Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan
pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut
usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan
psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada
lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam
manisfestasi klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis
dewasa muda dan lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada
pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan
kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan
kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi, 1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan
adanya pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis dan
day hospital, merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan
(Brocklehurts, Allen, 1987). Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan
geriatrik dapat dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep teori lanjut usia ?
2. Bagaimana teori kejiwaan lansia ?
3. Bagaimana teori psikologi ?
4. Apa saja macam- macam masalah keperawatab psikologis pada lansia ?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan perubahan psikologis ?
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teori Lanjut Usia


a. Pengertian Lanjut Usia

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lansia apabila usianya 60


tahun atau lebih, baik pria maupun wanita. Sedangkan Departemen Kesehatan RI
menyebutkan seseorang dikatakan berusia lanjut usia dimulai dari usia 55 tahun keatas.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) usia lanjut dimulai dari usia 60 tahun (
Kushariyadi,2010;Indriana 2012;Wallnce,2007).

b. Batasan Umur Lanjut Usia

Batasan- batasab umur yang mencakup batasan umur lansia dari pendapat
berbagai ahli yang di kutip dari Nugroho(2008):

1. Menurut undang –undang nomor 13 tahun 1998 dalam bab 1 pasal 1 ayat II
yang berbunyi “lanjut usia dalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas “
2. Menurut WHO:
a) Usia pertengahan : 45-59 Tahun
b) Lanjut usia : 60- 74 Tahun
c) Lanjut usia tua : 75-90 Tahun
d) Usia sangat tua : diatas 90 tahun ( Kushariyadi ,2010)

c. Perubahan yang terjadi pada lansia


Menurut Mujahidullah (2012) dan Wallance (2007), bebrapa perubahan yang
akan terjadi pada lansia diantaranya adalah perubahan fisik, mental,dan
keagamaan.
1. Perubahan fisik
a) Sel, saat sseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam tubuh akan
berubaha seperti jumlahnya yang menurun , ukuran lebih besar sehingga
mekanisme perbaikan sel akan terganggu dan proposi protein diotak,
otot,ginjal,darah dan hati berkurang.
b) System persyarafan, keadaan system persyarafan pada lansia akan
mengalami perubahan, seperti mengecilnya syaraf panca indra. Pada indra
pengdengaran akan terjadi gangguan pendengaran seperti hilangnya
kemampuan pendengaran pada telinga. Pada indra penglihatan akan terjadi
seperti kekeruhan pada kornea,hilangnya daya akomodasi dan menurunya
lapang pandang. Pada indra peraba akan terjadi seperti respon terhadap
nyeri menurun dan kelenjar keringat berkurang. Pada indra pembau akan
terjadi seperti menurunnya kekuatan otot pernafasan,sehingga kemampuan
membau juga berkurang.
c) System gastrointestinal , pada lansia terjadi menurunya selera makan,
seringnya terjadi kontipasi, menurunya produksi air liur(Saliva) dan gerak
peristaltic usu juga menurun.
d) System ganitourinaria, pada lansia ginjal akan mengalami pengecilan
sehingga aliran darah ke ginjal menurun.
e) System musculoskeletal, pada lansia tulang akan kehilangan cairan dan
makin rapuh,keadaan tubuh akan lebi pendek ,persendian kaku dan tendon
mengerut.
f) System kardiovaskuler, pada lansia jantung akan mengalami pompa darah
yang menurun ,ukuran jantung secara keseluruhan mennurun dengan
tidaknya penyakit klinis, denyut jantung menurun, katup jantung pada
lansia akan lebih tebal dan kaku akibat dari akumulasi lipid. Tekanan
darah sistolik meningkat pada lansia karena hilangnya distendibility arteri.
Tekanan darah diastolic tetap sama atau meningkat.

2. Perubahan intelektual
Menurut Hochanadel dan Kaplan dalam Mujahidullah(2012), akibat
proses penuaan juga akan terjadi kemunduran pada kemampuan otak
seperti perubahan intelegenita Quantion (IQ) yaitu fungsi otak kanan
mengalami penurunan sehingga lansia akan mengalami kesulitan dalam
berkommunikasi nonverbal, pemecahan masalah, kosentrasi dan kesulitan
mengenal wajah eseorang. Perubahan yang lain adalah perubahan ingatan,
karena penurunan kemampuan otak maka seorang lansia akan kesulitan
untuk menerima rangsangan yang diberikan kepadanya sehingga
kemampuan untuk mengingat pada lansia juga menurun.
3. Perubahan keagamaan
Menurut Maslow dalam Mujahidin (2012), pada umunya lansia aan
semakin teratur dalam kehidupan keagamannya , hal tersebut
berdangkutan dengan keadaan lansia yang akan meninggalkan kehidupan
dunia.
4. Tugas perkembangan dalam lanjut usia
Menurut Havighurst dalam Stanley (2007) ,tugas perkembangan
adalah tugas yang muncul pada periode tertentu dalam kehidupan suatu
individu. Ada beberapa tahapan perkembangan yang terjadi pada lansia
,yaitu;
a) Penyesuaikan diri kepada penurunan kesehatan dan kekuatan fisik
b) Penyesuaian diri kepada masa pension dan hilangnya pendapatan
c) Penyesuaian diri kepada kematian pasangan dan orang terdekat lainya.
d) Pembentukan gabungan ( pergelompokan) yang sesuai dengannya.
e) Pemenuhan kewajiban social dan kewarganegaraan.
f) Pembentukan kepuasan pengaturan dalam kehidupan.

2.2 Teori Kejiwaan Lansia


1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara
langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup)
dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara
sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan
yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti
yang dimiliki.

3. Teori Pembebasan (Disengagement Theory)


Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni:
a. Kehilangan Peran
b. Hambatan Kontak Sosial
c. Berkurangnya Kontak Komitmen

2.3 Teori Psikologis


Spikology adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik
sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku
tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang
disadari maupun yang tidak disadari.( Muhibbin Syah (2001)
1. Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua
antara lain adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan
yang spesifik yang dapat muncul sebagai akibat tuntutan:
a. Kematangan fisik
b. Harapan dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai –nilai individu dan aspirasi

Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri,
kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).

2. Teori Individual Jung


Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari
seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan
masa dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu
terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan ketidaksadaran bersama. Menurut
teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau kearah subyektif.
Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara
kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling
penting bagi kesehatan mental.

3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan


Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya
kondisi dimana kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan
tertentu. Ericson (1950) yang telah mengidentifikasi tahap perubahan
psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua,
tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai
keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968)
menguraikan lebih lanjut tentang teori perkembangan Erikson dengan
mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih dalam tiga
tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi,
perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego
preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas
perkembangan yang harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri
sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan yang adekuat dari lingkungan
untuk menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua (preokupasi). Adanya
pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan
penurunan harga diri dari orang tua tersebut.

2.4 Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi
para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penuruanan kondisi fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya
tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang
makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki
masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat
menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial,
yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang
lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat,
maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik
maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi
kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik,
misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan fungsi dan potensi seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung,
gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi :
misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna
atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti
antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

3. Perubahan aspek psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi
psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut:
a. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe
ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat
tua.
b. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada
masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan
otonomi pada dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini
biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan
keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak,
tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit
dari kedukaannya.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya,
banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara
seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe
ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu
orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun
tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau
jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena
pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa
pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan
pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah
lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam
menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut
kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang
seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut
sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negative.
Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan
mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-
kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja
atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara
berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan
pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan
setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang
sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat
banyak jenis dan macamnya.Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan
langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa
disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang
cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak
membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna,
menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.

5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat


Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik
dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan.
Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,
selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia
yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak
dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar.

2.5 Macam –macam Masalah Keperawatan Psikologis pada Lansia

1. Depresi
a. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor,
konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan
bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan
sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat
berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah
yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan
depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan
penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh
kesedihan, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong
(Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;, depresi adalah bentuk
gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna,
dan putus asa. Depresi adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang
berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).

b. Tanda gejala depresi


Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996)
meliputi beberapa aspek seperti:
a) Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan,
kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian,
harga diri rendah, kesedihan.
b) Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing,
keletihan, gangguan pencernaan, insom¬nia, perubahan haid, makan
berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
c) Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri
sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis,
ketidakpastian.
d) Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan
obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat
tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah
menangis, dan menarik diri.
Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-
gejalanya yaitu:
a. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

b. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
dan menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

c. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesu¬dah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur tergangguDisertai waham, halusinasi
i) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

2. Karateristik Depresi Lanjut usia


Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia,- depresi ini sering di
diagnosis salah atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang
mengunjungi praktik dokter umum adalah mereka dengan depresi, tetapi ;
acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan pada
keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi
(Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan
keadaan ini, mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamrkan atau
tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu
isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses
penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya
gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya
keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak
bersemangat, merasa kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran
bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash,
1997).
Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :
a. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang
menunjukkan gejala depresi. Pertama, individu yang mengalami
depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir
tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa
rendah diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan yang dialami.
Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan segala
sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap
dirinya (self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi
yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan dan
melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada
gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu
pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi
lambat, performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi
dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya
motivasi.
b. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus
asa, kehilangan semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak
dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan
dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan
tidak dapat keluar dari sana.
c. Somatic
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi
seperti pola tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan
dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap
penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena
aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan
sel darah putih yang kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
d. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi
motor. Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa
ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering
menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat
yang cukup untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian
depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004) gejala-gejala
depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur
(sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi
buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan
aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa
cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan
konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan menurun
(appetite), gerakan lamban dan sering duduk terkulai (psychomotor)
dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly).

3. Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
a. Faktor Predisposisi
a) Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif
melalui riwayat keluarga dan keturunan.
b) Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi
karena perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
c) Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika
individu dengan benda atau yang sangat berarti.
d) Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri
yang negatif dan harga diri rendah mempe ngaruhi sistem keyakinan
dan penilaian seseorang terhadap stressor.
e) Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah
kognitif yang di dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri
sesorang, dunia seseorang dan masa depan seseorang.
f) Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ),
menunjukkkan bukan semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi
keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil
yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang
respon yang tidak adaptif.
g) Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang
mengasumsi penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan
positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
h) Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang
terjadi selama depresi, termasuk definisi katekolamin, disfungsi
endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama
biologis.
b. Stressor Prncetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan ( depresi ) menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
a) Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk
kehilangan cinta seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan,
maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
b) Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-
masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan
masalah.
c) Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi
perkembangan depresi, terutama pada wanita.
d) Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai
penyakit fisik. Seperti infeski, neoplasma, dan gangguan
keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan alam
perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi
dan penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan
penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor
predisposisi (teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori
psikososial terdiri dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan
objek).

4. Penyebab Depresi pada Lansia


Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental
health) yang serius dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process
tetapi juga faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari penyebab
depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006)
ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu
:
a. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan
dicintai, rasa aman dan terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati
dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang yang kehilangan akan
kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari
kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang
dicintai (terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan
pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu
mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa
sesal, bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh
dalam depresi. Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi
terhadap kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita sesudah kehilangan
objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali mengalami
perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah dan
benci karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya
bahwa intropeksi merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan
suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan menyalahkan diri
karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang terjadi
pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh
dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-
perubahan tersebut diatas seringkali menjadi stresor bagi lanjut usia yang
membutuhkan adaptasi biologis dan biologis. Menurut Maramis (1995),
pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang
terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami
depresi adalah strategi pasif (defence mcanism) seperti menghindar,
menolak, impian, displacement dan lain-lain (Coyne ett all, 1981 ;
Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan sosial (social support) yang tersedia dan digunakan
lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ;
Samiun , 2006).
b. Pendekatan Prilaku Belajar
Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah
individu yang kurang menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan
hukuman (punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang
idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun,
2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini
mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan,
kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan
self-concept yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari
lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri.
Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima
terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk
tingkah laku mereka sendiri, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan
antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan hukuman
terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm,
1997 ; Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006). Faktor lain dari lingkungan
yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika pindah ke
tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah
dan perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas
yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah
dan hukuman yang meningkat menyebabkan performansi yang diperlukan
untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya
diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk
mendapat hadiah tidak ditemukan.
c. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang
mengalami depresikarena memiliki kemapanan kognitif yang negatif
(negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan
masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan
menginterpretasikan sebagai suatu yang kebetulan dan tetap memikirkan
kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri,
merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam
pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-
confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998). Negative
cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari
adanya distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih
positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa
tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-
aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya
(helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi
(Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru
(misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi
negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan
keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari
(learned helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi.
Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran diri yang negative dan
ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus
menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang
sering dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
d. Pendekatan Humanistik –Eksitensial
Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi
terjadi karena adanya ketidakcocokan antara reality self dan ideal self.
Individu yang menyadari jurang yang dalam antara reality self dan ideal
self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan dan
tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi.
Individu merasa tidak ada lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang
yang real. Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari
bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang
mengalami perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga
kehidupan fisik mereka segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini
merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang real..
e. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena
aktivitas neurologis yang rendah (neurotransmiter norepinefrin dan
serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur kesenangan.
Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi
hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah
laku motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang
yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian
saudara kembar. Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami depresi
4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik
Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu
diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan
perpaduan interaksi yang unik dari berkurangnya interaksi social,
kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan
kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan
factor biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak.
Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada lansia.
Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
a) Distorsi dalam perilaku makan
b) Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
c) Merasa putus asa dan tidak berarti.
d) Berat badan berubah drastic
e) Gangguan tidur.
f) Sulit berkonsentrasi
g) Keluarnya keringat yang berlebihan
h) Sesak napas
i) Kejang usus atau kolik
j) Muntah
k) Diare
l) Berdebar-debar
m) Gangguan dalam aktivitas normal seseorang
n) Kurang energy

5. Deprsi Lanjut Usia Pasca Kuasa ( Post Power Syndrom)


Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang
dialami seseorang setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab
depresi pada pasca kuasa adalah karena adanya perubahan yang berkaitan
dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal
pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension
sering dirasakan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001). Menurut Kuntioro (2002), reaksi
setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari model
kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban
mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental
individu dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada
yang takut kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua da
nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik
positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan
dampak negative akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri,
gangguan interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan
pola kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering
menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan
segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan,
perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi
(Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang
mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang
kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan
(powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of
love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya
keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik,
kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas
disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala
yang disebut sindroma pasca kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap
dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial dari orang
yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu
kuat kini merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam
alam fikir (rasio) dan alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau
keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau
depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka keluhan
psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun
sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi
yang mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap
kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak
senang itu, orang menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa
makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi
seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis
(1995), bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan,
kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian
psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala
psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia
itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat
dalam hal ini. Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat
juga komponen psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik
ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan
bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran
bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang,
lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang
hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai
pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.

6. Faktor –faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di
institusi/panti werdha.
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti
tinggal di panti wreda (Endah dkk, 2003) :
a) Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk
menentukan tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan
di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang belum dikenal,
aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor
bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan
motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat
meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang
menarik adalah kekurangan kemampuan dalam beradaptasi secara
psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering
menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan social (social support) yang tersedia dan digunakan
lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983;
Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu
menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa
hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia
memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga
mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru
tinggal di institusi.
b) Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social
dan dukungan social mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada
lansia. Menurunnya kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga dan
berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak
dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi.
Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara integritas,
pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan
mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah
terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi
terjadinya depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya.
Pada lansia yang harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya
(relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan
pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan
pertalian persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan
stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa kesepian dan
kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman,
1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social
dan pekerjaannya yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan
tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan
penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran
penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami
penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak
percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c) Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat,
mengakibatkan kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak
mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di
panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga
(family system) dari extendend family ke nuclear family akibat
industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya
industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis menggangap lansia
sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia
memperburuk psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang
terakhir bagi lansia, karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik
bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang memiliki
lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip
oleh Friedman, 1998).
7. Skala Pengukuran Depresi pada Lansia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap
lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai
dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus
dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat
dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia.
Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai
tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression
Scale (GDS).
Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi
utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak
memerlukan keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini
memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat ini
correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin
pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS
menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab
“ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10
menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak
mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood
lainnya. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan
depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang
membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi
secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan.
Pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya”
diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi
pada lansia sebagai berikut:
No. Pernyataan Ya Tidak
1) Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?
2) Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan
akhir-akhir ini?
3) Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup
ini?
4) Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
5) Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di masa
depan?
6) Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang menganggu
terus menerus?
7) Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
8) Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada
anda?
9) Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10) Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11) Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
12) Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan
mengerjakan sesuatu?
13) Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14) Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
15) Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini
menyenangkan?
16) Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17) Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18) Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa
lalu?
19) Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
20) Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang
baru?
21) Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
22) Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada
harapan?
23) Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya
daripada bapak/ibu?
24) Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?
25) Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26) Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
27) Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi hari?
28) Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29) Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
30) Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu
seperti dulu?

8. Penanggulangan Depresi pada Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat
perlu ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan
sosial. Hal tersebut karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan
menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu
pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang
kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu
suatu pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga
mencakup aspek psychological, psikososial, spiritual dan lingkungan yang
menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan
semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan
menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic
approach, diantaranya:
1) Pendekatan Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap
konflik-konflik yang berhubungan dengan kehilangan dan stress.
Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi kehilangan dan
stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan
cara-cara menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang
bertujuan untuk memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan
memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887), pendekatan ini tidak
hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan
perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk
perbaikan kepercayaan pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi
stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan
pada lansia. Pemikiran-pemikiran dari ajaran agama apapun mengandung
tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak terbebas
dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat
ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada Tuhan
agar dalam kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan
keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari, 1996).

2) Pendekatan Prilaku Belajar


Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah
dan berlebihannya hukuman atas diri dapat di atasi dengan pendekatan
perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-aspek leingkungan
yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan
keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau
mengurangi pengalaman yang menghukum, seperti assertive training,
latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan manajemen
waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup
dengan self-reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat
diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang p[erlu diperhatikan
dalam pemberian hadiah dan hukuman, yaitu tugas dan teknik yang
diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman dari
kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah
tingkah laku supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman,
serta individu harus diajarkan keterampilan yang diperlukan untuk
meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.
3) Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola
pikit tentang keberhasilan masa lalu dan sekarang dengan cara
mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana hati
dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah
pemikirannya benar dan menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan
yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006). Dasar dari
pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk
dari rangkaian verbalisasi diri (self-talk) terhadap
peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi dan
tingkah laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah
menghilangkan episode depresi dan mencegah rekuren dengan
membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative, mengembangkan
cara berpikir alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon
kognitif dan perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran
yang positif.
4) Pendekatan Humanistik Estensial
Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari
kebaradaannya didunia ini dengan memperluas kesadaran diri,
menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah
hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha
membuka pintu menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu
deterministic yang menyebabkan terpenjara secara psikologis (Corey,
1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat
pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya,
sekarang dan lebih mempu menetapkan masa depan.
5) Pendekatan Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi
psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan
pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik
dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

9. Penatalaksanaan Depresi pada Lansia


a. Terapi Biologik
1. emberian obat antidepresan
2. Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
3. Terapi sulih hormon
4. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)

b. Terapi Psikososial (Psikoterapi)


Bertujuan mengatasi masalah Psikoedukatif, yaitu:
1. Mengatasi kepribadian maladaptif,
2. Distorsi pola berpikir,
3. Mekanisme koping yang tidak efektif,
4. Hambatan relasi interpersonal.
Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah Sosiokultural, seperti;
1. Keterbatasan dukungan dari keluarga,
2. Kendala terkait faktor kultural,
3. Perubahan peran sosial.
c. Perubahan Gaya Hidup
1. Aktivitas fisik terutama olah-raga.
2. Pasien dibiasakan berjalan kaki setiap pagi/sore sehingga energi dapat
di serta me(-) stress karena kadar norepinefrin meningkat.
3. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi
serta yoga untuk menenangkan pikirannya
d. Diet Sehat
1. Me(-) asupan gizi yg me(+) kadar stress jg perlu dilakukan.
2. Memperhatikan jenis makanan yg akan disajikan kpd lanjut usia yg
mengalami depresi. Makanan berat scr otomatis akan memicu tindakan
bagian syaraf parasimpatik  cabang dr sistem syaraf otonom yg
me kesadaran.
3. Depresi berhub. dg tingkat kesadaran yg rendah. Kesadaran mengacu
pd proses psikologis yg meliputi hal-hal seperti kemampuan utk
memusatkan perhatian seseorang & kemampuan utk bekerja scr
efektif.
10. Berduka Cita
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan
bagi seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang
teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat disanyangi bias mendadak
memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang
selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode
2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat
tersebut merupakan periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang
tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan dukacita
tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan
menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada
usia lanjut biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan
harus memberi kesempatan pada episode tersebut berlalu. Diperlukan
pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan
hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan
berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul
depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan
diberikan obat anti depresan.
11. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada
saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya
sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya
menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan
sensorik, terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara
lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang
masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang walaupun hidup di
lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami kesepian.
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gangguan depresif merupakan salah satu gangguan mental-emosional yang cukup
sering dijumpai pada orang usia lanjut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena faktor
penyebab dari gangguan depresif begitu besar kemungkinan akan dialami oleh orang usia
lanjut. Di lain pihak, walaupun terapi untuk gangguan depresif tersebut bisa dilaksanakan
namun hasilnya tidaklah dapat mencapai hasil yang maksimal, mengingat kekurangan
secara fisik dan psikososial pada orang usia lanjut tidaklah dapat dikembalikan seperti
semula.

4.2 Saran
Asuhan keperawatan pada lansia haruslah diakukan secara profesional dan
komprehensip, yaitu dengan memandang pada aspek boi-psiko-sosial-spiritual pada
lansia. Aspek psikologis pada lansia merupakan aspek yang tak kala penting dari aspek
yang lain, olehnya itu pelaksanaan asuhan keperawataan lansia dengan gangguan
psikososial harus dilakukan dengan sebaik-baiknya demi terciptanya lansia yang sehat
jasmani dan rohani.
DAFTAR PUSTAKA

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC
Muhibbinsyah. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mi Ja Kim, Gertrude K. McFarland, Audrey M. McLane, Diagnosa Keperawatan, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1994

- Marilynn E/ Doengoes, Rencana Asuhan Keperawatan,Edisi 3, Buku Kedokteran EGC,


Jakarta, 1999

- Potter & Perry, Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2005

Anda mungkin juga menyukai