkonjugasi tersebut bersifat
neurotoksik bagi bayi pada tingkat tertentu dan pada berbagai keadaan
(Suriadi, 2001).

Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala


fisiologis atau patologis. Ikterus fisiologis terdapat pada 25-50%
neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan
sebesar 80%. Ikterus tersebut timbul pada hari kedua atau ketiga, tidak
punya dasar patologis, kadarnya tidak membahayakan, dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah
ikterus yang punya dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologis yang
dimaksud yaitu jenis bilirubin, saat timbul dan hilangnya ikterus, serta
penyebabnya. (WHO, 1992 dalam Wicaksono, 2011).

Neonatus yang mengalami ikterus dapat mengalami komplikasi


akibat gejala sisa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Oleh sebab itu perlu kiranya penanganan yang
intensif untuk mencegah hal-hal yang berbahaya bagi kehidupannya
dikemudian hari. Perawat sebagai pemberi perawatan sekaligus
pendidik harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik dengan
berdasar pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari


sisi penyebabnya kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan
eksogen. Faktor yang dapat dikaitkan dengan kematian bayi endogen
dan eksogen adalah kematian endogen atau yang umum disebut
kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan
pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor
yang dibawa sejak lahir yang diperoleh dari orang tuanya pada saat
konsepsi atau didapat selama kehamilan. Sedangkan kematian
eksogen atau kematian postnatal adalah kematian bayi yang terjadi
setelah usia 1 bulan sampai menjelang usia 1 tahun yang disebabkan
faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar akibat
dari kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawat bayinya
(Depkes, 2007).

Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga


tahun 2007 seperti singapura 3% per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia
6,5% per 1.000 kelahiran hidup, Thailand 17% per 1.000 kelahiran
hidup, Vietnam 18% per 1.000 kelahiran hidup dan philipina 26% per
1.000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian bayi di Indonesia
cukup tinggi yakni 46,5% per 1.000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).

Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan


pada bayi baru lahir, kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar
antara 25-50% pada bayi cukup bulan 80% pada bayi kurang bulan.
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan
sebagian bersifat patologis (hiperbilirubinemia) yang dapat
menimbulkan dampak yang buruk (SDKI, 2011). Dampak buruk yang
diderita bayi seperti : kulit berwarna kuning sampai jingga, klien tampak
lemah, urine menjadi berwarna gelap sampai berwarna coklat dan
apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera maka akan
menimbulkan dampak yang lebih buruk lagi yaitu kernicterus
(kerusakan pada otak) yang ditandai dengan bayi tidak mau
menghisap, letargi, gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot kaku,
leher kaku (Suriadi, 2006).

Peran perawat dalam keperawatan ini sebagai innovator,


fasilitator dan pendidik dan sebagai pemberi pelayanan kesehatan yang
sangat dibutuhkan dalam melakukan asuhan keperawatan kepada klien
secara menyeluruh baik biologis, psikologis, social, budaya dan spiritual
yang meliputi beberapa aspek antara lain aspek promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Dari aspek promotif adalah dimana perawat
berperan sebagai promotor kesehatan yang perlu memberikan
informasi ataupun pendidikan kesehatan tentang pentingnya hidup
sehat dan melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin. Perawat
sebagai aspek preventif adalah menganjurkan kepada ibu hamil untuk
berhati-hati terhadap penggunaan obat-obatan dan pemenuhan gizi
yang baik untuk bayi. Aspek kuratif perawat berkolaborasi dalam
pemberian terapi (fototherapi,transfuse pengganti, infus albumin dan
therapy obat). Peran perawat sebagai rehabilitatif adalah perawat
mengembalikan kondisi klien setelah mengalami penurunan kadar
bilirubin dan menginformasikan kepada ibu

Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat


sangat berguna untuk memberikan asuhan keperawatan dan kode etik
dalam menangani pasien dengan diagnosa hiperbilirubin. Pada
kenyataannya kita lihat dilapangan banyak pasien hiperbilirubin yang
pemberian asuhan keperawatan yang kurang maksimal, contohnya
pada fototerapi, seharusnya mempunyai kontrol atau pengawasan,
tetapi banyak perawat yang lalai dalam hal tersebut. Pada saat
pengkajian ditemukan tiga dari sepuluh bayi yang di rawat inap
perinatology dengan diagnosa ikterus neonatum, dimana ketiga bayi
tersebut sedang di fototerapi.
BAB II

TINJAUAN ASKEP HIPERBILIRUBIN

A. Konsep Dasar Askep

1. Pengertian

Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai


pada kulit, mukosa akibat akumulasi bilirubin dan diberi istilah
jaundice atau ikterus (Bobak, 2004). Hiperbilirubin adalah
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih
dari normal (Suriadi, 2001).

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin


dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern icterus kalau tidak ditanggani dengan baik atau
mempunyai hubungan dangan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan hiperbilirubin bila kadar bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan (Harison, et
all, 2000).

Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus


neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukan
peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009). Hiperbilirubinemia
adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak
ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2005).

2. Etiologi Hiperbilirubin
Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :
a. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah ibu dan anak pada golongan
rhesus dan ABO.
b. Gangguan konjugasi bilirubin.
c. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.
d. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
e. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid,
kloramfenikol).
f. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.
g. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel
darah merah. Disebut juga icterus hemolitik.
h. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas
pengangkutan , misalnya hiperbilirubin atau karena pengaruh
obat-obatan.
i. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat
akibat trauma atau infeksi.
j. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel
hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma, shypilis.

3. Anatomi Fisiologi Hiperbilirubin

a. Hati

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah


kanan atas rongga perut dibawah diafragma. Beratnya 1.500 gr
atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi
hidup berwarna merah tua karena kaya akan persendian darah.
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan
oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan yang lebih besar dari
lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian utama yaitu lobus
kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates (Price & Wilson,
2005).

Hati disuplai oleh pembuluh darah, yaitu :

 Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus


yang kaya akan nutrient seperti asam amino, monosakarida,
vitamin yang larut dalam air dan mineral.
 Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan
oksigen.

b. Fungsi hati

 Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang


disimpan dari suatu tempa dalam tubuh dikeluarkan sesuai
dengan pemakaiannya.
 Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk
diekskresikan dalam empedu dan urine.
 Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.
 Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk
dalam retikulo endulium dialirkan ke empedu
 Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta
vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen
dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dalam
tubuh (seperti peptisida).
 Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang
sudah tua dan rusak.
 Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di
ubah menjadi ureum, dikeluarkan dari darah oleh ginjal
dalam bentuk urine.
 Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat
dan air.

4. Patofisologi Hiperbilirubin

Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolysis,


rusaknya sel-sel hepar, gangguan konjugasi bilirubin. Setelah
pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi akan mengalami
gangguan dalam hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan
mengakibatkan peningkatan bilirubin yang terkonjugasi dalam
darah yang mengakibatkan warna kuning pucat pada kulit (Haws
Paulette S, 2007).
Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu
diubah oleh enzim glukoronil transferase yang berfungsi untuk
merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin konjugasi
sehingga bilirubin yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak
dan mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi
tidak larut dalam air ini tidak bisa diekskresikan dalam urine dan
tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan
pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap
hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine dan
feses berwarna gelap (Price, Sylvia Anderson, 2006).

Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang


larut dalam lemak akan memberikan dampak yang buruk terhadap
kerja hepar karna secara terus menerus melakukan transferase
tanpa adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut
akan menyebabkan hepatomegaly yang mengakibatkan terjadinya
rasa mual muntah, jadi dengan adanya peningkatan bilirubin
didalam darah maka akan menyebabkan terjadinya hiperbilirubin.
apabila bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/dl maka akan
terjadi suatu keadaan yang disebut kernicterus jika tidak dengan
segera maka akan dapat mengakibatkan kejang , tonus otot kaku,
spasme otot, reflek hisap lemah (Price, Sylvia Anderson, 2006).

5. Manifestasi klinis Hiperbilirubin

Manifestasi klinis yang lazim di temukan pada bayi dengan


hiperbillirubin adalah sebagai berikut :

Kulit jaundice (kuning)


a. Kulit jaundice (kuning)
b. Sklera ikterik
c. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada
neonatus yang cukup bulan dan 15 mg% pada neonatus yang
kurang bulan.
d. Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang
disebabkan oleh rendahnya intake kalori.
e. Asfiksia
f. Hipoksia
g. Sindrom gangguan nafas
h. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit
i. Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis
dapat ditemukan adanya kejang
j. Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)
k. k.Terjadi pembesaran hati
l. Tidak mau minum ASI
m. Letargi

6. Klasifikasi Hiperbilirubin

Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :

a. Ikterus fisiologi (direks)


 Timbul pada hari ke-2 atau ke 3
 kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih
dari 10 mg/dl dan 12 mg/dl pada bayi kurang bulan
 Peningkatan kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5
mg/dl per hari
 Ikterus hilang 10-14 hari
 Tidak ada mempunyai hubungan dengan patologis

b. Ikterus patologis
 Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
 Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dalam 24
jam
 Apabila kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan
tidak lebih dari 10 mg/dl dan 10 mg/dl pada bayi kurang
bulan
 Ikterus menetap setelah 2 minggu
 Mempunyai hubungan dengan hemolitik

7. Penatalaksanaan Askep Hiberbilirubin

Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney


(2007), antara lain :

a. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi


 Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum,
berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dot
berikan pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan melalui
sonde.
 Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak
cocok (jika bukan ASI) mungkin perlu ganti susu.
b. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus
 Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi
(sekitar pukul 1- 8 selama 30 menit)
 Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7
mg% ulang esok harinya.
 Berikan banyak minum
 Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih
segara hubungi dokter, bayi perlu terapi
c. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
 Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
 Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lngkungannya
 Mencegah terjadinya infeksi ( memperhatikan cara bekerja
aseptik).
8. Komplikasi

Menurut (Suriadi & Rita Yuliani, 2006) Komplikasi yang


terjadi pada bayi dengan hiperbilirubin jika tidak ditangani dengan
benar adalah sebagai beriku :

a. Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).


b. Kernikterus, kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi
mental, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan
tangisan melengking.

9. Pemeriksaan Diagnostik Pada Bayi dengan Hiperbillirubine

Pemeriksaan pada bayi hiperbilirubin menurut Marilyn E. Dongoes,


2001 yaitu :

 Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb
indirek menandakan adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau
anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes comb direk
menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel
darah merah dari neonatus.
 Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas
ABO.
 Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi
1,1-1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh melebihi
peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari
20 mg/dl pada bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi
praterm (tergantung BB bayi).
 Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan
penurunan kapasitas ikatan, terutama pada bayi paterm.
 Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14
mg/dl) karena hemolisis. Hematokrit mungkin meningkat (>
65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan hemolisis
dan anemia berlebihan.
 Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan
hemolisis.
 Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang
memerlukan penentuan bilirubin serum.
 Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan
peningkatan produksi sel darah merah dalam respons terhadap
hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
 Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah
abnormal atau imatur, eritroblastosis pada penyakit Rh atau
sferositis pada inkompabilitas ABO.
 Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas
penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk
menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
 Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis
intra hepatic dengan ekstrahepatic.
 Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada
kasus yang sukar seperti diagnosa membedakan obstruksi
ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan
hepatoma.
 Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis dan atresia billiari.
 Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan
bilirubin.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBIN

A. PENGKAJIAN

a. Identitas pasien dan keluarga

b. Riwayat Keperawatan

1) Riwayat Kehamilan

Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat-obat yang


meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.

2) Riwayat Persalinan

Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif ;


lahir prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia
dan asfiksia

3) Riwayat Post natal

Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak


kuning.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan


saluran cerna dan hati ( hepatitis )

5) Riwayat Pikososial

Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang


tua

6) Pengetahuan Keluarga

Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi


yang ikterus.
Pengkajian Hiperbilirubin

1. Aktivitas / Istirahat

Letargi, malas.

2. Sirkulasi

Mungkin pucat menandakan anemia.

3. Eliminasi

Bising usus hipoaktif. Pasase mekonium mungkin lambat. Feses


mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.Urin gelap
pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze).

4. Makanan / Cairan

Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui


daripada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek
menghisap dan menelan lemah sehingga BB bayi mengalami
penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limfa,
hepar.

5. Neuro sensori

Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang


parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran
ekstraksi vakum. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops
fetalis mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat. Kehilangan
refleks Moro mungkin terlihat Opistotonus dengan kekakuan lengkung
punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap
krisis).

6. Pernafasan

Riwayat asfiksia

7. Keamanan
Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus. Dapat mengalami ekimosis
berlebihan, ptekie, perdarahan intracranial. Dapat tampak ikterik pada
awalnya pada daerah wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh;
kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi Bronze) sebagai efek samping
fototerapi.

8. Seksualitas

Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu
diabetes. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress
dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia. Terjadi lebih sering
pada bayi pria dibandingkan perempuan.

9. Penyuluhan / Pembelajaran

Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis kistik.


