Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak diantara lambung dan usus besar. Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu
usus dua belas jari (duodenum),usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan
ileum.
Usus halus merupakan saluran berkelok-kelok yang panjangnya sekitar 6-8
meter, lebar 25 mm dengan banyak lipatan yang di sebut vili atau jonjot jonjot
usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh
terhadap penyerapan makanan.
Dalam usus halus ini terdapat penyakit yang disebabkan oleh kuman
salmonella typhi yaitu Typus abdominalis.
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejalan demam lebih dari 7 hari ,gangguan kesadaran
dan saluran pencernaan, penularan typus abdominalis terjadi secara fecal
oral,melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Kuman salmonella typi dapat hidup baik sekali pada tubuh manusia
maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70oC maupun oleh
antiseptik,sampai saat ini di ketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia.
Masa inkubasi akibat kuman ini rata-rata 2 minggu, gejala timbul tiba-tiba atau
berangsur-angsur, cepat lelah, malaise, anoraksia, sakit kepala, rasa tidak enak di
perut dan nyeri seluruh badan.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Tujuan Umum
Dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit typus abdominalis
b. Tujuan Khusus

1
1. Mengetaui devinisi penyakit typus abdominalis
2. Mengetahui dan memahami etiologi penyakit typus abdominalis
3. Mengetahui gejala klinis penyakit typus abdominalis
4. Memahami patofisiologi penyakit typus abdominalis
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit typus abdominalis
6. Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit typus abdominalis
7. Memahami dan mengetahui Asuhan keperawatan pada penderita penyakit
typus abdominalis

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Penyakit
2.1 Devinisi Typus Abdominalis
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella Typhi. (Arif Mansjoer, 2003)
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gannguan
kesadaran dan saluran pencernaan. (Arif Mansjoer, 2003)
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus menimbulkan
gejala-gejala klinis yang di sebabkan oleh kuman Salmonella Typhi A<B dan
C (Purnawan Junaidi (1998)).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang biasanya
lebih ringan
Dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis
akut .(Noer Saifoellah 2001).
Demam typoid adalah sebuah penyakit infeksi pada usus yang
menimbulkan gejala-gejala sistematik yang di sebabkan oleh “Salmonella
Typosa”, dan “Salmonella Paratyphi A,B, dan C”. Penularan terjadi secara
fecal oral, melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi . Sumber
infeksi terutama “Carrier” ini mungkin penderita yang sedang sakit (“Carrier
akut”), “Carrier” menahun yang terus mengeluarkan kuman atau “Carrier“
pasif yaitu mereka yang mengeluarkan kuman melalui eksketa tetapi tak
pernah sakit, penyakit ini endemik di indonesia. (Ngastiyah,2005).

2.2 Etiologi Typus Abdominalis


Etiologi Typus Abdominalis adalah salmonella Typhi, Salmonella
Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, Salmonella Paratyphi C. (Arif Mansjoer,
2003).

3
Sedangkan menurut Rampengan (1999), penyakit ini disebabkan oleh
infeksi kuman Salmonella Typhosa / Eberthella Thyposa yang merupakan
kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora.
Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun
suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70 oC maupun oleh
antiseptik,sampai saat ini di ketahui bahwa kuman ini hanya menyerang
manusia. Salmonella Typhosa mempunyai 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
b. Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
c. Antigen V1 = Kapsul : merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis.

2.3 Gejala Klinik


Menurut Arif Mansjoer, (2003), masa inkubasi rata-rata 2 minggu,
gejala timbul gejala timbul tiba-tiba atau berangsur-angsur. Penderita cepat
lelah, malaise, anoraksia, sakit kepala, rasa tidak enak di perut dan nyeri
seluruh badan.
Demam umumnya beransur-angsur naik selama minggu pertama,
demam terutama pada sore dan malam hari (bersifat febris Remitont).
Pada minggu kedua dan ketiga demam terus-menerus tinggi (febris
kontinuo),kemudian turun secara lisis ,demam ini tidak hilang dengan
pemberian antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat kadang-
kadang disertai epitaksis, gangguan gastrointostinal,bibir kering dan pecah-
pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya hiperemisis, perut agak
kembung dan mungkin nyeri tekan,limpa membesar lunak dan nyeri pada
pernakan , pada permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian
menjadi obstipasi. Kesadaran penderita menurun dari ringan sampai berat,
umumnya apatis (seolah-olah berkabut, Typos=kabut).

