Pendidikan Umum :
- SD di Magelang
- SMP B
- SMA B
pendidikan Militer : ATEKAD
Karier Militer :
- ikut dalam operasi Sapta Marga di Sumatera Utara. Beliau dilantik sebagai Letda Czi tahun 1962
- Danton Yon Zipur 2/Dam II Bukit Barisan
- Pendidikan Intelijen tahun 1963
Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan
Kenpeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian
dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan
pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada
Jawatan Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir
bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara
(PT) di Yogyakarta.
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya.
Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer
Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di
bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi
kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti
pendidikan pada Military Police School.
Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965,
dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1
Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira lainnya
yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen. TNI
Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta
Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian
dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah
Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama
enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya
yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan
Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa para pahlawan
tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya
sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah
Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun
tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut
dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat
Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja
di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang
yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.
Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di
Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya
walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun
perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia
pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi
salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika
itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang
pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah Indonesia mendapat
pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai
Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia
kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian
Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi
Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah
Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus
menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya
menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober
1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto bersama enam perwira lainnya yakni
Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI
Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta
Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian
dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah
Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.
R. Suprapto gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila.
Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat
menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa
para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober
setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional.
Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah
ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi
tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di
Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan
pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di
Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk
tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani
berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer
Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil
menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda
terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang
meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia
diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang
membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng
Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai
penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di
Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga
mengikuti pendidikan
selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat
pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat
Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin
penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962,
ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang
dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh
di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan
Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada
tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan di Lubang Buaya,
Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya
sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
Mulai tahun 1955 sebagai Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat Letkol hingga
tahun 1956. Lalu pada tahun yang sama, beliau diangkat menjadi Asisten ATMIL di
London.
Setelah kembali di tanah air dan selesai mengikuti pendidikan Kursus "C" Seskoad tahun
1960. Pada tahun 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD.
Pada tahun 1964 dinaikan pangkatnya menjadi Brigjen.
Sama seperti Achmad Yani, beliau juga menolak pembentukan angkatan kelima yang
terdiri dari buruh dan tani yang dilengkapi dengan senjata.
Tanggal 1 Oktober jam 04.00 dini hari, Brigjen TNI Sutoyo diculik dan dibunuh oleh
gerombolan G 30 S/PKI.. Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan kepada
pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar tengah. Setelah
pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke
dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden.
Kedua orang itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan
diserahkan pada Serda Sudibyo. Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi,
Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya
dibawa menuju Lubang Buaya, dan disana beliau gugur karena dianiaya di luar batas-
batas kemanusiaan oleh gerombolan G 30 S/PKI.
Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.