Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN PENGADAAN TANAH

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pengadaan Tanah berarti kegiatan

menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak

yang benar. Objek Pengadaan Tanah adalah Tanah, Ruang atas Tanah dan Bawah Tanah,

Bangunan, Tanaman, Benda yang berkaitan dengn tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.1

Berdasarkan kepentingannya Pengadaan Tanah terbagi 2, yaitu:

1. Kepentingan Umum

Tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan:

a. Pertahanan dan keamanan nasional

b. Jalan umum, jalan tol, terowongan

c. Waduk, irigasi, saluran air minum

d. Pelabuhan, bandar udara dan lain-lain

2. Kepentingan Swasta

Dasar Hukum yang digunakan yaitu:

a. Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 21 Tahun 1994

tentang Tata Cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan dalam rangka

Penanaman Modal

 Perolehan Tanah melalui Pemindahan Hak atas Tanah, yaitu:

- Perolehan Tanah asal Hak Milik

- Perolehan Tanah asal Hak Guna Bangunan

- Perolehan Tanah asal Hak Guna Usaha

1
Leks&Co. (2015, 2 November). Pengadaan Tanah. Diakses 20 Oktober 2018, dari
https://www.slideshare.net/mobile/leksnco/pengadaan-tanah-54637331
- Perolehan Tanah asal Hak Pakai

 Perolehan Tanah melalui Penyerahan atau Pelepasan Hak atas Tanah,

yaitu penyerahan atau pelepasan hak atas tanah untuk keperluan

perusahaan dalam rangka pelaksanaan Izin Lokasi dilakukan oleh

pemegang hak atau kuasanya dengan pernyataan penyerahan atau

pelepasan hak atas tanah yang dibuat di hadapan Kepala Kantor

Pertanahan setempat.

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-

ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan

perusahaan.2

2
Leks&Co. (2015, 2 November). Pengadaan Tanah. Diakses 20 Oktober 2018, dari
https://www.slideshare.net/mobile/leksnco/pengadaan-tanah-54637331
POKOK-POKOK KEBIJAKAN PENGADAAN TANAH

Kebijakan pemerintah terhadap pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang

berkaitan dengan pengadaan tanah demi kepentingan umum.3 Dalam artian bahwa tanah

yang telah diambil dari warga masyarakat peruntukannya benar-benar untuk kepentingan

pembangunan. Sebab esensi yang terkandung di dalamnya adalah masyrakat telah

melepaskan haknya tersebut sehingga tidak ada lagi hubungan hukum dengan pemiliknya.

Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/93 dinyatakan

bahwa:

“Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh

Pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh

pemerintah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang

disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

Beranjak dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan (3) di atas, untuk menentukan penetapan

pengadaan tanah bagi kepentingan umum, harus diselaraskan dengan perencanaan tata

ruang daerah yang bersangkutan. Ini dimaksudkan agar jangan sampai tanah masyarakat

yang telah diambil untuk pembangunan ternyata tidak sesuai dengan perencanaan dan

pengembangan kota, sehingga merugikan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dipertegas

dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Keppres No. 55/93 dinyatakan bahwa:

“Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila

penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dengan dan

3
Supriadi, S.H., M.Hum. 2016. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 75
berdasar pada Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Bagi

daerah yang belum menetapkan Tata Ruang, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan

perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada.”

Mencermati dengan seksama ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) di atas, ternyata

memberikan kesempatan bagi daerah yang belum mempunyai Rencana Tata Ruang, untuk

mempergunakan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada sebelumnya. Ini

berarti bahwa tidak terjadi kekacauan dalam menentukan pengadaan tanah bagi kepentingan

umum tersebut.

Perbedaan yang sangat mencolok antara Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 dengan

Keppres Nomor 55 Tahun 1993 terletak pada penetapan bidang pembangunan yang

termasuk dalam kategori kepentingan umum. Pada Keppres Nomor 55 Tahun 1993 diatur

secara gamblang mengenai jenis-jenis pembangunan yang dikategorikan kepentingan

umum, sedangkan Kepmendagri Nomor 15 Tahun 1975 tidak diatur secara jelas.4

Dalam Pasal 5 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 diatur mengenai kegiatan

pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan

untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain:

a. Jalan umum dan saluran pembuangan air;

b. Waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;

c. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat;

d. Pelabuhan, bandar udara atau terminal;

e. Peribadatan;

f. Pendidikan atau sekolah;

g. Pasar umum atau pasar inpres;

4
Supriadi, S.H., M.Hum. 2016. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 76
h. Fasilitas pemakaman umum;

i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya

banjir, lahar, dan bencana lain-lain;

j. Pos dan telekomunikasi;

k. Sarana olahraga;

l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;

m. Kantor pemerintah;

n. Fasilitas Angkatan Bersenjata (dan Polisi Negara Indonesia).

Penentuan mengenai jenis bidang pembangunan yang termasuk dalam kepentingan

umum tersebut tetap ditentukan dalam keputusan Presiden Republik Indonesia. Hal ini

menandakan bahwa penentuan pembangunan yang masuk dalam kategori tersebut, bukan

sembarang ditentukan tetapi harus melalui suatu proses yang nantinya Presiden sendirilah

yang menentukan kategori tersebut.5

5
Supriadi, S.H, M.Hum. 2016. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 77

Anda mungkin juga menyukai