Anda di halaman 1dari 31

Preformulasi dan Formulasi Sediaan Steril

Praformulasi

Praformulasi sangat penting dilakukan dalam setiap pengembangan sediaan farmsi karena

meliputi penelitian farmasetik dan analitik bahan obat untuk menunjang proses pengembangan

formulasi.

Sifat suatu sediaan dapat mempengaruhi secara bermakna kecepatan onset efek terapi

dari suatu obat, lamanya efek tersebut, dan bentuk pola absorbsi yang dicapai. Oleh karena itu

pengembangan praformulasi dan formulasi untuk suatu produk steril harus diintregasikan secara

hati – hati dengan pemberian yang dimaksud pada seorang pasien.

Sifat kimia dan fisika suatu obat harus ditentukan, interaksinya dengan tiap bahan yang

diinginkan harus dikaji, dan efek dari masing - masing tahap kestabilannya harus diselidiki dan

dimengerti.
Semua komponen harus memiliki kualitas yang sangat baik. Kontaminasi fisika dan

kimia tidak hanya menyebabkan iritasi kejaringan tubuh, tetapi jumlah kontaminasi yang sangat

kecil tersebut juga dapat menyebabkan degradasi produk sebagai hasil dari perubahan kimia,

khususnya selama waktu pemanasan bila digunakan sterilisasi panas.

Cakupan studi praformulasi untuk sediaan injeksi.

1. Organoleptis

Organoleptis adalah studi praformulasi yang harus dilakukan untuk mengetahui pemerian

zat aktif terdiri dari warna, bentuk, aroma dan rasa zat aktif dengan menggunakan terminologi

deskriptif. Uji organoleptis sangat berguna dalam melakukan identifikasi awal mengenai suatu

zat yang akan dibuat suatu sediaan. Uji ini dilakukan dengan tujuan mengetahui bentuk dari

bahan yang akan digunakan dalam formulasi, agar tidak salah dalam mengambil bahan-bahan

untuk formulasi. Dalam menentukan zat yang akan digunakan, dapat mengamatinya dari segi

bentuk, warna, rasa juga aroma.

a. Warna

Warna memegang peranan penting dalam identifikasi suatu sediaan sebelum membuat

suatu sediaan injeksi. Karena hal yang akan dilihat pertama kali adalah warna dari bahan-bahan

itu.Warna biasanya merupakan fungsi inheren kimia obat karena terkait dengan ketidakjenuhan.

Intensitas warna terkait dengan keberadaan konjugasi ketidakjenuhan di samping keberadaan

khromofor , seperti –NH2, -NO2 dan –CO- (keton) yang mengintensifkan warna.

b. Bentuk

Bentuk juga memegang peranan yang sangat penting dalam identifikasi. Setelah

menentukan warna, biasanya yang dilihat terlebih dahulu adalah bentuk dari bahan itu. Sehingga

akan benar-benar yakin bahwa yang digunakan dalam formulasi adalah bahan-bahan yang tepat.
c. Bau / Aroma

Sebagian zat memiliki aroma yang khas dan kemungkinan bau yang inheren (terkait)

dengan keberadaan gugus fugsional yang terdapat dalam molekul obat. Adakalanya zat sama

sekali tidak berbau atau dapat pula berbau pelarut residu pelarut. Hal ini penting karena dalam

farmakope ada ketentuan batas maksimal pelarut yang diperbolehkan ada dalam obat (terutama

karena alas an toksisitas).

Dengan uji organoleptis, dapat mempermudah identifikasi suatu bahan. Terutama bahan

yang mengandung aroma yang khas. Daftar beberapa istilah organoleptik dalam FI Ed. IV.

Warna Rasa Aroma Bentuk


Putih Asam Sedikit beraroma cuka Hablur
Hampir putih Asin Aroma Khas Berserat
Putih kekuningan Pahit Aroma menusuk Granul
Kuning Manis Aroma aromatik Serbuk halus
Kuning pucat Membakar Aroma lemah Partikel seperti pas
Kuning kecoklatan Dingin Aroma seperti sulfida Serbuk ruah
Krem Pedas Praktis tidak beraroma Higroskopis
Krem pucat Tidak berasa Tidak beraroma Serbuk amorf
Keabu-abuan Sedikit pahit Aroma amin ringan Serpihan
Merah tua Sangat pahit Aroma tidak enak seperti Bentuk jarum
Merah muda Aroma minyak merkapton
Merah jingga permen Aroma asam klorida lemah
Merah
Coklat

2. Analisis fisikokimia

Data analitik zat aktif, yang mencakup data kualitatif, data kuantitatif dan kemurnian.

a. Data kualitatif dan data kuantitatif

Analisis ini merupakan bagian penting dalam studi praformulasi yaitu untuk penetapan

identitas dan kadar zat aktif. Untuk penetapan kualitatif biasanya digunakan kromatografi lapis

tipis, spectrum serapan inframerah, reaksi warna, spectrum serapan ultraviolet dan reaksi

lainnya. Penetapan kadar zat aktif biasanya dilakukan dengan metode spektrofotometri,
kromatografi gas, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKK), titrasi kompleksometri, asam basa,

argentometri, iodometri, dan sebagainya. Penetapam kadar dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui kadar dari zat aktif yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan.

b. Kemurnian

Praformulasi harus mempunyai daya memahami kemurnian suatu zat aktif.

Ketidakmurnian dapat mempengaruhi stabilitas, misalnya kontaminasi logam dengan kadar

seperjuta (ppm) dapat merusak beberapa golongan senyawa tertentu. Kemurnian juga dapat

memberikan efek yang lain bagi untuk efek terapi yang di harapkan. Metode lain yang berguna

dalam menilai kemurnian adalah analisis termal gravimetri dan diferensial. Mengetahui

kemurnian suatu bahan dimaksudkan untuk agar bahan aktif atau bahan tambahan yang

digunakan tidak mengalami kontaminan sehingga sediaan steril yang dihasilkan memiliki efek

terapi yang maksimal.

Struktur dan bobot molekul. Dari struktur molekul, peneliti dapat membuat penilaian

awal menyangkut sifat potensial dan reaktivitas fungsional dari molekul bahan aktif obat.

Suhu lebur. Suhu lebur suatu bahan secara termodinamika didefinisikan sebagai suhu

dimana fase cair dan padat berada dalam kesetimbangan. Penentuan suhu lebur merupakan

indikasi pertama dari kemurnian bahan karena keberadaan jumlah relative kecil pengotor dapat

terdeteksi dengan penurunan atau pelebaran suhu lebur.

Profil analitik termal. Selama sintesis dan isolasi, sampel kemungkinan diekspose

terhadap perubahan suhu lingkungan proses yang dapat menunjukkan profil termal apabila

sampel dipanaskan antara suhu kamar dan suhu leburnya. Apabila tidak ada masalah karena

panas, sampel tidak akan mengabsorbsi atau melepas panas sebelum mencapai suhu leburnya.
Higroskopisitas. Senyawa dikatakan higroskopis jika senyawa tersebut menarik /

mengambil kelembapan dan suhu pada kondisi spesifik dalam jumlah signifikan. Tingkat

higroskopis yang tinggi dapat mempengaruhi efek yang tidak dikehendaki dari sifat fisika dan

kimia suatu bahan obat yang menyebabkan terjadinya perubahan sehingga secara farmasetik sulit

atau tidak mungkin dilakukan penanganan secara memuaskan.

Spectra absorben. Molekul dengan struktur tidak jenuh mampu mengabsorbsi cahaya

pada rentang frekuensi spesifik. Derajat ketidakjenuhan yang diikuti dengan keberadaan gugus

khromofor akan mempengaruhi jumlah absorbsi, baik sinar ultraviolet maupun sinar tampak

akan diabsorbsi.

Konstanta ionisasi. Memberikan informasi tentang ketergantungan kelarutan dari

senyawa pada pH formulasi. pKa biasanya ditentukan secara titrasi potensiometrik pH atau

analisis pH kelarutan.

Aktivitas optikal. Molekul yang mampu memutar cahaya dan cahaya terpolarisasi secara

merata dinyatakan sebagai aktif secara optic. Jika bekerja dengan suatu senyawa yang aktif

secara optic selama penelitian praforlmulasi, maka sangat penting untuk memantau rotasi optic

tersebut karena penentuan kuantitatif secara kimia saja tidak cukup. (Agoes, Goeswin. 2009)

3. Sifat-sifat fisikomekanik / karakteristik fisik

Sifat-sifat fisikomekanik mencakup ukuran partikel, luas permukaan, pembahasan

higroskopisitas, aliran serbuk, karakteristik pengempaan dan bobot jenis.

a. Uraian Fisik. Uraian fisik dari suatu obat sebelum pengembangan bentuk sediaan penting untuk

dipahami, kebanyakan zat obat yang digunakan sekarang adalah bahan padat. Kebanyakan obat

tersebut merupakan senyawa kimia murni yang berbentuk amorf atau kristal. Obat cairan

digunakan dalam jumlah yang lebih kecil, gas bahkan lebih jarang lagi. Untuk mengembangkan
bentuk sediaan maka perlu diketahui tentang uraian fisik suatu bahan agar mempermudah dalam

menentukan metode membuat sediaan.

b. Pengujian Mikroskopik. Pengujian mikroskopik dari zat murni (bahan obat) merupakan suatu

tahap penting dalam kerja (penelitian) praformulasi. Pengujian ini memberikan indikasi atau

petunjuk tentang ukuran partikel dari zat murni seperti juga struktur kristal. Pengujian

mikroskopik bertujuan untuk mengetahui tentang ukuran partikel. Sehingga pada saat pembuatan

sediaan tetes mata akan diketahui ukuran partikel jika memang bentuk sediaan adalah suspensi.

c. Ukuran Partikel. Ukuran partikel zat yang larut dalam air tidak merupakan masalah kecil,

kecuali dalam bentuk agregat besar, tetapi adakalanya diperlukan untuk meningkatkan kecepatan

pelarutan untuk mengurangi waktu proses manufaktur. Karakterstik ukuran dan bentuk partikel

dapat ditentukan melalui evaluasi dengan mikroskop electron, optik, atau dengan alat polarisasi

yang dapat membuat foto bentuk dan ukuran partikel. Karakteristik morfologi bahan aktif obat

direkam melalui sketsa atau yang lebih teliti melalui fotomikrograf, merupakan dokumen

permananen untuk dibandingkan dengan bets selanjutnya.

Sifat-sifat fisika dan kimia tertentu dari zat obat dipengaruhi oleh distribusi ukuran

partikel, termasuk laju disolusi obat, bioavailabilitas, keseragaman isi, rasa, tekstur, warna dan

kestabilan. Sifat-sifat seperti karateristik aliran dan laju sedimentasi juga merupakan faktor-

faktor penting yang berhubungan dengan ukuran partikel. Ukuran partikel dari zat murni dapat

mempengaruhi formulasi produk. Khususnya efek ukuran partikel terhadap absorpsi obat.

Keseragaman isi dalam bentuk sediaan padat sangat tergantung kepada ukuran partikel dan

distribusi bahan aktif pada seluruh formulasi yang sama.

4. Koefisien Partisi dan Konstanta Disosiasi


Koefisien Partisi Merupakan ukuran lipofilisitas dari suatu senyawa. Diukur dengan

menetapkan konsentrasi kesetimbangan suatu obat dalam suatu fasa air (biasanya air) dan suatu

fasa minyak (biasanya oktanol atau chloroform) yang satu dengan lainnya berkontak pada suhu

konstan. Kebanyakan obat yang larut lemak akan lewat dengan proses difusi pasif sedangkan

yang tidak larut lemak akan melewati pembatas lemak dengan transport aktif. Karena hal ini

maka perlu mengetahui koefisien partisi dari suatu obat.

Khusus untuk obat yang bersifat larut air maka perlu pula diketahui konstanta disosiasi

agar diketahui bentuknya molekul atau ion. Bentuk molekul lebih muda terabsorpsi daripada

bentuk ion.

a. Polimerfisme

Suatu formulasi yang penting adalah bentuk kristal atau bentuk amorf dari zat obat

tersebut. Bentuk-bentuk polimorfisme biasanya menunjukkan sifat fisika kimia yang berbeda

termasuk titik leleh dan kelarutan. Bentuk polimorfisme ditunjukkan oleh paling sedikit sepertiga

dari senua senyawa-senyawa organik.

b. Kelarutan

Suatu sifat kimia fisika yang penting dari suatu zat obat adalah kelarutan, terutama

kelarutan sistem dalam air. Suatu obat harus memiliki kelarutan dalam air agar manjur dalam

terapi. Agar suatu obat masuk kedalam sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik,

obat pertama-tema harus berada dalam bentuk larutan. Senyawa-senyawa yang relative tidak

larut seringkali menunjukkan absorpsi yang tidak sempurna atau tidak menentu.

