Defisiensi ADH
Terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada diabetes insipidus sentralis yang
diturunkan secara genetic, pada kerusakan neuron, missal oleh penyakit autoimun, atau
trauma kelenjar hipofisis lainnya. Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau
pajanan terhadap dingin. Di sisi lain, ADH mungkin gagal mempengaruhi ginjal, bahkan
jika jumlah yang dieksresikan normal, misal pada kerusakan kanal air, atau jika
kemampuan pemekatan ginjla terganggu, seperti pad defisiensi K+, kelebihan Ca2+, atau
inflamasi medilla ginjal. Penurunan pelepasan ADH atau efek yang timbul akibat
pengeluaran urin yang kurangpekat dalam jumlah besar dan dehidrasi hipertonik
menyebabkan penyusutan sel. Pasien akan dipaksa mengkompensasi kehilangan air
melalui ginjal dengan meminum banyak air (polidipsia). Jika osmoreseptor dihipotalamus
rusak, defisiensi ADH akan disertai dengan hipodipsia dan dehidrasi hipertonik akan
menjadi sangat nyata.
Kelebihan ADH
Sering kali terjadi akibat penigkatan pembentukan ADH di hipotalamus, missal, karena stress.
Selain itu, ADH dapat dibentuk secara ektopik pada tumor (terutama small cell carsinoma
bronchus) atau penyakit paru. Hal ini menyebabkan penurunan eksresi air (oligouria).
Konsentrasi komponen urin yang sukar larut dalam jumlah yang bermakna dapat menyebabkan
pembentukan batu urin (urolitiasis). Pada waktu yang bersamaan terjadi penurunan osmolaritas
ekstrasel (hiperhidrasi hipotonik) sehingga terjadi pembengkakan sel. Hal ini terutama
berbahaya jika menyebabkan edema serebri.
Defisiensi ADH
Terjadi jika pelepasan ADH berkurang, seperti pada diabetes insipidus sentralis yang
diturunkan secara genetic, pada kerusakan neuron, missal oleh penyakit autoimun, atau trauma
kelenjar hipofisis lainnya. Penyebab eksogen lainnya termasuk alkohol atau pajanan terhadap
dingin. Di sisi lain, ADH mungkin gagal mempengaruhi ginjal, bahkan jika jumlah yang
dieksresikan normal, misal pada kerusakan kanal air, atau jika kemampuan pemekatan ginjla
terganggu, seperti pad defisiensi K+, kelebihan Ca2+, atau inflamasi medilla ginjal. Penurunan
pelepasan ADH atau efek yang timbul akibat pengeluaran urin yang kurangpekat dalam jumlah
besar dan dehidrasi hipertonik menyebabkan penyusutan sel. Pasien akan dipaksa
mengkompensasi kehilangan air melalui ginjal dengan meminum banyak air (polidipsia). Jika
osmoreseptor dihipotalamus rusak, defisiensi ADH akan disertai dengan hipodipsia dan
dehidrasi hipertonik akan menjadi sangat nyata.
Antidiuresis Hormon (ADH) fungsinya : Merangsang penyerapan semula air di tubul ginjal
FISIOLOGI (FAAL) ANTI DIURETIC HORMONE (ADH)
FISIOLOGY
Kelenjar hipofisis posterior, yang juga disebut neurohipófisis, terutama terdiri dari sel-sel
seperti glia yang disebut pituisit. Pituisit ini tidak menyekresikan hormon; sel ini hanya bekerja sebagai
struktur penunjang bagi banyak sekali serabut saraf terminal dan Ujung saraf terminal dari jaras saraf
yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular di hipotalamus. Jaras saraf ini berjalan
menuju ke neurohipófisis melalui tangkai hipofisis (tangkai pituitary). Bagian akhir saraf ini merupakan
kenop bulbosa yang mengandung banyak granula sekretorik. Bagian Ujung ini terletak pada permukaan
kapiler, tempat granula tersebut menyekresikan 2 hormon hipofisis posterior : (1) hormon antidiuretik
(ADH), juga disebut sebagai vasopressin, dan (2) oksitosin.
Bila tangkai hipofisis dipotong di atas kelenjar hipofisis tetapi seluruh hipotalamusnya dibiarkan
untuh, hormon hipofisis posterior akan terus disekresikan secara normal, sesudah mengalami
penurunan sekresi sementara selama beberapa hari; kemudian hormon-hormon tersebut disekresikan
oleh ujung serabut yang terpotong yang terletak di dalam hipotalamus dan bukan oleh bagian akhir
saraf yang terletak di dalam kelenjar hipofisis posterior. Hal ini terjadi karena pada awalnya hormon
disintesis di dalam badan sel nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular dan kemudian bergabung
dengan proteína “pembawa” yang disebut neurofisin akan diangkut ke Ujung saraf di dalam kelenjar
hipofisis posterior, dan untuk dapat mencapai kelenjar itu dibutuhkan waktu beberapa hari.
ADH dibentuk terutama di dalam nukleus supraoptik, sedangkan oksitosin dibentuk terutama
di dalam nukleus paraventrikular. Masing-masing nukleus ini dapat mensintesis hormon kedua kira-kira
seperenam dari hormon primernya.
Bila impuls saraf dijalarkan sepanjang serabut yang berjalan dari nukleus supraoptik atau
nukleus paraventrikel, hormon segera dilepaskan dari granula sekretorik di ujung saraf melalui
mekanisme sekresi yang biasa, yakni dengan cara eksositosis, dan akan diabsorbsi oleh kapiler di
dekatnya. Neurofisin dan hormon disekresi secara bersamaan, namun karena keduanya berikatan
secara longgar, keduanya hampir dengan segera terpisar. Belum diketahui apa fungsi neurofisin setelah
meninggalkan ujung saraf.
Oksitosin dan ADH (vasopressin) merupakan polipeptida yang mengandung sembilan asam
amino. Rangkaian asam aminonya adalah sebagai berikut :
1. Vasopressin : Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn-Cys-Pro-Arg-GlyNH2
2. Oksitosin : Cys-Tyr-Ile-Gln-Asn-Cys-Pro-Leu-GlyNH2
Perhatikan bahwa kedua hormon ini hampir identik kecuali pada vasopressin, fenilalanin dan
arginin menggantikan isoleusin dan leusin pada molekul oksitosin. Kesamaan kedua molekul ini
menjelaskan kesamaan sebagian fungsi keduanya.
HORMON OKSITOSIN
HORMON ADH
Penyunyikan sejumlah ADH yang sangat sedikit – sebesar 2 nanogram – dapat menyebabkan
berkurangnya ekskresi air oleh ginjal (antidiuresis). Singkatnya, bila hormon ADH ini tidak ada, maka
tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air, sehingga mencegah reabsorbsi air
dalam jumlah yang signifikan dan karena itu mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam
urin, yang juga menyebabkan urin menjadi sangat encer. Sebaliknya, bila ada ADH, maka permeabilitas
tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat meningkat dan menyebabkan sebagian besar air
direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus koligentes, sehingga air yang disimpan dalam
tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan urin yang sangat pekat.
Mekanisme yang tepat mengenai kerja ADH pada duktus untuk meningkatkan permeabilitas
duktus koligentes hanya diketahui sebagian. Tanpa ADH, membran luminal sel epitel tubulus pada
duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air. Akan tetapi, di dalam membran sel, terdapat
sejumlah besar vesikel khusus yang mempunyai pori-pori yang sangat permeabel terhadap air, yang
disebut aquaporin. Bila ADH bekerja pada sel, ADH mula-mula akan bergabung dengan reseptor
membran yang mengaktifkan adenilil siklase dan menyebabkan pembentukan cAMP di dalam
sitoplasma sel tubulus. cAMP ini menyebabkan fosforilasi elemen di dalam vesikel khusus, yang
kemudian menyebabkan vesikel masuk ke dalam membran sel apikal, sehingga menyediakan banyak
daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Semua proses ini terjadi dalam waktu 5 sampai 10 menit.
Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses berbalik dalam waktu 5 sampai 10 menit berikutnya.
Jadi, proses ini secara sementara menyediakan banyak pori baru yang mempermudah difusi bebas air
dari cairan tubulus melewati sel epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial ginjal. Kemudian
air diabsorbsi dari tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis.
Pengaturan osmosis
Bila larutan elektrolit yang pekat disuntikan ke dalam arteri yang menyuplai hipotalamus,
neuron ADH yang terdapat di dalam nukleus supraoptik dan paraventrikular segera menjalarkan impuls
ke kelenjar hipofisis posterior agar melepaskan banyak ADH ke dalam sirkulasi darah, kadang-kadang
peningkatan sekresi ADH dapat mencapai 20 kali dari normal. Sebalikanya, penyuntikan larutan encer
ke dalam arteri akan menyebabkan penghentian impuls sehingga sekresi ADH hampir terhenti sama
sekali. Jadi, dalam waktu beberapa menit saja, konsentrasi ADH dalam cairan tubuh dapat berubah
dari sedikit menjadi banyak atau sebaliknya.
Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih belum diketahui
secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat hipotalamus, terdapat reseptor
neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut osmoreseptor. Bila cairan ekstrasel menjadi terlalu pekat,
cairan akan ditarik dengan cara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang
dan menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam hipotalamus agar menghasilkan sekresi ADH
tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel menjadi terlalu encer, air bergerak dengan cara osmosis ke
arah yang berlawanan, yaitu masuk ke dalam sel, dan menurunkan sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun
beberapa peneliti meyakini letak osmoreseptor di dalam hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di
dalam nukleus supraoptik sendiri), peneliti lainnya meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum
vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah yang terletak di ventrikel ketiga pada dinding
anteroventralnya.
Tanpa menghiraukan mekanismenya, cairan tubuh yang pekat akan merangsang nukleus
supraoptik, sedangkan cairan tubuh yang encer akan menghambatnya, terdapat sistem pengaturan
umpan balik yang dapat mengatur tekanan osmotik total cairan tubuh.
Zat Vasokonstriktor
Vasopressin yang juga disebut hormone antidiuretik, bahkan lebih kuat daripada angiotensin
II sebagai vasokonstriktor, sehingga menjadikannya sebagai salah satu zat vasokonstriktor terkuat
tubuh. Zat ini dibentuk di sel saraf di dalam hipotalamus otak namun kemudian diangkut ke bawah oleh
akson saraf ke kelenjar hipofise posterior tempat zat tersebut berada yang akhirnya disekresi ke dalam
darah.
Jelaslah bahwa vasopressin dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap fungsi
sirkulasi. Namun, dalam keadaan normal, hanya sejumlah kecil vasopressin yang disekresikan, sehingga
banyak ahli faal menganggap bahwa vasopressin berperan kecil dalam pengaturan vascular. Akan
tetapi, beberapa percobaan telah memperlihatkan bahwa konsentrasi vasopressin dalam sirkulasi darah
setelah terjadinya perdarahan hebat dapat meningkat cukup tinggi untuk meningkatkan tekanan arteri
sebanyak 60 mmHg. Dalam banyak keadaan, hal tersebut dapat mengembalikan tekanan arteri
mendekati normal.
Vasopressin memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal kembali ke
dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan tubuh. Hal tersebut merupakan
alas an vasopressin mendapat sebutan lain sebagai hormone antidiuretik.
Efek vasokonstriktor dan penekan dari ADH, dan peningkatan sekresi ADH yang
disebabkan oleh volume darah yang rendah
Karena dengan konsentrasi ADH yang sangat kecil saja dapat menyebabkan peningkatan
penahanan air oleh ginjal, konsentrasi ADH yang lebih tinggi mempunyai efek yang kuat untuk
menyebabkan konstriksi arteriol di seluruh tubuh sehingga meningkatkan tekanan arteri. Karena alasan
inilah, ADH mempunyai nama lain, yaitu vasopressin.
Salah satu rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan
volume darah. Keadaan ini terjadi secara hebat terutama saat volume darah turun 15 sampai 25 persen,
atau lebih; kecepatan sekresi kadang-kadang meningkat sampai 50 kali dari normal. Penyebabnya
adalah sebagai berikut.
Atrium mempunyai reseptor regangan yang dieksitasi oleh pengisian yang berlebihan. Bila
reseptor regangan ini tereksitasi, reseptor akan mengirimkan sinyal ke otak agar menghambat sekresi
ADH. Sebaliknya, bila reseptor tidak tereksitasi akibat pengisian yang tidak penuh, akan terjadi proses
yang berlawanan, yaitu peningkatan sekresi ADH yang sangat besar. Penurunan regangan baroreseptor
di daerah karotis, aorta, dan paru juga merangsang sekresi ADH.
Sel interkalatus banyak menyekresi ion hidrogen serta mereabsorbsi ion bikarbonat dan
kalium
Ion hidrogen yang disekresi oleh sel interkalatus diperantai oleh mekanisme transpor hidrogen-
ATPase. Hidrogen dihasilkan dalam sel-sel ini melalui kerja karbonik anhidrase terhadap air dan karbon
dioksida untuk membentuk asam karbonat, yang kemudian berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion
bikarbonat. Ion hidrogen kemudian disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan untuk setiap ion hidrogen
yang disekresikan, tersedia sebuat ion bikarbonat untuk diresorbsi melewati membran basolateral. Sel
interkalatus juga mereabsorbsi ion kalium.
Karakteristik fungsional dari bagian akhir tubulus distal dan tubulus koligentes dapat diringkas
sebagai berikut :
1. membran tubulus kedua segmen hampir seluruhnya impermeabel terhadap ureum, mirip
dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal; jadi, hampir semua ureum yang
memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan masuk ke dalam duktus koligentes untuk
diekskresikan dalam urin, walaupun beberapa reabsorbsi ureum terjadi di dalam duktus
koligentes bagian medula.
2. tubulus distal bagian akhir dan segmen tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi ion natrium
dan kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon, terutama aldosteron. Pada waktu yang
bersamaan, segmen ini menyekresikan ion kalium dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulusm suatu proses yang juga dikontrol oleh aldosteron dan faktor-faktor lain seperti
konsentrasi ion kalium dalam cairan tubuh.
3. sel interkalatus dari segmen-segmen nefron ini banyak menyekresikan ion hidrogen melalui
mekanisme hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan sekresi aktif sekunder ion
hidrogen melalui tubulus proksimal, karena proses ini mampu menyekresikan ion hidrogen
melawan gradien konsentrasi yang besar, sebesar 1000 terhadap 1. Hal ini kebalikan dedngan
gradien ion hidrogen yang relatif kecil (4 sampai 10 kali) yang dapat dicapai melalui sekresi
aktif sekunder di dalam tubulus proksimal. Jadi, sel interkalatus memainkan peranan kunci
dalam regulasi asam-basa cairan tubuh.
4. permeabilitas tubulus distal bagian akhir dan duktus koligentes kortikalis terhadap air dikontrol
oleh konsentrasi ADH, yang juga disebut vasopressin. Dengan kadar ADH yang tinggi, segmen-
segmen ini sesungguhnya impermeabel terhadap air. Karakteristik yang khusus ini
menyediakan suatu mekanisme penting untuk pengaturan derajat pengenceran atau
pemekatan urin.
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi
natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal dan tidak bergantung pada
kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik
(ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam cairan tubuh
menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang
meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi tidak
mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun, sekresi
ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan tubulus
koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan
sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal.
Gangguan kemampuan ginjal untuk memekatkan atau mengencerkan urin dengan tepat dapat
terjadi pada satu atau lebih dari abnormalitas berikut ini :
1. sekresi ADH yang tidak tepat. Sekresi ADH yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat
menghasilkan pengaturan cairan yang abnormal oleh ginjal.
2. kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik interstisium medula dibutuhkan untuk
kemampuan pemekatan urin yang maksimal. Tidak peduli banyaknya ADH yang tersedia,
kepekatan urin maksimal dibatasi oleh derajat hiperosmolaritas interstisium medula
3. ketidakmampuan tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes untuk berespon
terhadap ADH.
Sistem umpan balik osmoreseptor-ADH
Bila osmolaritas (konsentrasi natrium plasma) meningkat di atas normal akibat kekurangan air,
sistem umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut :
1. peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti peningkatan konsentrasi
natrium plasma) menyebabkan sel saraf khusus yang disebut sel osmoreseptor, yang terletak
di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik, mengkerut
2. pengkerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang, yang akan mengirimkan
sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik, yang kemudian meneruskan sinyal ini
menyusuri tangkai kelenjar hipofise ke hipofisis posterior.
3. potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang pelepasan ADH, yang
disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel) di ujung saraf.
4. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH meningkatkan permeabilitas
di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes kortikalis dan duktus koligentes medula.
5. peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatan reabsorbsi
air dan ekskresi sejumlah kecil urin yang pekat.
Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus dikeluarkan
dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan ekstrasel, yang akan
memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel mula-mula yang berlebihan.
Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu encer
(hipo-osmotik). Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas cairan
ekstrasel, lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus ginjal mengurangi permeabilitasnya terhadap
air, sehingga lebih sedikit air yang direabsorbsi, dan sejumlah besar urin encer dibentuk. Hal tersebut
kemudian memekatkan cairan tubuh dan mengembalikan osmolaritas plasma kembali ke nilai normal.
Sintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus dan pelepasan ADH dari
hipofisis posterior
Hipotalamus terdiri dari 2 jenis neuron-neuron magnosel (besar) yang mengsintesis ADH di
nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus, kira-kira sebanyak lima perenam di
nukleus supraoptik dan seperenam di nukleus paraventrikular. Kedua nukleus ini mempunyai
perpanjangan akson sampai ke hipofisis posterior. Setelah disintesis, ADH ditranspor melalui akson-
akson neuron ke bagian ujungnya, yang berakhir di kelenjar hipofisis posterior. Bila nukleus supraoptik
dan nukleus paraventrikular dirangsang oleh peningkatan osmolaritas atau faktor lain, impuls saraf
berjalan ke bagian ujung saraf ini, yang akan mengubah permeabilitas membrannya dan meningkatkan
pemasukan kalsium. ADH yang disimpan dalam granula sekretorik (juga disebut vesikel) pada ujung-
ujung saraf dilepaskan sebagai respons terhadap peningkatan pemasukan kalsium. ADH yang
dilepaskan kemudian dibawa dalam kapiler darah hipofisis posterior ke dalam sirkulasi sistemik.
Sekresi ADH sebagai respons terhadap rangsangan osmotik sifatnya cepat, sehingga kadar
ADH plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dalam beberapa menit. Oleh sebab itu, sekresi ADH
merupakan suatu cara cepat untuk menghambat ekskresi air oleh ginjal.
Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi ADH terletak di
sepanjang regio anteroventral ketiga, yang disebut regio AV3V. Pada bagian atas regio ini terdapat
suatu struktur yang disebut organ subfornikal, dan pada bagian inferior terdapat struktur lain yang
disebut organum vaskulosum lamuna terminalis. Di antara kedua organ ini terdapat nukleus preoptik
median, yang mempunyai banyak sambungan saraf dengan kedua organ sebagaimana halnya dengan
nukleus supraoptik dan pusat pengaturan tekanan darah di medula otak. Lesi pada regio AV3V
menyebabkan berbagai defisit dalam pengontrolan sekresi ADH, rasa haus, keinginan natrium (sodium
appetite), dan tekanan darah. Rangsangan listrik pada daerah ini atau rangsangan oleh angiotensin II
dapat mengubah sekresi ADH, rasa haus, dan rangsangan natrium.
Di sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang dirangsang oleh
sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah osmoreseptor telah digunakan
untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim sinyal saraf ke nukleus supraoptik untuk
mengontrol perangsangannya dan sekresi ADH. Sel-sel tersebut agaknya juga menginduksi rasa haus
sebagai respons terhadap peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel.
Organ subfornikal dan organum vaskulosum lamina terminalis memiliki pembuluh darah yang
tidak memiliki sawar darah otak, yang menghalangi difusi sebagaina besar ion dari darah ke dalam
jaringan otak. Hal ini membuat ion dan zat terlarut lainnya dapat melintas antara darah dan cairan
interstisial setempat di sekitar daerah ini. Akibatnya, osmoreseptor dengan cepat berespons terhadap
perubahan osmolaritas cairan ekstrasel, yang memberi pengaruh besar terhadap sekresi ADH dan rasa
haus.
Stimulasi refleks kardiovaskular terhadap pelepasan ADH dengan menurunkan tekanan arteri dan/atau
menurunkan volume darah
Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskular yang berespons terhadap
penurunan tekenan darah dan/atau volume darah, meliputi refleks baroreseptor arterial dan refleks
kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari daerah sirkulasi bertekanan tinggi, seperti arkus aorta dan
sinus karotikus, dan dari daerah bertekanan rendah, terutama di atrium jantung. Rangsangan aferen
dibawa oleh nervus vagus dan nervus glosofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus solitarius.
Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang mengatur sintesis dan sekresi
ADH.
Jadi, selain untuk meningkatkan osmolaritas, 2 stimulus berikut dapat meningkatkan sekresi
ADH yaitu penurunan tekanan arteri dan penurunan volume darah. Kapanpun tekanan darah dan
volume darah berkurang, seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang membantu mengembalikan tekanan
darah dan volume darah ke keadaan normal.
Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap sistem saraf
pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Misalnya nausea adalah stimulus yang kuat untuk pelepasan
ADH, yang dapat meningkat sampai sebanyak 100 kali normal setelah muntah. Juga, obat-obatan
seperti nikotin dan morfin merangsang pelepasan ADH, sedangkan beberapa obat, seperti alkohol,
menghambat pelepasan ADH. Diuresis berat yang terjadi setelah meminum alkohol sebagian
diakibatkan oleh hambatan pelepasan ADH.
Peranan rasa haus dalam mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium
Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangan air, melalui sistem umpan
balik osmoreseptor-ADH. Akan tetapi, asupan cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi
kehilangan cairan yang terjadi melalui keringat dan napas serta melalui saluran pencernaan. Asupan
cairan diatur oleh mekanisme rasa haus, yang, bersama dengan mekanisme osmoreseptor-ADH,
mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium secara tepat.
Banyak faktor yang sama yang merangsang sekresi ADH juga akan meningkatkan rasa haus,
yang didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap air.
Pusat rasa haus di sistem saraf pusat
Daerah yang sama di sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga yang meningkatkan
pelepasan ADH juga merangsang rasa haus. Terdapat suatu daerah kecil yang terletak anterolateral
dari nukleus preoptik, yang bila distimulasi secara listrik, menyebabkan kegiatan minum dengan segera
dan berlanjut selama rangsangan berlangsung. Semua daerah ini bersama-sama disebut pusat rasa
haus.
Neuron-neuron di pusat rasa haus memberi respon terhadap penyuntikan larutan garam
hipertonik dengan cara merangsang perilaku minum. Sel-sel ini hampir berfungsi sebagai osmoreseptor
untuk mengaktivasi mekanisme rasa haus, dengan cara yang sama saat osmoreseptor merangsang
pelepasan ADH.
Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal di ventrikel ketiga memberi pengaruh yang pada
dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan untuk minum. Organum vaskulosum lamina terminalis
yang terletak tepat di bawah permukaan ventrikel pada ujung inferior daerah AV3V, agaknya ikut
memperantarai respons tersebut.
Salah satu yang terpenting beberapa stimulus rasa haus yang diketahui adalah peningkatan
osmolaritas cairan ekstrasel, yang menyebabkan dehidrasi intrasel di pusat rasa haus, yang akan
merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan respon ini sangat jelas : membantu mengencerkan cairan
ekstrasel dan mengembalikan osmolaritas ke keadaan normal.
Penurunan volume cairan ekstrasel dan tekanan arteri juga merangsang rasa haus melalui
suatu jalur yang tidak bergantung pada jalur yang distimulasi oleh peningkatan osmolaritas plasma.
Jadi, kehilangan volume darah melalui perdarahan akan merangsang rasa haus walaupun mungkin
tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma. Hal ini mungkin terjadi akibat input netral dari baroreseptor
kardiopulmonal dan baroreseptor arteri sistemik di sirkulasi.
Stimulus rasa haus ketiga yang penting adalah angiotensin II. Penelitian terhadap binatang
telah menunjukkan bahwa angiotensin II bekerja pada organ subfornikal dan pada organum
vaskulosum lamina terminalis. Daerah-daerah ini berada di sisi luar sawar otak, dan peptida-peptida
seperti angiotensin II berdifusi ke dalam jaringan. Karena angiotensin II juga distimulasi oleh faktor-
faktor yang berhubungan dengan hipovolemia dan tekanan darah rendah, pengaruhnya pada rasa haus
membantu memulihkan volume darah dan tekanan darah kembali normal, bersama dengan kerja lain
dari angiotensin II pada ginjal untuk menurunkan ekskresi cairan.
Kekeringan pada mulut dan membran mukosa eksofagus dapat mendatangkan sensasi rasa
haus. Akibatnya, seseorang yang kehausan dapat segera melepaskan dahaganya setelah dia minum
air, walaupun air tersebut belum diabsorbsi dari saluran pencernaan dan belum memberi efek terhadap
osmolaritas cairan ekstrasel.
Stimulus gastrointestinal dan faring memengaruhi timbulnya rasa haus. Contohnya, pada
binatang yang memiliki esofagus ke arah eksterior, sehingga air tidak pernah diabsorbsi ke dalam
darah, kelegaan yang terjadi setelah minum hanya bersifat sebagian, walaupun kelegaan itu bersifat
sementara. Distensi saluran pencernaan juga dapat sedikit mengurangi rasa haus; contohnya, peniupan
sebuah balon dalam lambung dapat menghilangkan rasa haus. Akan tetapi, penurunan sensasi rasa
haus melalui mekanisme gastrointestinal atau faringeal hanya bertahan singkat; keinginan untuk
minum hanya dapat dipuaskan sepenuhnya bila osmolaritas plasma dan/atau volume darah kembali
normal.
Kemampuan binatang dan manusia untuk ”mengukur” asupan cairan sangat penting karena
dapat mencegah hidrasi yang berlebihan. Setelah seseorang minum air, mungkin dibutuhkan waktu 30
sampai 60 menit agar air direabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Bila sensasi rasa haus tidak
hilang sebagian setelah minum air, orang tersebut akan terus minum lebih banyak lagi, yang akhirnya
menimbulkan hidrasi dan pengenceran cairan tubuh yang berlebihan. Penelitian dan percobaan yang
berulang kali menunjukan bahwa binatang meminum jumlah air yang hampir sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkan untuk mengembalikan osmolaritas dan volume plasma ke keadaan normal.
Respon osmoreseptor-ADH dan mekanisme rasa haus yang terintegrasi dalam pengaturan osmolaritas
cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium
Pada seseorang yang sehat, mekanisme osmoreseptor-ADH dan rasa haus bekerja secara paralel untuk
mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan tepat, walaupun rangsangan
dehidrasi bersifat konstan. Bahkan dengan perangsangan tambahan, seperti konsumsi garam tinggi,
sistem umpan balik ini mampu mempertahankan osmolaritas plasma agar tetap konstan. Peningkatan
asupan natrium sampai setinggi 6 x normal hanya memberi sedikit pengaruh terhadap konsentrasi
natrium plasma selama mekanisme rasa haus dan ADH berfungsi normal.
Bila mekanisme ADH atau mekanisme rasa haus gagal, mekanisme yang lain biasanya masih dapat
mengatur osmolaritas ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan efektivitas yang memadai, selama
tersedia asupan cairan yang cukup untuk mengimbangi volume urin harian dan kehilangan air melalui
pernapasan, keringat atau saluran pencernaan. Akan tetapi, bila mekanisme ADH dan rasa haus gagal
secara bersamaan, konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma tidak dapat dikontrol dengan baik; jadi,
bila asupan natrium meningkat setelah menghambat sistem ADH-rasa haus, terjadi perubahan
konsentrasi natrium plasma yang relatif besar, dalam keadaan tidak adanya mekanisme ADH-rasa haus,
tidak ada mekanisme umpan balik lain yang mampu mengatur konsentrasi natrium dan osmolaritas
plasma secara adekuat.
LAPORAN PENDAHULUAN SIADH(Syndrome of Inappropriate Antidiuretic
Hormone Scretion)
Konsep Dasar
A. Pengertian
SIADH adalah suatu karakteristik atau ciri dan tanda yang disebabkan oleh ketidakmampuan
ginjal mengabsorpsi atau menyerap air dalam bentuk ADH yang berasal dari hipofisis posterior.
(Barbara K.Timby2000)
SIADH adalah gangguan yang berhubungan dengan peningkatan jumlah ADH akibat
ketidakseimbangan cairan. (Corwin, 2001)
SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior akibat peningkatan pengeluaran ADH sebagai
respon terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam tingkat yang lebih ringan. (Corwin, 2001)
B. Etiologi
SIADH dapat disebabkan oleh kanker paru dan kanker lainnya. Penyakit paru (pneumonia,TB) dan
penyakit SSP( sistem saraf pusat) seperti atrofi serebrum senilis, hidrosefalus, delifiumtremens,
psilosis akut, penyakit demielinisasi dan degenerative, penyakit peradangan,trauma/cedera
kepala/cerebrovaskular accident , pembedahan pada otak, tumor (karsinuma bronkus,leukemia,
limfoma, timoma, sarkoma) atau infeksi otak (ensepalitis, meningitis)dapat menimbulkan SIADH
melalui stimulasi langsung kelenjar hipofisis. Dan beberapa obat (vasopressin, desmopresin asetat,
klorpropamid, klofibrat, karbamazepin,vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat diuretic
tiazida, dan lain-lain) dannikotin dapat terlibat terjadinya SIADH; zat-zat tersebut dapat menstimulasi
langsungkelenjar hipofisis atau meningkatkan sensitifitas tubulus renal terhadap ADH yang
beredardalam darah.
SIADH sering muncul pada dari masalah nonendokrin. Dengan kata lain sindrom tersebut dapat
terjadi pada penderita karsinoma bronkogenik tempat sel-sel paru yang ganas mensintesis dan
melepaskan ADH. SIADH juga bisa terjadi pada pneumonia berat, pneumotoraks dan penyakit paru
lainya. Kelainan pada sistem saraf pusat diperkirakan juga bisa menimbulkan SIADH melalui stimulus
langsung kelenjar hipofisis seperti:
1. Cidera kepala
3. Tumor
4. Infeksi otak
5. Beberapa obat (Vinkristin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, preparat diuretik tiazida dll)
C. Patofisiologi
SIADH ditandai oleh peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis posterior tanpa adanya
rangsangan normal untuk melepaskan ADH. Pengeluaran ADH yang berlanjut menyebabkan retensi
air dari tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra seluler meningkat dengan hiponatremi. Dalam
kondisi hiponatremi dapat menekan rennin dan sekresi aldosteron menyebabkan penurunan Na
diabsorbsi tubulus proximal. Dalam keadaan normal ADH mengatur osmolalitas plasma, bila
osmolalitas menurun mekanisme Feed back akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini akan
mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan osmolalitas plasma
menjadi normal. Pada SIADH osmolalitas plasma terus berkurang akibat ADH merangsang reabsoprbsi
air oleh ginjal.
Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal untuk meningkatkan
permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi
elektrolit. Air yang direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan
ekstraseluler (CES). Pada saat yang sama keadaan ini menurunkan volume dan meningkatkan
konsentrasi urine yang diekskresi
Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus.
Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan hiponatremi.Dimana akan terjadi penurunan
konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan natrium dalam urin tetap,akibatnya urin menjadi
pekat.
Dalam keadaan normal, ADH mengatur osmolaritas serum. Bila osmolaritas serum menurun,
mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini akan mengembalikan dan meningkatkan
ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan osmolaritas serum menjadi normal.
Terdapat berapa keadaan yang dapat mengganggu regulasi cairan tubuh dan dapat
menyebabkan sekresi ADH yang abnormal . Tiga mekanisme patofisiologi yang bertanggung jawab
akan SIADH , yaitu
1. Sekresi ADH yang abnormal sari system hipofisis. Mekanisme ini disebabkan oleh
kelainan system saraf pusat, tumor, ensafalitis , sindrom guillain Barre. Pasien yang
mengalami syok, status asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat tinggi, atau tidak adanya
tekanan positif pernafasan juga akan mengalami SIADH.
2. ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik – hipofisis ,
yang disebut sebagai sekresi ektopik ( misalnya pada infeksi).
3. Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan . bermacam-macam
obat-obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan ADH . obat-obat tersebut termasuk
nikotin , transquilizer, barbiturate, anestesi umum, suplemen kalium, diuretic tiazid , obat-
obat hipoglikemia, asetominofen , isoproterenol dan empat anti neoplastic : sisplatin,
siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin.
(Otto, Shirley 2003,)
D. Manifestasi Klinik
2. Takhipnea.
3. Kelemahandan Letargi
4. Peningkatan BB
5. Sakit kepala
Tanda dan gejala yang dialami pasien dengan SIADH tergantung pada derajat lamanya retensi air
dan hiponatremia misalnya:
c. Kram otot.
a. Sakit kepala,
b. Perubahan kepribadian.
c. Tanda babinski.
d. Papiledema.
( Sylvia, 2005)
E.
Vasopresin oleh sel tumor
Obat-obat diuretik
Pathways
Retensi urine
Desmopresin asetat
Atrofi serebrum
hidrosefalus
delifiumtremens
vasopresin
Akibat pengunaan obat cholorpropamid
klopropamid
bronkogenik
pankreatik
limfoma
SIADH
Akan mengakibatkan
hipoglikemia
F. Pemeriksaan Penunjang
4. Hematokrit (Ht dan Hb), tergantung pada keseimbangan cairan,misalnya:kelebihan cairan melawan
dehidrasi.
7. Pengawasan di tempat tidur : peningkatan tekanan darah (dilakukan pada pasien yang menjalani
rawat inap dirumah sakit dan pemantauan dilakukan untuk menghidari atau mencegah terjadinya hal
yang memperberat penyakit klien).
G. Komplikasi
1. hipourikemia
Hipourikemia adalah kadar urea dalam darah sangat rendah. Nilai normal urea dalam darah adalah 20
mg – 40 mg setiap 100 ccm darah. Penurunan kadar urea sering dijumpai pada penyakit hati yang
berat. Pada nekrosis hepatik akut, sering urea rendah asam-asam amino tidak dapat dimetabolisme
lebih lanjut. Pada sirosis hepatis, terjadipengurangan sintesis dan sebagian karena retensi air oleh
sekresi hormone antidiuretik yang tidak semestinya.
Lazim disebut “Keracunan Air”. Ketidakseimbangan cairan tubuh dimana seluruh tubuh akan
berada dalam keadaan hipotonik, disertai dengan osmolaritas tubuh menurun. Sehingga didalam
tubuh, cairan ekstraseluler akan pindah ke kompartemen intraseluler. Terjadi expansi air berlebihan
diseluruh kompartemen cairan dan kadar elektrolit berkurang karena dilusi (rendahnya elektrolit
serum). Dalam kondisi berpindahnya cairan seperti ini, tubuh sangat sulit mengkompensasinya. Faktor
penyebab tubuh menjadi overload hipotonik adalah SIADH (kumpulan gejala karena malfungsi
hormon antidiuretik)
Tekanan normal osmolaritas plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Sementara penurunan osmolaritas
plasma terjadi akibat Kerja hormon ADH yang berlebihan dan gangguan pada ginjal dalam
meekskresikan cairan.Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk
ke sel otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan
keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran.
4. hipokalemia
Nilai norman kalium dalam darah adalah (3,5 - 5,0 MEQ/L). Penyebab utama kehilangan kalium
adalah penggunaan obat-obatan diuretik yang juga menarik kalium misalnya: tiazid dan furosemid)
(Tamsuri anas 2009).
5. hipomagnesemia
Nilai normal magnesium dalam darah adalah (1,4 – 2,1 Mg/l). Hipomagnesemia dapat terjadi karena
penggunaan beberapa obat dalam jangka waktu lama (diuretik, siplantin) (Tamsuri anas 2009).
Semua komplikasi atau gejala SIADH diatas bersifat sekunder dan agak mirip. Pada banyak
kasus beda antara gejala dan komplikasi SIADH kurang jelas dan sulit dibedakan.
H. Penatalaksanaan
Pada umumnya pengobatan SIADH terdiri dari restriksi cairan (manifestasi klinis SIADH
biasanya menjadi jelas ketika mekanisme haus yang mengarah kepada peningkatan intake cairan.
Larutan hipertonis 3% tepat di gunakan pada pasien dengan gejala neurologis akibat hiponatremi (
Bodansky & Latner)
a) Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan untuk mengatasi penyakit
yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor ektopik, maka terapi yang ditunjukkan adalah
untuk mengatasi tumor tersebut.
Pada kasus ringan retensi cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman umum
penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium serum dapat dinormalkan dan gejala-
gejala dapatdiatasi.Pada kasus yang berat, pemberian larutan normal cairan hipertonik(Adalah cairan
infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit
dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin. Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah) dan
albumin)dan furosemid (lasix) adalah terapi pilihan.
c) Semua asuhan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran (kejang, koma,
dan kematian) seperti pemantauan yang cermat masukan dan haluaran urine. Kebutuhan nutrisi/ diit
dengan garam Na dan K dengan aman terpenuhi dan dukungan emosional.
a) Pentingnya memenuhi batasan cairan untuk periode yang di programkan untuk membantu pasien
merencanakan masukan cairan yang diizinkan(menghemat cairan untuk situasi social dan rekreasi).
b) Perkaya diit dengan garam Na dan K dengan aman. Jika perlu, gunakan diuretic secara kontinyu.
d) Indikator intoksikasi air dan hiponat : sakit kepala, mual, muntah, anoreksia segera lapor dokter.
e) Obat-obatan yang meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, potensial efek samping.
g) Untuk kasus ringan,retreksi cairan cukup dengan mengontrol gejala sampai sindrom secara spontan
lenyap.Apabila penyakit lebih parah,maka diberikan diuretik dan obat yang menghambat kerja ADH
di tubulus pengumpul.Kadang-kadang digunakan larutan natrium klorida hipertonik untuk
meningkatkan konsentrasi natrium plasma.
I. Fokus pengkajian
adakah penyakit atau trauma pada kepala yang pernah diderita klien,serta riwayat radiasi pada kepala.
6. Monitor status neurologis yang berhubungan dengan hiponatremi dan segera lakukan tindakan untuk
mengatasinya.
7. Catat perubahan berat badan (BBI jika ada peningkatan dari 1 kg laporkan pada dokter).
8. Pengkajian Fisik:
(Doengoes,Marilyn C. 2003)
J. Diagnosa Keperawatan
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan absorbsi nutrisi dan
natrium.
K. Intervensi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan terjadi
keseimbangan cairan dan pengeluaran urin kembali seimbang.
Kriteria Hasil :
Intervensi:
a) Pantau masukan dan haluaran cairan dan tanda tanda kelebihan cairan setiap 1 – 2 jam.
Rasional: Catatan masukan dan haluaran membantu mendeteksi tanda dini ketidakseimbangan
Rasional: Seri berat badan adalah indikator akurat status Volume cairan. Keseimbangan cairan positif
dengan peningkatan Berat badan menunjukan retensi Cairan.
e) Pantau elektrolit atau osmolalitas serum resiko gangguan signifikan bila serum Na kurang dari 125
mEq/L
g) Monitor TTV
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan absorbsi nutrisi dan
natrium.
Kriteria Hasil :
Intervensi :
Rasional: Memberikan informasi tentang keadaan masukan diet atau penentuan kebutuhan nutrisi.
d) Buat pilihan menu yang ada dan ijinkan pasien untuk mengontrol pilihan sebanyak mungkin.
Rasional: Untuk membuat klien meningkat kepercayaan dirinya dan merasa mengontrol lingkungan
lebih suka menyediakan makanan untuk dimakan.
g) Pantau hasil pemeriksaan Lab. Misal: Hb/Ht, BUN, Albumin, Protein dan elektrolit serum
Rasional: meningkatkan efektivitas program pengobatan termasuk sumber diet nutrisi yang
dibutuhkan.
Rasional: memantau dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan klien.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan atau nutrisi sampai masukan oral dapat dimulai.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pengeluaran urin kembali normal
Kriteria hasil :
Intervensi :
c) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan apabila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan retensi urine distensi yang berlebihan pada kandung kemih
d) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih, perhatikan penurunan haluaran urine dan
perubahan berat jenisnya
Rasional: retensi urin meningkatkan tekanan saluran perkemihan atas, yang mempengaruhi fungsi
ginjal.
Rasional: berguna untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab obstruksi dan pilihan intervensi
Rasional: dapat mengidentifikasi retensi urine bila berkemih sering dalam jumlah sedikit
Rasional: Tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara lengkap bisa meningkatkan kemungkinan
infeksi dan nyeri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan tingkat
kesadaran dapat meningkat kembali.
Kriteria hasil :
Intervensi:
Rasional: Rentang perhatian untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang berpotensi
terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi prose pikir pasien
Rasional: Tingkah laku yang sesuai tidak akan memerlukan energi yang banyak dan mungkin
bermanfaat dalam proses belajar struktur internal.
d) Monitor TTV.
f) Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi, dan konfrontasi
Rasional: Dapat membantu memfokuskan kembali perhatian klien dan untuk menurunkan
ansietaspada tingkat yang dapat ditanggulangi.
h) Pertahankan harapan realitas dari kemampuan pasien untuk mengontrol tingkah lakunya sendiri,
memahami, dan mengingat informasiKaji keadaan umum pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Black M. Matassarin and Jacob M.Ester, 1997. Medical Surgical Nursing Ed.3 . Philadelphia : W.B.
sounders.
Tisdale , James & Miller, Douglas . 2010. Drug-Induced Diseases: Prevention, Detection, and