Anda di halaman 1dari 7

Manajemen Konservasi Sumber Daya Air Terpadu: Pra-syarat Ketahanan Pangan1

Chay Asdak, Ph.D.


Koordinator Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran
Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung 40132
Tel/Fax: 022-7271455; e-mail: casdak@unpad.ac.id

Pendahuluan
Pengelolaan sumber daya air terpadu (Integrated Water Resource Management, IWRM) telah
cukup lama didiskusikan dan juga diimplementasikan di Indonesia. Meskipun banyak
penafsiran yang berbeda, umumnya makna IWRM mengacu pada definisi yang digunakan The
Global Water Partnership (GWP, 2000), yaitu “proses yang mendorong terciptanya
pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, lahan, dan sumber daya lainnya yang terkait
secara terkoordinasi sehingga upaya optimalisasi keuntungan ekonomi dan kesejahteraan sosial
dapat dicapai secara berkeadilan tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem”. Saat ini,
dengan mengemukanya isu ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah, maka selain
IWRM, perhatian juga diarahkan pada aspek konservasi sumber daya air terpadu (Integrated
Water Conservation Management, IWCM). Hal ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa
ketersediaan air untuk konsumsi vegetasi (pertanian, pangan), atau juga dikenal sebagai green
water, berkurang cukup drastis akibat terganggunya daerah resapan, utamanya di hulu daerah
aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, agar ketahanan pangan dapat diwujudkan, maka
prasyaratnya adalah mengupayakan ketahanan air melalui peningkatan ketersediaan green
water. Dalam hal ini, prinsipnya adalah menampung sebanyak dan selama mungkin air hujan
di daerah tangkapan air (catchment area), melalui upaya-upaya konservasi sumber daya air.
Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan IWCM.

Dengan diberlakukannya UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, upaya
konservasi sumber daya air, sebagai satu kesatuan dari upaya konservasi tanah dan air,
memperoleh perhatian lebih besar. Selain itu, mempertimbangkan meningkatnya jumlah DAS
kritis, yaitu dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 39 DAS (1992), kemudian meningkat
berturut-turut menjadi 62 DAS (2005), 68 DAS (2012), dan 108 DAS kritis (2014), maka
implementasi IWCM juga menjadi prioritas (Bappenas, 2015). Pentingnya implementasi
IWCM juga sesuai dengan arah tekanan pembangunan pemerintah pada lima tahun ke depan
yang lebih mengedepankan kebijakan ketahanan pangan yang mempersyaratkan terwujudnya
ketahanan air sebagai basis pembangunan pangan mandiri (self-sufficient in food security).
Tingginya laju erosi dan sedimentasi pada sungai-sungai utama juga perlu upaya pengendalian
karena apabila tidak dilakukan, akan mengancam investasi infrastruktur sumber daya air,
utamanya waduk, yang telah menghabiskan dana sangat besar. Itulah alasan strategis mengapa
diperlukan kebijakan nasional IWCM. Selama ini, pengelolaan sumber daya air dilakukan
secara sektoral, misalnya tidak sinkronnya pengelolaan sumber daya air di hulu dan hilir DAS
dan terjadinya tumpang-tindih kebijakan konservasi air antar kementerian. Oleh karena itu,

1
Makalah untuk “Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup” diselenggarakan
oleh Program Magister dan Doktor Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang,
20 Agustus 2015.
untuk menjembatani kesenjangan kerja sektoral tersebut perlu dirumuskan kebijakan nasional
konservasi sumber daya air terpadu. Makalah berupaya merumuskan substansi kebijakan
nasional IWCM. Secara lebih spesifik, rumusan IWCM tersebut diharapkan menjadi substansi
peraturan pelaksanaan UU No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.

Pendekatan Kajian
Ruang lingkup kajian penyusunan rekomendasi nasional IWCM adalah peraturan, program dan
kegiatan yang diimplementasikan di daerah tangkapan air (catchment area) daerah aliran
sungai (DAS). Sedangkan fokus kajiannya adalah program dan kegiatan konservasi sumber
daya air yang dilaksanakan di hulu DAS dengan pertimbangan bahwa hulu DAS memiliki
karakteristik curah hujan tinggi, kemiringan lereng sebagian besar curam, dan kerapatan
drainase juga tinggi. Dengan karakteristik biofisik seperti ini, daerah hulu DAS umumnya
memiliki potensi kerentanan terhadap gangguan lingkungan hidup, misalnya tanah longsor,
laju aliran limpasan permukaan (run-off), dan erosi cukup tinggi. Namun demikian, daerah
tersebut juga merupakan daerah resapan air tanah. Proses penjaringan saran dan masukan
perumusan kebijakan nasional konservasi sumber daya air dilakukan melalui studi literatur,
focused group discussion (FGD) yang melibatkan para pemangku kepentingan di 5 wilayah
regional, yaitu Yogyakarta, Medan, Nusa Tenggara Barat, Makassar, dan Banjarmasin serta
FGD di Jakarta untuk pemangku kepentingan tingkat nasional. Keseluruhan kajian di
dilaksanakan dari bulan Oktober 2014 hingga Maret 2015.

Permasalahan dalam Pengelolaan DAS


Permasalahan pengelolaan DAS, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait dengan
isu-isu sumber daya air, utamanya gangguan terhadap kualitas dan pasokan air bersih. Selain
permasalahan yang terkait dengan sumber daya air, pengelolaan DAS saat ini juga dihadapkan
pada isu-isu meningkatnya kesenjangan ekonomi masyarakat dan semakin seringnya konflik
terkait dengan akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Persoalan-persoalan tersebut,
pada banyak kasus, bersumber pada hal-hal non-teknis sebagai berikut (Hardy dan Koontz,
2010; Asdak, 2009; Bressers dan Kuks, 2004):

1. Belum memadainya pelaksanaan pengelolaan DAS dalam konteks konservasi sumber


daya air karena setiap sektor atau instansi melakukan tupoksinya tidak dalam kerangka
kerja keterpaduan, sehingga proses partisipatif dalam pengelolaan DAS belum
sepenuhnya berjalan;
2. Belum tersedianya mekanisme penyelesaian konflik terhadap aktivitas pemanfaatan
sumber daya air yang menimbulkan dampak lintas sektor dan lintas wilayah;
3. Tumpang tindih kepentingan dan benturan wewenang antara pemerintah pusat dan
provinsi, serta kabupaten/kota yang disebabkan oleh belum jelasnya kewenangan
pengelolaan sumber daya air dalam suatu DAS;
4. Kebijakan nasional yang berhubungan dengan konservasi sumber daya air belum
teritegrasi ke dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan di daerah sehingga
sulit untuk bersinergi dalam implementasinya; dan
5. Pendekatan terintegrasi belum sepenuhnya terwujud karena terkendala oleh persoalan-
persoalan: a) kepentingan pertumbuhan ekonomi (eksploitasi sumberdaya) versus nilai
konservasi sumber daya, b) kepentingan bersama para pihak versus kepentingan pihak-

2
pihak tertentu atau sektoral, dan c) belum ada lembaga penyinergi untuk menjalankan
program konservasi sumber daya air terpadu lintas sektor dan lintas wilayah.

Selain persoalan-persoalan tersebut di atas, hal lain yang harus menjadi pertimbangan dalam
pengelolaan DAS adalah kesadaran bahwa setiap lembaga yang terlibat dalam pengelolaan
DAS tidak pernah cukup apabila hanya bertumpu pada tugas pokok dan fungsi yang
diembannya. Hal ini mempertimbangkan bahwa pengelolaan DAS bersifat lintas sektor dan
lintas wilayah sehingga pola pengelolaan yang sebelumnya cukup dengan pendekatan parsial
dalam pengelolaan DAS tidak memadai lagi untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, kerja
sinergis antar lembaga menjadi kunci keberhasilan.