Dalam pembuatan sediaan injeksi kelarutan sangat penting untuk pengembangan larutan

yang dapat disuntikkan baik secara intravena maupun intramuscular. Garam asam atau basa

mempresentasikan kelompok obat yang dapat mencapai kelarutan obat dalam air yang
dibutuhkan. Kelas obat lain, baik berupa molekul netral maupun asam atau basa sanagt lemah

umumnya tidak dapat disolubilisasi dalam air dalam rentang pH yang sesuai, sehingga

memerlukan penggunaan pelarut non air seperti PEG 300 dan 400, propilen glikol, gliserol,

etilalkohol, minyak lemak, etiloleat, dan benzilbenzoat.

c. Disolusi

Perbedaan aktivitas biologis dari suatu zat obat mungkin diakibatkan oleh laju disolusi.

Laju disolusi adalah waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarut dalam cairan pada tempat

absorpsi. Untuk obat yang diberikan secara oral dalam bentuk padatan, laju disolusi adalah tahap

yang menentukan laju absorpsi. Akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas

dan lama respon serta bioavailabilitas.

d. Kestabilan

Salah satu aktivitas yang paling penting dalam praformulasi adalah evaluasi kestabilan

fisika dari zat obat murni. Pengkajian awal dimulai dengan menggunakan sampel obat dengan

kemurnian yang diketahui. Adanya pengotoran akan menyebabkan kesimpulan yang salah dalam

evaluasi tersebut.

Pengkajian praformulasi yang dihubungkan dengan fase praformulasi termasuk

kestabilan obat itu sendiri dalam keadaan padat, kestabilan fase larutan dan kestabilan dengan

adanya bahan penambah.

Ketidak stabilan kimia dari zat obat dapat mengambil banyak bentuk, karena obat-obat

yang digunakan sekarang adalah dari konstituen kimia yang beraneka ragam. Secara kimia, zat

obat adalah alcohol, fenol, aldehid, keton, ester-ester, asam-asam, garam-garam, alkaloid,

glikosida, dan lain-lain. Masing-masing dengan gugus kimia relative yang mempunyai
kecenderungan berbeda terhadap ketidak stabilan kimia. Secara kimia proses kerusakan yang

paling sering meliputi hidrolisis dan oksidasi.

5. Karakteristik Larutan

a. Konstanta disosiasi. Konstanta disosiasi digunakan untuk mengetahui Ph dalam proses

pembuatan sediaan steril. Saat suatu asam HA larut dalam air, sebagian asam tersebut terurai

(terdisosiasi) membentuk ion hidronium dan basa konjugasinya. Hubungan dengan pembuatan

sediaan injeksi yaitu sediaan harus sesuai dengan pH yang hampir sama dengan pH darah

supaya jika obat di suntikkan dalam tubuh dan tercampur dalam darah maka tidak terjadi nyeri.

Dan efek terapinya tercapai.

b. Kelarutan. Semua sifat fisika atau kimia bahan aktif langsung atau tidak langsung akan

dipengaruhi oleh kelarutan. Dalam larutan ideal, kelarutan bergantung pada suhu lebur.

Hubungan dengan pembuatan sediaan injeksi yaitu sediaan harus larut dalam pembawanya

sehingga ketika sediaan tersebut di suntikkan efek terapinya bisa tercapai dengan cepat.

c. Disolusi. Disolusi merupakan tahap pembatas laju absorbsi suatu obat menuju sirkulasi

sistemik.Uji ini digunakan untuk mengetahui waktu zat aktif mulai dilepaskan untuk

memperoleh kadar yang tinngi dalam darah.

d. Stabilitas. Stabilitas fisika dan kimia dari bahan aktif murni sangat perlu untuk dievaluasi karena

jika terdapat keberadaan pengotor dapat menyebabkan kesimpulan yang salah. Hubungan dengan

pembuatan injeksi karena pada sediaan injeksi keadaan harus steril dan bebas dari keberadaan

pengotor.

Studi praformulasi pada dasarnya berguna untuk menyiapkan dasar yang rasional untuk

pendekatan formulasi, Untuk memaksimalkan kesempatan keberhasilan memformulasi produk


yang dapat diterima oleh pasien dan akhirnya menyiapkan dasar untuk mengoptimalkan produksi

obat dari segi kualitas dan penampilan.

Formulasi

Formulasi suatu produk sediaan injeksi meliputi kombinasi dari satu atau lebih bahan dengan zat

obat untuk menambahkan kenikmatan, kemampuan terima, atau kefektifan produk tersebut. Zat

terapetis suatu senyawa kimia yang mudah mengalami karakteristik reaksi kimia dan fisika dari

golongan senyawa dimana zat tersebut termasuk didalamnya. Oleh karena itu harus dibuat

penilaian hati-hati untuk setiap kombinasi dua bahan atau lebih untuk memastikan apakah terjadi

interaksi merugikan atau tidak dan jika terjadi, cara untuk memodifikasi formulasi sehingga

reaksi dapat dihilangkan atau dikurangi.

