Oleh:
ANDRY SOETOMO
STIKES BANI SHALEH KAMPUS CIBARUSAH
PRORAM ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN
Jean Watson
Keperawatan sebagai sains tentang human care didasarkam pada asumsi bahwa human
science and human care merupakan domain utama dan menyatukan tujuan keperawatan. Sebagai
human science keperawatan berupaya mengintegrasikan pengetahuan empiris dengan estetika,
humanities, dan kiat/art (Watson, 1985).
Dalam pandangan keperawatan manusia dilihat sebagai sosok yang utuh. Karena keutuhan ini
maka manusia itu unik, berbeda dari manusia lain. Manusia juga diyakini sebagai sistem terbuka
(openned system), yang berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungannya secara dinamis, dan
berkesinambungan itu semua penting untuk perkembangan personalnya.
Sebagai pengetahuan tentang human care fokusnya untuk mengembangkan pengetahuan yang
menjadi inti keperawatan, seperti yang dinyatakan oleh Watson (1985) “human care is the heart
of nursing”. Pandangan tentang keperawatan sebagai science tentang human care adalah
komprehensif. Ini termasuk pengembangan pengetahuan sebagai basis dalam area:
1. Pengkajian terhadap kondisi manusia.
2. Implikasi dari pengalaman manusia dan responnya terhadap kondisi sehat sakit.
3. Telaah terhadap pengelolaan kondisi-kondisi yang menyertainya.
4. Deskripsi dari atribut-atribut caring relationship.
5. Studi tentang sistem bagaimana human care harus diwujudkan.
Dalam pandangan keperawatan Jean Watson, manusia diyakini sebagai person as a whole, as a
fully functional integrated self. Jean Watson mendefinisikan sehat sebagai kondisi yang utuh
dan selaras antara badan, pikiran, dan jiwa, ini berkaitan dengan tingkat kesesuaian antara diri
yang dipersepsikan dan diri yang diwujudkan. Dari beberapa konsep sehat sakit di atas dapat
dikemukakan beberapa hal prinsip, antara lain:
Teori Watson
Jean Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal dengan teori pengetahuan
manusia dan merawat manusia. Tolak ukur pandangan Watson ini didasari pada unsure teori
kemanusiaan. Pandangan teori Jean Watson ini memahami bahwa manusia memiliki empat
cabang kebutuhan manusia yang saling berhubungan diantaranya kebutuhan dasar biofisikal
(kebutuhan untuk hidup) yang meliputi kebutuhan makanan dan cairan, kebutuhan eliminasi dan
kebutuhan ventilasi, kebutuhan psikofisikal (kebutuhan fungsional) yang meliputi kebutuhan
aktifitas dan istirahat, kebutuhan seksual, kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk integrasi)
yang meliputi kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan organisasi, dan kebutuhan intra dan
interpersonal (kebutuhan untuk pengembangan) yaitu kebutuhan aktualisasi diri.
Berdasarkan empat kebutuhan tersebut, Jean Waston memahami bahwa manusia adalah makhluk
yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya
mencapai kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan sejahtera baik fisik, mental dan
spiritual karena sejahtera merupakan keharmonisan antara pikiran, badan dan jiwa sehingga
untuk mencapai keadaan tersebut keperawatan harus berperan dan meningkatkan status
kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengobati berbagai penyakit dan penyembuhan
kesehatan dan fokusnya pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Teori Jean Watson yang telah dipublikasikan dalam keperawatan adalah “human science and
human care”. Watson percaya bahwa fokus utama dalam keperawatan adalah pada carative
factor yang bermula dari perspektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar poengetahuan
ilmiah. Oleh karena itu, perawat perlu mengembangkan filososfi humanistic dan system nilai
serta seni yang kuat. Filosofi humanistic dan system nilai ini memberi fondasi yang kokoh bagi
ilmu keperawatan, sedangkan dasar seni dapat membantu perawat mengembangkan visi mereka
serta nilai-nilai dunia dan keterampilan berpikir kritis. Pengembangan keterampilan berpikir
kritis dibutuhkan dalam asuhan keperawatan, namun fokusnya lebih pada peningkatan kesehatan,
bukan pengobatan penyakit.
Watson (1988) dan George (1990) mendefenisikan caring lebih dari sebuah exisestensial
philosophy, ia memandang sebagai dasar spiritual, baginya caring adalah ideal moral dari
keperawatan. Manusia akan eksistensi bila dimensi spritualnya meningkat ditunjukkan dengan
penerimaan diri, tingkat kesadaran diri yang tinggi, kekuatan dari dalam diri, intuitif. Caring
sebagai esensi dari keperawatan berarti juga pertanggung jawaban hubungan antara perawat-
klien, dimana perawat membantu memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kesehatan.
“Theory of Human Caring” (Watson), mempertegas jenis hubungan dan transaksi yang
diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk meningkatkan dan melindungi pasien
sebagai manusia yang mempengaruhi kesanggupan pasien untuk sembuh.
Watson mengemukakan bahwa caring merupakan inti dari keperawatan. Dalam hal ini caring
merupakan perwujudan dari semua faktor yang digunakan perawat dalam memberikan pelayanan
kesehatan pada klien. Kemudian caring juga menekankan harga diri individu, artinya dalam
melakukan praktik keperawatan, perawat senantiasa selalu menghargai klien dengan menerima
kelebihan maupun kekurangan klien. Watson juga mengemukakan bahwa respon setiap individu
terhadap suatu masalah kesehatan unik, artinya dalam praktik keperawatan, seorang perawat
harus mampu memahami setiap respon yang berbeda dari klien terhadap penderitaan yang
dialaminya dan memberikan pelayanan kesehatan yang tepat dalam setiap respon yang berbeda
baik yang sedang maupun akan terjadi. Selain itu, caring hanya dapat ditunjukkan dalam
hubungan interpersonal yaitu hubungan yang terjadi antara perawat dengan klien, dimana
perawat menunjukkan caring melalui perhatian, intervensi untuk mempertahankan kesehatan
klien dan energi positif yang diberikan pada klien. Watson juga berpendapat bahwa caring
meliputi komitmen untuk memberikan pelayanan keperawatan yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan. Dalam praktiknya, perawat di tantang untuk tidak ragu dalam menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya dalam praktik keperawatan.
Jean Watson dalam memahami konsep keperawatan terkenal dengan Human Caring
Theory. Tolak ukur pandangan Watson ini didasari pada unsur teori kemanusiaan. Jean Watson,
1985 (dalam B. Talento, 1995) membagi kebutuhan dasar manusia dalam dua peringkat utama,
yaitu kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah (lower order needs) dan kebutuhan yang
tingkatnya lebih tinggi (higher order needs).
Pemenuhan kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah tidak selalu membantu upaya kompleks
manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Tiap kebutuhan dipandang dalam konteksnya terhadap
kebutuhan lain dan semuanya dianggap penting. Kebutuhan manusia yang saling berhubungan
diantaranya kebutuhan dasar biofisikal (kebutuhan untuk hidup yang meliputi kebutuhan
makanan dan cairan, kebutuhan eliminasi, kebutuhan ventilasi, kebutuhan psikofisikal
(kebutuhan fungsional) yang meliputi kebutuhan aktivitas dan istirahat, kebuthan seksualitas;
kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk integrasi) yang meliputi kebutuhan intrapersonal dan
interpersonal (kebutuhan aktualisasi diri).
Berdasarkan kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa manusia adalah makhluk yang
sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya mencapai
kesehatan, manusia seharusnya dalam keadaan sejahtera baik fisik, mental, dan spiritual karena
sejahtera merupakan keharmonisan antara pikiran, badan dan jiwa sehingga untuk mencapai
keadaan tersebut keperawatan harus berperan dalam meningkatkan status kesehatan, mencegah
terjadinya penyakit, mengobati berbagai penyakit dan penyembuhan kesehatan.
Watson berpendapat bahwa fokus utama dalam keperawatan ada di faktor carative. Dia
percaya bahwa bagi perawat untuk mengembangkan filsafat humanistik dan sistem nilai, seorang
liberal dengan latar belakang seni yang kuat diperlukan. Sistem filsafat dan nilai memberikan
fondasi yang kokoh bagi science of caring.
a. Carrative Factor
Elemen-elemen yang terdapat dalam carative factor adalah:
1. Membentuk sistem nilai humanistic-alturistik.
2. Menanamkan keyakinan dan harapan (faith-hope).
3. Mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain.
4. Membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-trust).
5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negative.
6. Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistemantis dalam pengambilan
keputusan.
7. Meningkatkan proses belajar-mengajar interpersonal.
8. Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, dan memeperbaiki
mental, sosialkultural, dan spiritual.
9. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
10. Mengembangkan factor kekuatan eksistensial-fenomenologis.
Tetapi kesepuluh carative factors ini sebagai suatu kerangka untuk memberikan suatu bentuk
dan focus terhadap fenomena keperawatan. Watson menganggap istilah “factors” terlalu standart
terhadap sensibilitasnya di masa kini. Ia pun kemudian menawarkan suatu konsep yang lebih
sesuai dengan evolusi teorinya dan arahnya di masa depan. Konsep tersebut adalah “clinical
caritas” dan “caritas processes”, yang dianggapnya lebih cocok dengan ide-ide dan arah
perkembangan teorinya (Watson,2004). Dimana clinical caritas process terdiri dari yaitu.
1. Menerapkan perilaku yang penuh kasih sayang dan kebaikan dan ketenangan dalam
konteks kesadaran terhadap caring.
2. Hadir dengan sepenuhnya dan mewujudkan serta mempertahankan sistem kepercayaan
yang dalam dan dunia kehidupan subjektif dari dirinya dan orang dirawat.
3. Memberikan perhatian terhadap praktik-praktik spiritual dan transpersonal diri orang lain,
melebihi ego dirinya.
4. Mengembangkan dan mempertahankan suatu hubungan caring yang sebenarnya, yang
saling bantu dan saling percaya.
5. Hadir untuk menampung dan mendukung ekspresi perasaan posotif dan negatif sebagai
suatu hubungan dengan semangat yang dalam dari diri sendiri dan orang yang dirawat.
6. Menggunakan diri sendiri dan semua cara yang diketahui secara kreatif sebagai bangian
dari proses caring, untuk terlibat dalam penerapan caring-healing yang artistic.
7. Terlibat dalam pengalaman belajar mengajar yang sebenarnya yang mengakui keutuhan
diri orang lain dan berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain.
8. Menciptakan lingkungan healing pada seluruh tingkatan, baik fisik maupun nonfisik,
lingkungan yang kompleks dari energi dan kesadaran, yang memiliki keholistikan,
keindahan, kenyamanan, martabat, dan kedamaian.
9. Membantu terpenuhinya kebutuhan dasar, dengan kesadaran caring yang penuh,
memberikan “human care essentials“, yang memunculkan penyusuaian jiwa, raga dan
pikiran, keholistikan dan kesatuan diri dalam seluruh aspek care; dengan melibatkan jiwa
dan keberadaan secara spiritual.
10. Menelaah dan menghargai misteri spiritual, dan dimensi eksistensial dari kehidupan dan
kematian seseorang, “soul care” bagi diri sendiri dan orang yang dirawat.
Perawat sadar bahwa mempunyai hubungan dan potensi untuk menyembuhkan. Hubungan ini
menjelaskan bagaimana perawat telah melampaui penilain secara objektif, menunjukkan
perhatian kepada subjektifitas seseorang, dan lebih mendalami situasi kesehatan diri mereka
sendiri. Kesadaran perawat menjadi perhatian penting untuk berkelanjutan dan pemahaman
terhadap persepsi orang lain. Pendekatan ini melihat keunikan dari kedua belah pihak, yaitu
perawat dan pasien, dan juga hubungan saling menguntungkan antara dua individu, yang
menjadi dasar dari suatu hubungan. Oleh karena itu, yang merawat dan yang di rawat
keduanya terhubung dalam mencari makna dan kesatuan, dan mungkin mampu merasakan
penderitaan pasien. Istilah transpersonal berarti pergi keluar dari diri sendiri dan
memungkinkan untuk menggapai kedalaman spiritual dalam meningkatkan kenyamanan dan
penyembuhan pasien. Pada akhirnya, tujuan dari transpersonal caring relationship adalah
berkaitan dengan melindungi, meningkatkan dan mempertahankan martabat, kemanusiaan,
kesatuan dan keselarasan batin.
Caring Occation menurut Watson (1988,1999) adalah kesempatan (mengenai tempat dan
waktu) pada saat perawat dan orang lain datang pada saat human caring dilaksanakan, dan
dari keduanya dengan fenomena tempat yang unik mempunyai kesempatan secara bersama
datang dalam moment interaksi human to human. Bagi Watson (1988, 1999) bidang yang luar
biasa yang sesuai dengan kerangka refensi seseorang atau perasaan-perasaan yang dialami
seseorang, sensasi tubuh, pikiran atau kepercayaan spiritual, tujuan-tujuan, harapan-harapan
pertimbangan dari lingkungan, arti persepsi seseorang kesemuanya berdasar pada pengalaman
hidup yang dialami seseorang, sekarang atau masa yang akan datang. Watson (1999)
menekankan bahwa perawat dalam hal ini sebagai care giver juga perlu memahami kesadaan
dan kehadiranya dalam moment merawat dengan pasiennya, lebih lanjut dari kedua belah
pihak perawat maupun yang dirawat dapat dipengaruhi oleh perawatan dan tindakan yang
dilakukan keduanya, dengan demikian akan menjadi bagian dari pengalaman hidupnya
sendiri. Caring occation bisa menjadi transpersonal jika memungkinkan adanya semangat dari
keduanya (perawat dan pasien) kemudian adanya kesempatan yang memungkinkan
keterbukaan dan kemampuan–kemampuan untuk berkembang (Watson 1999 , pp. 116-117).
1. Keperawatan
Keperawatan adalah penerapan art dan human science melalui transaksi transpersonal caring
untuk membantu manusia mencapai keharmonisan pikiran, jiwa dan raga yang
menimbulkan selfknowlegde, self-control, self-care, dan selfhealing.
2. Klien
Klien adalah individu atau kelompok yang mengalami ketidakharmonisan pikiran, jiwa dan
raga, yang membutuhkan bantuan terhadap pengambilan keputusan tentang kondisi sehat-
sakitnya untuk meningkatkan harmonisasi, self-control, pilihan dan selfdetermination.
3. Kesehatan
Kesehatan adalah kesatuan dan keharmonisan didalam pikiran, jiwa dan raga antara diri
dengan orang lain dan antara diri dengan lingkungan.
4. Lingkungan
Lingkungan adalah dimana interaksi transpersonal caring terjadi antara klien dan perawat.
Watson mengidentifikasi banyak asumsi dan beberapa prinsip dasar dari transpersonal caring.
Watson meyakini bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Watson
mengatakan 7 asumsi tentang science of caring. Asumsi dasar tersebut yaitu :
Watson (1979) menekankan bahwa proses keperawatan memiliki langkah-langkah yang sama
dengan proses riset ilmiah, karena kedua proses tersebut mencoba untuk menyelesaikan masalah
dan menemukan solusi yang terbaik. Lebih lanjut Watson menggambarkan kedua proses tersebut
sebagai berikut (tulisan yang dimiringkan menandakan proses riset yang terdapat dalam proses
keperawatan):
1. Pengkajian
Meliputi observasi, identifikasi, dan review masalah; menggunakan pengetahuan dari
literature yang dapat diterapkan, melibatkan pengetahuan konseptual untuk pembentukan dan
konseptualisasi kerangka kerja yang digunakan untuk memandang dan mengkaji masalah.
(Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol . 1 No.3, September 2008 :147-150).
Pengkajian juga meliputi pendefinisian variabel yang akan diteliti dalam memecahkan
masalah.
Watson (1979) dalam Julia (1995) menjelaskan kebutuhan yang harus dikaji oleh perawat
yaitu:
1. Lower order needs (biophysical needs) yaitu kebutuhan untuk tetap hidup meliputi
kebutuhan nutrisi, cairan, eliminasi, dan oksigenisasi.
2. Lower order needs (psychophysical needs) yaitu kebutuhan untuk berfungsi,
meliputi kebutuhan aktifitas, aman, nyaman, seksualitas.
3. Higher order needs (psychosocial needs) ,yaitu kebutuhan integritas yang
meliputi kebutuhan akan penghargaan dan beraffiliasi.
4. Higher order needs (intrapersonali needs), yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri.
2. Perencanaan
3. Implementasi
Merupakan tindakan langsung dan implementasi dari rencana serta meliputi pengumpulan
data.
4. Evaluasi
Merupakan metoda dan proses untuk menganalisa data, juga untuk meneliti efek dari
intervensi berdasarkan data serta meliputi interpretasi hasil, tingkat dimana suatu tujuan yang
positif tercapai, dan apakah hasil tersebut dapat digeneralisasikan
Konsep dari Leininger yaitu budaya, nilai budaya, perbedaan budaya, etnosentris, etnis, ras, care,
cultural care, dan cultural imposition. Konsep ini menjadi dasar dimana perawat harus bisa
memberikan asuhan keperawatan terhadap pasiennya dengan melihat latar belakang budaya dari
sudut pandang pasien. Oleh sebab itu, tidak banyak perawat yang memiliki pandangan yang baik
dimata masyarakat.
Respon baik positif maupun negatif akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana
perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat
menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan. Konsep dari Leininger ini menjadi acuan
sebagai pengubah asuhan keperawatan perawat sehingga jauh lebih baik.
Pentingnya peran perawat dalam asuhan keperawatan yang melibatkan peran serta
masyarakat sangat dibutuhkan dimana individu, keluarga maupun masyarakat sebagai pelaku
kegiatan upaya peningkatan kesehatan serta bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri
berdasarkan asas kebersamaan dan kemandirian. Sesuai dengan teori Watson, tujuan
keperawatan yaitu untuk meningkatkan kesehatan, mengembangkan klien pada kondisi sehatnya,
dan mencegah kesakitan.
Perawatan kesehatan masyarakat merupakan bentuk dari praktek keperawatan yang
diaplikasikan untuk meningkatkan kesehatan dan memelihara kesehatan dari masyarakat dengan
tujuan membantu masyarakat dalam upaya meningkatkan kesehatan dan pencegahan terhadap
penyakit melalui:
1 Pemberian asuhan keperawatan secara langsung kepada individu, keluarga, dan
kelompok dalam masyarakat, dengan strategi intervensi yaitu proses kelompok,
pendidikan kesehatan serta kerjasama (partnership).
2 Memperhatikan secara langsung terhadap status kesehatan seluruh masyarakat secara
komprehensif.
3 Mengutamakan teknologi yang menggunakan teknologi terbaik demi kesehatan pasien.
4. Dengan melihat latar budaya pasien, perawat lebih terbantu bagaimana untuk menangani
pasien yang sesuai dengan budayanya dan pasien dapat merasakan kenyamanan melalui
relasi antara pasien dengan perawat.
Caring bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan, tetapi merupakan hasil dari kebudayaan,
nilai-nilai, pengalaman, dan dari hubungan dengan orang lain. Sikap keperawatan yang
berhubungan dengan caring adalah kehadiran, sentuhan kasih sayang, mendengarkan,
memahami klien, Caring dalam spiritual, dan perawatan keluarga. Hubungan caring terjalin
dengan baik apabila antara perawat dan klien dapat memahami satu sama lain sehingga keduanya
bisa menjalin hubungan yang baik dengan melakukan hal seperti, mengerahkan harapan bagi
klien dan perawat; mendapatkan pengertian tentang gejala, penyakit, atau perasaan yang diterima
klien; membantu klien dalam menggunakan sumber daya sosial, emosional, atau spiritual;
memahami bahwa hubungan caring menghubungkan manusia dengan manusia, roh dengan roh.
Watson (1985), meyakini praktek caring sebagai inti keperawatan yang menggambarkan
dasar dalam kesatuan nilai-nilai kemanusiaan yang universal (kebaikan, kepedulian dan cinta
terhadap diri sendiri dan orang lain) caring digambarkan sebagai moral ideal keperawatan. Hal
ini meliputi keinginan untuk merawat, dengan tulus yang meliputi komunikasi, tanggapan positif,
dukungan atau intervensi fisik oleh perawat (Synder dalam Christensendan Kenny 2009).
Perilaku caring perawat jika tidak dilakukan dengan baik maka akan berdampak pada
klien dan juga perawat. Perawat yang tidak caring tidak termotivasi meningkatkan kinerja sesuai
dengan standar profesi termasuk kinerja dalam penerapan prinsip etik keras hati, tidak perhatian
dengan klien dan berkelakuan seperti robot. Dampaknya dalam profesi tentu ia tidak akan
digunakan sesuai dengan tugas dan kewenangannya dan bisa jadi dia akan dipindahkan atau
peralihan tanggung jawab karena perilakunya.
Pengaruh atau dampak yang paling terlihat dari setiap pasien yang menerima pelayanan
seperti demikian maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi yaitu: klien akan mengalami
perubahan perilaku menjadi malas-malasan, marah tanpa sebab, tidak ingin makan, bahkan bisa
jadi klien akan mengalami penurunan kondisi kesehatannya. Berubahnya kondisi fisik ataupun
psikologis klien ditentukan oleh perilaku caring oleh perawat. Saat perawat hendak memberikan
asuhan keperawatan, sebagai klien atau pasien tentu memerlukan sebuah kenyamanan sehingga
pasien dalam kondisi sekarat diakhir hidupnya ia bisa merasakan kedamaian sebelum ia
meninggal.
Perilaku caring sangat penting ketika perawat melakukan asuhan keperawatan kepada
kliennya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kesembuhan klien tersebut. Pengaruh yang nyata
pada kondisi klien yaitu kondisi fisik meliputi kesembuhan penyakit dalam maupun luar, dan
psikologis meliputi rasa aman, dan nyaman bahkan ketika seseorang mengalami kondisi sekarat
hingga pada akhirnya ia meninggal dalam keadaan damai. Peran perawat dalam meningkatkan
perilaku caring terhadap klien sebagai asuhan keperawatan yaitu adanya perawatan secara
langsung kepada individu, keluarga dan masyarakat menggunakan intervensi yang tepat dan
selalu memperhatikan status klien setiap saat agar kedamaian pasien terpenuhi.
Perilaku caring seharusnya dimiliki oleh setiap perawat, agar dapat sungguh-sungguh
memberikan pelayanan kesehatan terhadap klien. Seharusnya perawat memiliki kesadaran diri
yang tinggi terhadap pentingnya perilaku caring terhadap pemberian asuhan keperawatan kepada
klien. Perilaku caring harus dapat diciptakan oleh setiap pribadi perawat, dimana setiap pribadi
perawat mampu untuk menerapkan perilaku caring dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat
tercipta secara alami, sehingga ketika perawat menghadapi klien di bangsal, maka perawat benar-
benar memiliki profesionalisme dalam memberikan asuhan keperawatan dan pencapaian
kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh perawat terhadap klien dapat memengaruhi
kenyamanan dan mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan klien.
KONSEP SEHAT SAKIT
Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis
dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal
(psikologis, intelektua, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, social, dan
ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya.
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan
sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh
gangguan terhadap sistem tubuh manusia
CIRI-CIRI SEHAT
Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya
keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit.Semua organ tubuh berfungsi normal
atau tidak mengalami gangguan.
Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.
1. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
2. Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya,
misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
3. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian,
kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang
Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat
dari praktik keagamaan seseorang.
4. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain
atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan,
status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
5. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti
mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap
hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa
(siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak
berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara
sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya
berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan
kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.
Paradigma sehat
paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang
bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang
dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang
berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan per - lindungan terhadap penduduk agar
tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit.
Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang
bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya
untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun teta p mengupayakan yang sakit segera
sehat.Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan
kegiatan kesehatan daripada mengobati penyakit.Telah dikembangkan pengertian tentang
penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural.
Banyak orang berpikir bahwa sehat adalah tidak sakit, maksudnya apabila tidak ada
gejala penyakit yg terasa berarti tubuh kita sehat.Padahal pendapat itu kurang tepat.Ada
kalanya penyakit baru terasa setelah cukup parah, seperti kanker yg baru diketahui setelah
stadium 4.Apakah berarti sebelumnya penyakit kanker itu tidak ada?Tentu saja ada, tetapi
tidak terasa.Berarti tidak adanya gejala penyakit bukan berarti sehat.
Sesungguhnya sehat adalah suatu kondisi keseimbangan, di mana seluruh sistem organ di
tubuh kita bekerja dengan selaras. Faktor-faktor yg mempengaruhi keselarasan tersebut
berlangsung seterusnya adalah:
1. Faktor Internal
a. Tahap Perkembangan
Artinya status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah
pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia)
memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
Untuk itulah seorang tenaga kesehatan (perawat) harus mempertimbangkan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan klien pada saat melakukan perncanaan tindakan.
Contohnya: secara umum seorang anak belum mampu untuk mengenal keseriusan
penyakit sehingga perlu dimotivasi untuk mendapatkan penanganan atau
mengembangkan perilaku pencegahan penyakit..
b. Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap kesehatan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri
dari pengetahuan tentang berbagai fungsi tubuh dan penyakit , latar belakang
pendidikan, dan pengalaman masa lalu.
Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan
untuk memehami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan
pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan sendirinya.
d. Faktor Emosi
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap kesehatan dan cara
melaksanakannya.
Seseorang yang mengalami respons stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung
berespons terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawa-
tirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya.
Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respons
emosional yang kecil selama ia sakit.
Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosionalterhadap
ancaman penyakit mungkin akan menyangkal adanya gejala penyakit pada dirinya dan
tidak mau menjalani pengobatan. Contoh: seseorang dengan napas yang terengah-engah
dan sering batuk mungkin akan menyalahkan cuaca dingin jika ia secara emosional
tidak dapat menerima kemungkinan menderita penyakit saluran pernapasan. Banyak
orang yang memiliki reaksi emosional yang berlebihan, yang berlawanan dengan
kenyataan yang ada, sampai-sampai mereka berpikir tentang risiko menderita kanker
dan akan menyangkal adanya gejala dan menolak untuk mencari pengobatan. Ada
beberapa penyakit lain yang dapat lebih diterima secara emosional, sehingga mereka
akan mengakui gejala penyakit yang dialaminya dan mau mencari pengobatan yang
tepat.
e. Spiritual
Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya,
mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau
teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.
Spiritual bertindak sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam kehidupan seseorang.
Spiritual seseorang akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap kesehatan dilihat
dari perspektif yang luas. Fryback (1992) menemukan hubungan kesehatan dengan
keyakinan terhadap kekuatan yang lebih besar, yang telah memberikan seseorang
keyakinan dan kemampuan untuk mencintai. Kesehatan dipandang oleh beberapa orang
sebagai suatu kemampuan untuk menjalani kehidupan secara utuh. Pelaksanaan
perintah agama merupakan suatu cara seseorang berlatih secara spiritual.
Ada beberapa agama yang melarang penggunaan bentuk tindakan pengobatan tertentu,
sehingga perawat hams memahami dimensi spiritual klien sehingga mereka dapat
dilibatkan secara efektif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
2. Faktor Eksternal
a. Praktik di Keluarga
Cara bagaimana keluarga menggunakan pelayanan kesehatan biasanya mempengaruhi
cara klien dalam melaksanakan kesehatannya.
Misalnya:
Jika seorang anak bersikap bahwa setiap virus dan penyakit dapat berpotensi
mejadi penyakit berat dan mereka segera mencari pengobatan, maka bisasnya
anak tersebut akan malakukan hal yang sama ketika mereka dewasa.
Klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan pencegahan jika
keluarganya melakukan hal yang sama. Misal: anak yang selalu diajak orang
tuanya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin, maka ketika punya anak
dia akan melakukan hal yang sama.
b. Faktor Sosioekonomi
Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan
mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.
Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan
kerja.
Sesorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok sosialnya,
hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.
Suatu skala ukur secara relative dalam mengukur keadaan sehat/kesehatan seseorang.
Kedudukannya pada tingkat skala ukur : dinamis dan bersifat individual.
Jarak dalam skala ukur : keadaan sehat secara optimal pada satu titik dan kematian pada
titik yang lain.
1. Tahap transisi : individu percaya bahwa ada kelainan dalam tubuhnya ; merasa dirinya
tidak sehat/merasa timbulnya berbagai gejala/merasa ada bahaya.
Mempunyai 3 aspek :
Secara fisik : nyeri, panas tinggi
Kognitif : interprestasi terhadap gejala
Respon emosi terhadap ketakutan/kecemasan
Konsultasin dengan orang terdekat : gejala + perasaan, kadang-kadangh mencoba
pengobatan di rumah.
Individu yang sakit : meminta nasehat dari profesi kesehatan atas inisiatif sendiri.
3 tipe informasi
validasi keadaan sakit
Penjelasan tentang gejala yang tidak dimengerti
Keyakinan bahwa mereka akan baik
Jika tidak ada gejala : individu mempersepsikan dirinya sembuh jika ada gejala
kembali pada profesi kesehatan.
4. Tahap ketergantungan
Pasien belajar untuk melepaskan peran sakit dan kembali pada peran sakit
danfungi sebelum sakit.
Kesiapan untuk fungsi social.Perawat – Membantu pasien untuk berfungsi dengan
meningkatkan kemandirian Memberi harapan dan support.
Sakit adalah keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, atau
seseorang berkurang atau terganggu, bukan hanya keadaan terjadinya proses penyakit.
Oleh karena itu sakit tidak sama dengan penyakit. Sebagai contoh klien dengan
Leukemia yang sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti
biasanya, sedangkan klien lain dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri
untuk menjalanaio operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain, selain
dimensi fisik.
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang
memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialami;
melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan.
Seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit perilaku sakit bisa berfungsi
sebagai mekanisme koping.Bauman (1965)
Seseorang menggunakan tiga criteria untuk menentukan apakah mereka sakit :
1. Adanya gejala : naiknya temperature, nyeri
1. Individu percaya bahwa ada kelainan dalam tubuh ; merasa dirinya tidak sehat /
a. merasa timbulnya berbagai gejala merasa adanya bahaya.
Mempunyai 3 aspek :
- secara fisik : nyeri, panas tinggi.
- Kognitif : interprestasi terhadap gejala.
- Respons emosi terhadap ketakutan / kecamasan.
2. Asumsi terhadap peran sakit (sick Rok).Penerimaan terhadap sakit.
1. Faktor Internal
Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami.Klien akan segera
mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari.
Misal: Tukang Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa
membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan.
Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja
orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara
menyangkalnya dan tidak mau mencari bantuan.
Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu
fungsi pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari
pertolongan dan mematuhi program terapi yang diberikan.
Sedangkan pada penyakit kronik biasany berlangsung lama (>6 bulan) sehingga jelas
dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika penyakit kronik itu tidak
dapat disembuhkan dan terapi yang diberikan hanya menghilangkan sebagian gejala yang
ada, maka klien mungkin tidak akan termotivasi untuk memenuhi rencana terapi yang
ada.
2. Faktor Eksternal
a. Gejala yang Dapat Dilihat
Gajala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan
Perilaku Sakit.
Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih
cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena
mungkin komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya.
b. Kelompok Sosial
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru
meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.
Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang
berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan
pada Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka mendisukusikannya
dengan temannya masing-masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari
pengobatan untuk menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman
Ny. B mungkin akan mengatakan itu hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu
diperiksakan ke dokter.
c. Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat,
mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami
latar belakang budaya yang dimiliki klien.
d. Ekonomi
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap
terhadap gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari
pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.
e. Kemudahan Akses Terhadap Sistem Pelayanan
Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering
mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan.
Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar
dan mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan
prosedur yang rumit.
f. Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang bersifat
peningkatan kesehatan. Di institusi tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti
seminar kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik, senam
POCO-POCO dll).
Juga menyediakan fasilitas olehraga seperti, kolam renang, lapangan Bola Basket,
Lapangan Sepak Bola, dll.
DAMPAK SAKIT
Pasal 9, Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya
keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih
tinggi.
Surat Izin Pratek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang
diberikan perawat untuk menjalankan pratek perawat.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan atau SIP dilakukan melalui penilaian
kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap
kode etik profesi serta kesanggupan melakukan pratek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan pratek keperawatan berwenang untuk :
a. Melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa
keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi
keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir (a) meliputi : intervensi
keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksudkan huruf (a) dan
(b) harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi
profesi.
d. Pelayanan tindakan medic hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari
dokter.
Pasal 15 adalah pasal 20
Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat
berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15.
Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan
untuk penyelamatan jiwa.
Pasal 21
Perawat yang menjalankan pratek perorangan harus mencantumkan SIPP diruang
prateknya.
Perawat yang menjalankan pratek mandiri diperbolehkan memasang papan nama.
Pasal 31
Perawat yang telah mendapatkan SIK atau SIPP dilarang :
a. Menjalankan pratek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. Melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau
Menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain,
dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud