Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2017


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
PUSKESMAS JONGAYA

GASTROENTERITIS AKUT

Oleh :
AHLIYAH ALI
111 2016 2021

Pembimbing Supervisor:
dr. Aminah Darwis
dr. Nungki Mahesarani

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Nn. D
Umur : 22 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Bt. Duri 3
Status : Belum Menikah
No. RM : UD1222
Tanggal masuk : 05 Oktober 2017
II. Anamnesis
A. Keluhan utama : BAB encer
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dirasakan pasien satu hari sebelum datang ke Puskesmas Jongaya.
Pasien mengeluh BAB encer berwarna kekuningan, berampas, berlendir,
tidak berdarah dan tidak berbau busuk. BAB encer terus-menerus
sebanyak lebih dari lima kali pada hari sebelumnya dan hari ini sebnayak 2
kali. Pasien juga mengeluh mual dan muntah sebanyak kurang lebih dua
kali, berisi sisa makanan dan cairan. Nyeri perut dirasakan pasien selama
dua hari terus menerus, nyeri perut seperti terputar. Keluhan disertai
demam satu hari yang lalu, bersifat naik turun, nyeri kepala tidak ada,
batuk tidak ada, sesak tidak ada, nyeri menelan tidak ada, nyeri ulu hati
ada seperti rasa tetusuk, nafsu makan dan minum menurun. BAK lancar
berwarna kuning. Sebelumnya pasien mengaku mengkonsumsi buah
mangga muda dua hari yang lalu. Riwayat mengkonsumsi obat disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : ada
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat dyspepsia : ada
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat asma : disangkal

2
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
D. Riwayat Pribadi
Kebiasaan merokok : disangkal
Kebiasaan konsumsi alkohol : disangkal
Kebiasaan konsumsi obat-obatan : disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat ditanggung oleh BPJS
F. Review of System
Sistem respirasi : sesak napas (-), batuk (-), mengi (-), tidur
mendengkur (-)
Sistem kardiovaskuler : sesak napas saat beraktifitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-), keringat dingin (-), sesak
napas sewaktu berbaring (-)
Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), nyeri perut (+),
konstipasi (-), nyeri ulu hati (+), nafsu makan
menurun (-), diare (+)
Sistem musculoskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-)
Sistem genitourinaria : sering kencing (-), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), berpasir (-), kencing nanah
(-), sulit memulai kencing (-), warna kencing
kuning jernih, anyang-anyangan (-), BAK
berwarna seperti teh (-)
Ekstremitas
Atas : Luka (-), kesemutan (-), bengkak (-), sakit
sendi (-), panas (-), berkeringat (-), palmar
eritema (-), gemetar (-).
Bawah : Luka (-), gemetar (-), ujung jari dingin (-),
kesemutan di kaki (-), sakit sendi (-), bengkak
kedua kaki (-)

3
Sistem neuropsikiatri : Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-),
mengigau (-), emosi tidak stabil (-)
Sistem Integumentum : Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-), bercak
merah kehitaman di bagian dada, punggung,
tangan dan kaki (-).
III. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : Sedang
B. Kesadaran : compos mentis
C. Status gizi
- BB : 60 kg
- TB : 160 cm
- IMT : 23,44
Kesan : Normoweight
D. Tanda vital
- TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 80 x/menit (regular, isi dan tegangan cukup)
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 37,5 0C (per axilla)
E. Status Internus
1. Kepala : mesocephal
2. Mata : cekung (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik
(-/-), reflek pupil direct (+/+), reflek pupil indirect (+/
+), edem palpebral (-/-), pupil isokor (2,5 mm/ 2,5 mm)
3. Telinga : serumen (-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-)
4. Hidung : nafas cuping hidung (-), deformitas (-), secret (-)
5. Mulut : kering (+), sianosis (-), lidah kotor (-), uvula simetris
6. Leher : pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan tragus (-), otot
bantu pernapasan (-), pembesaran tiroid (-)
7. Thoraks :
a. Pulmo

4
Dextra Sinistra
Pulmo Depan

Inspeksi
Bentuk dada Datar Datar
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit Sama seperti kulit
sekitar sekitar
Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus (+) normal (+) normal
Perkusi Sonor seluruh lapang Sonor seluruh lapang
paru paru
Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
- Wheezing (-) (-)
- Ronki kasar (-) (-)
- RBH (-) (-)
- Stridor (-) (-)
Pulmo Belakang

Inspeksi
Bentuk dada Datar Datar
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit Sama seperti kulit
sekitar sekitar
Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus (+) normal (+) normal
Perkusi Sonor seluruh lapang Sonor seluruh lapang
paru paru
Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan

5
- Wheezing (-) (-)
- Ronki kasar (-) (-)
- RBH (-) (-)
- Stridor (-) (-)
Tampak pulmo anterior Tampak pulmo posterior

Suara dasar
vesikuler

b. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
- Batas atas jatung : ICS II linea parasternal sinistra
- Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah jantung : ICS V linea mid clavicula sinistra
- Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis dextra
Auskultasi : suara jantung I dan II murni, bising jantung (-),
gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : permukaan datar, warna sama seperti kulit sekitar
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Perkusi : timpani seluruh lapangan abdomen, pekak sisi (+)
normal, pekak alih (-), nyeri ketok CVA (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba, ginjal tidak teraba
9. Ektremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-

6
Sianosis -/- -/-
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
Capillary Refill <2 detik / <2 detik <2 detik / <2 detik

F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
IV. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan
Penunjung
1. Diare 5. Mata cekung Tidak dilakukan
2. Nausea 6. Konjungtiva anemis pemeriksaan
3. Vomitus 7. Bibir kering
4. Nyeri epigastrium 8. Peristaltik (+)
meningkat
9. Nyeri tekan
epigastrium

V. ASSESMENT
Gastroenteritis Akut
VI. PENATALAKSANAAN
New Diatab 2-1-1/ oral
Cefadroxil tab 500 mg/ 12 jam/ oral
Paracetamol tab 500 mg/ 8 jam/ oral
Zinc tab 2dd1

7
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2
Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat
disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.3

8
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat.4,5
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1
dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi.
Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter
jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3
kali setiap tahun.6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp,
V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01,
dan Salmonella paratyphi A.7
B. EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di
Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan
pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.8
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar
200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap

9
tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.9
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
diare pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989
jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat
0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama
disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni,
Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan
oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella
flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).11
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien
diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12
C. PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi
diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.
Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan
tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan
pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya

10
adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam
magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal
seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan
diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory
bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel.
Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor
antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC)

11
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel
epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi
inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya
mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman
Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses
patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa
lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin
kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang
aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga
terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi
klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP

12
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1
VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT,
neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat
antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.
D. MANIFESTASI KLINIS8,14,15
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus,
berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol,
turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan
deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat
naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun
sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas

13
dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat
timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan
akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit
berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita
menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih
banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena
tanpa alkali.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit,
jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non
infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin.
Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95%
tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin

14
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan
kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan
harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa
gas darah dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya
biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6
Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16
a. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan
yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang
tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap
panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang
terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat
pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik
dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan
gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala
akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10
jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan

15
terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan
muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk
spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari
enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24
jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan
nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang
terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 105
organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan
dan air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat
menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit
dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.

16
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg
sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif
pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin
kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin
parenteral.
Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen
penting, yaitu :
1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2. Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3. Enteroadherent E. coli (EAEC).
4. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat
jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam
waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada
kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah
merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC,
dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit
feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan
EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus
untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari
pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-
sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian
antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC
dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan
dengan EHEC.

17
b. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam,
nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3
– 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari,
pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis
dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.
Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas
antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,
tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi
antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan
penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua
kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di
Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium
merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan
diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang
terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.

18
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se.
Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada
pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi
adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat
meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi
salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi,
tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan
antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti
ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau
Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat
diberi oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam
tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang,
splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya.
Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala
primer yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme
ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus
halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi
usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash.
Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.

19
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada
90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif
pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka
waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung
empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit
akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu.
Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier
disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin
generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus
diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali
sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier
yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan
jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari
penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari
asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam
setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan
nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin
timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya
penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin
dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik
diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena
sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali

20
sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual,
berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses
yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan.
Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien
dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan
tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi
epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum
merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga
terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang
dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema
multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,
mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.
Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan
pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan
Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini
terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10
hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan
penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease

21
Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab
diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin
shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan
kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12
kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah.
Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada
2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan
pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa
menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda
anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia
(<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena
diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5
tahun) dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan
resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal,
5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami
gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi
lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe
biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko
komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan
antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti
diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun,
studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas

22
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan
sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses
berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari
biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau
kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk
malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan
antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa
olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri
abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri
kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah
tritoprim sulfametoksazole.
F. DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan
pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat
penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama
antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1,3,13
Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat
pada gambar 1.

23
G. PENATALAKSANAAN
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan
dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang
tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi
intavena yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus
terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium
klorida, dan 20 g glukosa per liter air. 2,4 Cairan seperti itu tersedia secara
komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan
dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral

24
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok
teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1
cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum
cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline
normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium
sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik
dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi
oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan
memakai cara : dikutip dari 8
BD plasma, dengan memakai rumus :

Kebutuhan cairan = x Berat badan (Kg) x 4 ml

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% x KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% x KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor
(tabel 1)

25
Kebutuhan cairan = x 10% x KgBB x 1 liter

15

Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan


cairan :dikutip dari 18
Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari
berat badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan
mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14%
atau sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg
pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus : Na2 x BW2 = Na1 x BW1,
Na1 : Kadar Natrium plasma normal
BW1 : Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk
pria dan 50% untuk wanita
Na2 : Kadar natrium plasma sekarang
BW2 : volume air badan sekarang
B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada

26
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi
antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

C. Obat anti diare


Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti
diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.14
Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah
15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x
sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekwensi diare. Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini
cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare
akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10
Kelompok absorbent

27
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan
infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus
terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi
elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan
konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau
diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.9
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di
saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang
adekuat.3,7,19
H. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat.
Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik.1,8
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi
ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga
tidak tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14

28
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre
tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1
I. PROGNOSIS
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat
baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut
usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %.
Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan
dengan sindrom uremik hemolitik.1
J. PENCEGAHAN1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya
dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan
ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi.

29
Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang
diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum
dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk
tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia
atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-
buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya
produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC
terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang
dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang
tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini
tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral
kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid
parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping.
Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis
dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia,
hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi
yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the
Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases
2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell
JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition.
New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik
Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-
01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the
Management of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and
Hepatology 2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med
Hyg 2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;
1996. 451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious
Diarrhoea). Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik
Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik
Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 – 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan
Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.

31
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit
Dalam FK UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors.
Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy
Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-
hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.

32

Anda mungkin juga menyukai