Jumlah keterangan yang tersedia untuk pembuat formulasi sehubungan dengan sifat fisika

dan kimia dari suatu zat terapetis, keterangan sehubungan dengan sifat dasar harus diperoleh,

termasuk bobot molekul, kelarutan, kemurnian, sifat koligatif dan reaktifitas kimia. Jadi dalam

formulasi sediaan injeksi dapat dirinci sebagi berikut:

a. Zat Aktif (active ingredients)

b. Zat Pembawa/Pelarut

c. Zat pembawa berair atau zat pembawa tidak berair

d. Zat Tambahan (nonactive ingredients/ excipients)

Macam-macam zat pembantu atau excipients dalam pembuatan sediaan injeksi meliputi

Zat antibakteri, antioksidan, dapar, dan pembantu isotonis. Sebelum mengembangkan formulasi

sediaan farmasi dalam bentuk sediaan injeksi, penting sekali terkumpul data yang meliputi

bahan:
a. Zat aktif

b. Zat tambahan

c. Zat terlarut

Zat terlarut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan pirogen. Hal ini tidak hanya

memerlukan kualitas kimia yang sesuai seperti yang diperoleh, tetapi juga kondisi penyimpanan

yang dirancang untuk mencegah kontaminasi, terutama setelah lama dibuka.

d. Wadah

Bahan utama dari berbagai bahan plastik yang digunakan untuk wadah adalah polimer

termoplastik. Kebanyakan bahan plastik yang digunakan dalam bidang medis mempunyai jumlah

bahan tambahan yang relatif rendah, beberapa mengandung sejumlah pokok plastisator, pengisi,

zat antistatis, antioksidan. Wadah gelas juga biasa digunakan untuk produk yang dapat

disuntikkan, gelas pada dasarnya tersusun dari silikon dioksida tetrahedron, dimodifikasi secra

fisika kimia dengan oksida-oksida seperti oksida natrium, kalium, kalsium, magnesium,

aluminium, boron, besi.

1. Formulasi Umum

R/ Zat Aktif

Antibakteri

Pengisotonis

Antioksidan

Pendapar

a. Zat Aktif
Zat aktif merupakan bahan yang diharapkan memberikan efek terapetik atau efek lain

yang diharapkan. Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk sediaan injeksi bersifat larut air

atau dipilih bentuk garamnya yang larut air.

Data zat aktif yang diperlukan, meliputi :

Kelarutan. Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena

bentuk larutan air paling dipilih pada pembuatan sediaan steril. Data kelarutan ini diperlukan

untuk menentukan bentuk sediaan. Zat aktif yang larut air membentuk sediaan larutan dalam air,

zat aktif yang larut minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Kelarutan obat akan

berpengaruh pada volume injeksi, jika mudah larut maka volume yang diberikan kecil.

Sedangkan zat tidak larut dalam kedua pembawa tersebut dibuat sediaan suspense atau dengan

kosolven. Jika zat aktif tidak larut dalam air ada beberapa alternatif yang dapat diambil sebelum

memutuskan untuk membuat sediaan suspensi atau larutan minyak yaitu dengan mencari bentuk

garam dari zat aktif, melakukan reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya.

pH Stabilita. pH Stabilita adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal,

sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilita dicapai dengan menambahkan

asam encer, basa lemah atau dapar.

2. Stabilitas Zat Aktif

Beberapa faktor yang mempengaruhi penguraian zat aktif adalah

a. Oksigen (Oksidasi). Pada kasus ini, setelah air didihkan maka perlu dialiri gas nitrogen dan

ditambahkan antioksidan.

b. Air (Hidrolisis). Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif : Dibuat pH stabilitanya

dengan penambahan asam basa atau buffer. Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah
daripada air, seperti campuran pelarut air-gliserin-propilenglikol atau pelarut campur lainnya.

Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat disuntikkan.

c. Suhu. Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi tahan panas, seperti filtrasi.

d. Cahaya. Pengaruh cahaya matahari dihindari dari penggunaan wadah berwarna coklat.

e. Tak tersatukannya zat aktif. Dapat ditinjau dari segi kimia, fisika, atau farmakologi.

f. Dosis. Data ini dapat menentukan tonsisitas larutan dan cara pemberian.

g. Rute Pemberian. Rute formulasi yang akan digunakan dapat berpengaruh pada formulasi, dalam

hal : Volume maksimal sediaan yang dapat dibrikan pada rute tersebut. Pemilihan pelarut dapat

disesuaikan dengan rute pemberian. Isotonisitas dri sediaan juga dipengaruhi oleh rute

pemberian. Pada larutan intravena iotonisitas menjadi kurang penting selama pemberian

dilakukan dengan perlahan untuk memberikan waktu pengenceran dan “adjust” oleh darah.

Injeksi intraspinal mutlak harus isotonis.

3. Bahan Pelarut dan Pembawa Obat Suntik

Bahan pembawa injeksi dapat berupa air maupun non air

a. Pelarut dan Pembawa Air untuk Obat Suntik

Sebagian besar produk parenteral menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan

kompabilitas air dengan jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, air

mempunyai konsta dielektrik tinggi sehingga lebih mudah untuk melarutkan elektrolit yang

terionisasi dan ikatan hidrogen yang terjadi akan memfalitasi pelrut dari alkohol, aldehid, keton

dan amin.

Syarat air untuk injeksi menurut USP, yaitu : Harus dibuat segar dan bebas pirogen.

Tidak mengandung lebih dari 10 ppm dari total zat padat. pH antara 5-7. Tidak mengandung ion-

ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium, karbondioksida dan kandungan logm berat serta
meterial organik (tanin, lignnin). Partikel berada pada batas yang diperbolehkan. Jenis pelarut

dan pembawa air yang dapat digunakan untuk obat suntik adalah WFI (Water for Injection)

Pelarut yang paling sering digunakan dalam obat suntik secara besar– besaran adalah air untuk injeksi atau

disebut WFI (Water for Injection). Persyaratan WFI menurut standar BP (2001) dan EP (2002) tidak boleh

mengandung : Total karbonorganik tidak boleh lebih dari 0,5 mg per liter. Klorin tidak boleh lebih dari 0,5 ppm.

Ammonia tidak boleh lebih dari 0,1 ppm. Nitrat tidak noleh lebih dari 0,2 ppm. Logam berat (Cu, Fe, Pb) tidak

boleh lebih dari 0,1 ppm. Oksidator tidak boleh lebih dari 5 ppm. Bebas pirogen. pH 5,0– 7,0.

Penyimpanan air untuk injeksi (WFI) harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada temperature

dibawah atau diatas kisaran temperature ideal mikroba dapat tumbuh. Air untuk obat suntik bertujuan dalam waktu

24 jam sesudah penampungan

Air Pro Injeksi. Aqua bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal,

besi, tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Ck, NO3, SO4, amonium, NO2, CO3. Harus

steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas pirogen. Aqua steril pro injeksi adalah air untuk

injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan

antimikroba atau bahan tambahan lainnya.

Cara pembuatan : didihkan air selama 30 menit dihitung dari setelah air mendidih di atas api lalu

didinginkan.

Air Pro Injeksi Bebas CO2. CO2 mampu menguraikan garam natrium dari senyawa

organik seperti barbiturate dan sulfonamide kembali membentuk asam lemahnya yang

mengendap. Cara pembuatan : mendidihkan air selama 20-30 menit lalu dialiri gas nitrogen

sambil didinginkan.

Air Pro Injeksi Bebas O2. Dibuat untuk melarutkan zat aktif yang mudah teroksidasi,

seperti apomorfin, klorfenoiramin, klorpromazin, ergotamine, metilergotamin, proklorperazin,


promazin, promestatin, HCL, sulfamidin, turbokukarin. Cara pembuatan : mendidihkan air

selama 20-30 menit dan pada saat pendinginannya dialiri gas nitrogen.

Bacteriostatic Water for Injection. Merupakan air steril untuk obat suntik yag mengandungsatu atau

lebih zat antimikroba yang sesuai.

Sodium Chloride Injection. Merupakan larutan steril dan isotonic natrium klorida dalamair untuk obat

suntik. Larutan tidak mengandung zat antimikroba.

Bacteriostatic Sodium Chloride Injection. Merupakan larutan steril dan isotonic natriumklorida dalam

air untuk obat suntik. Larutan mengandung satu atau lebih zatantimikroba yang sesuai dan harus tertera dalam

etiket.

4. Pelarut dan Pembawa Non Air

a. Minyak

Merupakan lemak tidak berba uatau hampir tidak berbau, tidak tengik. Harus memenuhi

persyaratan uji paraffin padat seperti yang tertera pada minyak mineral, tangas pendingin,

dipertahankan suhu 10o C, bilangan penyabunan antara 185-200, bilangan iodium 79-128 seperti

tertera pada lemak dan minyak lemak dan memenuhi persyaratan sebagaiberikut :

Bahan tak tersabunkan : Memenuhi syarat Bahan Tak Tersabunkan seperti tertera dalam

lemak dan minyak lemak.

a) Asam lemak bebas : Tidak lebih dari 2,0 mL NaOH 0,002 N LV diperlukan untuk menetralkan

asam lemak bebas dalam 10 gram minyak lemak.

b) Monogliserida dan gliserida sintetik dari asam lemak : Dapat digunakan jika berupa cairan dan

tetap jernih kalau didinginkan pada suhu 10o C dan bilangan iodium tidak lebih dari 140.

Olea neutralisata ad injectionem. Setiap Farmakope mencantumkan jenis minyak tumbuhan (nabati) yang

berbeda – beda. Minyak kacang (Oleum Arachidis), minyak zaitun (Oleum Olivarum), minyak mendel,
minyak bunga matahari, minyak kedelai, minyak biji kapuk,dan minyak wijen (Oleum Sesami) adalah

beberapa jenis minyak yang digunakan sebagai pembawa injeksi. Minyak harus netral secara fisiologis dan dapat

diterima tubuh dengan baik. Persyaratan untuk tingkat ini adalah tingkat kemurnian yang tinggi dan menunjukkan

bilangan asam dan bilangan peroksida yang rendah. Minyak setelah disterilkan disebut Olea netralisata ad

injectionem.

b. Bukan minyak

Pelarut dan pembawa bukan minyak yaitu : Alcohol, Propylenglycol, Glycerine, dan lain – lain dicampur

air dapat dipakai sebagai pelarut obat suntik, di samping melarutkan, ternyata mempertinggi stabilitasobat dan

larutannya pula.

Pembawa non air digunakan jika :

a) Zat aktif tidak larut dalam air

b) Zat aktif terurai dalam air

c) Diinginkan kerja depo dalam sediaan

Syarat umum pembawa non air

a) Tidak toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan sesitisasi

b) Dapat tersatukan dengan zat aktif

c) Inert secara farmakologi

d) Stabil dalam kondisi dimana sediaan tersebut biasa digunakan

e) Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikkan dengan mudah

f) Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar

g) Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan sterilisasi dengan panas

h) Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh


Jenis pelarut non air dan air yang dapat digunakan sebagai pembawa sediaan injeksi

adalah

a) Pelarut non air yang dapat bercampur dengan air. Pelarut organik yang dapat bercampur dengan

air dapat dijadikan kosolven dalam sediaan injeksi. Bertujuan untuk meningkatkan kelarutan

suatu zat aktif yang kurang larut dalam air serta meningkatkan stbilitas zat tertentu yang mudah

terhidrolisis. Pelarut yang dapat digunakan adalah etanol, propilenglikol dan gliserin. Campuran

pelarut yang dapat menyebabkan iritasi atau peningkatan toksisitas, terutama jika digunakan

dalam konsentrasi tinggi. Larutan yang mengandung etanol dengan konsentrsi tinggi dapat

menimbulkan rasa sakit ketika disuntikkan. Beberapa produk yang dapt diberikan secara

intravena dengan kecepatan injeksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan pengendapan obat di

dalam pembuluh darah.

b) Pelarut air yang tidak dapat bercampur dengan air. Penggunaan pelarut minyak bertujuan untuk

meningkatkan kelarutan zat aktif dan untuk membuat sediaan lepas lambat. Injeki pembawa

minyak hanya diberikan secara intra muskular. Salah satu persyaratan minyak untuk parenteral

adalah harus tetap jernih bila didinginkan sampai 10oC untuk menjamin kestabilan dan

kejernihan selama disimpan di lemari pendingin.

Jenis pembawa non air yang tidak dapat bercampur dengan air dan dapat digunakan

sebagai pembawa sediaan injeksi adalah Minyak lemak. Karena : Campuran ester asam lemak

dan gliserol. Minyak berasal dari tumbuhan, seperti minyak kacang, biji kapas, jagung, wijen,

kenari, jarak dan zaitun. Pada label sediaan harus dicantumkan jenis pembawa minyak yang

digunakan karena pada beberapa orang dapat menimbulkan reaksi alergi.

Minyak mineral tidak dapat digunakan karena tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh.

Minyak yang digunakan harus berbentuk cair pada suhu kamar dan tidak boleh menjadi tengik.
Untuh mencegah ketengikan akibat oksidasi maka dalam formulas dapat ditambahkan

antioksidan seperti : BHA, BHT, tokoferol, propilgalat, dll. Minyak wijen (sesame oil) lebih

banyak digunakan untuk sebagian besar injeksi pembawa minyak, karena merupakan minyak

yang paling stabil dibandingkan minyak tumbuhan lain (kecuali terhadap cahaya) dan

didalamnya sudah mengandung antioksidan alami.

Minyak tumbuhan sering menimbiulkan rasa nyeri sehingga perlu penambahan benzil

alkohol 5% sebagai anastetik lokal. Tidak boleh mengandung minyak mineral atau parrafin cair

(karena tidak dapat dimetabolisme dal tubuh dan dapat menimbulkan rekasi terhadap jaringan

atau tumor). Minyak nabati yang banyak digunakan : Ol. Arachidis (minyak kacang), Ol.

Gossypii, Ol. Sesami (minyak wijen), Ol. Terebinthinae, Ol. Maydis, Ol. Olivarium Netral, Ol.

Amigdalarum.

Isopropil miristat. Ester asam lemak yang mempunyai viskositas rendah. Sebagai

pembawa tunggal atau kombinasi dengan minyak lemak. Digunakan jenis yang bebas peroksida

karena mencegh teroksidasinya bahan berkhasiat dan minyak yang digunakan.

Benzil benzoate. Merupakan cairan berminyak yang tidak berwarna dan bau yang khas.

Biasanya digunakan bersama dengan pembawa lain (sebagai kosolven) misal pada injeksi

dimerkapol dan hidroksiprogesteron.

Etil oleat. Viskositas lebih rendah dan lebih mudah diabsorbsi oleh jaringan dibandingkan

dengan minyak lemak. Sebagai pembawa tunggal atau kosolven dalam injeksi hormon seperti

injeksi dioksikortison asetat, estradiol monobenzoat, progesterondan testosteron propinoat.

5. Zat Tambahan

Zat tambahan pada sediaan steril digunakan untuk :

a) Meningkatkan kelarutan zat aktif


b) Menjaga stabilitas zat aktif

c) Menjaga sterilitas untuk sediaan multiple dose

d) Mempermudah dan menjaga keamanan pemberian

Syarat bahan tambahan :

a) Inert secara farmakologi , fisika, maupunkimia

b) Tidak toksik dalam jumlah yang diberikan

c) Tidak mempengaruhi pemeriksaan obat

a. Pengatur Tonisitas

Isotonis

Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah

sehingga tidak terjadi pertukaran cairan diantara keduanya, maka larutan tersebut dikatakan

isotonis (ekivalen dengan 0,9% NaCl).

Sel darah merah dalam larutan :

Hipotonis : mengembang kemudian pecah, karena air berdifusi ke dalam sel (hemolysis).

Keadaan hipotonis kurang dapat ditoleransi, karena pecahnya sel bersifat irreversible

Hipertonis : kehilangan air dan mengkerut (krenasi), keadaan ini cukup dapat ditoleransi.

Larutan perlu isotonis agar : Mengurangi kerusakan jaringan dan iritasi. Mengurangi

hemolisis sel darah. Mencegah ketidakseimbangan elektrolit. Mengurangi sakit pada daerah

injeksi

Larutan isotonis tidak selalu mungkin karena : Konsentrasi obat tinggi, tetapi batas

volume injeksi kecil. Variasi dosis pemberian. Metode pemberian. Pertimbangan stabilitas

produk

Isoosmotik
Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose serum darah, maka larutan

dikatakan isoosmotik.

Hipotonis

Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serumdarah, sehingga

menyebabkan air akan melintasi membrane sel darah merah yang semi permeabel memperbesar volume sel darah

merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel–

sel darah merah, yang disebut Hemolisa.

Hipertonis

Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah,sehingga menyebabkan

air keluar dari sel darah merah melintasi membranesemipermeabel dan mengakibatkan terjadinya penciutan sel–

sel darah merah, yangdisebut Plasmolisa.

Beberapa cara dapat menjadikan larutan isotonis :

a) Penurunan titik beku

W = (0,52– a) / b

W = jumlah (g) bahan pembantu isotonic dalam 100 ml larutan

a = turunnya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung denganmemperbanyak nilai untuk larutann 1% b/v.

b = turunnya titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan pembantuisotonis.

b) Kesetaraan dengan garam natrium klorida. Ekivalensi natrium klorida memberikan jumlah natrium klorida (g)

yang menghasilkan tekanan osmotic sama seperti 1 gram bahan obat dnegan syarat bahwa baik natrium klorida

maupun bahan obat berada dalam larutan bervolume sama. Maka, 1 gram bahan obat ekuivalen dengan tekanan

osmoticdari x gram natrium klorida. Dengan bantuan ekuivalensi natrium klorida, kitadapat menghitung volume air

yang dibutuhkan untuk membuat larutan bahanobat isotonik.


c) Kesetaraan volume isotonic. Perhitungan didasarkan pada kenyataan bahwa larutan isotonic ditambahlarutan

isotonic hasilnya larutan isotonic.

Rumus : V = w x E x 111,1

V = volume larutan bahan obat isotonic yang dicari (ml)

w = masa bahan obat (g) dan larutan yang dibuat

E = ekuivalensi natrium klorida

111,1 = volume larutan isotonic (ml) yang mengandung 1 gram natriumklorida = 111,1 ml

Perhitungan dengan tetapan Liso

Rumus : Dt f = Liso. C

Berlaku bila tidak ada data pada tabel penurunan titik beku.Tahapan perhitungan : Cari bahan molekul

obat. Berdasarkan struktur kimia senyawa, tentukan tipe isotoniknya. Cari harga Liso dari tabel berdasarkan tipe

isotonic. Hitung dengan rumus Dt f = Liso. C penurunan titik beku.

Hitung selisih penurunan titik beku. Hitung kekurangan tonisitas. Dengan melihat tabel, hitung kekurangan zat

untuk mencapai isotonic.

Cara faktor disosiasi (Farmakope Belanda VI)

Telah ditetapkan bahwa larutan NaCl 0,9% b/v isotonis dengan cairan tubuh. Tekanan

osmosis larutan sebanding dengan jumlah bagian-bagian dalam larutan. Dalam larutan encer,

dapat dikatakan bahwa garam-garam terdisosiasi sempurna.