Blue and Green Water


Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air untuk ketahanan air
(dan ketahanan pangan), ditentukan oleh empat faktor, yaitu a) kerjasama secara terkoordinir
antar sektor dan antar wilayah, b) sumber pendanaan, c) stabilitas dan komitmen politik, dan d)
tata kelola pemerintahan yang baik. Pertama, kerjasama sinergis antar pemerintah daerah dan
antar sektor adalah untuk mendiskusikan dan berkoordinasi terkait dengan program-program
yang diprioritaskan oleh masing-masing pemerintah daerah/sektor. Urgensi diskusi adalah
berkoordinasi dan membuat kesepakatan terkait trade-off berbagai kepentingan yang menjadi
prioritas masing-masing pemerintah daerah/sektor. Hal ini seringkali menjadi bagian penting
ketika banyak pihak dengan kepentingan berbeda membahas suatu isu pengelolaan sumber
daya yang sama, sehingga kepentingan yang berbeda dapat dicarikan jalan keluarnya. Kedua,
hal penting yang seringkali menjadi kendala keberhasilan program konservasi adalah
pendanaan karena selama ini program konservasi, termasuk konservasi sumber daya air, masih
dipandang sebagai cost center. Oleh karena itu, penggalangan sumber pendanaan program
konservasi sumber daya air harus dilakukan secara kreatif dan inovatif, utamanya yang berasal
dari dana publik, termasuk investasi dari sektor swasta serta sistem pendanaan mikro (micro-
finance).

Faktor ketiga yang harus memperoleh perhatian dalam upaya mewujudkan ketahanan air
adalah stabilitas politik. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di negara berkembang,
stabilitas politik belum sepenuhnya mantab, kemungkinan karena sedang dalam proses menuju
kematangan menjadi negara demokratis. Oleh karena itu, agar program ketahanan air untuk
mewujudkan ketahanan pangan dapat berjalan sesuai harapan, maka sedapat mungkin
efek/dampak negatif akibat konflik kepentingan, termasuk merosotnya kualitas dan kuantitas
air dapat diminimalkan. Untuk menghindari konflik kepentingan, diperlukan kompromi antar
pemangku kepentingan, misalnya dalam hal pembangunan infrastruktur air, tata kelola sumber
daya air, dan sistem sosial-ekonomi dan politik. Sementara faktor penentu ketahanan air
keempat adalah tata kelola (governance) pengelolaan sumber daya air yang memadai,
kelembagaan dan infrastruktur serta tersedianya kapasitas sumber daya manusia yang
memadai. Tata kelola yang baik merefleksikan kerjasama sinergis antara masyarakat, swasta,
dan pemerintah. Kerjasama sinergis ini, utamanya diarahkan untuk mencapai kepentingan
bersama meskipun berangkat dari masing-masing kepentingan yang berbeda. Kepentingan
bersama dalam hal ini adalah terwujudnya ketahanan air. Tidak ada satu pemangku
kepentinganpun yang tidak memiliki kepedulian terhadap ketahanan air karena air adalah
kebutuhan dasar. Dengan asumsi ini, maka seharusnya menjadi lebih mudah untuk

3
menjustifikasi bahwa konservasi sumber daya air adalah upaya untuk menyediakan kebutuhan
dasar tersebut. Dengan kata lain, ia merupakan kepentingan bersama, sehingga memerlukan
tata kelola yang baik. Untuk itu, syaratnya adalah masing-masing pemangku kepentingan harus
menyadari tentang hak dan kuajiban dalam kerjasama tersebut di atas. Hal ini akan mendukung
dan memudahkan tercapainya penyelesaian konflik bila terjadi, karena partisipasi yang
terbangun adalah berbasis pada perwakilan yang representatif.

Ketahanan air juga dapat ditinjau dari perspektif green water dan blue water. Konsep green
and blue water diartikulasikan oleh Malin Falkenmark (2008) pada seminar organisasi pangan
dunia (FAO) tahun 1993. Konsep ini menekankan pentingnya pendekatan terintegrasi lahan
dan air dalam upaya mewujudkan kecukupan/ketahanan pangan dunia. Konsep green water
mengacu pada bagian curah hujan yang dikonsumsi oleh vegetasi dalam proses produksinya
melalui proses evapotranspirasi. Artinya, green water adalah air yang diperlukan vegetasi
untuk menghasilkan produk (pertanian, hutan, perkebunan) termasuk alokasi air irigasi untuk
pertanian (sawah), meskipun tidak seluruh air irigasi tersebut terevaporasikan oleh tanaman
pertanian tersebut. Sisa air yang tidak digunakan oleh tanaman pertanian dan kembali menjadi
air permukaan dan/atau air tanah masuk dalam kategori blue water. Blue water adalah bagian
air hujan yang tidak dimanfaatkan dalam proses produksi vegetasi dan tersedia dalam bentuk
air sungai, waduk/danau, dan air tanah (yang tidak dimanfaatkan oleh vegetasi). Blue water
umumnya dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik, industri, dan kebutuhan non-vegetatif
lainnya.

