Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS NON-INFEKSI

HIPERTENSI

IDENTITAS PASIEN :
Nama : Ny. Tarring
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/suku : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Tanete Kecamatan Simbang
Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2016

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri Kepala
Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak 3 hari yang lalu disertai rasa
tegang pada leher, terasa berat dan keram-keram tangan dan kaki kiri, disertai
demam dan pusing. Nafsu makan baik, BAB dan BAK baik, riwayat berobat
hipertensi tidak teratur, nyeri ulu hati (+) disertai mual(+).
Riwayat Penyakit sebelumnya :
 Riwayat Alergi (-)
 Riwayat Hipertensi (+)
 Riwayat Stroke (+) 5 bulan yang lalu
 Riwayat Maag (+)
 Riwayat Penyakit Keluarga (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Kolestrol tinggi (+)
Riwayat Pengobatan : Captopril dan simvastatin

PEMERIKSAAN FISIS:
Tinggi Badan : 156 cm

1
Berat Badan : 66 kg
Status Gizi : 27,1 (Obesitas 1)
Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 220/120 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 Pernapasan : 20x/menit
 Suhu : 37,7 ˚C
Kepala : Anemis (-), Sianosis (-), Ikterus (-)
Lidah mencong ke kiri
Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (-),
peristaltik baik, hepatomegali (-)
Ekstremitas : Terasa berat dan kram-kram pada
kaki dan tangan, kekuatan
menggeggam mulai membaik, tapi
sulit mengangkat tangan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

DIAGNOSIS
Hipertensi GRADE II

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
 Proses Akibat white coat hypertension
 Proses akibat obat
 Nyeri akibat tekanan intraserebral
 Ensefalitis

PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologi yang diberikan :
• Parasetamol
• Antasida

2
• Amilodipin
Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :
• Istirahat yang cukup
• Kurangi makanan yang bergaram dan berkolestrol
• Olahraga ringan tiap hari pada pagi hari
• Jangan terlalu banyak pikiran
• Kurangi makan gorengan dan makanan yang bersantan
• Menjaga dan mengurangi berat badan

HASIL KUNJUNGAN RUMAH (22 November 2016)

1. Profil Keluarga
Pasien tersebut (Ny.Tarring) adalah seorang Ibu yang tinggal bersama satu
anak, satu menantu, dan 2 cucu. Pasien memiliki 2 orang anak dan 3 orang cucu,
sedangkan suaminya telah meninggal dunia. Pekerjaan Ny.E ialah seorang Ibu
Rumah Tangga.

2. Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga


Pekerjaan sehari-hari pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Pasien ini
tinggal dirumahnya bersama anak dan cucunya. Rumah pasien dalam keadaan
kurang baik dan kurang bersih. Rumah nya adalah rumah panggung terdiri dari 2
tingkat, di lantai 1 terdapat kandang dan gudang sedangkan Di lantai 2 terdapat 1
kamar tidur dan 2 tempat tidur du luar kamar. Ventilasi dan pencahayaan dirumah
pasien dalam keadaan cukup baik. Udara didalam rumahpun juga cukup baik.
Peralatan rumah tangga cukup. Pasien berjalan kaki ke puskesmas.

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat riwayat penyakit dalam keluarga

4. Pola Konsumsi Makanan Keluarga

3
Pola konsumsi makanan dalam keluarga Ny.E terbilang sedang. Namun
sebelum terserang stroke, pasien sering makan makanan yang sembarangan, tinggi
garam, daging, dan makanan yang berkolestrol. Setelah terserang stroke, pasien
mulai mengurangi makan makanan tersebut.

5. Psikologi Dalam Hubungan Antar Keluarga


Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga
yang lainnya. Komunikasi antar anak maupun cucu pasien juga terjalin dengan
baik dan lancar.

6. Lingkungan
Pemukiman pasien terdapat pada lingkungan yang tidak padat penduduk dan
dikelilingi oleh kebun, lingungkungannya pun tergolong tidak rawan banjir. tidak
terdapat tempat sampah akibatnya banyak sampah yang berserakan disekitar
rumah. tata letak peralatan rumah cukup baik, sumber air menggunakan pdam.
sehari-hari pasien masak menggunakan kompor gas.

FOTO KEADAAN RUMAH

4
5
KAJIAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di


Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat
umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini
disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani
hipertensi terutama yang berkaitan dengan kelainan jantung dan pembuluh darah.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri,
menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama
yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat
keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan
tatalaksana hipertensi (disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension2013)

ETIOLOGI

6
Faktor resiko dapat dibedakan dalam 2 kelompok, yaitu yang dapat dimodifikasi
dan yang tidak dapat dimodifikasi. Hal yang tidak dapat dimodifikasi adalah
umur, jenis kelamin, riwayat hipertensi, dan riwayat penyakit kardiovaskular
dalam keluarga. Sedangkan yang dapat dimodifikasi adalah riwayat pola makan
(konsumsi garam berlebihan), konsumsi alkohol berlebihan, aktifitas fisik kurang,
kebiasaan merokok, obesitas, dislipidemia, diabetes melitus, dan psikososial atau
stres.

GEJALA KLINIS

Keluhan : mulai dari tidak bergejala sampai dengan bergejala antara lain,
sakit/nyeri kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, pusing, leher kaku,
penglihatan kaku, penglihatan kabur, dan rasa sakit pada dada

PEMERIKSAAN FISIK & PENUNJANG

Pemeriksaan Fisik : Pasien terlihat sakit ringan-berat, Tekanan Darah meningkat,


Nadi tidak normal. Status neurologis menurun apabila pernah terserang strok

Pemeriksaan Penunjang : Urinalisis ( Proteinuria atau albuminuria), tes gula


darah, tes kolestrol, ureum, kreatinin funduskopi, EKG, dan foto toraks

DIAGNOSIS

Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan


yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang akan
diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dariCanadian Hypertension Education
Program. The Canadian Recommendation for The Management of Hypertension
2014

7
HBPM : Home Blood Pressure Monitoring ABPM : Ambulatory Blood Pressure
Monitoring

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

 Proses Akibat white coat hypertension


 Proses akibat obat
 Nyeri akibat tekanan intraserebral
 Ensefalitis

TATALAKSANA HIPERTENSI

Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan
darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,

8
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang
diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Beberapa pola hidup sehat yang
dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :

 Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan


memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari
diabetes dan dislipidemia.
 Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak
jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat
saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet
rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari

 Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60


menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan
darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga
secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki,
mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di
tempat kerjanya.

 Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum


menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol
semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan
dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2
gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau

9
menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah.

 Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok
merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan
pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

Terapi farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :

 Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal


 Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya

 Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid

 Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor


(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)

 Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi


farmakologi

 Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai


guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme
tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the
American Society of Hypertension and the International Society of
Hypertension2013;

10
TATALAKSANA HIPERTENSI PADA PENYAKIT JANTUNG DAN
PEMBULUH DARAH

Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah
ditujukan pada pencegahan kematian, infark miokard, stroke, pengurangan
frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala. Target
tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan oleh berbagai studi pada
pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah, adalah tekanan
darah sistolik < 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg.

Seperti juga tatalaksana hipertensi pada pasien tanpa penyakit jantung koroner,
terapi non farmakologis yang sama, juga sangat berdampak positif. Perbedaan
yang ada adalah pada terapi farmakologi, khususnya pada rekomendasi obat-
obatannya.

11
1. Angina Pektoris Stabil

Betablocker

Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada


pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya
gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek
utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negative. Dengan menurunnya
frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner
akan memanjang. Betablocker juga menghambat pelepasan renin di ginjal yang
akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker cardioselective (β1) lebih
banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas simpatomimetik
intrinsic.

Calcium channel blocker (CCB)

CCB akan digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis betabloker,
bila terjadi :

 TD yang tetap tinggi


 Angina yang persisten Atau adanya kontraindikasi absolute pemberian dari
betabloker

CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan


resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, CCB juga
akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner.
Perlu diingat, bahwa walaupun CCB berguna pada tatalaksana angina, tetapi
sampai saat ini belum ada rekomendasi yang menyatakan bahwa obat ini berperan
terhadap pencegahan kejadian kardiovaskular pada pasien dengan penyakit
jantung koroner.

ACE inhibitor (ACEi)

12
Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai diabetes
mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri merupakan
pilihan utama dengan rekommendasi penuh dari semua guidelines yang telah
dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada pasien
jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian
kardiovaskular.

Pada pasien hipertensi usia lanjut ( > 65 tahun ), pemberian ACEi juga
direkomendasikan , khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar yaitu
ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada pasien hipertensi
pria berusia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir kardiovaskular bila
dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun kedua obat memiliki
penurunan tekanan darah yang sama.

Angiotensin Receptor Blockers (ARB)

Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi.
Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki
efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian
kardiovaskular yang tinggi.

Diuretik

Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti


yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, sepertiVeterans
Administrations Studies, MRC dan SHEP.

Nitrat

Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina yang
belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien
dengan penyakit jantung koroner. Tetapi sampai saat ini tidak

13
ada data yang mengatakan penggunaan nitrat dalam tatalaksana hipertensi, selain
dikombinasikan dengan hidralazin pada kasus-kasus tertentu.

2. Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-
NST)
Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut
adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan
tekanan darah dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus

14
dihindari penurunan tekanan darah yang terlalu cepat terutama tekanan
diastolik, karena hal ini dapat mengakibatkan penurunan perfusi darah ke
koroner dan juga suplai oksigen, sehingga akan memperberat keadaan
iskemia.

Tatalaksana awal meliputi tirah baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen,
nitrogliserin dan bila angina terus berlanjut dengan pemdapat diberikan morfin
sulfat. Perlu diingat bahwa pemberian nirat selama angka panjang tidak
direkomendasikan oleh berbagai guidelines sampai saat ini.

Hipertensi berat dan edema pulmonal akut

Pasien dengan kondisi hipertensi berat dengan edema pulmonal akut dapat disertai juga
dengan peningkatan biomarker enzim jantung, sehingga jatuh dalam kelompok
sindromakoroner akut. Terapi awal yang direkomendasikan pada pasien dengan kondisi
ini meliputi furosemide, ACEi dan nitrogliserin (IV) dan selanjutnya dapat ditambahkan
obat lain dibawah pengawasan yang ketat. Bila presentasi utama pasien adalah iskemia
atau takikardia, maka dianjurkan untuk pemberian betabocker dan nitroglycerin (IV).
Tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin, dengan monitor ketat pada kondisi
iskemia dan serebral (25% dari Mean aterial Pressurepada 1 jam I, dan bertahap selama
24 jam mencapai target tekanan darah sistolik yang diinginkan)

Rekomendasi
1. Pada pasien angina pectoris tidak stabil atau IMA-NST, terapi awal untuk
hipertensi setelah nitrat adalah betablocker, terutama golongan cardioselektive
yang tidak memiliki efek simpatomimetik intrinsic. Pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, pemberian betablocker dapat ditunda sampai
kondisi stabil. Pada pasien dengan kondisi gagal jantung, diuretic merupakan
terapi awal hipertensi.
2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi pemberian betablocker, maka dapat
diberikan CCB golongan non- dihidropiridin (verapamil, diltiazem), tetapi tidak
dianjurkan pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri. Bila tekanan darah
atau angina belum terkontrol dengan pemberian betablocker, maka dapat

15
ditambahkan CCB golongan dihidropiridin kerja panjang. Diuretik tiazid juga
dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah.
3. Pada pasien dengan hemodinamik yang stabil, dengan :

1. riwayat infark sebelumnya


2. hipertensi yang belum terkontrol

3. gangguan fungsi ventrikrel kiri atau gagal jantung

4. diabetes mellitus

maka harus diberikan ACEi atau ARB


4. Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat
disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/
80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah harus
diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan
darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia
miokard.
5. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet,
antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut.
Begitupula dengan pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, yang
menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, TD harus diturunkan untuk
mencegah perdarahan.

3. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST)

Seperti pada IMA-NST, dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan
sindroma koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan.

Rekomendasi

16
1. Pada pasien IMA-ST, prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada
pasien dengan angina pectoris tidak stabil / IMA-NST, dengan ada beberapa
pengecualian. Terapi awal hipertensi pada pasien dengan hemodinamik stabil
adalah betablocker cardioselective, setelah pemberian nitrat. Tetapi, bila pasien
mengalami gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil, maka pemberian
betablocker harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil. Dalam kondisi
ini, maka diuretic dapat diberikan untuk tatalaksana gagal jantung atau hipertensi

2. ACEi atau ARB harus diberikan pada sedini mungkin pada pasien IMA- ST
dengan hipertensi, terutama pada infark anterior, terdapat disfungsi venrikel kiri,
gagal jantung atau diabetes mellitus. ACEi telah terbukti sangat menguntungkan
pada pasien dengan infark luas, atau riwayat infark sebelumnya. Gagal jantung
dan takikardia. ACEi dan ARB tidak boleh diberikan secara bersamaan, karena
akan meningkatkan kejadian efek samping.
3. Aldosterone antagonist dapat diberikan pada pasien dengan IMA-ST dengan
disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung; dan dapat memberikan efek tambahan
penurunan tekanan darah. Nilai kalium darah harus dimonitor dengan ketat.
Pemberian obat ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan kadar kreatinin dan
kalium darah yang tinggi ( kreatinin ≥ 2 mg/dL, atau K ≥ 5 mEq/dL)
4. CCB tidak menurunkan angka mortalitas pada IMA-ST akut dan dapat
meningkatkan mortalitas pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri dan
atau edema paru. CCB golongan dihidropriridin kerja panjang dapat diberikan
pada pasien yang intoleran terhadap betablocker, angina yang persisten dengan
betablocker yang optimal atau sebagai terapi tambahan untuk mengontrol tekanan
darah. CCB golongan nondihidropiridin dapat diberikan untuk terapi pada pasien
dengan takikardia supraventrikular tetapi sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan aritmia bradikardia atau gangguan fungsi ventrikel kiri
5. Seperti juga pada pasien dengan dengan Angina pectoris tidak stabil/ IMA-NST,
Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat disfungsi
ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/ 80 mmHg.
Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan
secara perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan darah

17
diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia miokard.
6. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet,
antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut.
Begitupula dengan pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, yang
menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, TD harus diturunkan untuk
mencegah perdarahan.

Gagal Jantung

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung.


Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan
yang sangat besar dalam pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan
usia lanjut. Hal ini telah banyak diteliti pada penggunaan diuretic, betablocker,
ACEi dan ARB, dimana penggunaan CCB paling sedikit memberikan keuntungan
dalam pencegahan gagal jantung.

Walaupun riwayat hipertensi merupakan hal yang sangat sering terjadi pada gagal
jantung, namun tekanan darah yang tinggi sering tidak ditemukan lagi pada saat
sudah terjadi disfungsi venrikrel kiri. Pada pasien dengan kondisi seperti ini, telah
banyak terdapat bukti dari berbagai penelitian yang mendukung pemberian
betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid receptor antagonist),
dimana pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk memperbaiki stimulasi
simpatis dan sitim renin angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada
penurunan tekanan darah.

Hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi fraksi
ejeksi yang masih baik daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri.

Fibrilasi Atrial

Atrial fibrilasi merupakan kondisi yang juga sering dijumpai pada hipertensi baik
di Eropa maupun di Amerika. Pada pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial harus
dinilai kemungkinan terjadinya tromboemboli dengan sistim scoring yang telah

18
dijabarkan pada guidelines ESC, dan sebagian dari pasien tersebut harus
mendapatkan terapi antikoagulan, kecuali bila terdapat kontraindikasi.

Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, ternyata memiliki laju
ventrikel yang cepat. Hal ini mendasari rekomendasi pemberian betblocker atau
CCB golongan non dihidropiridin pada kelompok pasien ini.

Akibat dari fibrilasi atrial antara lain peningkatan angka mortalitas dan
morbiditas, stroke dan gagal jantung , sehingga pencegahan terjadinya fibrilasi
atrial pada pasien hipertensi menjadi sangat penting. Banyak penelitian yang
menyimpulkan bahwa pemberian ARBs dan betablocker merupakan terapi pilihan
untuk pencegahan fibrilasi atrial pada pasien hipertensi terutama yan sudah
memiliki gangguan organ jantung.

Hipertrofi Ventrikel Kiri

Guidelines ESH yang diterbitkan pada tahun 2009, telah menjabarkan bahwa hipertrof
ventrikel kiri terutama tipe konsentrik, berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 20%. Beberapa studi juga
menyatakan bahwa dengan penurunan tekanan darah berhubungang erat dengan
perbaikan hipertrof ventrikel kiri. Banyak studi komparatif yang menyimpulkan bahwa
pemberian ACEi, ARBs dan CCB lebih memiliki efek tersebut bila dibandingkan dengan
betablocker.

Rekomendasi pada penyakit jantung non koroner


1. Pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, target tekanan darah sistolik
adalah < 140 mmHg
2. Diuretik, betablocker, ACEi, ARBs dan atau MRA merupakan obat yang
direkomendasikan pada pasien hipertensi dengan gagal jantung untuk menurunkan
mortalitas dan rehospitalisasi
3. Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik, belum ada data
yang menyatakan obat antihipertensi per se atau obat tertentu yang jelas
manfaatnya. Akan tetapi tekanan darah sistolik perlu untuk diturunkan hingga <

19
140 mmHg. Pengobatan yang bertujuan untuk memperbaiki gejala (diuretic untuk
kongesti, betablocker untuk menurunkan laju nadi, dll) harus tetap diutamakan
4. Pemberian ACEi atau ARBs ( dan betablocker dan MRA, bila terdapat gagal
jantung) harus dipertimbangkan sebagai terapi antihipertensi pada pasien dengan
risiko terjadinya fibrilasi atrial atau yang berulang
5. Semua pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri direkomendasikan untuk
mendapat terapi antihipertensi
6. Pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, perlu dipertimbangkan untuk
memulai terapi dengan obat yang terbukti dapat mengurangi hipertrofi ventrikel
kiri, seperti ACEi, ARBs dan CCB

Penyakit Arteri Perifer

Beberapa penelitian menyatakan bahwa pada pasien dengan penyakit arteri perifer,
mengontrol tekanan darah merupakan hal yang lebih penting daripada memikirkan
pilihan obat antihipertensi yang terbaik pada kelompok pasien ini. Sampai saat ini
banyak yang berpendapat bahwa penggunaan betablocker dapat memperburuk kondisi
klaudikasio. Tetapi hal ini tidak terbukti pada 2 studi metanalisis yang menyatakan bahwa
betabloker tidak terbukti berhubungan dengan eksaserbasi gejala klaudikasio pada
pasien iskemia tungkai akut ringan hingga sedang.

Rekomendasi
1. Pada aterosklerosis karotis, perlu dipertimbangkan pemberian ACEi dan CCB,
karena telah terbukti bahwa kedua obat ini dapat memperlambatkan proses
aterosklerosis dibandingkan dengan betablocker dan diuretic
2. Pada pasien dengan pulse wave velocity > 1o m/det, perlu dipertimbangkan
pemberian semua antihipertensi, sehingga tercapai target tekanan darah sistolik <
140 mmHg yang menetap.
3. Direkomendasikan untuk memberikan antihipertensi pada pasien penyakit arteri
perifer, dengan target tekanan darah sistolik < 140 mmHg, karena memiliki risiko
tinggi terjadinya infark miokard, stroke, gagal jantung atau kematian
kardiovaskular
4. Walaupun memerlukan pengawasan lebih lanjut, pemberian betablocker dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit arteri perifer, karena obat ini tidak

20
terbukti berhubungan dengan eksaserbasi gejala penyakit ini
KOMPLIKASI

Hipertrofi Ventrikel Kiri, Proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, Aterosklerosis,


Retinopati, Stroke, TIA, Infark Miokard, Angina Pectoris, Gagal Jantung.

Kriteria rujukan :

1. Hipertensi dengan komplikasi


2. Resistensi hipertensi
3. Krisis hipertensi

PROGNOSIS

Prognosis umumnya bonam jika terkontrol

PENCEGAHAN

Edukasi individu dan keluarga tentang pola hidup sehat untuk mencegah dan
mengontrol hipertensi seperti :

 Gizi seimbang dan pembatasan gula, garam dan lemak (Dietary


Approaches to Stop Hypertension)
 Stop merokok
 Membatasi konsumsi alkohol (bagi yang minum)

21
PEMBAHASAN

Ny. Tarring datang ke Puskesmas Simbang dengan keluhan utama


nyeri kepala dan tegang pada tengkuk, dialami sejak 3 hari yang lalu,
disertai demam dan pusing. Pasien juga diketahui mengeluhkan nyeri ulu
hati. Berdasarkan gejala klinis memperlihatkan gejala-gejala hipertensi.
Riwayat terserang stroke 5 bulan yang lalu dan pernah mengkonsumsi obat
anti hipertensi serta anti-kolestrol dikarenakan ada riwayat kolestrol tinggi
dan hipertensi sejak dulu. Pada saat pengukuran tanda vital didapatkan
tekanan sistol 220 dan diastol 120 sehingga dapat dikatakan Hipertensi
Grade II (sistol > 160 atau diastol >100). Berdasarkan pemeriksaan fisik
ditemukan status gizi obesitas 1 dimana diketahui termasuk salah satu
faktor resiko hipertensi. Semasa sebelum menderita hipertensi, pasien
selalu mengkonsumsi banyak garam dan menngkonsumsi makanan
sembarangan serta sedikit sayur-sayuran. Pasien juga jarang berolahraga
serta jarang beristirahat. Semua hal tersebut merupakan faktor resiko
hipertensi dan ditambah usia pasien yang mencapai 51 tahun. Pada
ekstremitas kiri pasien mengeluhkan kram-kram dan terasa berat jika
digerakkan. Ini merupakan dampak dari serangan stroke 5 bulan lalu.
Namun dampak dari stroke tersebut sudah mulai membaik dari
sebelumnya.
Pada pemeriksaan penunjang tidak dilakukan. Namun pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu Urinalisis ( Proteinuria atau

22
albuminuria), tes gula darah, tes kolestrol, ureum, kreatinin, funduskopi,
EKG, dan foto toraks. Pemeriksaan- pemeriksaan tersebut dilakukan untuk
melihat tingkat keparahan dan komplikasi dari hipertensi tersebut.
Berdasarkan diagnosis yang diambil, maka penatalaksanaan
farmakologis untuk pasien ini diberikan obat parasetamol, amilodipin, dan
antasida untuk mengurangi demam dan nyeri uluhati serta menurunkan
tekanan darahnya. Pasien juga disarankan untuk istirahat yang cukup,
kurangi makanan yang bergaram dan berkolestrol, olahraga ringan tiap
hari pada pagi hari, jangan terlalu banyak pikiran, kurangi makan
gorengan dan makanan yang bersantan, serta menjaga dan mengurangi
berat badan

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosendorff C, Balck HR, Cannon CP, Cannon BJ, Gersh BJ, Gore J et al.
Treatment of Hypertension in the Prevention and Management of Ischemic
Heart Disease : A Scientific Statement from the American Heart
Association Council for High Blood Pressure Research and the Council on
Clinical Cardiology and Epidemiology and Prevention. Circulation.
2007;115:2761-2788
2. The Task Force for the management of arterial hypertension of the
European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of
Cardiology (ESC). 2013 ESH/ESC Guidelines for the management of
arterial hypertension. Jour of Hypertension 2013, 31:1281-1357

3. Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson
JG, et al. Clinical Practice Guidelines for the Maganement of
Hypertension in the Community. A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension. ASH paper.
The Journal of Clinical Hypertension, 2013.

4. Canadian Hypertension Education Program. The Canadian


Recommendation for The Management of Hypertension 2014

5. Dirjen Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi.


Kemkes. 2013.

24
LAPORAN KASUS INFEKSI
DEMAM BERDARAH DENGUE

IDENTITAS PASIEN :
Nama : Nn. Linda
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/suku : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai
Alamat : Lempangan
Tanggal Pemeriksaan : 18 November 2016

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Anamnesis Terpimpin :
Demam sejak 6 hari yang lalu yang dirasakan hilang timbul, namun tak pernah
mencapai suhu normal. Kadang dirasakan menggigil, sakit kepala ringan yang
timbul bersamaan dengan demam dan disertai pusing dan keringat dingin. Pasien
merasakan sakit kepala hingga ke bagian belakang leher. Pasien merasa lelah,
batuk berdahak warna putih namun tidak disertai sesak. Pasien merasa tidak enak
saat menelan, terasa pahit di lidah, mual dan muntah ada, serta BAB dan BAK
lancar. Riwayat mimisan (-). Ada bercak merah daerah tangan(+).
Riwayat Penyakit sebelumnya :

25
 Riwayat Alergi (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Maag (+)
 Riwayat Hepatitis (+) pada tahun 2005
 Riwayat Penyakit Keluarga (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Kolestrol tinggi (-)

Riwayat Pengobatan : Parasetamol (sejak demam) , obat hepatitis (pada tahun


2005)
Lingkungan rumah : sekitar rumah terdapat banyak genangan air

PEMERIKSAAN FISIS:
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 55 kg
Status Gizi : 21,5 (gizi baik)
Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 90/60 mmHg
 Nadi : 80x/menit
 Pernapasan : 20x/menit
 Suhu : 38 ˚C
Kepala : Anemis (agak anemis), Sianosis (-), Ikterus (-), Tonsil : T1.\
Abdomen : I = datar ikut gerakan napas, damp contour (-), damp steifung
a aa(-), turgor kulit normal
A = peristaltik (+), kesan normal
P = massa tumor (-), neri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, depons muskular (-)
P = thympani (-)
Ekstremitas : tidak ada keluhan, turgor kulit normal
Lain-lain : Rumple lead test positif, dengan bintik bintik perdarahan
sebanyak 27 pada diameter lingkaran 2,5 cm

PEMERIKSAAN PENUNJANG

26
a. Rumple leed, : Rumple lead test positif, dengan bintik
bintik perdarahan sebanyak 27 pada diameter lingkaran 2,5 cm
b. pemeriksaan HB : 10,6 gr/dl
c. HbsAg : Negatif
d. widal test : anti titer O = 1/80
anti titer H= 1/80

PEMERIKSAAN LANJUTAN
Anjuran ke Rumah Sakit utuk periksa darah rutin (trombosit)

DIAGNOSIS
Suspek DBD

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Demam thyfoid
Tonsilitis
Faringitis

PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologi yang diberikan :
• Parasetamol
Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :
• Istirahat yang cukup
• Banyak minum air putih
• Menjaga kebersihan lingkungan
• Melakukan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
• Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi
dan melakukan olahraga secara rutin

27
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematocrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.1
Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah
yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Demam
berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti.3

B. Epidemiologi
Insiden berdarah telah tumbuh secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa
dekade terakhir. Angka-angka yang sebenarnya dari kasus DBD yang tidak
dilaporkan dan banyak kasus kesalahan klasifikasi. Salah satu perkiraan terbaru
menunjukkan 390 juta infeksi dengue per tahun (95% interval kredibel 284-
528000000), yang 96 juta (67-136000000) secara klinis nyata (dengan keparahan
penyakit). Studi lain, dari prevalensi demam berdarah, memperkirakan
3900000000 orang, di 128 negara, berada pada risiko infeksi dengan virus
dengue.4
Negara-negara Anggota dalam 3 wilayah WHO secara teratur melaporkan
jumlah tahunan kasus. Pada tahun 2010, hampir 2,4 juta kasus
dilaporkan. Meskipun beban global penuh penyakit ini tidak pasti, inisiasi

28
kegiatan untuk merekam semua kasus DBD sebagian menjelaskan peningkatan
tajam dalam jumlah kasus yang dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir.4

Gambar B.1 Penyebaran DBD


Dikutip dari kepustakaan 5

Fitur lain dari penyakit ini termasuk pola epidemiologi, termasuk hyper-
endemisitas beberapa serotipe virus dengue di banyak negara dan dampak yang
mengkhawatirkan terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global dan nasional.4
Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara telah mengalami epidemi dengue yang
parah.Penyakit ini sekarang endemik di lebih dari 100 negara di daerah WHO
Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Amerika,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat daerah yang paling parah terkena dampak.4
Kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melebihi 1,2 juta pada
tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013 (berdasarkan data resmi yang
disampaikan oleh Negara Anggota). Baru-baru ini jumlah kasus yang dilaporkan
terus meningkat. Pada 2013, 2,35 juta kasus dengue dilaporkan di Amerika saja,
dari yang 37 687 kasus demam berdarah yang parah.4
Tidak hanya jumlah kasus meningkat sebagai penyakit menyebar ke daerah
baru, tetapi wabah ledakan yang terjadi. Ancaman wabah kemungkinan demam
berdarah sekarang ada di Eropa dan transmisi lokal dengue dilaporkan untuk
pertama kalinya di Perancis dan Kroasia pada tahun 2010 dan kasus impor

29
terdeteksi di 3 negara Eropa lainnya. Pada tahun 2012, wabah demam berdarah di
pulau Madeira Portugal mengakibatkan lebih dari 2000 kasus dan kasus impor
terdeteksi di daratan Portugal dan 10 negara-negara lain di Eropa.4
Pada 2013, kasus telah terjadi di Florida (Amerika Serikat) dan provinsi
Yunnan Cina. Dengue juga terus mempengaruhi beberapa negara Amerika
Selatan, terutama Kosta Rika, Honduras dan Meksiko. Di Asia, Singapura telah
melaporkan peningkatan kasus setelah selang beberapa tahun dan wabah juga
telah dilaporkan di Laos. Pada tahun 2014, tren menunjukkan peningkatan jumlah
kasus di Republik Rakyat Cina, Kepulauan Cook, Fiji, Malaysia dan Vanuatu,
dengan Dengue Tipe 3 (DEN 3) mempengaruhi negara-negara Kepulauan Pasifik
setelah selang lebih dari 10 tahun. Dengue juga dilaporkan di Jepang setelah
selang lebih dari 70 tahun. Pada 2015 terjadi peningkatan jumlah kasus dilaporkan
di Brazil dan beberapa negara tetangga. Negara-negara pulau Pasifik Fiji, Tonga,
dan Polinesia Prancis terus merekam kasus.4
Diperkirakan 500 000 orang dengan demam berdarah yang parah memerlukan
rawat inap setiap tahun, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak. Sekitar
2,5% dari mereka yang terkena dampak mati.4
C. Etiologi
C.1 Virus
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat
empat serotype virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu
serotipe akan menimbulkan antibody terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibody yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe yang lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. 1
Pemulihan dari infeksi oleh satu memberikan kekebalan seumur hidup
terhadap serotipe yang tertentu. Namun, cross-kekebalan terhadap serotipe lain

30
setelah pemulihan hanya parsial dan temporer. Infeksi berikutnya oleh serotipe
lain meningkatkan risiko mengembangkan dengue yang parah.4
Dengue Virus adalah arbovirus dari keluarga Flaviviridae dan genus
Flavivirus. Dengue adalah virus yang terbungkus, 40-60 nm dalam ukuran,
dengan nukleokapsid isometrik 25-30 nm dan 10,7 kb, linear, positif-sense
RNA genom. Dengue virus dapat menjalani 2 siklus yang berbeda dari
transmisi dan amplifikasi, sylvan dan perkotaan. Pada siklus sylvan virus
mengalami putaran infeksi, amplifikasi, dan infeksi ulang antara primata non-
manusia dan vektor arthropoda. Hal ini diyakini bahwa vektor arthropoda
terinfeksi kemudian bermigrasi dari lingkungan hutan dan memulai siklus
perkotaan di mana siklus infeksi, amplifikasi, dan infeksi ulang terjadi antara
manusia dan spesies vektor.6
C.2 Vektor
Virus dengue ditularkan ke manusia oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti
yang terinfeksi dan Aedes albopictus. Telur A. aegypti dapat bertahan selama
beberapa bulan.6
Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan membentuk
bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Jentik Aedes aegypti mempunyai
pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.

Gambar C.1 Aedes aegypti


Dikutip dari kepustakaan7
Aedes aegypti dewasa mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-
bintik putih pada bagian badannya terutama pada kakinya. Aedes aegypti juga

31
dikena dari ciri-ciri morfologinya yang spesifik, yaitu menyerupai bentuk lira
(lyre-form) yang putihpada punggungnya (mesonotumnya) telur Aedes aegypti
mempunyai dinding yang bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai
gambaran kasa.8
Jentik Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang
berduri. Spesies ini seperti pada nyamuk Anopheleni lainnya menjalani proses
metamorfois sempurna. Nyamuk betina melekatkan telurnya diatas permukan
air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Setelah kira-
kira 2 hari, telur menetas menjadi jentik nyamuk, lalu selama proses
pertumbuhannya, jentik tersebut mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4
kali sehingga akhirnya menjadi pupa dan kemudian menjadi dewasa.
Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.8
Tempat-tempat perindukan utama Aedes aegypty adalah tempat-tempat
yang berisi air bersih yang berada dalam rumah atau berdekatan dengan rumah
penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat
perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan manusia seperti
tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, tangki/menara
air, talang hujan, jamban/pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang
terdapat di halaman rumah atau kebun yang terdapat air hujan, juga berupa
tempat perindukan alamiah seperti kelopak daun tanaman(keladi, pisang)
tempurung kelapa, tebasan tonggak bambu dan lubang pohon yang berisi air
hujan. Di tempat perindukan Aedes aaegypti, sering kali ditemukan jentik
Aedes albopictus yang hidup bersama-sama.8
Perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti dewasa betina yaitu menghisap
darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam maupun di luar
rumah. Untuk menjadi kenyang, nyamuk ini membutuhkan 2-3 kali hinggap
dan menghisap darah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang
dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (jam 08.00-12.00) dan
sebelum matahari terbenam (jam 15.00-17.00).8
Tempat istirahat Aedes aegypti dapat di dalam maupun di luar rumah
berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat

32
di halaman/kebun/pekarangan rumah, juga berupa benda-benda yang
tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah, da lain sebagainya.
Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari, sedangkan di
laboratorium mencapai umur 2 bulan. Aedes aegypti dengan bantuan angin
mampu terbang sejauh radius 2 kilometer, walaupun umumnya jarak
terbangnya pendek, yaitu kurang lebih 40 meter.8
Aedes albopictus, vektor dengue sekunder di Asia, telah menyebar ke
Amerika Utara dan Eropa sebagian besar disebabkan oleh perdagangan
internasional di ban bekas (habitat berkembang biak) dan barang lainnya
(misalnya beruntung bambu).Ae. albopictus sangat adaptif dan, oleh karena itu,
dapat bertahan hidup di daerah beriklim dingin di Eropa. Penyebarannya
adalah karena toleransi untuk suhu di bawah titik beku, hibernasi, dan
kemampuan untuk berlindung di habitat mikro.4

D. Patofisiologi
Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue, dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan
adalah: a) respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit maupun makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE); b) limfosit T baik T helper (CD4) maupun T
sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2, dan
limfokin, sedangkan TH2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10; c)
monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis bakteri dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag; d) selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun akan
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.1

33
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterelogous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue tipe yang berbeda.Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik yang
tinggi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Kurane
dan Enis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus
bereplikasi dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
mengakibatkan aktivasi sel T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
endotel dan terjadi kebocoran plasma.1
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat
sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)9

Derajat Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


I perdarahan ialah uji bendung.

Derajat Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau


II perdarahan lain.

Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,


Derajat tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
III sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak
gelisah.

Derajat Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
IV darah tidak terukur.

34
E. Gejala Klinis
Sekitar 75% dari semua infeksi DENV tidak menunjukkan gejala. Gejala
infeksi (demam berdarah) paling sering muncul sebagai ringan sampai sedang,
spesifik, akut, penyakit demam. Namun, sebanyak 5% dari semua pasien DBD
berkembang, penyakit yang mengancam jiwa yang parah.Temuan klinis awal
tidak spesifik tetapi memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi, karena mengenali
tanda-tanda awal syok dan segera memulai terapi suportif intensif dapat
mengurangi risiko kematian di antara pasien dengan demam berdarah yang parah
dari 10% menjadi <1%.10
Dengue dimulai tiba-tiba setelah masa inkubasi 4-7 hari (kisaran, 3-14 hari),
dan tentu saja berikut 3 fase: demam, kritis, dan sembuh. Demam biasanya
berlangsung 2-7 hari dan dapat biphasic. Tanda dan gejala lain mungkin termasuk
sakit kepala parah; nyeri retroorbital; otot, nyeri sendi dan tulang; makula atau
ruam makulopapular; dan manifestasi perdarahan ringan, termasuk petechiae,
ecchymosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, hematuria, atau hasil tes
tourniquet positif. Beberapa pasien telah disuntikkan orofaring dan eritema wajah
dalam 24-48 jam pertama setelah onset. Tanda-tanda peringatan dari
pengembangan menjadi dengue yang parah terjadi pada akhir fase demam sekitar
waktu penurunan suhu badan sampai yg normal dan termasuk muntah terus-
menerus, sakit perut yang parah, perdarahan mukosa, kesulitan bernapas, tanda-
tanda syok hipovolemik, dan penurunan cepat dalam jumlah trombosit dengan
peningkatan hematokrit ( hemokonsentrasi).10
Fase kritis DBD dimulai pada penurunan suhu badan sampai yg normal dan
biasanya berlangsung 24-48 jam. Kebanyakan pasien secara klinis meningkatkan
selama fase ini, tetapi mereka dengan kebocoran plasma besar mengembangkan
penyakit parah sebagai akibat dari peningkatan yang ditandai dalam permeabilitas
pembuluh darah. Awalnya, mekanisme kompensasi fisiologis menjaga sirkulasi
yang memadai, yang mempersempit tekanan nadi tekanan darah meningkat
diastolik. Pasien dengan kebocoran plasma yang parah memiliki efusi pleura atau

35
ascites, hipoproteinemia, dan hemokonsentrasi. Pasien mungkin tampak baik
meskipun tanda-tanda awal syok. Namun, setelah hipotensi berkembang, tekanan
darah sistolik cepat menurun, dan shock ireversibel dan kematian dapat terjadi
meskipun resusitasi. Pasien juga dapat mengembangkan manifestasi perdarahan,
termasuk hematemesis, tinja berdarah, melena, atau menorrhagia, terutama jika
mereka telah lama shock. Pasien demam berdarah dapat memiliki manifestasi
atipikal, termasuk hepatitis, miokarditis, pankreatitis, dan ensefalitis.10
Sebagai kebocoran plasma mereda, pasien memasuki fase penyembuhan dan
mulai menyerap cairan intravena extravasated dan pleura dan efusi
abdomen. Sebagai kesejahteraan pasien membaik, status hemodinamik stabil
(meskipun ia dapat bermanifestasi bradycardia), dan diuresis terjadi
kemudian. Hematokrit pasien stabil atau mungkin jatuh karena efek dilusi cairan
diserap, dan jumlah sel putih biasanya mulai naik, diikuti dengan pemulihan yang
lambat dari jumlah trombosit. Pada fase sembuh mungkin akan memperlihatkan
ruam, deskuamasi dan menjadi gatal.10
Temuan laboratorium umum meliputi leukopenia, trombositopenia,
hiponatremia, peningkatan aspartat aminotransferase dan SGPT, dan laju endap
darah normal.10
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu : 8
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
 Uji bendung positif
 Petekie, ekimosis, purpura
 Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
 Hematemesis dan atau melena
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien
tampak gelisah.

36
Sedangkan untuk temuan laboratoriumnya yang harus ada yaitu :9
1. Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
2. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,
dengan manifestasi sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
b. Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
c. Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
Data terbatas pada hasil kesehatan demam berdarah pada kehamilan dan efek
infeksi DENV ibu pada janin berkembang. Transmisi perinatal DENV dapat
terjadi, dan infeksi ibu peripartum dapat meningkatkan kemungkinan penyakit
gejala pada bayi baru lahir. Dari 34 kasus penularan perinatal dijelaskan dalam
literatur, semua dikembangkan trombositopenia dan semua tapi 1 memiliki
demam pada 2 minggu pertama setelah kelahiran. Hampir 40% memiliki
manifestasi perdarahan, dan seperempat memiliki hipotensi. Transfer
transplasenta dari ibu IgG anti-DENV (dari infeksi maternal sebelumnya) dapat
meningkatkan risiko demam berdarah yang parah pada bayi yang terinfeksi pada
6-12 bulan.10

F. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Fisik :
Tanda-tanda patognomonik :
 Suhu > 37,5 derajat celcius
 Ptekie, ekimosis, purpura
 Perdarahan mukosa
 Rumple leed (+)
Pemeriksaan Penunjang :
Leukosit : leukopenia cenderung pada demam dengue
Hematokrit : >20%
Trombositopenia (Trombosit <100.000/ml)

G. Penegakan Diagnosis

37
Dokter harus mempertimbangkan dengue pada pasien yang berada di daerah
endemik dalam waktu 2 minggu sebelum onset gejala. Semua kasus yang diduga
harus dilaporkan ke departemen kesehatan setempat, karena DBD adalah penyakit
nasional dilaporkan. Konfirmasi laboratorium dapat dibuat dari spesimen serum
fase akut tunggal diperoleh awal (≤5 hari setelah onset demam) di penyakit
dengan mendeteksi urutan genom DENV dengan RT-PCR atau DENV
nonstruktural protein 1 (NS1) antigen oleh immunoassay. Kemudian pada
penyakit (≥4 hari setelah onset demam), IgM anti-DENV dapat dideteksi dengan
ELISA. Untuk pasien yang selama minggu pertama setelah onset demam, tes
diagnostik harus mencakup tes untuk DENV (PCR atau NS1) dan IgM anti-
DENV. Untuk pasien yang> 1 minggu setelah onset demam, IgM anti-DENV
adalah yang paling berguna, meskipun NS1 telah dilaporkan positif sampai 12
hari setelah onset demam.10
Kehadiran DENV dengan PCR atau NS1 antigen dalam spesimen diagnostik
tunggal dianggap konfirmasi laboratorium pada pasien dengan riwayat klinis dan
perjalanan yang kompatibel. IgM anti-DENV dalam sampel serum tunggal
menunjukkan kemungkinan infeksi DENV baru-baru ini. IgM anti-DENV
serokonversi pada spesimen serum acute- dan sembuh-fase dianggap konfirmasi
laboratorium demam berdarah.10
IgG anti-DENV oleh ELISA dalam sampel serum tunggal tidak berguna untuk
tes diagnostik, karena tetap tinggi untuk kehidupan setelah infeksi DENV dan
dapat palsu positif pada orang dengan antibodi untuk flaviviruses lainnya (seperti
West Nile, demam kuning, Jepang ensefalitis).10
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD.9

H. Penatalaksanaan
Tidak ada antivirus yang khusus ada untuk demam berdarah. Pasien harus
dianjurkan untuk tetap terhidrasi dengan baik dan untuk menghindari aspirin
(asam asetilsalisilat), yang mengandung aspirin obat, dan obat nonsteroidal anti-
inflammatory lainnya (seperti ibuprofen) karena sifat antikoagulan
mereka. Demam harus dikontrol dengan acetaminophen dan spons mandi

38
hangat. Pasien demam harus menghindari gigitan nyamuk untuk mengurangi
risiko penularan lebih lanjut. Bagi mereka yang mengembangkan berdarah yang
parah, pengamatan dekat dan sering pemantauan di unit perawatan intensif
pengaturan mungkin diperlukan. Transfusi trombosit profilaksis pada pasien
demam berdarah yang tidak bermanfaat dan dapat berkontribusi untuk overload
cairan.10
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), bersama dengan
divisi penyakit tropis, divisi hematologi, ddan divisi Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD
pada pasien dewasa berdasarkan kriteria sebagai berikut1
a. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai
atas indikasi
b. Praktis dalam penatalaksanaanna
c. Pertimbangan cost effectiness
Protokol ini terbaik dalam 5 kategori :
Protokol 1 (penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok)
Protokol 2 (pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat)
Protokol 3 (penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%)
Protokol 4 (penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa)
Protokol 5 (tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa)
Protokol 1 (penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok),
seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang gawat darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit. Bila :1
a. Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat ke poliklinik
dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit,
dan trombosit diap 24 jam) atau bila kesadaran penderita memburuk segera
kembali ke UGD
b. Hb, Ht normal, tap trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
c. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun, juga dianjurkan untuk
dirawat.
Protokol 2 (pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat),
pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
maka diruang rawat diberikan cairan infus krostaloid sesuai rumus 1500+{20x(BB
dalam kg-10)}1
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam : 1

39
a. Bila Hb, Ht meningkat 10-20%dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit
dilakukan tiap 12 jam.
b. Bila Hb, Ht, meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol 3.
Protokol 3 (penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%),
meningkatnya Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini, terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
cairan infus kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Kemudian dipantau 3-4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai Ht turun, frekuensi nadi
turun, TD stabil, produksi urin meningkat, maka jumlah cairan infus dikurangi 5
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan, maka jumlah cairan diturunkan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan tetap membaik, maka cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian. 1
Apabila pemberian terapi awal cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi namun
keadaan tetap tidak membaik, maka jumlah cairan dinaikkan menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian, dilakukan pemantauan dan bila keadaan
membaik, cairan diturunkan menjadi 5 ml/kgBB/jam, bila tidak membaik, cairan
dinaikkan 15 ml/kgBB/jam. Bila dalam perkembangannya kondisi menjadi
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok, maka pasien ditangani sesuai
tatalaksana protokol 5. Namun bila kondisina membaik,maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal. 1
Protokol 4 (penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa), pada
keadaan perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam, jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tanda vital
harus dilakukan sesering mungkin. Periksaan laboratorium sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam. 1
Pemberian heparin diberikan bila klinis dan laboratorium didapatkan tanda
tanda DIC. Transfusi komponen darah sesuai indikasi. FFP diberikan bila ada
defisiensi faktor pembekuan (PT dan aPTT memanjang), PRC diberikan bila bila

40
nilai Hb <10 g/dl. Transfusi trombosit diberikan bila ada perdarahan masif dengan
jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa DIC. 1
Protokol 5 (tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa), bila kita
berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama ang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler harus segera dilakukan. 1
Pada kasus SSD, cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi, pasien juga diberikan oksigen 10-20 ml/kgBB. Pemerikasaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap
(DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta
ureum dan kreatinin.1
Pada fase awal,cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan tidak teratasi, jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian
keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah renjatan teratasi, tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup, maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan.1

Kriteria rawat inap Kriteria memulangkan pasien

Ada kedaruratan:
• Syok
• Muntah terus menerus
• Kejang  Tidak demam selama 24 jam
• Kesadaran turun tanpa antipiretik
• Muntah darah  Nafsu makan membaik
• Berak hitam secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit cenderung meningkat  Hematokrit stabil
setelah 2 kali pemeriksaan berturut-  Tiga hari setelah syok teratasi
turut  Trombosit > 50.000/uL
Hemokonsentrasi (Ht meningkat =  Tidak dijumpai distres
20%) pernafasan

41
Tabel G.1 Kriteria Rawat Inap dan Memulangkan Pasien DBD
Dikutip dari Kepustakaan 11

42
I. ALLOGARITME DBD

Gambar H.1 Allogaritme DBD


Dikutip dari kepustakaan 12

43
G
ambar H.1 Allogaritme DBD
Dikutip dari kepustakaan 12

44
Gambar H.1 Allogaritme DBD
Dikutip dari kepustakaan 12

45
Gambar H.1 Allogaritme DBD
Dikutip dari kepustakaan 12

46
G
ambar H.1 Allogaritme DBD
Dikutip dari kepustakaan 12

47
J. KOMPLIKASI
Dengue Shock Syndrome (DSS)

K. PROGNOSIS
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena
hal ini tergantung dari derajat beratnya penyakit

a. KONSELING & EDUKASI


Prinsip konselig pada demam berdarah dengue adalah memberikan
pengertian pada pasien dan keluarganya tentang perjalanan
penyakit dan tata laksananya, sehingga pasien dapat mengerti
bahwa tidak ada obat/medikamentosa untuk penanganan DBD,
terapi hanya bersifat suportif dan mencegah perburukan prnyakit.
Penyakit akan sembuh sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit.
Modifikasi gaya hidup :
1. Melakukan 3M Menguras, Mengubur, Menutup
2. Menignkatkan daya tahan tubuh

Kriteria Rujukan :

 Terjadi perdarahan massif


 Pemberian kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/jam kondisi
belum membaik
 Terjadi komplikasi : kejang, penurunan kesadaran, dll

PEMBAHASAN

Nn. Linda datang ke Puskesmas Simbang dengan keluhan utama demam


sejak 6 hari yang lalu hilang timbul dan tidak pernah mencapai suhu normal,

48
disertai pusing dan keringat dingin. Tanda-tanda peringatan dari pengembangan
menjadi dengue yang parah terjadi pada akhir fase demam sekitar waktu
penurunan suhu badan sampai yg normal dan termasuk muntah terus-menerus,
sakit perut yang parah, perdarahan mukosa, kesulitan bernapas, tanda-tanda syok
hipovolemik, dan penurunan cepat dalam jumlah trombosit dengan peningkatan
hematokrit ( hemokonsentrasi). Pasien kadang menggigil dan nyeri-nyeri sendi.
Manifestasi klinis tersebut bisa ditemukan pada demam berdarah dengue. Dengue
dimulai tiba-tiba setelah masa inkubasi 4-7 hari (kisaran, 3-14 hari), dan tentu saja
berikut 3 fase: demam, kritis, dan sembuh. Demam biasanya berlangsung 2-7 hari
dan dapat biphasic. Tanda dan gejala lain mungkin termasuk sakit kepala
parah; nyeri retroorbital; otot, nyeri sendi dan tulang; makula atau ruam
makulopapular; dan manifestasi perdarahan ringan, termasuk petechiae,
ecchymosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, hematuria, atau hasil tes
tourniquet positif. Pasien tidak memiliki mimisan namun terlihat ada bercak-
bercak merah di daerah tangan. Hal tersebut bias terlihat pada pasien DBD
diakibatkan karena terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Pasien memiliki riwayat hepatitis pada tahun 2005 namun telah remisi.
Pasien juga diketahui mengeluhkan nyeri ulu hati.
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan status gizi pasien baik, Tekanan
darah 90/60 mmHg dan suhu 38 ˚C namun nadi dan pernapasan dalam batas
normal. Turgor kulit baik dan tidak ada pembesaran hepar maupun lien.
Komplikasi yang bisa terjadi yaitu dengue shock syndrome (DSS) dimana dapat
ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan
nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit
lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
Namun Pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda tersebut.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu rumple leed test dengan


bintik bintik perdarahan sebanyak 27 pada diameter lingkaran 2,5 cm sehingga
dikatakan positif. Pemeriksaan lain yaitu Hb, HbsAg, dan tes widal karena

49
diketahui differensial diagnosis penyakit ini adalah demam typhoid. Namun
semua pemeriksaan tersebut negative. Maka dianjurkan untuk periksa darah rutin
khususnya trombosit dan hematokrit untuk menegakkan diagnosis demam
berdarah dengue. Namun di puskesmas tidak tersedia alat maupun bahannya
sehingga dirujuk ke rumah sakit dengan diagnosis suspek demam berdarah
dengue. Tanda-tanda patognomonik demam berdarah antara lain suhu > 37,5
derajat celcius, Ptekie, ekimosis, purpura, Perdarahan mukosa, dan Rumple leed
(+).

Pengobatan farmakologi yang diberikan yaitu parasetamol. Sedangkan


Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain : istirahat
yang cukup, banyak minum air putih, menjaga kebersihan lingkungan, melakukan
3M (Menguras, Menutup, Mengubur) , serta meningkatkan daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan melakukan olahraga secara rutin.

LAMPIRAN FOTO

50
DAFTAR PUSTAKA

51
1. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, dkk, editors. Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. P. 1709-1713
2. Siregar, Dr. Faizah A. Epidemiologi dan pemberantasan demam berdarah
dengue di Indonesia. [online]. 2004 [cited 2015 mei 12]; Available from :
URL : http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah3.pdf
3. Dr Widodo Judarwanto pediatrician. Penatalaksanaan Demam Berdarah
Dengue. [online]. 2009 Mei 5 [cited 2015 Mei 22]; Available from: URL:
http://infodemam.com/2009/05/05/penatalaksanaan-demam-berdarah-
dengue/
4. Word Health Organization. Dengue and Severe Dengue. [online] 2015
Mei. [cited 2015 Mei 29]; available from: URL:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
5. Kay M. Tomashek, Harold S. Margolis. Dengue. [online] 2013 Agustus 1. [cited
2015 Juni 29]; Available from: URL:
http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2014/chapter-3-infectious-diseases-
related-to-travel/dengue
6. Public Healthh Agency of Canada. Dengue fever virus (DEN 1, DEN 2,
DEN 3, DEN 4) – Pathogen Safety Data Sheet. [online]. 2014 September
11 [cited 2015 Mei 22]; Available from: URL: http://www.phac-
aspc.gc.ca/lab-bio/res/psds-ftss/msds50e-eng.php
7. Entamologi today’s News. Panama Considers Sterilizing Mosquitoes to
Combat Dengue. [Online] 2014 Januari 28 [cited 2015 Mei 23]; Available from:
URL: http://entomologytoday.org/2014/01/28/panama-considers-sterilizing-
mosquitoes-to-combat-dengue/
8. Djafnuddin Natadisastra, Ridad Agoes, editors. Parasitologi Kedokteran
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009. P. 315-318
9. International Child Health Review Collaboration. Demam Berdarah
Dengue Diagnosis Dan Tatalaksana. [online] 2012. [cited 2015 Mei 27];
Available from: URL: http://www.ichrc.org/622-demam-berdarah-dengue-
diagnosis-dan-tatalaksana
10. Kay M. Tomashek, Harold S. Margolis. Dengue. [online] 2013 Agustus 1.
[cited 2015 Juni 29]; Available from: URL:
http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2014/chapter-3-infectious-
diseases-related-to-travel/dengue
11. dr. Purnamawati. Demam Dengue dan Demam Berdarah. [online] 2008
Oktober 2010. [cited 2015 Mei 22]; Available from: URL:
http://milissehat.web.id/?p=134

52
12. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. [online] 2015 April
27. [cited 2015 Juni 29]; Available from: URL:
http://www.cdc.gov/dengue/resources/DENGUE-clinician-guide_508.pdf
13. emenkes RI. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta.
14. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7
15. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and
control. 2nd Edition. Geneva. 1997

53

Anda mungkin juga menyukai