NaCl Na+ + Cl-

(Fa/Ma)xa

Dari sebuah molekul NaCl terbentuk 2 (dua) ion. Jadi faktor disosiasi NaCl = 2; lebih tepat
sebetulnya 1,8 karena ada sedikit kesetimbangan reaksi. Jadi faktor isotonisnya adalah:
fa = faktor disosiasi zat-zat yang mendekati keadan yang sebenarnya; untuk zat-zat yang

tidak terdisosiasi seperti glukosa dan gliserin = 1 ; untuk asam lemah dan basa lemah = 1,5 dan

untuk asam kuat dan basa kuat =1,8

Ma= bobot molekul zat.

a, b, c,.... dan seterusnya adalah kadar zat dalam larutan dalam satuan g/liter.

Jadi larutan isotonis dapat dihitug dari NaCl 0,9% b/v tersebut, yaitu :

= (f.NaCl/M.NaCl)x kadar NaCl ( dalam satuan gram/liter)

= (1,8/ 58,5)x9 = 0,28 (berarti setiap larutan yang mempunyai faktor isontonis

= 0,28 adalah isotonis).

Dapat kita turunkan rumus sebagai berikut

Rumus :

(fa/Ma)x a + (fb/Mb)x b + (fc/Mc) x c......dst= 0,28

(fa/Ma)x a + (fb/Mb)x b + (fc/Mc) x c......dst= 0,28

(fa/Ma)x a + (fb/Mb)x b + (fc/Mc) x c......dst= 0,28

Untuk menghitung banyaknya zat penambah (h) dalam membuat larutan isotonis dapat
dirumuskan sebagai berikut:

(fa/Ma )x a + (fb/Mb)x b ............dst + (fh/Mh)x h = 0,28.

(fh/Mh)x h ={ 0,28- [(fa/Ma )x a]+[ (fb/Mb)x b]+ ......dst}

h= (Mh/fh)x { 0,28-[(fa/Ma )x a] + [(fb/Mb)x b]+.....dst}

h = (Mh/fh)x { 0,28-[(fa/Ma )x a] + [(fb/Mb)x b]+.....dst}

Rumus :
harga = (Mh/fh)

untuk:

Nacl = 32

Glukosa = 198

Etanol 96% b/v = 43

Na nitrat = 42

Gliserin = 81

b. Pengatur pH (dapar)

Isohidris : kondisi suatu larutan zat yang pH nya sesuai dengan pH fisiologis tubuhsekitar 7,4.

Euhidris : usaha pendekatan larutan suatu zat secara teknis ke arah pH fisiologistubuh dilakukan pada zat

yang tidak stabil pada pH fisiologis seperti garam alkaloid,vitamin C.

Menurut BP :

a) Dalam pembuatan obat suntik, kita perlu menetapkan pH obat suntik.

b) Beberapa obat suntik harus dibuat dalam jarak pH tertentu.

c) Untuk memperoleh pH tertentu, kita menggunakan bantuan dapar.

Fungsi larutan dapar dalam obat suntik adalah :

a) Meningkatkan stabilitas obat, misalnya : injeksi vitamin C dan injeksi luminal.

b) Mengurangi rasa nyeri dan iritasi.

c) Dapat pula menghambat pertumbuhan bakteri (bukan tujuan sebenarnya).

d) Meningkatkan aktivitas fisiologis obat.

Pengaturan pH sediaan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu adjust pH dan pemakaian

dapar.

a. Dapar
Perubahan pH pada penyimpanan dapat disebabkan :

a) Reaksi degradasi produk

b) Interaksi dengan komponen wadah (kaca atau tutup karet)

c) Pelarutan gas dan uap

b. Tujuan Dapar :

a) Meningkatkan stabilitas obat. Ket : pada pH tertentu penguraian obat menjadi minimal, misalnya

pada zat aktif berikut : antibiotic (penisilin, tetrasiklin), basasintetis (adrenalin), polipeptida)

(insulin, oksitocin, vasoprein), alkaloida (senyawa ergot), vitamin (B12, vit C).

b) Mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis, saat penggunaannya. Ket : penambahan larutan dapar

dalam larutan ini hanya dilakukan untuk larutan obat suntik dengan pH 5,5 – 7,5. Untuk pH <3

atau> I sebaiknya tidak didapar karena sulit dinetralisasi. Peringatan ini ditujukan terutama untuk

injeksi i.m. dan s.c.

c) Menghambat pertumbuhan mikrooganisme. Ket : bukan tujuan dapar yang sebenarnya, tetapi

larutan dalam suasana sangat asam atau sangat basa dapat digunakan untuk mencapai maksut-

maksut tersebut, misalnya injeksi insulin yang pHnya diatur antara 3 -3,5 tidak membutuhkan

penambahan antimikroba.

d) Meningkatkan aktifitas fisiologi sobat. Ket : sebagai contoh dapat diketengahkan misalnya

campuran kering dan steril dapar pH basa dengan zat aktif atau obat yang sifatnya asam (prokain

adrenalin). Campuran kering tersebut baru dilarutkan dalam air pro injeksi secara aseptis sesaat

sebelum digunakan. Jadi tampak bahwa peningkatan bahwa peningkatan pH dilakukan sampai

batas waktu tertentu dimana zat aktif masih stabil dengan aktifitas fisiologis yang maksimal.

pH ideal sediaan adalah 7,4 yang sesuai dengan pH darah, tetapi hal tersebut tidak selalu

dapat dilakukan karena sediaan harus dibuat pada pH yang mendukung stabilitas dari sediaan
(disesuaikan dengan pH stabilitas zat aktif bukan pH larutan). Dapar yang ideal memiliki

kapasitas dapar yang cukup untuk menjaga pH sediaan selama penyimpanan, namun

memungkinkan cairan tubuh beradaptasi dengan mudah. Rentang pH yang tidak dapat ditolernsi

oleh tubuh:

pH > 9 menyebabkan kematian jaringan

pH < 3 sanagat menyakitkan dan menyebabkan flebitis

Untuk sediaan parenteral volume kecil (<100mL), dapar dapat dibuat bila pH stabilitas

sediaan berada di dalam range :

a) IV (SVP) = pH 3 – 10,5

b) Rute lain = pH 4 – 9

c. Cara penentuan pH:

a) Memakai indicator ketasatau indicator larutan universal baik secara langsung maupun

kolorimetri

b) Potensiometri, digunakan untuk larutan berwarna

c) Dengan perhitungan

d. Contoh dapar :

a) Dapar fosfat, dapar sitrat, asam asetat / garam pH 3,5 – 5, 7; asam sitrat / garam pH 2,5 – 6;

asam glutamate pH 8,2 – 10,2.

6. Pengawet

a. Pengawet yang ideal :

a) Mempunyai aktivitas antimikroba yang tinggi dan spektrumnya luas, bekerja pada temperatur

dan pH yang luas

b) Mempunyai stabilitas yang tinggi pada range temperature dan pH yang digunakan
c) Tidak toksik pada konsentrasi yang digunakan

d) Tersatukan dengan komponen lain dalam sediaan

e) Cepat larut pada konsentrasi yang digunakan

f) Bebas dari bau, rasa, warna

g) Tidak menyebabkan keracunan, karsiogenik, iritan, dan menyebabkan sensitisasi pada

konsentrasi yang digunakan.

b. Stabilisasi

USP mengijinkan penambahan zat– zat yang sesuai ke dalam sediaan yang resmidigunakan sebagai obat

suntik. Tujuannya adalah meningkatkan kestabilan asal sesuiadengan monografi masing – masing, tidak berbahaya

dalam jumlah yang diberikan, dantidak mengganggu efek terapi sediaan. Senyawa – senyawa penambah

kebanyakan adalah pengawet antimikroba, dapar, penambah kelarutan, antioksidan, dan zat – zat pembantu

farmasi lainnya. Zat pewarna dilarang keras diberikan dalam sediaanparenteral.

Agar sediaan obat injeksi tetap stabil, maka kita perlu memperhatikan hal – hal berikut :

a) Untuk mencegah reaksi oksidasi, kita hendaknya mengupayakan agar obat tidak kontak dengan oksigen.

b) Bila oksidasi dikatalisis oleh logam berat, maka penawarnya dilakukan reaksikomplekson dengan penambahan

garam dinatrium EDTA.

c) Bila ada rangsangan akibat cahaya terhadap proses oksidasi, maka pembuatan dan penyimpanan larutan injeksi

sebaiknya terlindung dari cahaya.

d) Bila bahan obat tidak dapat disterilisasi dengan panas, maka tersedia penyaring bebaskuman.

e) Bila bahan obat rusak karena hidrolisis, maka lebih baik kita meraciknya dalamampul kering.

f) Untuk menghindari kontaminasi bakteri ke dalam preparat injeksi, kita memerlukanpenambahan bahan pengawet.

7. Volume Obat Suntik


Volume yang disiapkan untuk obat suntik tergantung pada kelarutan zat aktif,tetapi juga dipengaruhi oleh

cara pemberian. Larutan jejak presipitation dari thiocrom atau chloroflafin terjadidengan benzilpenicillin kompatibel

dengan suntikan dekstrosa atau addictive containingmetabisulfit.

a. Contoh Formulasi Sediaan Injeksi

R/ Thiamin HCl 100 mg

Bahan tambahan yang cocok qs

Aqua Pro Injection ad 2 ml

b. Perhitungan :

Isotonis. Dengan metode Liso

BM Thiamin Hcl = 337,27

Liso Thiamin Hcl = 3,4

Berat Thiamin = 0,1

∆tf = Liso x m/BM x 1000/V

∆tf = 3,4 x 0,1/337,27 x 1000/2

∆tf = 3,4 x 0,00029 x 500 = 0,493 ( masuk rentang isotonis ) Tidak perlu penambahan NaCl

Isotonis. Dengan metode ekivalensi NaCl

Gram Thiamin Hcl = 0,1 gram

Dari tabel diketahui 0,25 gram NaCl setara dengan 1 gram Thiamin Hcl, jadi jumlah NaCl untuk 0,1 gram

adalah 0,1 x 0,25 = 0,025

Larutan 2 ml memerlukan NaCl = 0,9 % x 2 ml = 0,018 gram

Kekurangan NaCl yang diperlukan adalah = 0,025 – 0,018 gram = 0,007 gram

Untuk 10 ml larutan injeksi Thiamin Hcl diperlukan NaCl sebanyak 0,035 gram. Karena jumlahnya

terlalu kecil maka diabaikan ketika pengerjaan.


Perhitungan dapar

Untuk mendapatkan pH 7,4 dibutuhkan 90,9 ml Natrium Fosfat 0,2 M

Diketahui :

Molaritas Natrium Fosfat = 0,2 M

BM Natrium Fosfat = 358, 14

Volume = 90,9 ml

Ditanya :

Bobot Natrium Fosfat?

Jawab :

Gram = 0,2 x 358,14 x 0,0909

Gram = 6,51 gram

Dalam 90,9 ml Natrium Fosfat 0,2 M terdapat 6,51 gram Natrium Fosfat. Maka dalam 10 ml larutan

dibutuhkan 0,715 gram Natrium Fosfat.

Untuk mendapatkan pH 7,4 dibutuhkan 9,1 ml Asam Sitrat 0,1 M

Diketahui :

Molaritas Asam Sitrat = 0,1 M

BM Asam Sitrat = 210,14

Volume Asam Sitrat = 9,1 ml

Ditanya :

Bobot Asam Sitrat?

Jawab :

Bobot asam sitrat = M x BM x volume

= 0,1 x 210,14 x 0,0091 L


= 0,19 gram

Dalam 9,1 ml Asam Sitrat 0,1 M terdapat 0,19 gram Asam Sitrat. Maka dalam 10 ml larutan dibutuhkan

0,208 gram Asam Sitrat.


Daftar Pustaka

1. Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press

2. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

3. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

4. Pharmacopee Ned edisi V

5. Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan

6. Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press

7. Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press

8. Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta

9. Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta : Soeroengan

10. Anonim. Farmakope Herbal

11. Departement of pharmaceutical Science. 1982. Martindale the Extra Pharmacoeia 28th edition.

London: The Pharmaceutical Press.

12. Badan Pengaeas Obat dan Makanan. ISFI. 2006. ISO Indonesia, volume IV. Jakarta: PT. Anem

Kosong Anem (AKA).

13. Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional, Ed II. Jakarta.

14. Wade, Ainley and Paul J Weller.Handbook of Pharmaceutical excipients.Ed II.1994.London;

The Pharmaceutical Press.

15. Hardjasaputra, S. L. Purwanto, Dr. dkk. 2002. Data Obat di Indonesia (DOI), edisi 10.
Jakarta: Grafidian medi press.

Anda mungkin juga menyukai