Anda di halaman 1dari 4

Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr.

Sumitro
Djojohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah
pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah mengubah struktur ekonomi umumnya dari
ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Sumitro mencoba mempraktekkan pemikirannya itu pada sektor
perdagangan. Ia berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus selekas mungkin ditumbuhkan kelas
pcngusaha. Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah, diberi kesempatan
untuk berpartisipasi membangun ekonomi nasional. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing
para pengusaha itu, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan pemberian kredit, karena
pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal
yang cukup. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat
berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan
tercapai.

Gagasan Sumitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950 -April
1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ini terkenal dengan sebutan Program
Benteng. Gerakan Benteng (Benteng Group) telah dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga tahun
(1950 -1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia yang mendapat kredit bantuan dari program
Benteng 1ni. Program pemerintah ini pada hakekatnya adalah kebijaksanaan untuk melindungi usaha-
usaha pribumi. Namun usaha ini tidak tercapai tujuannya.

Pengusaha pengusaha Indonesia temyata lamban menjadi dewasa bahkan ada yang
menyalahgunakan maksud pemerintah ini dengan mencari keuntungan secara cepat. Bantuan kredit ini
ternyata tidak efektif, sehingga program pemerintah tidak berhasil. Padahal pemerintah menambah beban
keuangannya, sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Kabinet Sukiman yang memegang
pemerintahan selama 10 bulan sejak April 1951 sampai Februari 1952 berusaha membatasi krisis
moneter. Salah satu usaha yang ditempuh yalah melakukan nasionalisasi terhadap De javasche Bank.

Krisis moneter yang dihadapi pemerintah yalah defisit anggaran belanja pada tahun 1952 sebanyak
tiga milyar rupiah, ditambah dengan sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 milyar rupiah.
Meskipun dilanda krisis moneter, namun Menteri Keuangan Jusuf Wibisono masih memberikan
perhatiannya kcpada para pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah. Sesuai dengan
Program Benteng kepada mereka masih diberikan bantuan pinjaman uang. Dengan memberikan bantuan
tersebut diharapkan bahwa para pengusaha yang merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan
mengurangi volume impor.

Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo selaku Menteri Perekonomian di bawah Kabinet Ali lebih
mengutamakan kebijaksanaan Indonesianisasi, yaitu mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha-
pengusaha swasta nasional pribumi dalam usaha untuk merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional. Langkah-langkah yang diambil antara lain mewajibkan perusahaan-perusahaan asing
memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat
menduduki jabataniabatan staf; mendirikan perusahaan-perusahaan negara, menyediakan kredit dan
lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional serta memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Kebijaksanaan Pemerintah di bidang perekonomian, terutama
mengenai lisensi istimewa telah menimbulkan pcrdebatan di parlemen. Oleh Tjikwan dari Masyumi
diajukan mosi tidak percaya terhadap Menteri Perekonomian Iskaq. Meskipun Mosi Tjikwan dapat
dikalahkan, namun kabinet menjadi goyah, karena NU menyampaikan nota politik yang mcnghendaki
perubahan personalia kabinet. Pada bulan Nopember 1954 Mr. Iskaq digantikan oleh Ir. Roosseno
Surjodikusumo. Mengenai masalah pengelolaan bank pemerintah dan swasta di Indonesia, Sjafruddin
Prawiranegara bekas mentri Keuangan pada Kabinet RIS serta kemudian menjabat sebagai Gubernur
Bank Indonesia mengatakan bahwa keberhasilan suatu bank sentral, dalam hal ini adalah bank
pemerintah, tergantung dari dorongan dan kerja sama dengan bank-bank lainnya. Bank sentral demi
kelangsungan hidup bank-bank yang lebih kecil lainnya harus dapat mengurangi persaingan dengan
mereka.

2. Sistem Ekonomi Liberal

Sesudah Pengakuan Kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, kita menanggung beban ekonomi
dan keuangan sebagai akibat ketentuan-ketentuan hasil KMB: beban hutang luar negeri sebesar
Rp.1.500,-juta dan hutang dalam negeri sejumlah Rp.2.800,-juta. Struktur ekonomi yang kita warisi
adalah berat sebelah. Expor kita masih tergantung kepada beberapa jenis hasil perkebunan. Produksi
barang-barang expor ini dibawah produksi sebelum Perang Dunia ll.

Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah:

a. mengurangi jumlah uang yang beredar;

b. mengatasi kenaikan biaya hidup.

Sedang masalah jangka panjang adalah, masalah pertambahan penduduk dan tingkat hidup yang rendah.
Beban yang berat ini merupakan konsekuensi daripada Pengakuan Kedaulatan. Defisit pcmerintah pada
waktu itu sejumlah Rp. 5,1 milyar.Defisit ini untuk sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman
pemerintah, yaitu dengan cara melakukan tindakan keuangan pada tanggal 20 Maret 1950. Jumlah yang
didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp.1,6 milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni
Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp.200.000.000 dari Negeri Belanda. Pada tanggal 13 Maret
di bidang perdagangan diadakan usaha untuk memajukan expor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan
pemerintah adalah untuk merangsang expor. Nilai tukar rupiah dari Rp.3,80 setiap $1, menjadi Rp.7,6
untuk setiap $1 untuk expor, dan Rp.11,40 setiap $1 untuk impor. Sistem ini memberikan penghasilan
yang besar kepada exportir dalam rupiah, sehingga mereka dapat membayar lebih tinggi kepada produsen.

Karena pecahnya Perang Korea, expor RI pada kuartal kedua 1950 meningkat. Expor Indonesia menjadi .
187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei, atau sejumlah $115 juta. Di samping usaha-usaha
tersebut pemerintah juga berusaha mendapat kredit dari luar negeri. Kredit ini dimaksudkan untuk
pembangunan prasarana ekonomi. Misi Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda ke Amerika Serikat berhasil
mendapat kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi
sejumlah $52.245.000. Jumlah ini ditentukan untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif,
pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara.

Sejak tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan oleh menurunnya volume
perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, tidak memiliki barang-
barang expor lainnya kecuali hasil perkebunan. Perkembangan ekonomi Indonesia tidak menunjukkan
arah yang stabil, bahkan sebaliknya. Pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat akibat tidak
stabilnya situasi politik, (perluasan program pemerintah, beaya untuk operasi-operasi keamanan dalam
hegeri), adalah sebab utama bagi defisit. Di samping itu pemerintah sendiri tidak berhasil meningkatkan
produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk peningkatan pendapatan nasional.
Kecuali itu kelemahan pemerintah lainnya adalah bahwa politik keuangannya tidak dibuat di Indonesia
melainkan dirancang di Nederland. Jadi sebab-sebab daripada instabilitas tidak semata-mata terletak pada
perluasan program, tetapi dipengaruhi juga oleh dua faktor di atas. Dalam hal ini adalah akibat daripada
politik kolonial Belanda. Oleh Pemerintah Belanda kita tidak diwarisi ahli-ahli yang cukup, sehingga
usaha merubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak menghasilkan
perubahan yang drastis.

Pada tahun berikutnya pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan penghasilan negara.
Kebijaksanaan moneter ditinjau kembali, sesudah pada akhir tahun 1951 nasionalisasi De Javasche Bank.
Usaha pemerintah adalah menurunkan biaya expor dan melakukan tindakan penghematan. Defisit pada
tahun 1952 telah meningkat menjadi 3 milyar rupiah. Oleh karena pada mulanya anggaran belanja
pemerintah belum pernah disahkan oleh DPR, maka sejak 1952 rencana anggaran belanja dimintakan
persetujuan DPR.

Karena defisit ini, ada kecenderungan untuk mencetak uang baru, yang menimbulkan tendens
inflasi. Kecenderungan inflasi secara tidak langsung menghambat produksi karena naiknya upah. Sejak
1953 defisit anggaran belanja pemerintah sebesar Rp.3.047 juta dan peredaran uang pada waktu itu
berjumlah Rp.7.6 milyar. Defisit ini meluncur terus sampai tahun 1958.

1953 3.047 juta rupiah

1954 3.600 juta rupiah

1955 2.000 juta rupiah

1956 2.300 juta rupiah

1957 5.300 juta rupiah

Defisit yang terus-menerus adalah akibat kebijaksanaan budgeter pemerintah yang mempunyai dua
kelemahan yakni:

1.tidak terdapat kontinuitas dalam penerimaan, karena penerimaan hanya tcrgantung pada Pajak-pajak
tidak langsung Besar kecilnya penerimaan ini tergantung kepada perkembangan perdagangan luar negeri;

2. current expenditures (pengeluaran yang sedang berjalan) meningkat akibat perluasan program
pemerintah, meluasnya birokrasi dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak efisien.

kebijaksanaan yang ditempuh kemudian oleh pemerintah (Kabinet Natsir) adalah melaksanakan
industrialisasi, yang kita kenal sebagai Rencana Sumitro. Sasaran rencana Sumitro ditekankan terutama
pada pembangunan industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung, percetakan
dan lain-lain. Kebijaksanaan Kabinet Natsir ini diikuti pula dengan usaha peningkatan produksi pangan,
perbaikan prasarana, dan penanaman modal asing.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara. Biro ini
dibentuk, dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang, karena pemerintah yang terdahulu lebih
menekankan program jangka pendek, sehingga hasilnya belum dapat dirasakan oleh masyarakat. Karena
masa kerja masing-masing kabinet terlalu singkat dan programnya selalu berganti-ganti, maka tidaklah
terdapat stabilitas politik. Tidak adanya stabilitas politik ini merupakan faktor bagi kemerosolan ekonomi,
inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian
diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional. Pada bulan Mei 1956 Biro ini menghasilkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPL T) (1956-1961). Rencana Undang-Undang tentang Rencana
Pembangunan ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal ll Nopember 1958, yang
mempunyai daya surut sampai 1 Januari 1956. Akibat situasi politik dan ekonomi, Garis-garis Besar
Rencana Pcmbangunan Lima Tahun kemudian terpaksa dirubah prioritas dan sasarannya pada tahun 1957
sesudah diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT ini dipcrkirakan
berjumlah Rp.12,5 milyar. didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama
lima tahun. Tetapi karena adanya depresi di Amerika Serikat dan Eropa Barat akhir 1957 dan awal 1958,
maka pendapatan negara menjadi mundur, karena harga expor bahan mentah kita merosot. Demikian pula
perj uangan pembebasan Irian Jaya yang mendorong pemerintah untuk melaksanakan tindakan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1958, ada pula
pengaruhnya. Faktor politik lainnya yang memberatkan pelaksanaan RPLT adalah ketegangan antara
Pusat dan Daerah. Demikian pula adanya barter gelap menimbulkan tendens yang membahayakan
pembangunan.

Ketegangan antara Pusat dan Daerah ini dapat diredakan untuk sementara waktu dengan diadakannya
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Djuanda yang sementara itu telah menjadi perdana
menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk merubah rencana pembangunan itu, agar
menghasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh jangka panjang. Namun pelaksanaan
pembangunan ini dihambat oleh kesulitan administratif, khususnya penentuan prioritas. Ketegangan
politik yang timbul tidak dapat diredakan lagi dan akhirnya pecah pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk
menumpas pemberontakan itu diperlukan beaya yang besar. Akibat langsung adalah meningkatnya defisit,
dan angka expor menunjukkan trend menurunProsentase defisit dari tahun 1950 adalah 20% -tetapi pada
tahun 1960 meningkat menjadi 100%. Sementara itu ketegangan politik antara lndonesia-Belanda juga
memuncak menuju konfrontasi senjata.

Anda mungkin juga menyukai