Dengan pemahaman tentang konsep green dan blue water tersebut di atas, perubahan lanskap
karena perubahan penggunaan lahan atau sebab lainnya akan membawa konsekuensi pada
keseimbangan green dan blue water. Gangguan keseimbangan air ini dapat menjadi kendala
serius terhadap ketahanan air, dan dengan demikain, juga gangguan terhadap pencapaian target
ketahanan pangan. Saat ini, untuk kebanyakan negara tropis Asia, besarnya angka green water
sekitar 65%, sedangkan sisanya 35% masuk dalam kategori blue water (Falkenmark, 2008).
Untuk ketahanan pangan jangka panjang, seharusnya persediaan blue water ditingkatkan
sehingga mampu menyediakan air untuk pengembangan pertanian (cadangan air irigasi).
Namun demikian, peningkatan jumlah blue water harus dapat dikendalikan karena apabila
tidak terkendali berpotensi meningkatkan daya rusak air (banjir dan tanah longsor). Angka
keseimbangan 55% untuk green water dan 45% untuk blue water diharapkan menjadi angka
keseimbangan yang cukup memadai untuk ketahanan pangan dan pengendalian daya rusak air.
Oleh karena itu, kebijakan konservasi sumber daya air diharapkan mampu mewujudkan
keseimbangan air tersebut di atas. Untuk itu, implementasi IWCM di tingkat DAS perlu
meningkatkan koordinasi dan integrasi antar wilayah dan antar sektor yang lebih baik. Selain
itu, diperlukan identifikasi kondisi dan permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air
dapat dijadikan landasan dalam menentukan indikator kunci terkait ketahanan air. Sebaliknya,
status kondisi ketahanan air yang telah diukur dapat dijadikan pertimbangan pemilihan strategi
dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan berkelanjutan.

Dengan menggunakan pendekatan keseimbangan antara green dan blue water tersebut di atas,
agar tumpang-tindih program-program konservasi sumber daya air dapat dikendalikan, maka
implementasi IWCM seharusnya didasarkan pada pembagian kategori green dan blue water.
Untuk kategori green water, kebijakan nasional IWCM yang menjadi tanggung-jawab

4
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), termasuk jajarannya di daerah, adalah
kegiatan penghijauan dan reboisasi, pengembangan hutan rakyat/adat, agroforestry, dan
pembuatan dam penahan (check dam). Sedangkan Kementerian Pertanian dan jajarannya di
daerah diharapkan mengembangkan kebijakan nasional IWCM yang relevan dengan
pengelolaan sistem pertanian yang telah mempertimbangkan kaidah-kaidah konservasi tanah
dan air termasuk pengembangan perkebunan yang lebih efisien dalam pemanfaatan air. Untuk
kategori blue water, kebijakan nasional IWCM yang menjadi tanggung-jawab Kementerian
Pekerjaan Umum utamanya adalah pembangunan waduk, embung, dan perbaikan sungai dan
saluran-saluran irigasi. Untuk peningkatan cadangan air tanah, khususnya melalui injeksi air
tanah, tanggung-jawabnya dibebankan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan/atau
Kementerian ESDM.

Kearifan lokal (local best practices)


Hasil FGD menunjukkan adanya kearifan lokal dalam hal konservasi sumber daya air yang
masih dipraktekkan hingga saat ini. Kearifan lokal ini agar dilakukan revitalisasi dan
diupayakan menjadi bagian dari kebijakan dan program konservasi sumber daya air di daerah.
Berikut ini adalah beberapa kearifan lokal relevan dengan upaya konservasi sumber daya air.

 Sulawesi Tenggara: kearifan lokal Mondau (Kabupaten Konawe) dalam bentuk


pertanian multi-kultur, efektif dalam mengendalikan run-off dan erosi. Kearifan lokal
lainnya di Kabupaten Wakatobi adalah Kaindea, yaitu upaya lokal perlindungan mata
air (pemanfaatan hasil hutan non-kayu). Bentuk kearifan lokal lainnya Motika, yaitu
hutan diperuntukkan terbatas untuk bangunan rumah dan tidak dijual secara komersial.
 Yogyakarta: kearifan lokal Wono Deso (hutan desa), dan Telogo Deso (embung/kolam
retensi). Keduanya merupakan upaya konservasi air. Kebutuhan lahan untuk dua model
konservasi sumber daya air tersebut, berasal dari dana corporate social responsibility
(CSR), tanah desa/bengkok, dan tanah lain yang dikuasai Pemda/Pemdes.
 Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara: Kearifan lokal Lubuk Larangan menempatkan
sungai sebagai sumber daya yang dimiliki secara komunal. Warga desa bersepakat
menjaga keutuhan catchment area sehingga laju erosi dan sedimentasi air sungai dapat
diminimalkan. Pelanggaran terhadap aturan yang disepakati dikenakan sanksi.
 Kab. Lombok Tengah (NTB): Kearifan lokal Bekerase dalam bentuk pembuatan
embung untuk budidaya ikan, pertanian, dan peternakan. Untuk menjaga kuantitas dan
kualitas embung, warga desa (suku Sasak) menjaga keutuhan daerah tangkapan air
embung dan memanfaatkan embung sebagai kolam retensi air.
 Sulawesi Selatan: Kearifan lokal di Tana Toraja dikenal Ma’pesung: setiap sumber
mata air menjadi tempat peribadatan sehingga areal dan lanskap di sekitar sumber mata
air harus dijaga keberadaannya. Kearifan lokal lainnya Romang Karamaka: mata air,
hutan/saukang tidak boleh dieksploitasi karena mengganggu sumber/mata air.
 Kalimantan Selatan: Kearifan ekologi Dayak Meratus dalam bentuk pelarangan
peladangan berpindah dan penebangan pohon di pegunungan, misalnya di desa
Angkipih dan desa Peramasan Kabupaten Banjar. Aturan lokal tersebut dilandasi
pemahaman bahwa kerusakan yang terjadi di gunung tersebut akan mengganggu
sumber daya air.

5
Kelembagaan
Upaya konservasi sumber daya air memiliki posisi strategis dalam mewujudkan ketahanan air.
Mengingat konservasi sumber daya air berdimensi kompleks dan lintas wilayah administrasi
pemerintahan, maka kebersamaan merupakan suatu keniscayaan. Penanganan secara bersama
dan konsisten serta komprehensif terhadap permasalahan konservasi sumber daya air harus
diupayakan menjadi tekad bersama. Mengisi “ruang kosong” yang menjadi hambatan besar
dalam melakukan pengelolaan konservasi sumber daya air berkelanjutan, merupakan tugas
bersama yang menuntut kebersamaan langkah. Untuk upaya bersama tersebut, kebijakan
konservasi sumber daya air harus mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut:

1. Implementasi kebijakan dan program konservasi sumber daya air harus fokus pada lokus,
dengan target capaian yang dipantau bersama-sama (pemerintah dan non-pemerintah)
untuk meyakinkan efektivitas pelaksanaan program di lapangan.
2. Membangun sistem pengambilan keputusan yang lebih baik agar konservasi sumber daya
air dapat dikelola secara terpadu, komprehensif dan terintegrasi dengan perencanaan,
penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan daerah.
3. Mengembangkan mekanisme keterpaduan yang kuat, mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pemantauan dan evaluasi secara terpadu dan
komprehensif.
4. Peningkatan peran pemerintah daerah dan non-pemerintah dalam memadukan konservasi
sumber daya air ke dalam proses pembangunan di daerah untuk mencapai tujuan secara
efektif.
5. Mengembangkan kelembagaan untuk mengadopsi kebijakan IWCM dengan mekanisme
keterpaduan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat.
6. Melakukan koordinasi dan mensinergikan kebijakan dan program IWCM serta
meyakinkan efektivitas implementasinya di semua tingkatan pemerintah (pusat dan
daerah).
7. Untuk efektivitas keseluruhan upaya kebijakan dan program IWCM tersebut di atas, perlu
dibentuk sekretariat bersama IWCM pada tingkat pusat dan daerah.

Penutup
Keberhasilan implementasi IWCM di daerah ditentukan, salah satunya, oleh kesepakatan-
kesepakatan lokal. Untuk mempertahankan dan memperluas kesepakatan-kesepakatan lokal
tersebut, maka pemerintah perlu menciptakan insentif yang atraktif bagi petani yang masih
melaksanakan kesepakatan lokal, misalnya menciptakan pasar bagi produk hasil
pertanian/hutan yang diperoleh sesuai dengan kesepakatan komunitas/adat setempat. Inisiatif-
inisiatif lokal sebagai upaya konservasi sumber daya air tersebut di atas dapat diusulkan
menjadi Perda, termasuk Perda tentang Pengelolaan DAS, tentang siapa melakukan apa
termasuk insentif dan kompensasi yang dibutuhkan. Keberhasilan konservasi sumber daya air
juga ditentukan oleh kearifan lokal. Oleh karena itu, kearifan lokal konservasi sumber daya air
tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan program konservasi air. Dalam hal
ini, pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat (yang memiliki kearifan lokal) harus jelas
dan sungguh-sungguh (misalnya dikukuhkan melalui Perda), utamanya terkait dengan
pengelolaan hutan lindung. Selain itu, keberhasilan konservasi sumber daya air juga ditentukan
seberapa jauh insentif atraktif bagi petani. Oleh karenanya, perlu dirumuskan sistem dan
mekanisme insentif untuk mendorong petani mau untuk mengembangkannya. Dalam banyak

6
hal, peran kepemimpinan petani dan kepala daerah penting sehingga inovasi seharusnya
melalui pemimpin lokal tersebut. Dalam konteks ini peran Forum DAS dan lembaga lain yang
relevan seharusnya menjadi fasilitator dan mekanisme kerja untuk berinteraksi langsung
dengan kepemimpinan petani lokal dapat diwujudkan.

Sebagai masyarakat dengan kedudukan kaum laki-laki dominan, seringkali kaum perempuan
dan ibu rumah tangga kurang memperoleh peran dalam kegiatan konservasi air. Padahal, kaum
perempuan sangat terkait dengan air karena mengurusi kebutuhan rumah tangga yang erat
kaitannya dengan air. Oleh karenanya, upaya konservasi air seharusnya juga melibatkan kaum
perempuan. Pelibatan perempuan dalam konservasi sumber daya air ini menjadi salah satu
prinsip dalam Konferensi Dublin tentang Air dan Pertemuan Tingkat Tinggi Rio de Janeiro
tentang Pembangunan Berkelanjutan (1992). Keberhasilan IWCM juga ditentukan oleh aspek
kelembagaan. Oleh karena itu, strategi kelembagaan diupayakan mampu mendorong sistem
penganggaran konservasi sumber daya air masuk ke dalam sistem perencanaan pembangunan
di daerah. Selain itu, diperlukan sekretariat kelembagaan konservasi sumber daya air yang
memadai, termasuk sumber daya manusia yang berkualitas, sistem data base, dan pendanaan
yang berkelanjutan. Tidak kalah pentingnya adalah membangun nota kesepahaman antar
lembaga terkait dalam konservasi sumber daya air melalui suatu mekanisme yang mengikat
para pihak terkait.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bappenas yang memungkinkan penulis terlibat
dalam penyusunan White Paper on Integrated Water Conservation Management yang
substansinya digunakan dalam makalah ini.

Rujukan
Asdak, C. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Berbasis Ekosistem. Makalah pada
pertemuan Forum DAS Tingkat Nasional. Departemen Kehutanan. Jakarta, 10-11 Desember 2009.
Bappenas. 2015. White Paper on Integrated Water Conservation Management. Direktorat Kehutanan
dan Konservasi Sumber Daya Air, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Bressers, H. and S. Kuks. 2004. Integrated Governance and Water Basin Management: conditions for
regime change and sustainability. Kluwer Academic Publ., Dordrecht, The Netherlands.
Falkenmark, M. 2008. Water and Sustainability: A Reappraisal. Environment. Science and Policy for
Sustainable Development. March/April 2008 Edition.
GWP. 2000. Integrated Water Resources Management. Global Water Partnership. TAC Background
Papers Number 4. Stockholm, Sweden.
Hardy, D.D. and T.M. Koontz. 2010. Collaborative watershed partnerships in urban and rural areas:
Different pathways to success? Landscape and Urban Planning (95): 79-90.

Anda mungkin juga menyukai