Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

“Chronic Kidney Disease”

OLEH:
Ayulita Kusdiana Dewi (2013730016)

Pembimbing :
dr. Katharina Setyawati, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom gagal ginjal kronik (GGK) merupakan permasalahan bidang


nefrologi dengan angka kejadiannya masih cukup tinggi, etiologi luas dan komplek,
sering tanpa keluhan maupun gejala klinik kecuali sudah terjun ke stadium terminal
(gagal ginjal terminal). Laporan studi epidemiologi klinik Indonesia ternyata gagal
ginjal terminal (GGT) akibat lanjut dari gagal ginjal kronik menempati urutan
pertama dari semua penyakit ginjal, khususnya bidang nefrologi. Gagal ginjal
terminal (GGT) di Indonesia dan umumnya negara berkembang, tidak hanya
merupakan maslah aspek medik tetapi lebih luas dan berhubungan dengan aspek
psikososial. Hanya sebagian kecil (20-30%) pasien dengan GGT yang mampu
menjalani program terapi pengganti ginjal. Peranan rujukan sedini mungkin
merupakan upaya yang harus digalakkan untuk mengurangi populasi gagal ginjal
terminal (GGT).
Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek
yang harus diidentifikasi sebagai berikut :
1. Etiologi GGK yang dapat dikoreksi
Misal :
- Tuberkulosis slauran kemih dan ginjal
- Nefropati yang berhubungan dengan urolitiasis, diabetes mellitus, lupus
eritematosus sistemik, dan gangguan elektrolit
2. Etiologi yang tidak mungkin dikoreksi tetapi dapat dihambat perjalanan
penyakitnya
Misal : Nefropati (glomerulopati) idiopati
3. Beberapa faktor risiko yang mungkin dapat memperburuk penurunan faal ginjal
- Infeksi saluran kemih dan ginjal
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Menentukan status derajat penurunan faal ginjal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Chronic Kidney Disease
2.1 Definisi
Penyakit Ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatau keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi
pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti tertulis pada table 1.


Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
 Kelainan Patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sana
atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2 tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockkcroft-Gault sebagai berikut:
(140 – umur) X berat badan
LFG (ml/menit/1,73 m2) *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit
LFG (ml/menit/1,73
Derajat Penjelasan
m2)
1 Kerusakan ginjal dengan FLG normal atau > 90
2 Kerusakan ginjal dengan FLG ringan 60 - 89
3a Kerusakan ginjal dengan FLG ringan - sedang 45 - 59
3b Kerusakan ginjal dengan FLG sedang - berat 30 - 44
4 Kerusakan ginjal dengan FLG berat 15 – 29
5 Gagal Ginjal < 15

Tabel 2.3 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit ginjal Diabetes Tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal Penyakit glomerular
non diabetes (penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat,neoplasia)
Penyakit vascular
(Penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pieloneftritis kronik,batuk,obstruksi,keracunan obat)
Penyakit Kistik
(Ginjal Polikstik)
Penyakit pada Rejeksi Kronik
transplantasi Keracunan obat (sikloporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Tabel 2.4 Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan
atau dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).

GFR Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

(ml/min/1,73 m2) Dengan Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT

HT

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan GFR

penurunan

GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4

< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk
per tahun.
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional
nefronb yang masih tersisa (surviving nephorns) sebagai upaya konpensasi yang
dipelantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, skelorosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksi renin
angiotansin-aldosteron, sebagian ddipelantarai oleh growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit
Ginjal Kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, disiplidemia. Terdapat
variabilitas interinvidual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif yang di tandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme, fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hiverpolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15%, akan terjadi
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacemen therapy) antara lain dialisis atau tranplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

2.5 Etiologi
Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan
menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan
gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, misal nefropati obstruktif dapat
menyebabkan kelainan ginjal instrinsik dan berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis merupakan penyebab
paling sering dari gagal ginjal kronik, kira-kira 60 %. Gagal ginjal kronik yang
berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-
20%.
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkhim ginjal progresif dan
difus, seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Laki-laki lebih sering dari
wanita, umur antara 20-40 tahun. Sebagian besar pasien relatif muda dan merupakan
calon utama untuk transplantasi ginjal. Glomerulonefritis mungkin berhubungan
dengan penyakit-penyakit sistem (glomerulonefritis sekunder) seperti lupus
eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus wagener.
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus
(glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal ginjal
kronik. Hlomerulonefritis yang berhubungan dengan amiloidosis sering dijumpai
pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra,
osteomielitis, artritis reumatoid dan mieloma.
Tabel 2.4 Pola Etiologi Gagal Ginjal Kronik
1. Glomerulonefritis
2. Penyakit ginjal herediter
3. Hipertensi esensial
4. Uroipati obstruktif
5. Infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis)
6. Nefritis Interstisial

Penyakit ginjal hipertensi (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu


penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan
gagal ginjal kronik kurang dari 10 %.
Kira-kira 10-15% pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik disebabkan
penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik
kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis.
Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran
kamih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali
tuberkulosis, abses multipel, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan
yang adekuat.

Tabel 2.5 Etiologi Nefritis Interstisial


1. Obat-obatan : analgetik, sulfonamid, penisilin, furosemid, tiazid, fenindion
difenilhidantoin.
2. Metabolisme kalsium : hiperparatiroidisme, sindrom milk alkali, sarkoidosis,
neoplasma, dan mieloma.
3. Asam urat : nefropati asam urat, kelainan hematologi
4. Penimbunan oksalat : herediter, obat anastesi (metoksifluran), etilin glikol
5. Logam berat : timah hitam, tembaga, urenium.
Seperti diketahui nefritis interstisial menunjukkan kelainan histopatologi
berupa fibrosis dan reaksi inflamsi atau radang dari jaringan interstisial dengan
etiologi yang banyak (lihat tabel). Kadang dijumpai juga kelainan-kelainan mengenai
glomerulus dan pembuluh darah,askuler. Nefropati asam urat menempati urutan
pertama dari etiologi nefritis interstisial.
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. Tabel 5 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik
di Amerika Serikat.
Sedangkan Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Parnefri) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel 6.
Dikelompokan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati, urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

Tabel 2.6 Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995 -
1999)
Penyebab Insiden
Diabetes melitus 44%
-tipe 1 (7%)
-tipe 2 (37)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit Sistematik (misal; lupus, dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak Diketahui 4%
Penyakit Lain 4%
Tabel 2.7 Penyebab Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab Lain 13,65%

2.6 Pendekatan Diagnostik


A. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi ; a). Seperti dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus, urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan
lain sebagai nya. b). Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer,
proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala
komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

B. Gambaran Laboratorium
Gambaran Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi a). Sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan
kadar hemoglobin peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.

C. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi a). Foto polos
abdomen, bisa tampak batu radio opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan
karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan. c). Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi d).
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi e).
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.

D. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal
yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

A. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Tabel 2.8 Rencana Tatalaksan Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m2 Rencana Tatalaksana
1 > 90 - Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid
evaluasi pemburukan (progression) Fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

2 60-89 - Menghambat pemburukan (progression)


fungsi ginjal

3 30-59 - Evaluasi dan terapi komplikasi

4 12-29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 - Terapi Pengganti Ginjal

B. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada passien
penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara
lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.

C. Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis pemburukan fungsi ginjal
dapat dilihat pada gambar 1.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada
LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 – 0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30 -35 kkal/kgBB/hari. Ddibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status
nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak
disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen lain ,
yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan
subtansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia.’

Tabel 2.9 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG ml/menit Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak di batasi

25 – 60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk > < 10 g


0,35 gr/kg/hari nilai biologi
tertinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk > < 10 g
0,35 gr/kg/hari protein nilai
biologi tertinggi atau
tambahan 0,3 g asam amino
esensial atau asam keton

<60 0,8/kg/hr(+ 1 gr protein /g < 9 gram


(sindrom nefrotik) proteinuria atau 0,3 gr/kg
tambahan asam amino
esensial asam keton

Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan


berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah supan protein berlebih
(protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Terapi Farmakologis. Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat anti hipertenasi, disamping bermanfaat untuk memperkeciil resiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan
nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai peran
yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil
hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi
farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas
bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan
kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Komveting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat
mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

D. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular merupakan hal yang penting,
karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kaediovaskular adalah, pengedalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dengan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
penncegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan.

E. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Tabel 2.10 Komplikasi Penyakit Ginjal Klinik


Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
(ml/mnt)
1 Kerusakan Ginjal > 90
dengan LFG normal

2 Kerusakan Ginjal 60-89 - Tekanan darah mulai


dengan penurunan LFG
ringan
- Hiperfosfatemia
3 Penurunan LFG sedang 30-59 - Hipokalcemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LFG berat 15-29 - Malnutrisi
- Asidiosis Metabolik
- Cenderung Hiperkalemia
- Dislipedemia

5 Gagal ginjal <15 - Gagal Jantung


- Uremia

Anemia. Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal – hal
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi kehilangan darah
(missal; pendarahan saluran cerna, hematuri) masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin < 10 g % atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status
besi (kadar besis serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding
Capacity, feritin serum), mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama
ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan.
Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian
EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Transfusi darah yang dilakukan secraa tidak cermat dapat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
Osteodistrofi Renal. Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit
ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol
(1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.

Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada
pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein
dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan
produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.
Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari
terjadinya malnutrisi.
Penurunan Fungsi Ginjal

Hiperfosfatemia Penurunan Intosikasi AL 3+ Akumulasi β-


1,25 (OH) 2D3 mikroglobin

Penurunan Ca2+ terionisasi

Peningkatan PTH

Hiperplasi
Kelenjar
Paratiroid

Osteitis Fibrosa Cystica Osteomalasia A dynamic bone disease Dialysis-releated


(High-turnover bone diseases) amyloidosis

Asiodiosis Kelebihan Ca dan Vitamin D


metabolik Peritoneal dialysis, diabetes

Gambar 2.1 Patogenesis Terjadinya Osteodistrofi Renal

b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipeke adalah, garam
kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan
secra oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipake adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium
acetate table 9. Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosafat, efikasi dan efek
sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium
mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek
samping yang minimal.

Tabel 2.11 Fosfat, Efikasi dan Efek Sampingnya


Cara/Bahan Efikasi Efek Samping
Diet rendah fosfat Tidak selalu mudah Malnutrisi
Al(OH)3 Bagus Intosikasi Al
Ca CO3 Sedang Hipercalcemia
Ca Acetat Sangat Bagus Mual,muntah
Mg(OH)2/MgCO3 Sedang Intoksikasi Mg

Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3)


Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan.
Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat
dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan
barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik.Disamping
itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid. Oleh karena itu pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat
darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.

Pembatasan Cairan dan Elektrolit


Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegahter jadinya edem dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar baik melalui urine maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air
yang keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubu), maka air yang masuk dianjurka 500-800 ml ditambah jumlah urine.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium
danmakanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar
kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.

F. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

1. Hemodialisis (HD)
a. Indikasi untuk inisiasi terapi dialisis
Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksikazotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada
pasien GGKyang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Menurut hematpenulis keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan
pertimbangan klinisdan parameter biokimia. Tidak jarang presentasi klinik
retensi atau akumulasitoksin azotemia tidak sejalan dengan gangguan
biokimia.
Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium
bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.
Pemeriksaan LFG (radionuklida) paling tepat untuk mencermin faal ginjal
yangsebenarnya, sesuai dengan klirens inulin. Pemeriksaan ini terbatas di RS
Rujukan. Untuk kepentingan klinis, estimasi klirens kreatinin dapat
digunakan formula Cockcroft dan Gault.
Tabel 2.12 Indikasi inisiasi terapi dialisis
1. Indikasi absolut
 Periecarditis
 Ensefalopati / neuropati azotemik
 Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik
 Hipertensi refrakter
 Muntah persisten
 BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
 LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73
m2 Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat

b. Persiapan untuk program dialisis regular


Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular
a) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
b) Psikoligis yang stabil
c) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak
terbatas sebelum transplantasi ginjal
d) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin
kualitas hidup optimal
e) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
- Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
- Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
f) Operasi A-V fístula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.
2. Dialisis peritoneal ( DP )
Sejak diperkenalkan kateter peritoneal yang permanen oleh PALMER (1964),
mesin dialisis peritoneal oleh BOEN (1962), maka DP mulai dikembangkan
untukpasien- pasien gagal ginjal kronik. Mesin DP yang dirancang oleh
TENCKHOFF (1969) mulai digunakan untuk dialisis di rumah (home peritoneal
dialysis).Pada saat ini mesin DP yang otomatis sudah populer di pusat-pusat
ginjal (renal center) di luar negeri seperti Lasker peritoneal automatic cycler
(LASKER, 1971) dan reverse osmosis (RO) peritoneal dialysis (PD) machine
(TENCKHOFF, 1972).
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Frekuensi
dialisisperitoneal intermiten makin meningkat, di Amerika 2-3% dan Kanada
10% dari semua pasien yang memerlukan dialisis peritoneal intermiten.
TENCKHOF (1974) telah meramalkan bahwa dari semua pasien yang
memerlukan dialisis kronik di Kanada (40-50%), diantaranya kira-kira 20-25%
akan memerlukan dialisis peritoneal kronik.
Indikasi medik CAPD:
- pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun
- pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskuler, misal
infark miokard atau iskemi koroner
- pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis.
- kesulitan pembuatan AV shunting
- pasien dengan stroke
- pasien GGT dengan residual urin masih cukup
- pasien neropati diabetik disertai co-morbiditi dan co-mortaliti
Indikasi non-medik :
- Keinginan pasien sendiri
- Tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri (mandiri)
- Di daerah yang jauh dari pusat ginjal
Tabel 2.13 Efek Hemodialisis Pada Syndrome Azotemia
Gambaran klinik Efek hemodialisis
Mual dan muntah Cepat menghilang
Anoreksia dan penurunan berat badan Umumnya akan kembali normal
Pruritus Kadang-kadang hilang / menetap
Pigmentasi Cepat menghilang
Anemianormokrom normositer Pada permulaan HD terdapat penurunan
Hb, kemudian naik kembali
Kecenderungan perdarahan Biasanya dapat dikendalikan
Peka terhadap infeksi Sebagian hilang
Amenorrhoe Periode latent cepat kembali, tetapi
ovulasi jarang kembali normal lagi
Penurunan libido atau impoten Mungkin terdapat perbaikan
Kejang-kejang Umumnya dapat dihindarkan
Kelainan psikis Perbaikan/sembuh/memburuk
Kelainan EEG Kembali normal
Insomnia Seringkali menetap
Muscle twiching, restless syndrome Perbaikan / penyembuhan
Neropati perifir Perbaikan lambat
Kejang otot Menetap
Kalsifikasi metastatik Deposit-deposit kalsium pada jaringan
hilang tetapi kalsifikasi metastatik
mengenai pembuluh darah menjadi lebih
buruk
Osteodistrofi renal Perbaikan / menetap / memburuk
Miopati Diikuti oleh kenaikan tulang
Perikarditis Tidak selalu dapat dihindarkan
Hipertensi Mungkin dapat dikontrol

Keuntungan program CAPD :


(a) Eleminasi toksin azotemia kontinu setiap hari, tidak fluktuasi seperti
hemodialisis
(b) Jarang mendapat tranfusi darah sehingga terhindar infeksi hepatitis B atau
non-A non-B
(c) Menghadapi kedaruratan medik dapat mengatasi sendiri berdasarkan
panduan yang telah ditetapkan:
- Overhydration dengan bendungan paru akut
- Hiperkalemia
- Gejala dini peritonitis
(d) Pembatasan konsumsi air dan makanan tidak ketat
(e) Terhindar dari komplikasi toksin middle molekules dan angiotensin-H
(f) Pasien lebih bebas dalam tugas sehari-hari, tidak terikat jadwal hemodialisis
di Rumah Sakit

Kendala program CAPD di Indonesia :


- Biaya CAPD per bulan masih lebih mahal dari HD.
- Sanitasi lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien
merupakan faktor yang tidak menunjang program CAPD.

Prognosis pasien dialisis


Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor
terutama seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih
panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun kemungkinan
terdapat komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat seperti
koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat
mempengaruhi masa hidup.
Hal ini berhubungan dengan penyakit dasarnya sudah berat maupun
kemungkinan timbul komplikasi akut atau kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko
vaskuler (kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan faktor
risiko tindakan HD.
Program CAPD merupakan faktor pilihan / alternatif yang paling aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT dengan
program HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik misal
kepribadian, finansial dan lain-lain.

3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal :
(a) Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal,sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal
ginjal alamiah.
(b) Kualitas hidup normal kembali
(c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
(d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
(e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

Persiapan program transplantasi ginjal


(a) Pemeriksaan imunologi
- Golongan darah ABO
- Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
(b) Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

Pemeriksaan imunologi merupakan kunci keberhasilan program transplantasi


ginjal.
(a) Golongan darah ABO
- Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate
rejection)
- Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
(b) Tissue typing HLA (human leucocyte antigen).
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex) :
- Kelas (I) antigen : * HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
- Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
Data hubungan antara antigen MCH dan graft survival
1. Transplantasi antara saudara kembar (identical twin) atau isograft memberikan
hasil sempurna
2. Graft survival antara saudara kandung dengan HLA identik; misal 2 haplotype
matches akan menyerupai isograft
3. Graft survival mencapai 75% (tahun ke 3) dari ginjal cangkok saudara
kandung dengan 1 haplotype
4. Graft survival mencapai 60% (tahun ke 3) dari ginjal cangkok saudara
kandung dengan tanpa haplotype.
5. Analisis data graft survival dari cadaver sulit karena tanpa pemeriksaan HLA -
D (DR).
Penelitian memperlihatkan bahwa HLA-C tidak berperan untuk graft survival,
sebaliknya identifikasi HLA - D (DR) sangat menentukan hasil graft survival.
Seleksi resipien
Kriteria untuk dipertimbangkan program transplantasi :
(a) Umur ideal resipien antara 12-55 tahun dan tersedia donor hidup keluarga
(living related donor):
 Saudara kembar (idential twin)
 Saudara kandung (sibling) dengan HLA identik
Morbiditas dan mortalitas meningkat bila umur resipien > 55 tahun
(b) Tidak dianjurkan program transplantasi ginjal bila menderita ateroma berat,
sepsis kronik, keganasan.
(c) Diabetes mellitus dan penyakit amiloid tidak merupakan indikasi kontra
mutlak program transplantasi ginjal asal kondisi jantung normal
(d) Program transplantasi ginjal ditangguhkan bila resipien menderita infeksi
saluran kemih akut, tuberkulosis paru, dan herpes simpleks.
(e) Mempunyai kemampuan finansial cukup untuk mendapat terapi
imunosupresif jangka lama

Kontra indikasi mutlak


(a) Golongan darah ABO tidak serasi
(b) Reaksi silang (crossmatch) positif kecuali untuk B-cell atau D-locus
(c) Sitotoksik antibodi pada resipien terhadap HLA antigen donor
(d) Infeksi aktif
 Disseminated histoplasmosis / coccidioidomycosis
 Tuberkulosis paru
 ISK akut/kronik
 Hepatitis B
(e) Ulkus peptikum masih aktif

Kontra indikasi relatif


(a) Untuk transplantasi ulang masih mengandung HLA donor sebagai
penyebabreaksi penolakan.
(b) Antiglomerular basement membrane antibody
(c) Keganasan pada resipien dalam 2 tahun terakhir
(d) Keadaan umum resipien buruk :
- Malnutrisi
- Debilitas
(e) Antibodi sitotoksik > 50%
(f) Kelainan yang sulit dikoreksi dari kandung kencing dan atau uretra
(g) Divertikulosis
(h) Penyakit ulkus peptikum (rekuren)
(i) Donor mengandung antibodi CMV (cytomegalovirus)

Sumber ginjal (donor)


Sumber ginjal sangat penting karena menentukan graft survival dan biaya obat
imunosupresif (prednison, azathioprin, siklosforin atau OKT3 dan lain-lain).
Sumber ginjal:
(a) Cadaver (mayat)
Berlaku di semua negara, kecuali negara islam atau mayoritas penduduknya
islam seperti Indonesia.
(b) Donor hidup
 Saudara kandung / sibling
Berlaku di semua negara termasuk Indonesia
 Orang tua ( ayah & ibu )
Berlaku di semua negara termasuk Indonesia
 Bukan keluarga (living non related donor)
Tidak berlaku di semua negara.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo A.W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Indonesia.

Sukandar Enday. 2006. Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. dr. Hasan Sadikin.

Anda mungkin juga menyukai