Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I LAPORAN KASUS
1.1 Identifikasi ....................................................................................................... 1
1.2 Anamnesis ........................................................................................................ 1
1.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................ 1
1.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................... 2
1.5 Diagnosis.......................................................................................................... 2
1.6 Penatalaksanaan ............................................................................................... 3
1.7 Prognosis .......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi dan Penyebab Fraktur ........................................................................ 4
2.2 Anatomi............................................................................................................ 4
2.3 Klasifikasi Fraktur ........................................................................................... 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................... 9
2.5 Diagnosis.......................................................................................................... 9
2.6 Penatalaksanaan ............................................................................................. 10
2.7 Prognosis ..................................................................................................
2.8 Penyembuhan Fraktur .................................................................................... 18
2.9 Komplikasi Penyembuhan Fraktur ................................................................ 21
2.10Komplikasi Fraktur ....................................................................................... 24
BAB III ANALISIS KASUS ............................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI

Nama : Nn R
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 27 tahun
Alamat : Pare-pare
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
MRS : 30 November 2018

Primary survey
A : Patent, Clear
B : RR : 18 x /menit
C : TD : 110/70 mmHg, N : 91x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, akral hangat,
capilary refill < 2’
D : GCS 15 (E4M6V5), Pupil isokor 2.5 mm/ 2.5mm
E : Suhu : 36,70C.
Secondary survey
A. Data Subyektif
Anamnesis
 Keluhan Utama
Nyeri pada lengan kanan atas

 Riwayat Perjalanan Penyakit


± 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada saat dimintai pernyataan mekanisme trauma,
osi tidak mengingat betul tentang kejadian kecelakaannya. Osi hanya sempat pingsan
pada saat perjalanan ke rumah sakit, muntah proyektik (-)

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma sebelumnya tidak ada
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat menggunakan BPJS , kesan ekonomi cukup.

B. Data Obyektif

Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 30 November pukul 07.30 WITA di UGD


RSU Andi Makkasau Pare-pare

Status Generalis
Keadaan umum : baik, kooperatif
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital :
Tek. Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 91x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,7 º C ( axiller )
Kepala : mesosefal
Mata : conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(-/-) raccon eye (-/-)
Hidung : nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-), rhinorrea(-)
Telinga : discharge (-/-), ottorhea(-),
Mulut : bibir sianosis (-), parrese
Tenggorokan : T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher : simetris, trakhea ditengah, pembesaran limfonodi (-)
Thorax
Pulmo I : simetris statis dan dinamis
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
Au : Suara dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor I : ictus cordis tak tampak
Pa : ictus cordis teraba pada SIC V 2 cm medial Linea
Midclavikularis Sinistra
Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal
Au : Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-).
Abdomen I : datar
Au : bising usus (+) normal
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Pa : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), defans
muskuler (-)
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Sensibilitas +/+ +/+
Motorik:
Gerak +/+ +/+
Kekuatan 5/5 5/5

Status lokalis :
 Regio Pedis Dextra
Look : Tampak edema regio humerus sinistra (+), jejas (-)
Feel : nyeri tekan region humerus sinistra (+), krepitasi (+), pulsasi
arteri radialis et ulnaris (+), akral hangat (+),capp refill (< 2’),
Move : Keterbatasan pergerakan fleksi dan extensi regio humeri sinistra
1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Lab. Darah (tanggal 30 November 208)
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah rutin :
Leukosit 8.37 4,0-10.0
Eritrosit 4,23 3,8-6,50
Hemoglobin 10,36 11,5-17,0
Hematokrit 29.9 37.0-54.0
Trombosit 260 150-500
CT 10’00” <15’00
BT 1’00” 1’00”-3’00”

 Pemeriksaan Radiologi
Ro Humerus Sinistra AP/Lateral
Tampak Fraktur Humerus 1/3 distal Sinistra
D. DIAGNOSIS KERJA

Closed Fracture 1/3 Distal Humerus Sinistra spiral fracture with butterfly fragrment

E. PENATALAKSANAAN
- IVFD
- Analgetik, antibiotik, ATS
- Immobilisasi fraktur humerus
- Rencana operatif

F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

2.2 Klasifikasi
a. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar :
 Fraktur tertutup
 Fraktur terbuka : terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit.

Tabel 2.1 Derajat Fraktur Terbuka

Derajat Luka Fraktur

1 Laserasi < 2 cm Sederhana, dislokasi fragmen minimal

Derajat Fraktur
2 Laserasi > 2 cm, Dislokasi fragmen jelas
1 - kontusio
Luka < otot
1 cmdi
- sekitarnya
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
- Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
3 Luka lebar, rusak Kominutif, segmental, fragmen tulang
- Kontaminasi minimal
hebat atau hilangnya ada yang hilang

2 - jaringan
Luka > di
1cm
- sekitarnya
Kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap/avulse
- Fraktur kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
3 - Kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi stuktur kulit,
otot, dan,neurovascular, serta kontaminasi derajat tinggi
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur adekuat, meskipun
laserasi luas/flap/avulsi
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang
terkontaminasi masif
c. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki, tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Gambar 2.1 Fraktur Tertutup dan Fraktur Terbuka

Gambar 2.1 Fraktur Tertutup dan Fraktur Terbuka

Gambar 2.2 Fraktur Terbuka


Keterangan :
1. Luka terbuka pada kulit
2. Ujung fraktur
3. Hematom

b. Berdasarkan garis frakturnya, fraktur juga dapat dibagi menjadi


 Fisura
 Fraktur sederhana
 Fraktur kominutif
 Fraktur segmental
 Fraktur dahan hijau (greenstick)
 Fraktur impaksi
 Fraktur kompresi
 Fraktur Impresi
 Fraktur patologis

Keterangan :
A. Fisura tulang disebabkan oleh cedera tunggal hebat atau oleh cedera terus-menerus
yang cukup lama, seperti juga ditemukan pada retak stress pada struktur logam
B. Patah tulang sederhana oblik/serong
C. Patah tulang sederhana tranversal/lintang
D. Patah tulang komunitif oleh cedera hebat
E. Patah tulang segmental karena cedera hebat
F. Patah tulang dahan hijau “greenstick”, periosteum tetap utuh
G. Patah tulang kompresi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau epifisis tulang
pipa
H. Patah tulang impaksi, kadang juga disebut inklavasi
I. Patah tulang impresi
J. Patah tulang patologis akibat tumor tulang atau proses destruktif lain

Tabel 2.2 Jenis Fraktur dan Contoh Tulang yang Terkena


Jenis Fraktur Contoh Tulang

Fisura Diafisis Metatarsal


Oblik Diafisis Metakarpal
Tranversal Diafisis Tibia
Komunitif Diafisis Femur
Segmental Diafisis Tibia
Greenstick Diafisis radius pada anak
Kompresi Korpus vertebra thorakal XII
Impaksi Epifisi radius distal, kolum femur lateral
Impresi Tulang tengkorak
Patologis Tumor diafisis humerus, korpus vertebra

Sehubungan dengan patofisiologi dan perjalanan penyakitnya, patah tulang juga


dibagi atas dasar usia pasien, yaitu patah tulang pada anak, patah tulang pada dewasa,
patah tulang pada orang tua. Pola anatomis kejadian patah tulang dan penanganannya
pada ketiga golongan umur tersebut berbeda. Orang tua lebih sering menderita patah
tulang pada tulang yang osteoporotik, seperti vertebra atau kolum femur, orang dewasa
lebih banyak menderita patah tulang pajang, sedangkan anak jarang menderita robekan
ligament. Penanganan patah tulang pada anak membutuhkan pertimbangan bahwa anak
masih tumbuh. Selain itu, kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dank arena itulah
perpendekan serta perubahan bentuk akibat patah lebih dapat ditoleransi pada anak.
Pemendekan dapat ditoleransi karena pada anak terdapat percepatan pertumbuhan tulang
panjang yang patah. Perubahan bentuk dapat ditoleransi karena anak mempunyai daya
penyesuaian bentuk yang lebih besar.
Satu bentuk patah tulang yang khusus pada anak adalah patah tulang yang
mengenai cakram pertumbuhan (lempeng epifisis). Patah tulang yang mengenani cakram
epifisis ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan. Patah tulang cakram epifisis dapat dibagi menjadi lima tipe.
Gambar 2.4 Patah Tulang Lempeng Epifisis Klasifikasi Salter Haris

ETIOLOGI
Umumnya fraktur yang terjadi, dapat disebabkan beberapa keadaan berikut:

1.Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, kontraksi otot ekstrim.
2.Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu
jauh.
3.Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada
fraktur patologis.
Penyebab Fraktur adalah :
1.Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2.Kekerasan tidak langsung; Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3.Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa t wisting, bending dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
Kebanyakan fraktur shaft humerus terjadi akibat trauma langsung, meskipun
fraktur spiral sepertiga tengah dari shaft kadang-kadang dihasilkan dari aktifitas otot-otot
yang kuat seperti melempar bola. Pada fraktur humerus kontraksi otot, seperti otot-otot
rotator cuff, deltoideus, pectoralis mayor, teres mayor, latissimus dorsi, biceps,
korakobrakialis dan triceps akan mempengaruhi posisi fragmen patahan tulang yang
mengakibatkan fraktur mengalami angulasi maupun rotasi. Di bagian posterior tengah
melintas nervus Radialis langsung melingkari periostum diafisis humerus dari proksimal
ke distal sehingga mudah terganggu akibat patah tulang humerus bagian tengah.

PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur penyembuhan tulang: .
Faktor intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan ( fatigue fracture),
dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Faktor ektrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
Jenis fraktur berdasarkan kekuatan yang mengenainya:
 Kompresif: fraktur proksimal dan distal humerus
 Bending: fraktur transversa shaft humerus
 Torsional: fraktur spiral shaft humerus
 Torsional dan bending: fraktur oblik, kadang diikuti dengan fragmen butterfly

KLASIFIKASI

Gambar 5. Tipe A = fraktur sederhana. A1 = fraktur spiral (.1 pada sepertiga proksimal, .2 pada
sepertiga tengah, dan .3 pada sepertiga distal), A2 = fraktur oblik, A3 = fraktur
transversa.
Gambar 6. Tipe B = fraktur baji (wedge fracture). B1 = fraktur baji spiral (spiral wedge
fracture), B2 = bending wedge fracture, A3 = fragmented wedge fracture.
2.3 Diagnosis
Diagnosis patah tulang juga di mulai dengan anamnesis, adanya trauma tertentu,
seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut. Dalam persepsi
pasien trauma yang terjadi bisa dirasa berat meskipun ringan dan sebaliknya bisa dirasakan
ringan meskipun sebenarnya berat. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri
meskipun patah tulang yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan
nyeri. Banyak patah tulang mempunyai cedera yang khas.
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas empat
langkah: tanyakan, lihat, raba, dan gerakkan.
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat pasien kesakitan,
mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan
bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakkan yang tidak
normal. Selain pada anamnesis nyeri juga didapatakan papa palpasi, nyeri berupa nyeri tekan
yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau atau menarik dengan
hati-hati anggota badan yang patah searah sumbunya. Keempat nyeri ini didapatkan pada
lokalisasi yang tepat sama. Gerakan antarfragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena
dapat menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cedera ringan. Pemeriksaan gerak persendian
secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin patah tulang.
Pemeriksaan klinis untuk mencari trauma di bagian lain tidak boleh dilupakan, untuk
mencari kelainan lain seperti pneumotorakas, cedera otak, seperti komplikasi vaskuler dan
neurologis dari patah tulang yang bersangkutan. Hal ini penting karena komplikasi tersebut
perlu penanganan yang segera.
Pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto rontgen ddua arah 90o
didapatkan gambaran garis patahan. Pada patah yang fragmennya mengalami dislokasi,
gambaran garis patah biasanya jelas.
Foto rontgen harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak patah tulang harus di
pertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegek lurus karena foto
rontgen merupakan foto gambar bayangan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah
yang saling tegak lurus. Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal
harus ikut di foto. Bila diperlukan, dibuat foto yang sama dari bagian anggota gerak yang
sehat sebagai perbandingan.Pemeriksaan khusus seperti CT scan kadang diperlukan,
misalnya dalam hal patah tulangvertebra dengan gejala neurologis.
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur tetap dimulai dari penilaian jalan napas (airway),
proses pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak.
Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru dilakukan penatalaksanaan pada fraktur
itu sendiri.
Untuk frakturnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan fraktur
(imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sepenuhnya seperti
semula karena tulang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan bentuknya kembali
seperti bentuk semula (remodeling/proses swapugar). Kelayakan reposisi suatu dislokasi
fragmen ditentukan oleh adanya dan besarnya dislokasi ad aksim, ad peripheriam, dan kum
kontraktione, yang berupa rotasi, atau perpendekan.
Secara umum, angulasi dalam bidang gerak sendi sampai kurang lebih 20-30 derajat
akan dapat mengalami swapugar, sedangkan angulasi yang tidak dalam bidang gerak sendi
tidak akan mengalaminya. Akan tetapi, rotasi antara 2 fragmen tidak pernah terkoreksi
sendiri oleh proses swapugar. Ada tidaknya rotasi fragmen tidak dapat diketahui dari foto
Rontgen, melainkan harus diketahui dari pemeriksaan klinis. Cara yang termudah untuk
memeriksa rotasi ini adalah dengan membandingkan rotasi anggota yang patah dengan rotasi
anggota yang sehat. Pemendekan anggota yang patah disebabkan oleh tarikan tonus otot
sehingga fragmen patahan tulang berada sebelah menyebelah. Pemendekan anggota atas
pada orang dewasa dan pemendekan pada anggota atas maupun bawah pada anak, umumnya
tidak menimbulkan masalah.

Macam-macam cara untuk penanganan fraktur :


1. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi
Digunakan pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal
atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan di kemudian hari. Contoh
cara ini adalah fraktur costa, fraktur clavicula pada anak, dan fraktur vertebra dengan
kompresi minimal.
2. Imobilisasi dengan fiksasi
Dapat pula dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi
agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai
bawah tanpa dislokasi yang penting.
3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur
radius distal.
4. Reposisi dengan traksi
Dilakukan secara terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, dan
kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi
secara manipulasi akan terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada
fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
Untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar
kulit. Alat ini dinamakan fiksator ekstern.
6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang
secara operatif
Misalnya reposisi fraktur collum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan
meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke dalam collum femur secara
operatif.
7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna
Ini dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi
interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa
plat dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa
dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah
reposisi secara operatif ini mengundang resiko infeksi tulang.
8. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Dilakukan pada fraktur collum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti
dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada collum femur tidak
dapat menyambung kembali.

pengelolaan fraktur terbuka perlu memperhatikan bahaya terjadinya infeksi, baik


infeksi umum (bakteremia) maupun infeksi terbatas pada tulang yang bersangkutan
(osteomyelitis). Untuk menghindarinya perlu ditekankan disini pentingnya pencegahan
infeksi sejak awal pasien masuk rumah sakit, yaitu perlu dilakukannya debridement yang
adekuat sampai ke jaringan yang vital dan bersih. Diberikan pula antibiotik profilaksis selain
imunisasi tetanus. Selain itu, lakukan fiksasi yang kokoh pada fragmen fraktur. Dalam hal
ini, fiksasi dengan fiksator eksterna lebih baik daripada fiksasi interna.
Gambar 9. Penatalaksanaan pada fraktur shaft humerus dengan konservatif. 7

Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan pendulum
pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi aktif ditunda hingga fraktur
mengalami union. Fraktur spiral mengalami union sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar
4-6 minggu. Sekali mengalami union, hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga
fraktur mengalami konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien harus dirawat
lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus dilakukan operasi dan
pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi konservatif:
 Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus dengan
pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan pada fraktur transversa
dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi relatif karena berpotensial terjadinya
gangguan dan komplikasi pada saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan
atau setengah diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas.
Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma. Lebih dari 96%
telah dilaporkan mengalami union.
 Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint memiliki
stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih kecil daripada hanging
arm cast. Lengan bawah digantung dengan collar dan cuff. Coaptation splint
diindikasikan pada terapi akut fraktur shaft humerus dengan pemendekan minimal
dan untuk jenis fraktur oblik pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan
penggunaan hanging arm cast. Kerugian coaptation splint meliputi iritasi aksilla,
bulkiness dan berpotensial slippage. Splint seringkali diganti dengan fuctional brace
pada 1-2 minggu pasca trauma. 9
 Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak dapat
ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi pilihan. Teknik ini
diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang minimal atau fraktur yang tidak bergeser
yang tidak membutuhkan reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan
dalam 1-2 minggu pasca trauma. 9
 Shoulder spica cast
Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan abduksi dan
eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi kesulitan aplikasi cast, berat
cast dan bulkiness, iritasi kulit, ketidaknyamanan dan kesusahan memposisikan
ektremitas atas. 9
 Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan mempertahankan aligment
fraktur ketika melakukan pergerakan pada sendi yang berdekatan. Brace biasanya
dipasang selama 1-2 minggu pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau
coaptation splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini meliputi cedera
massif jaringan lunak, pasien yang tidak dapat dipercaya dan ketidakmampuan untuk
mempertahankan asseptabilitas reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan untuk menopang
lengan bawah; aplikasi sling dapat menghasilkan angulasi varus (kearah midline).
2.5 Komplikasi
Komplikasi patah tulang dapat dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini,
dan komplikasi lambat atau kemudian. Komplikasi segera terjadi pada saat terjadinya patah
tulang atau segera setelahnya, komplikasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian,
dan komplikasi kemudian terjadi lama setelah patah tulang. Pada ketiganya dibagi lagi
masing-masing menjadi komplikasi local dan umum.

Tabel 2.3 Komplikasi Fraktur


Komplikasi Segera - Lokal
o Kulit : abrasi, laserasi, penetrasi
o Pembuluh darah : robek
o Sistem saraf : sumsum tulang belakang,
saraf tepi motorik dan sensorik
o Cedera otot
o Organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa
(pada fraktur kosta), kandung kemih (pada
fraktur pelvis
- Umum
o Rudapaksa multiple
o Syok ; hemoragik, neurogenik
Komplikasi Dini - Lokal
o Nekrosis kulit, gangrene, sindrom
kompartemen, thrombosis vena, infeksi
sebdi, osteomielitis umum
o ARDS, emboli paru, tetanus
Komplikasi Lama - Lokal
o Sendi : ankilosis fibrosa, ankilosis osal
o Tulang : gagal taut/taut lama/salah taut,
distrofi refleks, osteoporosis pascatrauma,
gangguan pertumbuhan, osteomielitis,
patah tulang ulang
o Otot/tendo : penulangan otot, ruptur tendon
o Saraf : kelumpuhan saraf lambat
- Umum
o Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di
tempat tidur)

Anda mungkin juga menyukai