4
Masa inkubasi / masa tunas 7-14 hari, selama inkubasi mungkin di
temukan gejala prodromal berupa rasa tidak enak badan. Pada kasus khas
terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada bagi
hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien
terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada
minggu ke tiga (Arif Mansjoer, 2003).

2.4 Patofisiologi
Kuman salmonella thypi masuk tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh
kuman,sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung sebagian lagi masuk
ke usus halus dan mencapai jaringan limpoid plak peyeri di ileum terminalis
yang mengalami hipertropi.
Bila terjadi komplikasi pendarahan dan perforasi intestinal , kuman
menembus lamina propia , masuk aliran limpe dan mencapai kelenjar limpe
masesnterial dan masuk aliran darah melalui duktus torasikus. Salmonella
thypi lain dapat mencapi hati melalui sirkulasi portal dari usus . Salmonella
thypi bersarang di plak peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian yang lain sistem
retikuloendotelial.Endotoksin salmonella typhi berperan dalam proses
inflamasi lokal pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam (Arif
Mansjoer 2003).
Patogenesis (tata cara masuknya kuman typhoid kedalam tubuh) pada
penyakit typhoid ini di bagi atas 2 bagian (Antoni , 1998) yaitu :
a. Menembus dinding usus masuk kedalam darah. Diphagosititis oleh kuman
RES (Reticule Endothelial System) dalam hepar dan lien disini kuman
berkembang biak dan masuk kedalam darah lagi dan menimbulkan infeksi
di usus lagi.
b. Bacil melalui toncil secara Lymphogen dan haemophogen masuk kedalam
hepar dan lien , bacil mengeluarkan toxin , toxin inilah yang menimbulkan
gejala klinis.

5
2.5 Pemeriksaan penunjang
Biakan darah positif memastikan demam Typhoid, tetapi biakan darah
negatif tidak menyingkirkan demam thypoid. Biakan tinja positif menyokong
diagnosis klinis demam typhoid. Reaksi widal test tunggal dengan titer
antibodi 0 1/320 atau titer antibodi H 1/640 menyokong diagnosis demam
typhoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas . Pada beberapa
pasien, uji widal tes tetap negatif pada pemeriksaan ulang walaupun biakan
darah positif (Arif Mansjoer,2003).
Widal Tes
a. Pengertian widal test
Sampai saat ini widal tes merupakan reaksi serelogis yang digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosa typhoid , Dasar widal tes adalah reaksi
agglutinasi antara antigen salmonella thyfosa dengan antibodi yang
terdapat pada serum penderita (Rampengan, 1999).
b. Pemeriksaan widal test
Menurut rampengan (1999), Ada dua macam metode yang dikenal yaitu :
1. Widal cara tabung (konvensional)
2. Salmonella slide test (cara slide)
Nilai sensifitas,spesifitas serta ramal reaksi widal tes sangat bervariasi
dari satu laboratorium dengan laboratorium lainny. Disebut tidak sensitif
karena adanya sejumlah penderita dengan hasil biakkan positif tetapi
tidak pernah di deteksi adanya antibody dengan tes ini, bila dapat
dideteksi adanya titer antibody sering titer naik sebelum timbul gejala
klinis ,sehingga sulit untuk memperlihatkan terjadinya kenaikan titer
yang berarti . Disebut tidak spesifikasi oleh karena semua grup D
slmonella mempunyai antigen O, demikian juga grup A dan B
salmonella . semua grup D salmonella mempunyai fase H antigen yang
sama dengan salmonella tyfosa, titer H tetap meningkat dalam waktu
sesudah infeksi. Untuk dapat memberikan hasil yang akurat, widal test
sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali saja melainkan perlu satu seri

6
pemeriksan, kecuali bila hasil tersebut sesuai atau melewati nilai standar
setempat . Nilai titer pada penderita typhoid adalah :
a. Jika hasil titer widal tes terjadi pada antigen O () positif >1/200
maka sedang aktif.
b. Jika hasil titer widal tes terjadi pada antigen H dan V1 () positif >
1/200 maka dikatakan infeksi lama.

2.6 Penatalaksanaan / Pengobatan


Penatalaksanaan penyakit typhoid sampai saat ini dibagi menjadi tiga bagian
(Bambang Setiyohadi, Aru W. Sudoyo, Idrus Alwi, 2006), yaitu :
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional dan bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti
makanan, minuman, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan
membantu dan memepercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur ,pakaian dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
pheumonia ortostatik serta hygienen perorangan tetap , perlu diperhatikan
dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam typhoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama. Dimasa lampau penderita demam
typhoid diberi bubur saring , kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar
dan akhirnya diberi nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan
tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditunjukkan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perporasi
usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus halus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan

7
padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah dengan selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat ) dapat diberikan dengan
aman Typhoid.
3. Pemberian antibiotik
a. Klorampenikol
Di Indonesia klorampenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
pengobatan demam thypoid. Dosis yang diberikan 4 x 500mg perhari
dapat diberikan peroral atau intravena, diberikan sampai dengan 7 hari
bebas demam
b. Tiampenikol
Dosis dan evektivitas tiampenikol pada demam typhoid hampir sama
dengan klorampenikol. Akan tetapi kemungkinan terjadi anemia aplastik
lebih rendah dari klorampenikol . Dosis 4 x 500mg diberikan sampai
hari ke 5 dan ke 6 bebas demam.
c. Kotrimoksazol
Dosis untuk orang dewasa 2 x 2 tablet dan diberikan selama 2 minggu
d. Ampicilin dan amoksilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan klorampenikol, dosis diberikan 50-150 mg / kgBB
dan digunakn selama 2 minggu.
e. Seflosporin generasi ke tiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti
efektif untuk demam thypoid adalah sefalosforin, dosis yang dianjurkan
adalah 3- gram dalam dektrose 100cc diberikan selama ½ jam perinfus
sekali sehari selama 3 hingga 5 hari.

8
B. Konsep Askep
1. Pengkajian
Riwayat keperawatan
Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada malam
hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak ada nafsu makan , epistaksis , penurunan
kesadaran.
a. Data biografi : nama , alamat , umur , status perkawinan , tgl MRS ,
diagnose medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah sakit dan apa keluhan utama pasien,
sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat
muncul.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama .
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga pasien yang sakit seperti pasien.
e. Riwayat psikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)
Interperonal : hubungan dengan orang lain.
f. Pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme :
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
usus halus.
2. Pola istirahat dan tidur
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien
merasakan sakit pada perutnya , mual, muntah kadang diare.
g. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu dikaji dari sadar-tidak sadar (composmetis-
coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.

9
b. Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari
keadaan umum psien atau kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari
kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi
,auskultasi, palpasi, perkusi) , disamping itu juga penimbangan BB
untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningkatan gangguan
nutrisi yang terjadi , sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan.

3. Penentuan diagnosa keperawatn


a. Hypertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin
Pada hipotalamus, proses infeksi.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
ada nafsu makan, mual, dan kembung.
c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan , dan peningkatan suhu tubuh.
d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran
e. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.

4. Perencanaan keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin
pada hipotalamus.
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan suhu dalam batas normal.
KH :
 Suhu tubuh normal : 36,5o – 37,5oC
 Badan teraba hangat
 Pasien nampak rileks
Intervensi :
1) Pantaui suhu klien

10
R : suhu 38o – 41oC menunjukkan proses penyakit infeksius akut
2) Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen pada tempat
tidur sesuai kebutuhan
R : suhu ruangan tau jumlah selimtu harus dirubah untuk
mempertahankan tubuh mendekati normal.
3) Berikan kompres mandi hangat
R : dapat membantu mengurangi demam.
4) Kolaborasi pemberian antipiretik
R : untuk mengurangi demam aksi setralnya di hipotalamus.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan absorbsi
nutrien.
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan kebutuhan nuitrisi terpenuhi.
KH :
 Tidak ada mual dan muntah
 Porsi makan dihabiskan 1 porsi
 Turgor kulit baik
 Pasien tampak bertenaga
 Raut muka bercahaya
 BB meningkat
Intervensi :
1) Dorong tirah baring
R : Penurunan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori
dan simpanan energi.
2) Anjurkan istirahat sebelum makan
R : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan
3) Memberikan kebersihan oral.
R : mulut yang bersih meningkatkan rasa makan.
4) Sediakan makan dalam ventilasi yang baik

11
R : lingkungan yang menyenangkan lebih menurunkan stres dan lebih
kondusif untuk makan.
5) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
R : nutrisi yang adekuat akan membantu proses persembuhan.
6) Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi
R : program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal sementara
memberikan nutrisi penting.
c. Resiko tinggi kurang volume cairan b.d kehilangan sekunder terhadap
diare
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan mempertahankan volume cairan adekuat.
KH :
 Membran mukosa lembab
 Turgor klulit baik
 Pengisian kapiler baik
 Tanda fital stabil
 Keseimbangan masuk dan keluar urine baik
Intervensi :
1) Awasi masuk dan kaluaran perkiran kehilangan cairan yang tidak
terlihat
R : memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan kntrol
penyakit usus merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
2) Obserfasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, turgor kuli an
pengisian kapiler
R : menunjukkan kekurangan cairan berlebihan dan dehidrasi.
3) Kaji TTV
R : demam menunjukkan respon terhadap kehilangan cairan.
4) Pertahankan pembatasan teroral, tirah baring
R : kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk penurunan
kehilangan cairan usus.

12
5) Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral
R : mempertahankan istirahat usus akan memerlukan pergantian cairan
untuk mempertahankan kehilangan.
d. Intoleransi aktifitas b.d peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder
terhadap infesi akut
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24jam
diharapkan terjadi peningkatan toleransi aktifitas.
KH :
 Pasien mampu melakukan kegiatan mandiri seperti makan dan ke
kamar mandi
 Pasien mampak rileks

Intervensi :
1) Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi
pengunjung
R : menyediakan energi yang digunakan untuk aktifitas.
2) Ubah [posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik
R : meningkatkan funghsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada
area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.
3) Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi.
R : tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena
ketyerbatasan aktifitas.
4) Berikan aktifitas hiburan yang tepat seperti menonton TV,
mendengarkan radio dll
R : meningkatkan relaksasi dan menghemat energi.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Typoid adalah sebuah penyakit infeksi pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistematik yang di sebabkan oleh “Salmonella Typosa “, Salmonella
Paratyphi”A,B, dan C. Penularan terjadi secara fecal oral, melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi . Sumber infeksi terutama “Carrier” ini mungkin
penderita yang sedang sakit (“Carrier akut”), “Carrier” menahun yang terus
mengeluarkan kuman atau “Carrier“ pasif yaitu mereka yang mengeluarkan kuman
melalui eksketa tetapi tak pernah sakit, penyakit ini endemik di indonesia.

B. Saran
 Menjaga pola makan
 Mengatur pola istirahat
 Menggunakan alat makan pribadi dan tidak bergantian dengan teman
 Membiasakan membeli makanan yang higienis

14
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito J.L. (1997).Nursing Diagnosis.J.B lippincott. Philadelpia

Carpenito J.L. (1998).Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8 EGC. Jakarta

Depkes RI (1993).Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem


Cardiovaskuler.EGC. Jakarta

Duus, Peter. (1996).Diagnosa Topik Neurologi : anatomi, fisiologi,tanda, gejala,Ed.


2. Jakarta : EGC

Hudak Gallo. (1997). Keperawatan Kritis :pendekatan holistik, edisi IV. Jakarta :
EGC

Judith M.Wilkinson. (2006).Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Price, Sylvia. (2006). Patofisiologi : konsep klinis proses – proses penyakit, Edisi 6.
Jakarta : EGC

Tuker, Susan Martin (1998). Standar Perawatan Pasien. Volume 3. Edisi V. Penerbit
Buku Kedokteran Indonesia (EGC), Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai