Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PENDAHULUAN

PRAKTIKUM LAPANGAN SEDIMENTOLOGI

Disusun oleh :
ARYA AJI TRIWIBOWO
26040117140076
Ilmu Kelautan – C / Kelompok 11

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
II. TUGAS PENDAHULUAN

2.1 Pengertian Gumuk Pasir


Menurut Budiyanto (2011), Gumuk Pasir atau Sand Dune merupakan sebuah bentukan
alam karena proses angin atau disebut juga sebagai bentang alam eolean (eolean morphology).
Angin yang membawa pasir akan membentuk bermacam-macam bentuk dan tipe gumuk pasir.
Bentang alam ini sering dijumpai di daerah gurun. Gumuk pasir sendiri merupakan gundukan
bukit atau igir dari pasir yang terhembus angin. Gumuk pasir dapat dijumpai pada daerah yang
memiliki pasir sebagai material utama, kecepatan angin tinggi untuk mengikis dan mengangkut
butir-butir berukuran pasir, dan permukaan tanah untuk tempat pengendapan pasir, biasanya
terbentuk di daerah arid (kering).
Gumuk pasir cenderung terbentuk dengan penampang tidak simetri. Jika tidak ada
stabilisasi oleh vegetasi gumuk pasir cenderung bergeser ke arah angina yang berhembus, hal
ini karena butir-butir pasir terhembus dari depan ke belakang gumuk. Oleh karena itu gumuk
pasir berbentuk seperti jajaran ombak. Gumuk pasir juga hasil dari proses akumulasi dari pasir
pantai, dan terendapkan sepanjang pantai oleh pengerjaan angin, dan kenampakan endapan
mempunyai ciri khas baik tingginya maupun pelamparanya (Dwimartanti, 2016).
Gumuk pasir memiliki fungsi ekologis yang penting antara lain mencegah terjadinya
peresapan air laut (intrusi) ke lapisan air tanah, mencegah abrasi, dan sebagai penghalang
(barrier) pertama ketika terjadi bencana tsunami. Gumuk pasir adalah suatu daerah yang
dikelilingi oleh kumpulan pasir yang berfungsi untuk perlindungan dari ancaman tsunami di
daerah dekat pantai karena dapat menghambat laju gelombang laut yang menjalar ke darat agar
dapat meminimalisir kerusakan wilayah dibelakangnya. Gumuk pasir memiliki banyak fungsi
salah satunya yaitu untuk mencegah terjadinya intrusi air laut. Gumuk pasir atau sanddunes
merupakan suatu gundukan pasir yang terjadi karena proses angin yang disebut bentang alam
aeolean (aeolean morphology). Faktor utama terjadinya gumuk pasir yaitu angin karena angin
yang bekerja merombak atau membentuk suatu gumuk pasir (Puspitasari, 2011).

2.2. Jenis-Jenis Gumuk Pasir


Gumuk pasir dapat diklasifikasikan berdasarkan perbedaan iklimnya. Pada iklim basah,
umumnya dijumpai gumuk membusut (hummock dunes) dan gumuk parabolik (parabolic
dunes). Pada iklim kering dan setengah kering (arid dan semi-arid), lebih banyak ditemukan
gumuk pasir barchan. Terdapat satu fakta yang menarik dari Gumuk Pasir Parangkusumo:
tipenya barchan, tetapi iklimnya tropika basah. Hal inilah yang menjadikan Gumuk Pasir
Parangkusumo langka (Budiyanto, 2011).
Beberapa gumuk pasir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu gumuk pasir aktif dan
gumuk pasir pasir. Gumuk pasir aktif merupakan gumuk yang masih dapat membentuk atau
merombak sesuai dengan kekuatan angin. Gumuk pasir aktif biasanya berasal dari angin kering
pada musim kemarau. Angin kering yaitu angin yang berhembus pada saat musim kemarau dan
hanya membawa sedikit membawa material air sehingga pergerakannya lebih ringan untuk
mengayun-ayunkan butiran pasir. Saat musim kemarau pasir yang terbentuk akan semakin
banyak dan berkumpul di bagian tengah. Sedangkan gumuk pasir pasif yaitu gumuk pasir yang
sudah sangat jarang sekali berubah baik volume, luas, mauoun bentuknya. Kebalikan dari
gumuk pasir aktif, gumuk pasir pasif berasal dari angin basah atau angin yang membawa musim
hujan. Oleh karena itu, pasir pada gumuk pasir pasif berteksur basah dan pasif bergerak untuk
membentuk dan merombak gumuknya (Budiyanto, 2011).
Menurut Puspitasari (2011), terdapat beberapa tipe maupun jenis dari gumuk pasir
dibagi menjadi dua yaitu:
1. Tipe – tipe gumuk pasir aktif:
a. Gumuk pasir memanjang (longitudinal dune)
Memiliki bentuk butiran pasir yang memanjang dan terbentuk karena adanya arah
angin yang sejajar
b. Gumuk pasir bulan sabit (barchan dune)
Memiliki bentuk gumuk pasir yang menyerupai bulan sabit dan terbentuk di daerah
yang tidak memiliki penghalang. Besarnya kemiringan lereng daerah yang
emnghadap angin lebih landai dibandingkan dengan kemringa lereng daerah yeng
mengbelakangi angin. Memiliki ketinggian sekitar 5 – 15 meter.

2. Tipe – tipe gumuk pasir tidak aktif:


a. Gumuk pasir melintang (transversal dune)
Gumuk pasir ini terbentuk pada daerah yang tidak ada penghalang dan memiliki
cadangan pasir yang banyak. Bentuk jenis ini menyerupai ombak serta tegak lurus
terhadap arah angin. Jenis ini akan berkembang menjadi bulan sabit apabila pasokan
pasirnya berkurang.
b. Gumuk pasir parabola (parabolic dune)
Memiliki ciri yang hampir sama dengan tipe barchans dune, tetapi yang
membedakan adalah arah angin. Gumuk pasir parabola ini memiliki arah yang
berhadapan dengan arah datangnya angin.
c. Gumuk pasir sisir (ripples dune)
Merupakan gabungan dari gumuk pasir parabola yang bentukanya saling sejajar
d. Gumuk pasir garis
Memiliki arah angin yang sejajar dan arah memanjang gumuk pasir.
e. Gumuk pasir gypsum
Memiliki ciri yang hampir sama dengan jenis gumuk pasir parabola, tetapi yang
membedakan adalah bagian cembungnya lebih panjang.

2.3. Mekanisme Terbentuknya Gumuk Pasir


Menurut Dwimartanti (2016), Mekanisme terbentuknya gumuk pasir yaitu pada pantai
dengan daerah yang landai dan memiliki jumlah endapan pasir yang melimpah terbawa oleh
aliran air sungai yang kemudian akan bermuara di pantai. Endapan pasir yang bermuara di
pantai terhembus oleh angin yang kencang yang kemudian akan menghasilkan perubahan pada
endapan pasir yang bersifat membangun dan merusak. Kejadian tersebut terjadi secara
berulang-ulang sehingga pasir-pasir pantai terakumulasi dan terbentuk gumuk pasir. Salah satu
contohnya yaitu gumuk pasir yang terdapat di sebelah barat pantai Parangkusumo, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Gunung-gunung di selatan Jawa merupakan gunung-gunung aktif yang selalu
menyumbangkan material vulkanik untuk daerah sekitarnya. Material vulkanik tersebut
diangkut oleh sungai menuju laut. Sungai Progo dan sungai Opak merupakan sungai utama
yang membawa hasil gerusan batu batuan vulkanik yang berasal dari Gunung Merapi-Merbabu.
Juga hasil penorehan di gunung-gunung Sidoro di sebelah barat laut. Bongkahan-bongkahan
serta pasir -pasir itu dibawa oleh sungai-sungai ini dari ujung puncak gunung menggelinding
sebagai bongkah-bongkah, kemudian terbawa menjadi pecah sebagai kerikil. Terus
menggelinding dan pecah menjadi butiran-butiran pasir. Sebagian masih ada yang terendapkan
namun tentu saja ada yang jauh terbawa arus sungai (Purnamawati dan Wunda, 2012).
Menurut Budiyanto (2011), gumuk pasir merupakan suatu gundukan yang terbentuk
oleh pasir yang diakibatkan adanya hembusan angin. Seiring waktu, maka gumuk pasir tersebut
juga akan berubah dikarenakan adanya aktivitas dari angin. Pengetahuan tentang arah beserta
kekuatan angin pembentuk gumuk pasir, ternyata dapat menjelaskan pola sebaran ataupun
akumulasi gumuk-gumuk pasir yang terdapat di sekitar daerah yang memiliki pengaruh
terhadapa keadaan lingkungan alam disekitar.

2.4. Tipe – tipe gelombang


Menurut Laupatty (2013), gelombang yang terjadi dari laut dalam (deep water) menuju
ke pantai akan mengalami perubahan bentuk karena adanya perubahan dari dalam laut. Apabila
gelombang bergerak mendekati pantai, pergerakan gelombang di bagian bawah yang
berbatasan dengan dasar laut akan melambat. Ini adalah akibat dari friksi/gesekan antara air dan
dasar pantai. Sementara itu, bagian atas gelombang di permukaan air akan terus melaju.
Semakin menuju ke pantai, puncak gelombang akan semakin tajam dan lembahnya akan
semakin datar. Fenomena ini yang menyebabkan gelombang tersebut kemudian pecah. Ada dua
tipe gelombang, ditinjau dari sifat-sifatnya yaitu:
1. Gelombang pembangun/pembentuk pantai (Constructive wave).
2. Gelombang perusak pantai (Destructive wave).
Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung pada gaya
pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin (gelombang yang dibangkitkan
oleh tiupan angin), gelombang pasang surut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh gaya
tarik benda-benda langit terutama gaya tarik matahari dan bulan terhadap bumi), gelombang
tsunami (gelombang yang terjadi akibat letusan gunung berapi atau gempa didasar laut),
gelombang kecil (misalkan gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak), dan
sebagainya (Handoyo dan Suryoputro, 2015).
Menurut Nadia et al. (2013), jenis-jenis gelombang ditinjau dari gaya pembangkitnya
terdapat 3 jenis yaitu:
1) Gelombang Angin, merupakan gelombang yang disebabkan oleh tiupan angin di
permukaan laut. Gelombang ini mempunyai periode yang sangat bervariasi, ditinjau
dari frekuensi kejadiannya, gelombang angin merupakan gelombang yang paling
dominan terjadi di laut.
2) Gelombang Pasang surut (Pasut), merupakan gelombang yang disebabkan oleh gaya
tarik bumi terhadap benda -benda langit, benda langit yang paling besar pengaruhnya
adalah Matahari dan Bulan, gelombang pasut lebih mudah diprediksi karena terjadi
secara periodic mengikuti sesuai peredarannya.
3) Gelombang Tsunami, gelombang yang diakibatkan oleh gempa bumi tektonik atau
letusan gunung api di dasar laut, tsunami merupakan gelombang yang sangat besar dan
tinggi gelombangnya dapat mencapai lebih dari 10 meter.

2.5. Pengukuran dan Perhitungan Kemiringan Pantai


Kemiringan lereng pantai dan distribusi sedimen merupakan bagian dari geomorfologi
pantai dan menjadi indikator dinamika pantai. keberadaan kemiringan lereng pantai dan
distribusi sedimen sebagai penutup dasar perairan menggambarkan kestabilan garis pantai.
Kemiringan pantai berhubungan dengan dominansi dan sebaran sedimen. Perubahan
geomorfologi pantai akibat dinamika kemiringan lereng dan distribusi sedimen menyebabkan
terjadinya abrasi maupun akresi pada pantai. perubahan bentuk pantai merupakan respons
dinamis alami pantai terhadap laut. Apabila proses tersebut berlangsung terus-menerus tanpa
ada faktor penghambat, maka akan terbentuk suatu kesetimbangan pantai (Kalay et al., 2014).
Pada cara pertama cara mengukur kemiringan pantai dengan menggunakan cara
trigonometri. Kemiringan (slope) adalah keadaan dimana ada bidang atau permukaan yang
tidak rata, disebapkan ada bagian yang tinggi dan ada bagian yang rendah. Besar kemiringan
(slope) dapat dinyatakan kedalam tiga bentuk yakni gradien, persentase, dan derajat. Pada cara
ini kita harus menggunakan lahan yang luas agar mendapat hasil yang konkrit. Oleh karena itu
kita tidak menggunakan cara ini (Saputra et al., 2016).
Menurut Kalay (2014), kita lebih baik menggunakan cara penghitungan dengan
waterpass. Karena pengukuran kemiringan pantai yang dilakukan dalam sebuah penelitian
dapat menggunakan alat sederhana yaitu tongkat ukur dan selang waterpass tentu saja hal ini
tidak membutuhkan metode yang terlalu susah. Skema Pengkuran Kemiringan Pantai Dengan
ΔH adalah selisih tinggi dari b dan a, l adalah jarak nyata antara kedua tongkat ukur, dan α
adalah besarnya sudut kemiringan pantai (slope) dalam derajat. Kemiringan pantai
dikategorikan menurut Verstappen (1953) yang mengacu pada United State Soil System
Managemen (USSSM) dan Universal Soil Loss Equation (USLE). Kemiringa pantai (slope)
dihitung dengan menggunakan persamaan sin, yang dirumuskan sebagai berikut:
Sin α = DH / l (2.3)
Keterangan:
α : besarnya sudut (o) kemiringan pantai (slope)
DH : selisih ketinggian yang diperoleh tongkat ukur (cm)
l : jarak nyata antara kedua tongkat ukur (cm)

2.6. Skala Beaufort


Menurut Aji dan Cahyadi (2010), skala Beaufort ini dirancang pada tahun 1805 oleh
Francis Beaufort (kemudian Laksamana Sir Francis Beaufort), seorang perwira Angkatan Laut
Irlandia, saat bertugas di HMS Woolwich. Skala yang membawa nama Beaufort yang memiliki
evolusi yang panjang dan rumit dari pekerjaan sebelumnya orang lain. ketika Beaufort menjabat
sebagai administrator atas di Royal Navy di tahun 1830-an ketika itu skala tersebut diadopsi
secara resmi dan pertama kali digunakan selama pelayaran HMS Beagle bawah Kapten Robert
FitzRoy, kemudian untuk mendirikan pertama Kantor Meteorologi (Met Office) di Inggris
memberikan prakiraan cuaca berkala. Pada awal abad ke-19, perwira angkatan laut melakukan
observasi cuaca biasa, tapi ada tidak ada skala standar dan sehingga mereka bisa sangat
subjektif - "angin kaku" satu orang mungkin orang lain "angin lembut". Beaufort berhasil
standardisasi skala.
Skala Beaufort sendiri merupakan skala yang digunakan untuk mengukur arah dan
kecepatan angin. Skala Beaufort biasanya terdapat alat Anemometer. Anemometer adalah alat
yang digunakan untuk mengukur arah dan kecepatan angin. Satuan meteorologi dari kecepatan
angin adalah Knots (Skala Beaufort) umumnya satuan yang digunakan adalah meter per detik
(m/s). Sedangkan satuan meteorologi dari arah angin adalah 0º - 360º. Posisi 0º menunjukkan
arah utara (Purnamawati dan Wunda, 2012).
Menurut BMKG (2013), suatu ukuran empiris yang berkaitan dengan kecepatan angin
untuk pengamatan kondisi di wilayah daratan dan lautan. Berikut adalah klasifikasi angin
berdasarkan Skala Beaufort:
Tabel 1. Skala Beaufort (BMKG, 2013)
Skala Skala satuan Keadaan di Keadaan di
Kategori
Beaufort Km/jam m/s Knots daratan lautan
Permukaan
Asap bergerak
0 Tenang <1 <0,27 0 laut seperti
secara vertical
kaca
Anin terasa Riuk kecil
diwajah ; daun terbentuk
– daun namun tidak
1–3 Lemah <19 <5,27 <10 berdesir ; pecah ;
kincir angin permukaan
bergerak oleh tetap seperti
angin kaca
Mengangkat Ombak kecil
debu dan mulai
5,55 – emnerbangkan memanjang ;
4 Sedang 20 – 29 11 – 16
8,05 kertas ; cabang garis – garis
pohon kecil buih sering
begerak terbentuk
Pohon kecil
berayun ;
siulan Ombak ukuran
Angin 8,33 –
5 30 – 39 17 – 21 terdengar pada sedang ;buih
sejuk 10,83
kabel telepon ; berarak – arak
paying sulit
digunakan
Ombak besar
Pohon – pohon mulai
bergerak ‘ terbentuk,
Angin 11,11 – terasa sulit buih tipis
6 40 – 50 22 – 27
kuat 13,88 berjalan melebar dari
melawan arah puncaknya,
angin kadang timbul
percikan
Laut mulai
Ranting –
bergolak dan
Mendekati 14,16 – ranting patah ;
7 51 - 62 28 – 33 membentuk
kencang 17, 22 semakin sulit
alur sesuai
bergerak maju
arah angin
Kerusakan
bangunan
mulai muncul ; Gelombang
17,5 –
8 Kencang 63 -75 34 – 40 atap rumah agak tinggi
20,83
lepas ; cabang dan panjang ‘
yang lebih
besar patah
Jarang terjad
di daratan ; Gelombang
pohon – pohon tinggi
Kencang 21,11 –
9 76 - 87 41 – 47 tercabut ; terbentuk buih
sekali 24,16
kerusakkan tebal berlajur -
bangunan yang lajur
cukup parah
Jarang terjad Gelombang
di daratan ; sangat tinggi
pohon – pohon dengan
24,44 –
10 Badai 88 – 102 48 – 55 tercabut ; puncak
28,33
kerusakkan memayungi;
bangunan yang gulungan
cukup parah ombak
menjadi
dahsyat
Gelombang
amat sangat
tinggi ; kapal
Badai 103 – 28,61 –
11 56 – 63 Sangat jarang kecil dan
dahsyat 117 32,5
terjadi ; sedang
kerusakkan terganggu
yang pandangannya
menyebar luas Udara tertutup
Badai penuh oleh
12+ >108 32,77 >64
Topan buih dan
percik air

2.7. Vegetasi Pantai


Menurut Djuwanto et al. (2008), Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari perairan
dan pulau-pulau kecil dengan ukuran kurang dari 200 km2. Sebagian besar pulau-pulau tersebut
bahkan berukuran sangat kecil atau kurang dari 20 km2 dengan ketinggian elevasi kurang dari
3 meter sehingga rawan terhadap abrasi. Ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove
dan vegetasi pantai lainnya merupakan pertahanan alami yang efektif mereduksi kecepatan dan
energi gelombang laut sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. Jika abrasi pantai
terjadi pada pulau-pulau kecil yang berada di laut terbuka, maka proses penenggelaman pulau
akan berlangsung lebih cepat.
Menurut Samin et al. (2016), vegetasi pantai merupakan kelompok tumbuhan yang
menempati daerah intertidal mulai dari daerah pasang surut hingga daerah di bagian dalam
pulau atau daratan dimana masih terdapat pengaruh laut. Secara umum kelompok tumbuhan
darat yang tumbuh di daerah intertidal atau daerah dekat laut yang memiliki salinitas cukup
tinggi, dapat dibagi menjadi 3 :
1. Mangrove Sejati : adalah merupakan kelompok tumbuhan yang secara
morfologis, anatomis dan fisiologis telah menyesuaikan diri untuk hidup di
daerah sekitar pantai. Mangrove tumbuh pada substrat berpasir, berbatu dan
terutama berlumpur. Ciri khas dari kelompok tumbuhan ini adalah adanya
modifikasi akar yang sangat spesifik untuk mengatasi kekurangan oksigen,
sebagai penopang pada substrat yang labil, memiliki kelenjar khusus untuk
mengeluarkan kelebihan garam serta memiliki daun berkutikula tebal untuk
mengurangi penguapan. Jenis tumbuhan ini didominasi oleh genera Rhizophora,
Avicenia, Brugueira, Sonneratia.
2. Mangrove Ikutan (Associated Mangrove) : adalah kelompok tumbuhan yang
ditemukan tumbuh bersama-sama dengan komunitas mangrove, tetapi tidak
termasuk mangrove karena tumbuhan ini bersifat lebih kosmopolit dan memiliki
kisaran toleransi yang besar terhadap perubahan faktor fisik lingkungan seperti
suhu, salinitas dan substrat . Jenis tumbuhan yang tergolong mangrove ikutan
misalnya : waru laut, pandan, ketapang, jeruju dan lain-lain.
3. Vegetasi pantai Non Mangrove : vegetasi pantai non mangrove umumnya
banyak ditemukan pada daerah pantai dengan substrat yang didominasi oleh
pasir. Kelompok tumbuhan ini dicirikan oleh adanya zonasi bentuk
pertumbuhan (habitus) secara horizontal dari daerah intertidal ke arah darat yang
terdiri dari : tumbuhan menjalar, semak, perdu dan pohon. Semakin ke darat,
keragaman jenis dan habitus pohon akan semakin besar. Jenis vegetasi pantai
non mangrove umumnya terdiri dari : tapak kambing, rumput angin, santigi,
ketapang, cemara laut dan kelapa. Tumbuhan ini membentuk zonasi yang khas.
Di daerah pasang surut, vegetasi didominasi oleh tumbuhan perintis yang menjalar atau
rumput-rumputan tertentu dan dikenal sebagai “Formasi Pes-Caprae”. Dinamakan demikian
karena mengacu pada tumbuhan menjalar tapak kambing (Ipomoea pes-caprae) yang sangat
dominan di daerah tersebut. Kelompok tumbuhan ini diikuti oleh kelompok tumbuhan semak
dan perdu yang berukuran lebih besar dan berada di belakang vegetasi perintis (ke arah darat).
Kelompok tumbuhan ini disebut “formasi Barringtonia” yang penamaannya juga mengacu pada
salah satu jenis tumbuhan yang umum ditemukan di di daerah ini, yaitu : Barringtonia asiatica
(Cahyanto dan Kuraesin, 2013).

2.8. Pantai Parangkusumo


Pantai Parangkusumo merupakan salah satu dari sederetan pantai wisata yang ada di
kawasan daerah istimewa Yogyakarta. Letaknya bersebelahan dengan pantai Parangtritis
Bantul. Pantai ini terletak di sebelah barat Pantai Parangteritis, Bantul Yogyakarta. Pantai ini
memeiliki pemandangan yang sangat indah dan keadaanya pun sangat bersih. Pemandangan
yang mengarah ke laut selatan (Samudra Hindia) sebelah timur di kejauhan adalah Pantai
Parangtritis, sebelah barat ada Pantai Depok (Budiyanto, 2011).
Pantai Parangkusumo sendiri memiliki letak geografis yang dekat dengan wilayah
Pantai Parangkritis, sehingga dapat dipastikan bahwa kondisi geografis dari Pantai
Parangkusumo sendiri tidak jauh berbeda. Wilayah Parangtritis bentuk lahan yang ada sangat
bervariasi dan menarik ditunjukan dengan fenomena karst, pantai, perbukitan, sungai, dataran
banjir, gumuk pasir (sand dune). Sebelah selatan berupa lahan pantai serta dengan gumuk pasir
bagian pesisirnya sebelah utara berupa dataran bekas laguna dan di sebelah timur berupah
perbukitan. Sungai Opak dengan dataran banjir dan gosong pasir (sand bar). Pegunungan
selatan membentang dari ujung timur Parangtritis hingga semenanjung Blambangan di timur
(Dwimartanti, 2016).
Pantai Parangkusumo merupakan pantai di pesisir selatan yang terletak di Desa
Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang
berdampingan dengan pantai Parangtritis dan pantai Depok. Pantai ini secara administratif
berada di desa yang sama dengan Pantai Parangtritis. Nuansa sakral sangat terasa jika memasuki
kompleks Parangkusumo, wewangian kembang setaman dan juga wangi kemenyan yang
dibakar dan dijual oleh beberapa penjual yang mudah ditemui di sepanjang jalan masuk pantai.
Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa pantai Parangkusumo sebagai pintu gerbang menuju
kerajaan penguasa Laut Selatan (Puspitasari, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Wicaksono Pramaditya, Muhammad Kamal, Sri Lestari, dan Ikhsan Wicaksono. 2015.
Pemotretan Udara Dengan Uav Untuk Mendukung Kegiatan Konservasi Kawasan
Gumuk Pasir Parangtritis. Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV.
Nugroho Agung W. 2013. Pengaruh Komposisi Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Awal
Cemara Udang (Casuarina equisetifolia var. Incana) PADA GUMUK Pasir Pantai
(Effect of Planting Media Composition on Casuarina equisetifolia var. Incana Growth in
the Coastal Sand Dune). Forest Rehabilitation Journal. Vol. 1 (1).
Suryawan Adi, Nur Asmadi, dan Rinna Mamonto. 2014. Uji Coba Pengecambahan Vegetasi
Pantai (Terminallia cattapa, Calopyllum inophylum L, dan Baringtonia asiatica) Di
Persemaian Permanenen Kima Atas. Jurnal WASIAN. Vol.1 (1).

Anda mungkin juga menyukai