Faktor keluarga; missal riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan
sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik, kesalahan metabolisme
saat lahir (galaktosemia), diskrasias darah (sferositosis, defisiensi
gukosa-6-fosfat dehidrogenase. Faktor ibu, seperti diabetes; mencerna
obat-obatan (missal, salisilat, sulfonamide oral pada kehamilan akhir
atau nitrofurantoin (Furadantin); inkompatibilitas Rh/ABO; penyakit
infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis, toksoplamosis). Faktor
penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran dengan
ekstrasi vakum, induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali pusat,
atau trauma kelahiran.
B. Diagnosa Keperawatan Hiperbilirubin

a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan


kadar bilirubin indirek dalam darah, ikterus pada sclera leher dan
badan.
b. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, prognosis dan
kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi
c. Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan SSP berhubungan
dengan peningkatan bilirubin indirek dalam darah yang bersifat
toksik tehhadap otak.
d. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan pemaparan sinar dengan
intensitas tinggi.
e. Risiko terjadi gangguan suhu tubuh akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan efek mekanisme regulasi tubuh.
f. Risiko tinggi cedera akibat komplikasi tindakan transfusi tukar
berhubungan dengan prosdur invasif, profil darah abnormal.

C. Rencana Keperawatan Hiperbilirubin

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar


bilirubin indirek dalam darah, ikterus pada sclera leher dan badan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses


keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik/ normal dengan

Kriteria hasil :

 Kadar bilirubin dalam batas normal ( 0,2 – 1,0 mg/dl )


 Kulit tidak berwarna kuning/ warna kuning mulai berkurang
 Tidak timbul lecet akibat penekanan kulit yang terlalu lama
Mandiri

 Monitor warna dan keadaan kulit setiap 4-8 jam


 Monitor keadaan bilirubin direk dan indirek ( kolaborasi dengan
dokter dan analis )
 Ubah posisi miring atau tengkurap. Perubahan posisi setiap 2
jam berbarengan dengan perubahan posisi lakukan massage
dan monitor keadaan kulit
 Jaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit/ Memandikan dan
pemijatan bayi
 Warna kulit kekuningan sampai jingga yang semakin pekat
menandakan konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tinggi.
 Kadar bilirubin indirek merupakan indicator berat ringan joundice
yang diderita.
 Menghindari adanya penekanan pada kulit yang terlalu lama
sehingga mencegah terjadinya dekubitus atau irtasi pada kuit
bayi.
 Kulit yang bersih dan lembab membantumemberi rasa nyaman
dan menghindari kulit bayi meengelupas atau bersisik.

2. Kurang pengetahu-an keluarga mengenai kondisi, prognosis dan


kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pengetahuan


keluarga bertambah dengan kriteria hasil:

 Mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan


kemungkinan hasil hiperbilirubinemia.
 Melatih orang tua bayi memandikan, merawat tali pusat dan pijat
bayi.
Mandiri

a. Berikan informasi tentang penyebab,penanganan dan implikasi


masa datang dari hiperbilirubinemia. Tegaskan atau jelaskan
informasi sesuai kebutuhan.
b. Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap peningkatan
kadar bilirubin (mis, mengobservasi pemucatan kulit di atas
tonjolan tulang atau perubahan perilaku ) khususnya bila bayi
pulang dini.
c. Diskusikan penatalaksanaan di rumah dari ikterik fisiologi
ringan atau sedang, termasuk peningkatan pemberian makan,
pemajanan langsung pada sinar matahari dan program tindak
lanjut tes serum.
d. Berikan informasi tentang mempertahankan suplai ASI melalui
penggunaan pompa payudara dan tentang kembali menyusui
ASI bila ikterik memerlukan pemutusan menyusui.
e. Kaji situasi keluarga dan system pendukung. berikan orangtua
penjelasan tertulis yang tepat tentang fototerapi di rumah,
daftarkan teknik dan potensial masalah.
f. Buat pengaturan yang tepat untuk tes tindak lanjut dari bilirubin
serum pada fasilitas laboratorium.
g. Memperbaiki kesalahan konsep, meningkatkan
pemahaman,dan menurunkan rasa takut dan perasaan
bersalah. Ikterik neonatus mungkin fisiologis, akibat ASI, atau
patologis dan protocol perawatan tergantung pada penyebab
dan factor pemberat.
h. Memungkinkan orangtua mengenali tanda-tanda peningkatan
kadar bilirubin dan mencari evaluasi medis tepat waktu.
i. Pemahaman orangtua membantu mengembangkan kerja sama
mereka bila bila bayi dipulangkan. Informasi membantu
orangtua melaksanakan penatalaksanaan dengan aman dan
dengan tepat serta mengenali pentingnya aspek program
penatalaksanaan.
j. Membantu ibu untuk mempertahankan pemahaman pentingnya
terapi. Mempertahankan supaya orangtua tetap mendapatkan
informasi tentang keadaan bayi. Meningkatkan keputusan
berdasarkan informasi.
k. Fototerapi di rumah dianjurkan hanya untuk bayi cukup bulan
setelah 48 jam pertama kehidupan, dimana kadar bilirubin
serum antara 14 – 18 mg/dl tanpa peningkatan konsentrasi
bilirubin reaksi langsung.
l. Tindakan dihentikan bila konsentrasi bilirubin serum turun di
bawah 14 mg/dl, tetapi kadar serum harus diperiksa ulang
dalam 12-24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
hiperbilirubinemia berbalik.

3. Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan SSP berhubungan


dengan peningkatan bilirubin indirek dalam darah yang bersifat
toksik tehhadap otak.

Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kadar bilirubin


menurun dengan kriteria hasil:

 Kadar bilirubin indirek dibawah 12 mg/dl pada bayi cukup bulan


pada usia 3 hari
 Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
 SSP berfungsi dengan normal

Mandiri

a. Periksa resus darah ABO


b. Tinjau catatan intrapartum terhadap factor resiko yg khusus,
seperti berat badan lahir rendah (BBLR) atau IUGR,
prematuritas, proses metabolic abnormal, cedera vaskuler,
sirkulasi abnormal, sepsis, atau polisitemia
c. Perhatikan penggunaan ekstrator vakum untuk kelahiran. Kaji
bayi terhadap adanya sefalohematoma dan ekimosis atau
petekie yang berlebihan
d. Tinjau ulang kondisi bayi pada kelahiran, perhatikan kebutuhan
terhadap resusitasi atau petunjuk adanya ekimosis atau petekie
yang berlebihan, stress dingin, asfiksia, atau asidosis
e. .Pertahankan bayi tetap hangat dan kering, pantau kulit dan suhu
inti dengan sering
f. Mulai memberikan minum oral awal dengan 4 sampai 6 jam
setelah kelahiran, khusus bila bayi diberi ASI. Kaji bayi terhadap
tanda-tanda hipoglikemia. Dapatkan kadar Dextrostix, sesuai
indikasi.
g. Evaluasi tingkat nutrisi ibu dan prenatal; perhatikan kemungkinan
hipoproteinemia neonates, khususnya pada bayi praterm.
h. Perhatikan usia bayi pada awitan ikterik; bedakan tipe ikterik
(mis, fisiologis, akibat ASI, atau patologis)
i. Gunakan meter ikterik transkutaneus.
j. Kaji bayi terhadap kemajuan tanda-tanda dan perubahan
perilaku; tahap I meliputi neurodepresan (mis., letargi, hipotonia,
atau penurunan/tidak adanya reflek). Tahap II meliputi
neurohiperefleksia (mis,. Kedutan,kacau mental, opistotonus,
atau demam). Tahap III ditandai dengan tidak adanya
manifestasi klinis. Tahap IV meliputi gejala sisa seperti palsi
serebra atau retardasi mental

Kolaborasi

Pantau pemeriksaan laboratorium, sesuai indikasi.

a. Bilirubin direk dan indirek.


b. Tes Coombs darah tali pusat direk/indirek
c. Kekuatan combinasi karbondioksida (CO2)
d. Jumlah retikulosit dan smear perifer.
e. Hb/Ht
f. Protein serum total
g. Hitung kapasitas ikatan plasma bilirubin-albumin
h. Hentikan menyusui ASI selama 24-48 jam, sesuai indikasi.
Bantu ibu sesuai kebutuhan dengan pemompaan panyudara
dan memulai lagi menyusui
i. Berikan agens indikasi enzim (fenobarbital, etanol) bila
dibutuhkan.

a. Inkompatibilitas ABO mempengaruhi 20% dari semua kehamilan dan


paling umum terjadi pada ibu dengan golongan darah O, yang antibodinya
anti-A dan anti-B melewati sirkulasi janin, menyebabkan aglutinasi dan
hemolisis SDM.

Serupa dengan itu, bila ibu Rh-positif, antibody ibu melewati plasenta dan
bergabung pada SDM janin, menyebabkan hemolisis lambat atau segera

b. Kondisi klinis tertentu dapat menyebabkan pembalikan barier darah-


otak, memungkinkan ikatan bilirubin terpisah pada tingkat membrane sel
atau dalam sel itu sendiri, meningkatkan resiko terhadap keterlibatan SSP

c.Resorpsi darah yang terjebak pada jaringan kulit kepala janin dan
hemolisis yang berlebihan dapat meningkatkan jumlah bilirubin yang
dilepaskan dan menyebabkan ikterik

d. Asfiksia dan siadosis menurunkan afinitas bilirubin terhadap albumin.

e. Stress dingin berpotensi melepaskan asam lemak. Yang bersaing pada


sisi ikatan pada albumin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin yang
bersirkulasi dengan bebas (tidak berikatan)

f. Keberadaan flora usus yang sesuai untuk pengurangan bilirubin


terhadap urobilinogen; turunkan sirkulasi enterohepatik bilirubin
Hipoglikemia memerlukan penggunaan simpanan lemak untuk asam
lemak pelepas-energi, yang bersaing dengan bilirubin untuk bagian ikatan
pada albumin.

g. Hipopoteinemia pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan ikterik. Satu


gram albumin membawa 16 mg bilirubin tidak terkonjugasi. Kekurangan
albumin yang cukup meningkatkan jumlah sirkulasi bilirubin tidak terikat
(indirek), yang dapat melewati barier darah otak.

h. Ikterik fisiologis biasanya tampak antara hari pertama dan kedua dari
kehidupan Ikterik karena ASI biasanya tampak antara hari keempat dan
keenam kehidupan, mempengaruhi hanya 1%-2% bayi menyusui. Ikterik
patologis tampak dalam 24 jam pertama kehidupan dan lebih mungkin
menimbulkan perkembangan kernikterus/ensefalopati bilirubin.

i. Memberikan skrining noninvasif terhadap ikterik, menghitung warna kulit


dalam hubungannya dengan bilirubin serum total.

j. Bilirubin tidak terkonjugasi yang berlebihan (dihubungkan dengan ikterik


patologis) mempunyai afinitas terhadap jaringan ekxtravaskuler, meliputi
ganglia basal jaringan otak. Perubahan prilaku berhubungan dengan
kernikterus biasanya terjadi antara hari ke-3 dan ke-10 kehidupan dan
jarang terjadi sebelum 36 jam kehidupan.

4. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping fototerapi


berhubungan dengan pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.

Setelah diberikan asuhan keperawatan cairan tubuh neonatus adekuat


dengan kriteria hasil:

- Tugor kulit baik

- Membran mukosa lembab

- Intake dan output cairan seimbang

- Nadi, respirasi dalam batas normal (N: 120-160 x/menit, RR : 35 x/menit)


suhu ( 36,5-37,5 C )

Mandiri

a. Pantau masukan dan haluan cairan; timbang berat badan bayi 2 kali
sehari.

b. Perhatikan tanda- tanda dehidrasi(mis: penurunan haluaran urine,


fontanel tertekan, kulit hangat atau kering dengan turgor buruk, dan mata
cekung).

c. Perhatikan warna dan frekuensi defekasi dan urine.

d. Tingkatkan masukan cairan per oral sedikitnya 25%. Beri air diantara
menyusui atau memberi susu botol.

e. Pantau turgor kulit

f. Berikan cairan per parenteral sesuai indikasi

a. Peningkatan kehilangan air melalui feses dan evaporasi dapat


menyebabkan dehidrasi.

b. Bayi dapat tidur lebih lama dalam hubungannya dengan fototerapi,


meningkatkan resiko dehidrasi bila jadwal pemberian makan yang sering
tidak di pertahankan.)

c. Defeksi encer, sering dan kehijauan serta urine kehijauan menandakan


keefektifan fototerapi dengan pemecahan dan

ekskresi bilirubin.Feces yang encer meningkatkatkan risiko kekurangan


volume

cairan akibat pengeluaran cairan berlebih.

d. Meningkatkan input cairan sebagai kompensasi pengeluaran feces


yang encer sehingga mengurangi risiko bayi kekurangan

cairan.

e. Turgor kult yang buruk, tidak elastis merupakan indikator adanya


kekurangan volume cairan dalam tubuh bayi.
f. Mungkin perlu untuk memperbaiki atau mencegah dehidrasi berat.

Risiko terjadi gangguan suhu tubuh akibat efek samping fototerapi


berhubungan dengan efek mekanisme regulasi tubuh.

Setelah diberikan asuhan keperawatan

diharapkan tidak terjadi gangguan suhu tubuh dengan kriteria hasil :

- Suhu tubuh dalam rentang normal

(36,50C-370C )

- Nadi dan respirasi dalam batas normal ( N : 120-160 x/menit, RR : 35


x/menit )

- Membran mukosa lembab

Mandiri

a. Pantau kulit neonates dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih sering
sampai setabil( mis; suhu aksila). Atur suhu incubator dengan tepat

b. Monitor nadi, dan respirasi


c. Monitor intake dan output

d. Pertahankan suhu tubuh 36,50C-370C jika demam lakukan kompres/


axilia

e. Cek tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sesuai yang dibutuhkan

f. Kolaborasi pemberian antipiretik jika demam.

a. Fluktuasi pada suhu tubuh dapat terjadi sebagai respon terhadap


pemajanan sinar, radiasi dan konveksi.

b. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena dehidrasi akibat paparan


sinar dengan intensitas tinggi sehingga akan
mempengaruhi nadi dan respirasi, sehingga peningkatan nadi dan
respirasi merupakan aspek penting yang harus di waspadai.

c. Intake yang cukup dan output yang seimbang dengan intake cairan
dapat membantu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.

d. Suhu dalam batas normal mencegah terjadinya cold/ heat

stress

e. Untuk mengetahui keadaan umum bayi sehingga

memungkinkan pengambilan tindakan yang cepat ketika terjadi

suatu keabnormalan dalam tanda-tanda vital.

f. Antipiretik cepat membantu menurunkan demam bayi.

Risiko tinggi cedera akibat komplikasi tindakan transfusi tukar


berhubungan dengan prosdur invasif, profil darah abnormal.

Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan tidak terjadi


komplikasi dari transfusi tukar dengan kriteria hasil :

-Menyelesaikan transfusi tukar tanpa komplikasi

- Menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum.

Mandiri

a. Perhatikan kondisi tali pusat bayi sebelum transfuse bila vena umbilical
digunakan. Bila tali pusat kering, berikan pencucian salin selama 30-60
menit sebelum prosedur
b. Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur atau aspirat isi
lambung

c. Jamin ketersediaan alat resusitatif.

d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur.


Tempatkan bayi di bawah penyebar hangat dengan servomekanisme.
Hangatkan darah sebelum penginfusan dengan menempatkan di dalam
incubator, hangatkan baskom berisi air ataau penghangat darah.

e. Pastikan golongan darah serta faktor Rh bayi dan ibu. Perhatkan


golongan darah dan factor Rh darah untuk ditukar.

f. Jamin kesegaran darah. Darah yang diberi heparin lebih disukai.

g. Pantau nadi, warna dan frekuensi pernapasan/kemudahan sebelum,


selama dan setelah transfuse. Lakukan pengisapan jika diperlukan.

h. Catat tanda-tanda atau kejadian selama transfuse, pencatatan jumlah


darah yang diambil dan diinjeksikan.

i. Pantau tanda-tanda keseimbangan elektrolit ( mis; gugup, aktivitas


kejang, dan apnea; hiperefleksia,; bradikardia; atau diare )

j. Kaji bayi terhadap perdarahan bedlebihan dari lokasi I V setelah


transfuse.
Kolaborasi

a. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi :

- Kadar Hb/Ht sebelum dan setelah transfuse

- Kadar bilirubin serum segera setelah prosedur, kemudian setiap 4 jam

- Protein serum total

- Kalsium dan kalium serum

- Glukosa
- Kadar pH serum

b. Berikan albumin sebelum transfuse bila diindikasikan

c. Berikan obat-obatan sesuai indikasi :


- Kalsium glukonat 5 %

- Natrium bikarbonat

- Protamin sulfat

a. Pencucian mungkin perlu untuk melunakkan tali pusat dan vena


umbilicus sebelum transfuse untuk akses I. V dan

memudahkan pasase kateter umbilical.


b. Menurunkan risiko kemungkinan regurgitasi dan aspirasi selama
prosedur

c. Untuk memberikan dukungan segera bila perlu

d. Membantu mencegah hipotermia dan vasospasme,

menurunkan risiko fibrilasi ventrikel, dan menurunkan vikositas darah


e. Transfuse tukar paling sering dihubungkan dengan masalah
inkompatibilitas Rh.
f. Darah yang lama lebih mungkin mengalami hemolisis,

karenanya meningkatkan kadar bilirubin. Darah yang diberikan

heparin selalu baru, tetapi harus dibuang bila tidak digunakan

dalam 24 jam.

g. Membuat nilai data dasar, mengidentifikasi potensial kondisi

tidak stabil ( mis; apnea atau disritmia/henti jantung ) dan


mempertahankan jalan napas.

h. Membantu mencegah kesalahan dalam penggantian cairan. Jumlah


darah ditukar kira-kira 170 ml/kg BB. Volume ganda

tukar transfuse menjamin bahwa antara 75 % dan 90 % sirkulasi

SDM digantikan.

i. Hipokalsemia dan hiperkalemia dapat terjadi selama dan

setelah transfuse tukar.


j. Penginfusan darah yang diberi heparin mengubah koagulasi

selama 4-6 jam setelah transfuse tukar dan dapat mengakibatkan

perdarahan.

- Bila Ht kurang dari 40 % sebelum transfuse, pertukaran sebagian


SDM kemasan dapat mendahului pertukaran penuh.

Penurunan kadar setelah transfusi menadakan kebutuhan terhadap


transfuse kedua.

- Kadar bilirubin dapat menurun sampai setengah segera setelah


prosedur, tetapi dapat meningkat dengan cepat setelahnya,

memerlukan pengulangan transfuse.

- Mengalikan kadar dengan 3,7 menetukan derajat


peningkatan bilirubin yang memerlukan transfuse tukar

- Darah mengandung sitrat sebagai anti koagulan yang

mengikat kalsium, sehingga menurunkan kadar kalsium serum.

Selain itu, bila darah lebih dari 2 hari, destruksi SDM melepaskan

kalium, menciptakan risiko hiperkalemia dan henti jantung.

- Kadar glukosa rendah mungkin dihubungkan dengan glikolisis anaerobik


kontinu dalam SDM donor. Tindakan segera

perlu untuk mencegah efek buruk/kerusakan SSP.

- pH serum dari darah donor secara khas 6,8 atau kurang.

Asidosis dapat tejadi jika darah segar tidak digunakan dan hepar bayi
tidak dapat memetabolisme sitrat yang digunakan antikoagulan, atau bila
darah donor melanjutkan glikolisis

anaerobik dengan produksi asam metabolit.

-Meskipun masih kontroversial, pemberian albumin dapat

meningkatkan ketersediaan albumin untuk berikatan dengan bilirubin,


karenanya menurunkan kadar bilirubin serum sikulasi yang bebas.
- Dari 2 sampai 4 ml kalsium glukonat dapat diberikan setelah setiap 100
ml penginfusan darah untuk memperbaiki hipokalsemia dan
meminimalkan kemungkinan iritabilitas jantung.

- Memperbaiki asidosis

- Mengimbangi efek-efek antikoagulan dari darah yang diberi heparin

D. Evaluasi Askep Hiperbillirubin

Dx. 1 Integritas kulit kembali baik / normal,

· Kadar bilirubin dalam batas normal

· Kulit tidak berwarna kuning/ warna kuning mulai berkurang

· Tidak timbul lecet akibat penekanan kulit yang terlalu lama

Dx. 2 Pengetahuan keluarga bertambah,

· Mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan


kemungkinan hasil hiperbilirubinemia
· Mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat

Dx. 3 Kadar bilirubin menurun,

· Kadar bilirubin indirek dibawah 12 mg/dl pada bayi cukup bulan pada
usia 3 hari

· Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan

· Bebas dari keterlibatan SSP

Dx. 4 Cairan tubuh neonatus adekuat,

· Tugor kulit baik

· Membran mukosa lembab

· Intake dan output cairan seimbang

· Nadi, rspirasi dalam batas normal.

Dx. 5 Tidak terjadi gangguan suhu tubuh,

· Suhu tubuh dalam rentang normal (36,50C-370C )

· Nadi dan respirasi dalam batas normal ( N : 120-160 x/menit, RR : 35


x/menit )

· Membran mukosa lembab

Dx. 6 Tidak terjadi komplikasi dari transfusi tukar,

· Menyelesaikan transfusi tukar tanpa komplikasi

· Menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum.


BAB

PENUTUP LP ASKEP HIPERBILIRUBIN

A. Kesimpulan

Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar


bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva,
mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).

Hiperbilirubin pada anak dapat dicegah dengan pengawasan antenatal


dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI)dan
menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.

B. Saran

Kami selaku penulis berharap kepada pembaca agar dapat meningkatkan


lagi ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dibidang mata
kuliah keperawatan anak khususnya terkait asuhan keperawatan pada
klien dengan hiperbilirubinemia.
DAFTAR PUSTAKA LP HIPERBILIRUBIN

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar
Inter Pratama. Jakarta.

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina


Pustaka. Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana


Perawatan Maternal / Bayi. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai