Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan

fungsi jantung dan pembuluh darah, seperti penyakit jantung koroner,

penyakit gagal jantung atau payah jantung, hipertensi dan stroke (Kemenkes,

2014). Decompensasi cordis merupakan masalah kesehatan yang progresif

dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun

negara berkembang termasuk Indonesia (PERKI, 2015). Decompensasi cordis

adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh disfungsi jantung, sehingga

aliran darah dan suplai oksigen ke jaringan untuk kebutuhan metabolisme

tubuh tidak terpenuhi (PERKI, 2016). Hal ini ditandai dengan kelelahan,

lemas, dan sakit ketika beraktivitas cukup berat, resiko terbesar yaitu kolaps

atau kematian mendadak (Abata, 2016). Akibatnya, klien akan mengalami

kegelisahan dan ansietas karena gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat

kesakitan bernafas dan saat mengetahui bahwa jantungnya tidak berfungsi

dengan baik (Mutaqqin, 2009). Klien yang mengalami ansietas akan

merasakan gelisah, kawatir, takut mati, mudah tersinggung, jantung berdebar-

debar, sesak nafas,dll. (Hawari, 2016).

Secara global penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya adalah

penyakit kardiovaskuler(Kemenkes, 2014). MenurutAmerican Heart

Association (AHA) tahun 2017 pravelensi heart failure atau decompensasi

cordis meningkat dari 5,7 juta (2009 sampai 2012) menjadi 6,5 juta (2011
sampai 2014) di Amerika (Benjamin, 2017). Berdasarkan data penelitian

ternyata jumlah penderita decompensasi cordis yang lebih dominan berada

pada usia 40-65 tahun (43.7%) (Ransun, 2013). Kejadian penyakit

kardiovaskular didominasi pada jenis kelamin perempuan. Pada tahun 2011

terdapat 33.700 kematian pada wanita karena CHF (57,8%) (AHA, 2015).

Dari hasil diagnosis dokter per gejala, prevalensi penyakit decompensasi

cordis di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,3% atau sekitar 530.068 orang.

Berdasarkan diagnosis dokter, jumlah penderita penyakit decompensasi cordis

terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 54.826 orang (0,19%)

(Kemenkes, 2014). Dari hasil rekam medik di ruang Aster RSUD Dr. Harjono

Ponorogo didapatkan hasil jumlah kliendecompensasi cordis dari bulan Juli

2017 - September 2017 sejumlah 41orang. Pada bulan Juli 2017 yaitu 13

orang, bulan Agustus 2017 yaitu 13 orang, dan bulan September 2017 yaitu 15

orang. Jadi di setiap bulan selalu ada lebih dari 10 orang yang di rawat inap di

Ruang Aster dengan decompensasi cordis (Rekam Medik RSUD Dr. Harjono

Ponorogo, 2017).

Decompensasi cordis bisa ringan, menengah, atau parah dan biasanya

permanen serta melumpuhkan. Gejalanya meliputi keletihan kronis, sesak

nafas, nyeri dada, pembengkakan di bagian perut dan pergelangan kaki (Kidd,

2014). Decompensasi cordis terjadi dalam beberapa tahap. Pada awalnya,

klien akan mengalami kelelahan, lemas, dan sakit ketika penderita beraktivitas

cukup berat. Gejala decompensasi cordis semacam ini sering diabaikan

sehingga tidak terdeteksi lebih awal karena dianggap tidak berbahaya. Tahap

selanjutnya, klien decompensasi cordis mencapai tingkat lanjut yaitu jantung


berdebar secara cepat dan tidak normal. Klien juga tidak dapat lagi melakukan

aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Jika merasa lelah sedikit saja, maka

palpitasi akan terjadi (Abata, 2016).

Dampak dari decompensasi cordis secara cepat berpengaruh terhadap

kekurangan penyediaan darah, sehingga menyebabkan kematian sel akibat

kekurangan oksigen yang di bawa dalam darah. Kurangnya suplai oksigen ke

otak (cerebral hypoxia), bisa menyebabkan sesak nafas saat aktivitas, nyeri

dada atau pusing. Resiko terbesar adalah terjadinya kolaps atau kematian

mendadak yang bisa timbul tanpa gejala dan terjadi pada klien yang terlihat

sehat (Abata, 2016). Klien akan mengalami kegelisahan dan ansietas karena

gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan saat

mengetahui bahwa jantungnya tidak berfungsi dengan baik (Mutaqqin, 2009).

Oleh sebab itu, klien dengan decompensasi cordis akan sering menghabiskan

waktu di tempat istirahat karena jika tidak maka dapat mengancam

nyawanya(Abata, 2016).

Seseorang akan menderita ansietas apabila yang bersangkutan tidak

mampu mengatasi stresor psikososial yang dihadapinya. Diperkirakan antara

2-4% diantara penduduk di suatu saat dalam kehidupannya pernah mengalami

gangguan ansietas dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 dibanding 1.

Keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami ansietas antara

lain cemas, kawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, takut mati,

mudah tersinggung, jantung berdebar-debar, sesak nafas, gelisah, mudah

terkejut, gangguan pola tidur, dll. Gejala-gejala diatas baik yang bersifat psikis

maupun fisik pada setiap orang tidak sama, dan tidak seluruh gejala itu harus
ada. Bila diperhatikan gejala-gejala ansietas ini mirip dengan orang yang

mengalami stress, bedanya bila pada stress didominasi oleh gejala fisik

sedangkan pada ansietas didominasi oleh gejala psikis (Hawari, 2016).

Menurut Baradero (2008), untuk mengatasi ansietas tersebut bantu klien

untuk mengidentifikasi kekuatan dan mekanisme koping atau pertahanan ego

yang dapat dipakainya. Perilaku koping yang kurang baik akan dapat

memperparah kondisi klien seperti klien akan gelisah yang berlebihan, sesak

nafas, tekanan darah meningkat, denyut nadi cepat dan tidak patuh dalam

pengobatan sehingga penyakitnya tidak kunjung sembuh. Selain itu klien

mengalami gangguan dalam istirahat (Ransun, 2013). Pemberian informasi

kepada klien tentang tatalaksana decompensasi cordis sangat penting bagi

klien karena decompensasi cordis dapat ditanggulangi dengan obat-obatan

ataupun pola hidup dalam menangani faktor resiko yang meliputi kebiasaan

merokok, jarang melakukan aktivitas, tekanan darah tinggi, obesitas,

kolesterol tinggi, diabetes, maupun apnea tidur obstruktif. Selain itu gizi yang

baik dan cukup olahraga merupakan pertahanan terbaik terhadap pembunuh

yang terkadang muncul diam-diam ini (Kidd, 2014). Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Ransun (2013), kehadiran anggota keluarga yang selalu

menemani dan memberikan dukungan positif juga mampu membuat klien

mengendalikan ansietasnya dengan baik. Klien menjadi lebih bersemangat dan

mau mematuhi semua prosedur pengobatan sehingga mampu melakukan

mekanisme koping yang adaptif.

Dalam mengatasi ansietas, kita dapat menentukan kriteria hasil yang

akan dicapai dari skala Halminton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) yaitu
klien tidak lagi mengalami gejala-gejala yang menunjukkan ansietas seperti

perasaan ansietas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan

kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik (otot), gejala somatik (sensorik),

gejala kardiovaskuler, gejala respiratori, gejala gastrointestinal, gejala

urogenital, gejala ototnom, dan tingkah laku pada wawancara. Selain itu kita

dapat melakukan intervensi dari Nursing Interventions Classification (NIC)

dengan terapi relaksasi, fasilitasi meditasi, dan peningkatan koping yaitu

mendorong klien dalam posisi yang nyaman, menganjurkan klien untuk

merilekskan seluruh otot tubuh klien, mengajarkan klien teknik relaksasi nafas

dalam, meminta klien menutup mata, mengajarkan klien pernafasan perut,

mendukung penggunaan sumber spiritual dengan berdzikir, mengevaluasi

respon klien terhadap teknik relaksasi, mengevaluasi kemampuan klien dalam

membuat keputusan (Bulechek, 2016).

Dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

tentang penyakit dengan gangguan sistem kardiovaskuler khususnya penyakit

decompensasi cordis dalam sebuah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul

“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Decompensasi Cordis di Ruang

Aster RSUD Dr. Harjono Ponorogo”.

B. Batasan Masalah

Karya Tulis Ilmiah membatasi masalah Asuhan Keperawatan pada Klien

Decompensasi Cordis dengan Ansietas di Ruang Aster RSUD Dr. Harjono

Ponorogo.
C. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Decompensasi

Cordis dengan Ansietas di Ruang Aster RSUD Dr. Harjono Ponorogo?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum studi kasus ini bertujuan untuk memberikan Asuhan

Keperawatan pada Klien Decompensasi Cordis dengan Ansietas di Ruang

Aster RSUD Dr. Harjono Ponorogo.

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian pada klien dengan Decompensasi Cordis

dengan Ansietas.

b. Menganalisa data, menetapkan diagnosa keperawatan dan

memprioritaskan masalah pada klien Decompensasi Cordis dengan

Ansietas.

c. Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Decompensasi

Cordis dengan Ansietas.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada kliendengan Decompensasi

Cordis dengan Ansietas.

e. Mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada

kliendengan Decompensasi Cordis dengan Ansietas.


E. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan salah satu acuan dan bahan

masukan bagi peneliti selanjutnya mengenai Asuhan Keperawatan pada

Klien Decompensasi Cordis dengan Ansietas.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Klien

Dapat memberikan masukan tentang pelaksanaan manajemen ansietas

sehingga klien mampu mengatasi ansietas yang dialaminya.

b. Bagi Keluarga

Dapat menambah pengetahuan tentang cara mengatasi ansietas,

sehingga keluarga dapat mengaplikasikan teknik tersebut pada anggota

keluarganya yang mengalami decompensasi cordis dengan ansietas.

c. Bagi Rumah Sakit

Hasil karya tulis ilmiah ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit

dalam memberikan tindakan keperawatan untuk mengatasi klien

decompensasi cordis dengan ansietas.

d. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai tambahan pustaka bagi

institusi pendidikan dalam rangka perkembangan ilmu keperawatan

medical bedah tentang ansietas pada klien decompensasi cordis.

e. Bagi Peneliti

Dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam

mengatasi dan merawat klien decompensasi cordis dengan ansietas.

Anda mungkin juga menyukai