Disusun Oleh:
Hera Apria
201700001251
1.2 Tujuan
Adapun tujuan pelaksanaan tugas khusus Praktik Kerja Profesi Apoteker di RS
AL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat adalah
a. Untuk memahami seperti apa peran apoteker nantinya dalam melakukan
keefektifitas dan rasionalitas terapi obat pada pasien.
b. Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan mengevaluasi adanya DRP.
1.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Proses pemantaun dan analisis terapi pengobatan dilakukan di ruang Pulau
Selayar, Sibatik dan ICU periode 03 September – 31 Oktober 2018 di RS AL Dr.
Mintohardjo, Jl. Bendungan Hilir No. 17 Jakarta Pusat.
KASUS 1 Acute Decompesanter Heart Failure (ADHF)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Gagal jantung akut (GJA) adalah kejadian atau perubahan cepat tanda dan gejala gagal
jantung.1 Kondisi ini dapat mengancam jiwa dan harus ditangani segera, biasanya perlu
perawatan di rumah sakit. GJA dapat berupa gambaran klinis gagal jantung pertama kali (de
novo) atau sering merupakan perburukan gagal jantung kronis; disebabkan disfungsi kardiak
primer atau faktor ekstrinsik.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi klinis GJA dibuat berdasarkan perfusi dan kongesti, dikelompokkan
menjadi empat tipe. Tipe hangat dan basah (perfusi baik dan kongesti) merupakan tipe
terbanyak, tipe dingin dan basah (hipoperfusi dan
kongesti), tipe dingin dan kering (hipoperfusi tanpa kongesti) serta tipe hangat dan kering
(kompensasi, perfusi baik tanpa kongest. Terdapat lima subtipe GJA yaitu:
1. ADHF tersering ditemukan di instalasi gawat darurat dengan perburukan gejala dan
tanda gagal jantung, pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri rendah (EF <40%).
2. Edema paru akut ditandai dengan distress pernapasan berat disertai penurunan
saturasi oksigen (SaO2 <90%), biasa ditemukan pada pasien sindrom koroner akut
(SKA).
3. Syok kardiogenik merupakan entitas klinis syok dengan penurunan perfusi perifer,
sering ditemukan akibat SKA.
4. Gagal jantung hipertensif adalah gagal jantung pada pasien hipertensi, klinis gagal
jantung disertai tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel kiri masih baik (EF >50%).
5. Gagal jantung kanan terdapat pada pasien dengan fungsi ventrikel kanan rendah
disertai klinis hepatomegali, tekanan jugularis meningkat, kaki bengkak..
BAB III
DATA PENGAMATAN
Tabel 3.1
Hasil Pemeriksaan Fisik
Jenis Nilai 07/10 08/10 09/10 10/10 11/10 12/10 13/10 14/10 15/10 16/10
Pemeriksaan Normal
Tekanan 120/80 120/70 108/74 100/53 103/59 101/63 94/61 90/70 80/60 100/80 110/70
Darah mmHg
Suhu Badan 36,3 – 36 36 36 37 - 36 36,8 36,6 36,4 37
37,7 C
Nadi 60 – 100 88 117 121 115 102 102 - - - 60
RR 20 X / 25 30 24 24 - - 21 20 20 -
menit X/menit
3.2.5 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3.2
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 07 Oktober 2018
Darah Rutin
Leukosit 5000 – 10000 µl 8700
Eritrosit 4,6 – 6,2 juta/µL 4,04
Hemoglobin 14 – 16 g/dl 9,3
Hematokrit 42 – 48 % 30
Trombosit 150000 – 450000 ribu/µl 272.000
Kimia Klinik
GDS <200 mg/dL 142
Fungsi Hati
<55 U/I 59
ALT (SGPT)
Elektrolit
134-146 mmol/L 123
Natrium
3,4-4,5 mmol/L 2.885
Kalium
96-108 mmol/L 92
Clorida
Tabel 3.3
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 09 Oktober 2018
Nama Obat Regimen 07/10 08/10 09/10 10/10 11/10 12/10 13/10 14/10 15/10
Dosis
IVFD RL 2 tpm √ √ √ √ √ √ √ √ √
KCl 25 √ √ √ √ √ √ - - -
mcg/24
jam
Gentamycin 1 x 160 √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Dobutamin 3 √ √ √ √ √ √ - -
mcg/jam
Lasix 5 √ √ √ √ - - - - -
mg/jam
Miloz 0,5 - - √ √ √ √ - - -
mg/jam
Lanoxin 1 x 1 √ - - - - - - - -
amp
Ceftriaxone 1 x 2 √ √ √ √ √ √ √ √
gram
KSR 2 x 1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √
Spironolactone 1 x 50 √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Concor 1 x 1,25 - √ √ √ √ √ √ √ √
mg
Vit B6 1x1 - - - - √ √ √ √ √
Aspirin 3 x 50 - - - - - √ √
mg
OAT FDC 1 x 3 tab - - 1X! √ √ √ √ - √
(
pagi)
Omeprazole 2x1 - - - - - - √ - -
Colcitine 1 x 0,5 - - - - - - √ √ √
mg
Captopril 3 x 6,25 √ √ √ 3 x 3 x √ √ -
mg 3,125 3,125
mg mg
Onoiwa 3x1 - - - - √ √ √ √
Paracetamol 1 x1 √ √ 3 x √ √ √ √ √
500
mg
3.4 Pengobatan Saat Pulang
Terapi selanjutnya diberikan golongan ACEI yaitu captopril. Captopril bekerja dengan
mmeperbaiki fungsi ventrikel kiri. Akan tetapi Captopril akan berinteraksi dengan
spironolactone menyebabkan hiperkalemia. Tetapi hal ini dapat ditolong dengan memberikan
furosemide sebagai yang akan membuat kalium keluar dari tubuh. Akan tetapi pengeluaran
kalium ini bisa menyebabkan kadar kalium pasien dibawah normal. Tetapi pada pasien ini
untuk mencegah kadar kalium dibawah normal diberikan Infus KCl dan Tablet KSR. Infus dan
Tablet diberikan dikarenakan kadar kalium pasien harus tetap dibuat stabil dalam angka normal
untuk mencegah perburukan pada jantung pasien tersebut. Akan tetapi tekanan darah pasien
selalu rendah sejak diberikan pemberian obat captopril tersebut.
Terapi selanjutnya diberikan golongan Beta Blocker yaitu Concor dengan komposisi
Bisoprolol.
Terapi selanjutya pasien diberikan dobutamine. Menurut Dipiro (2012) Dobutmine
akan mneingkatakan indeks jantung karena stimulasi inotropik, arteri vasodilatasi dan
peningkatan denyut jantung yang bervaiasi. Dobutamine sebaiknya harus dilakukan
pengurangan dossi terlebih dahulu. Akan tetapi dalam hal ini pasien langsung diberhentikan
penggunaannya pada tanggal 14 oktober tanpa adanya pengurangan dossi terlebih dahulu.
Pasien menerima Colchiline obat untuk serangan antigout. Akan tetapi didalam rekam
medik pasien tidak ditemukannya peningkatan asam urat terjadi. Hal ini berarti termasuk
ditemukanya adanya pemberian obat tanpa adanya indikasi pada pasien. Selanjutnya pasien
diagnosis terkena TBC dan dilakukan pemberian Obat TBC yaitu FDC 1 x 3 tab dari tanggal
09 Oktober 2018. Dalam pengobatan TBC pasien, pasien mendapatkan obat vit b6 hanya pada
hari ke 3 setelah terdiagnosa TBC. Seharusnyay pemberian obat Vit b6 dilakukan saat awal
obat TBC diberikan juga. Hal ini bergunan untuk mengurangi efek samping ang ditimbulkan
oleh Vit b 6.
4.1 Kesimpulan
Dalam melakukan Pemantauan Terapi Obat pada pasien ADHF ini dapat
simpulkan bahwa :
1. Terapi yang dijalankan pasien sesuai dengan guidine yang ada.
2. Adanya pengobatan pasien ang tidak sesuai indikasi yaitu Colchiline.
3. Adanya interaksi antara Spironolactone dan Captopril. Tetapi interaksi tersebut
telah diatasi dengan pemberian obat furosemid.
4. Pemberian Vit b6 tidak sejak awal saat dilakukan terapi penyakit TBC
4.2 Saran
Adapun saran yang dapt diberikan selama melakukan PO ini. Apoteker diharapkan
lebih berkomunikasi terhadap pengobatan terapi yang didaptkan oleh pasien agar terapi yang
dijalankan oleh pasien menghasilkan outcome yang dituju.
KASUS 23 Dispepsia dengan Riwayat Lupus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan
penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi
klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam.1-9 Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik,
imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam pato isiologi SLE.
Tabel 3.1
Hasil Pemeriksaan Fisik
Darah Rutin
Leukosit 5000 – 10000 µl
5.800
Eritrosit 4,6 – 6,2 juta/µL
4,41
Hemoglobin 14 – 16 g/dl
10,4
Hematokrit 42 – 48 %
36
Trombosit 150000 – 450000 ribu/µl
324.000
Laju Endap darah < 20 mm/jam
23
Hitung Jenis
Basofil 0-1 % 0
Eosinofil 1-3 % 0
Neotrofil Batang 2-6 % 0
Neutrofil Segmen 50-70 % 87
Limfosit 20-40 % 8
Monosit 2-8 % 5
Tabel 3.3
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 17 Oktober 2018
Darah Rutin
Leukosit 5000 – 10000 µl 5.200
Eritrosit 4,6 – 6,2 juta/µL 4,44
Hemoglobin 14 – 16 g/dl 10,8
Hematokrit 42 – 48 % 36
Trombosit 150000 – 450000 ribu/µl 335.000
Hitung Jenis
Basofil 0-1 % 0
Eosinofil 1-3 % 0
Neotrofil Batang 2-6 % 0
Neutrofil Segmen 50-70 % 91
Limfosit 20-40 % 6
Monosit 2-8 % 3
Kimia Klinik
Glukosa Darah < 200 mg/dl 126
Sewaktu
3.3 Profil Pengobatan
4.1 Pembaahsan
Pasien Nn Shendy berumur 23 tahun pada tanggal 17 oktober masuk ke ruang IGD
RSAL Dr Mintohardjo dengan keluhan utama demam sejak 3 hari lalu. Pasien bahwa dia batuk
, pilek , mual , muntah setiap hari, pasien mencret, nafas terasa sesak. Pasien mengatakan jika
dia ada riwayat penyakit lupus dan tidak ada juga riawayat penyakit keluarga. Ketika dilakukan
pemeriksaan awal didapatkan tekanaan darah pasien yaitu 100/60. Berdasarkan dari keluhan
pasien dokter mendiagnosa bahwa pasien menderita Dispepsia.
Dispepsia adalah rasa nyeri atau tidak naman yang terutama dirasakan di daerah perut
bagian atas. Salah satu penyebab dispepsia yang paling sering adalah infeksi Helicobacter
plori. Tes Helicobacter pylori dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi dan secara
tidak langsung tanpa endoskopi. Pasien ini juga ada riwayat penyakit yaitu lupus. Terapi yang
dijalani pasien dengan penyakit lupusnya dengan pemberian obat golongan kortikosteroid yaitu
methyl Prednisolon. Golongan steroid mempunyai efek samping smaping yang berupa
gangguan gastrointetinal. Salah satu gangguan gastroinstestinal ini adalah dispepsia. Ada
kemungkinan penyakit dispepsia ang diderita oleh pasien akibat terapi penakit lupus pasien
dengan pemberian methylprednisolon.
Terapi pengobatan pasien yang didapatkan ialah Omeprazole. Terapi pengobatan ini
sesuai dengan guidline yang ada. Bahwa penyakit dispepsia diterapi dengan golongan obat
Penghambat Proton Inhibitor yaitu Omeprazole.
Dalam hal kasus ini dikarenakan pasien ada riwayat penyakit lupus sejak dulu. Maka
Pengobatan yang dilakukan mengacu ke penyakit lupus pasien. Dalam guidline PBPAPDI
pemberian obat methylprednisolon merupakan pilihan utama dalam penyakit lupus. Meskipun
dalam penggunaannya obat ini akan menyebabkan gangguan gatroinstestinal seperti dispepsia.
Dalam guidline yang ada pemberian obat methlprednisolon pada pasien lupus ringan yaitu
pemberian kortikosteroid dengan dosis ang rendah yaitu 4 mg. Akan tetapi pasien langsung
mendapatkan IV methyl prednisolon dengan dosis 125 mg.
Selain itu untuk digunakan obat paracetamol drip degan dosis 500 mg dan freukensi
pemberian 3 x 500 mg. Paracetamol diguanakn sebagai penghilang rasa nyeri pada pasien.
Selanjutnya pada tanggal 18, 20 dan 21 oktober pasien diberikan obat golongan antimalaria
yaitu Plaquenil dengan komposisi hidrokloroquin dengan dosis 200 mg dan frekuensi
pemberian 1 x 1 tab.
Pasien mengeluhkan bahwa dadanya terasa sesak. Hal ini disebabkan dikarenakan
penyakit dispepsia pasien tersebut. Akan tetapi dalam terapi pasien tidak mendapatkan obat
pereda sesak nafas tersebut. Melainkan pasien mendapatkan 2 golongan obat mukolitik yaitu
Fluimyucil dan Ambroxol. Dua golongan obat tersebut akan mengencerkan dahak yang ada
adak ditennggorokan dan memperlebar jalur nafas. Hal ini dirasa tidak efektif dikarenakan pada
rekam medis pasien tidak disebutkan pasien batuk berdahak atau tidak. Jika pasien mengalami
batuk berdahak maka cukup diberikan satu golongan mukolitik saja.
4.2 Drp Pengobatan
4.1 Kesimpulan
Selama melakukan PTO terhadap penyakit Dispepsia ini dengan riwayat Lupus dapat
disimpulkan bahwa :
1. Terapi dispepsia dan lupus telah sesuai guidline
2. Adanya pemberian dosis methyl prednisolon yang langsung tinggi
3. Adanya indikasi sesak nafas yang tidak terobati
4. Kombinasi obat yang tidak diperlukan
4.2 Saran
Adapun saran yang dalam melakukan PTO ini sebagai mahasiswa apoteker yaitu Apoteker
seharusnya lebih rajin terhadap pemantauan terapi pasien. Dikarenakan untuk meminimalkan
efek samping yang terjadi dan sehingga dapat menghasilkan outcome yang dituju.
KASUS 3 Stroke Hemorragic Dan Ventilator Associated Pneumonia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam
dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah
sakit.
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari
48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.
2.2 Patogenesis
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute
masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis
dan usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami
pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam
saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan
inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi
antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen
penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang
merupakan flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena
bakteri-bakteri terseb ut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia.
2.3 Terapi Pengobatan
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang
mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis
dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal.
Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien
yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons
klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empirik apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian
antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah
mortaliti apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
BAB III
DATA PENGAMATAN
Tabel 3.1
Hasil Pemeriksaan Fisik
Tekanan
155/79 162/82 165/84 161/77 167/92 166/111 183/95 170/110 190/110 176/102 184/92 165/90 123/95
darah
Suhu
Nadi
17 X/
RR 16 12 14
menit
Tekanan
179/9131/ 131/83 190/100 180/100 160/90 129/73 148/82 162/87 168/105 167/89 167/101 145/88 132/69
Darah
Suhu 36 39,3 36 38 39 36
RR 21 29 28 22 12 19 23
3.2.5 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3.2
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 10.700
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 4,52
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 12,9
42 – 48 %
Hematokrit 41
150000 – 450000
Trombosit 274.000
ribu/µl
Kimia Klinik
GDS <200 mg/dL 136
Fungsi Hati
ALT (SGPT) <34 13
AST ( SGOT ) <31
Elektrolit
134-146 mmol/L 142
Natrium
3,4-4,5 mmol/L 3,45
Kalium
96-108 mmol/L 107
Clorida
Tabel 3.3
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 30 Agustus 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 10.900
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 3,45
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 10,0
42 – 48 %
Hematokrit 31
150000 – 450000
Trombosit 232.000
ribu/µl
Elektrolit
134-146 mmol/L 139
Natrium
3,4-4,5 mmol/L 3,28
Kalium
96-108 mmol/L 103
Clorida
Tabel 3.4
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 31 Agustus 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 12.700
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 3,17
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 9,0
42 – 48 %
Hematokrit 28
150000 – 450000
Trombosit 187.000
ribu/µl
Tabel 3.5
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 01 September 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 10.900
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 2,99
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 8,7
42 – 48 %
Hematokrit 27
150000 – 450000
Trombosit 177.000
ribu/µl
Tabel 3.6
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 02 September 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 9.800
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 3,64
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 10,4
42 – 48 %
Hematokrit 32
150000 – 450000
Trombosit 184.000
ribu/µl
Tabel 3.7
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 03 September 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 9.500
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 4,01
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 11,4
42 – 48 %
Hematokrit 36
150000 – 450000
Trombosit 217.000
ribu/µl
Tabel 3.8
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 06 September 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 11.300
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 4,49
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 12,9
42 – 48 %
Hematokrit 40
150000 – 450000
Trombosit 307.000
ribu/µl
Tabel 3.9
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 12 September 2018
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 22.400
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 3,59
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 10,4
42 – 48 %
Hematokrit 32
150000 – 450000
Trombosit 229.000
ribu/µl
Fungsi hati
Protein Total 6,4-8,3 g/dl 5,2
Total Protein 3,5-5,2 g/dl 3,6
Albumine 2,6-3,4 g/dl 1,6
Globulin
Jenis
Nilai Normal Hasil
Pemeriksaan
Darah Rutin
5000 – 10000 µl
Leukosit 7.600
4,6 – 6,2 juta/µL
Eritrosit 2,99
14 – 16 g/dl
Hemoglobin 8,0
42 – 48 %
Hematokrit 27
150000 – 450000
Trombosit 112.000
ribu/µl
3.2.6 Profil Pengobatan
29- 30- 31- 02- 03- 04- 05- 06- 09- 10-
Nama Obat Dosis 01-Sep 07-Sep 08-Sep
Agu Agu Agu Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep
28 20 20 20 20
Asering 20 tpm 20 tpm
tpm tpm tpm tpm tpm
Nacl 0,9 %
RL
Aminofluid
Meropenem 3 X 1 gram
10
Perdipin 0,54 g ml
/jam
0,2 0,2
Nicardipine 5 mg/jam
µg/jam µg/jam
Miloz 1 mg/jam
Paracetamol 3 X 1 gram
Transamin 3 X 500 mg
Novalgin 3 X 1 ampul
2X
Citicolin 2 X 500 mg 250 2x250mg
mg
Amlodipin 1 X 10 mg
Sukralfat 3X1C
KSR 3X1
Ceftriaxon 2 X 2 gram
Adona 3 X 50 mg
Captopril 3 X 25 mg
Bisoprolol 1 x 5 mg
Amikasin 1X 250 mg
Nebulizer (
Ventolin, 3x1
pulmicort,bisolvon)
12- 13- 15- 20- 21- 22- 23- 24-
Nama Obat Dosis 11-Sep 14-Sep 16-Sep 17-Sep 18-Sep 19-Sep
Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep
15
Nacl 0.9 % 15 tpm 14 tpm 14 tpm 14 tpm 14 tpm
tpm
Aminofluid 1000
3X1
Meropenem
gram
Dobutamin 10 µ
NE 0,3 µ
3X1
Paracetamol
gram
3 X 500 Oral
Transamin
mg 3x500mg
3X1
Novalgin
ampul
Post
Lasix
transfusi
2x
1 X 20 Oral Oral Oral Oral
Omeprazole 40 2x40mg
mg 1x20 mg 1x20mg 1x20mg 1x20mg
mg
1 X 10
Amlodipin
mg
Sukralfat 3X1C
KSR 3X1
2X2
Ceftriaxon
gram
3 X 50 Oral
Adona
mg 3x50mg
3 X 25
Captopril
mg
Amlodipin 3x10mg
1 X 750
Levofloksazin
mg
1X 250
Amikasin
mg
3x 6,25
Methyl Prednisolon
mg
(ventolin (ventolin
1cc,nacl 0,9 1cc,nacl 0,9
Nebulizer (
3 x1 % %
Ventolin.pulmicort,bisolvon)
1cc,bisolvon 1cc,bisolvon
1cc) 1cc)
3.2.7 Hasil Pemeriksaan
Pada tanggal 29 Austus 2018 pemeriksaan CT SCAN kepala :
Terjadi pendarahan intracerebri di subkortikal lobus frontotemporoparietalis kiri yang
menyempitkan sulcy di daerah tersebut, fissure stlvii kiri, ventrikel kiri dan ventrikel 3
serta menggeser midline shif sejauh lk 1 cm ke kanan disertai edema perifokal.
4.1 Pembaahsan
Pasien Ny Am berumur 51 tahun pada tanggal 29 Agustus masuk ke ruang IGD RSAL
Dr Mintohardjo dengan keluahan utama jatuh drai kamar mandi. . Keluarag pasien mengatakan
bahawa pasien jatuh dari kamar mandi sewaktu ingin BAB dan langsung hilang kesadaran. .
Pasiendiketahu ada riwayat penyakit hipertensi dan mengkonsumnsi captopril tapi kadang-
kadang dan untuk keluarga tidak ada riwayat penyakit apapaun. Ketika dilakukan pemeriksaan
awal didapatkan tekanaan darah pasien yaitu 120/90, Denyut nadi 67x/menit, RR pasien 28
X/menit dan suhu 37,4 °C. Berdasarkan dari keluhan utama doketer mendiagnosa bahwa apsien
terkena stroke Hemorragic.
Stroke adalah suatu sindrom yang terdiri dari gejala hilangna fungsi sistem syaraf pusat
fokal atau global yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak maupun sumsum tulang
belakang akibat tidk normlnya suplai darah. Stroke hemmoragic adalah pecahnya pembuluh
darah dan mengalirkan darah ke otak dan area extravaskular di antara kranium. Stroke
hemmoragic merupakan kasus stroke yang jarang terjadi, dimana persentasenyay hanya sedikit.
Pada keesokan harinya pada tanggal 30 agustus 2018, pasien dijadwalkan untuk operasi
CraniotomY. Operasi Craniotomy merupakan operasi yang dipilih untuk pasien-pasien dengan
pendarahan di otak. (LUC j, 2017). Pemberian adona pada pasien ini dapat menghentikan
pendarahan yang tejadi di otak. Karena adona merupkan obat antihemmoragic dengan cara
memicu terjadina agreasi dan adhesi platelet didalam darah membentuk steker trombosit.
Selanjutnya dilakukan pemberian Citicolin,citicolin adalah obat yang meningkatkan senyawa
kimia di otak bernama phospolid phosphatidylcholine. Senyawa ini memiliki efek untuk
melindungi otak dan dapat mengurangi jaringan otak ang rusak akibat cedera. Sehingga
pemberian obat ini dapat memeeprbaiki fungsi jaringan otak yang mengalami pendarahan
tersebut.
Pasien-pasien pasca operasi Craniotomy ini biasanay mereka menggunakan ventilator
mekanik. Hal ini dikarenakan pasien pasca operasi craniotom memiliki penurunan potency
airway sehingga membutuhkan penggunaan ventilator. (Souter, 2013). Pasien selalu bolak-
balik anatar ruang perawatn dan Icu. Dan ketika masuk ke ruang Icu pasien selalu
menggunakan ventilator tersebut. Dikarenakan penggunaaan ventilator inilah pasien
didiagnosa adanya pneumonia, dimana pneumonia tersebut merupakan VAP aitu Ventilator
Associated Pneumonia. Ketika pada tangal 29 Agustus 2018 hasil foto rontgen thorax pasien
menunjukkan tidka adana peneumonia. Tetapi ketika tanggal 12 september 2018 pasien
dilakukan rontgen foto thorax kembali didapatkannya hasil adanya efusi pleura kiri dan dokter
juga dalam rekam medis meniagnosa adanya pneumonia dalam tubuh pasien dikarenakan
penggunaan Ventilaor. Pada tanggal 12 tersebut juga dilkakukan pemeriksaan labor dan
didapatkan hasil nilai leukosit pasien langusng tinggi yaitu 22.400 µl.
VAP adalah jnis pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit
setelah pemakaian ventilator. VAP terjad karena mikroorganisme yang masuk saluran
pernafasan bagian bawah melalui aspirasi sekret orofaring yang berasal dari bakteri endemik
di saluran pencernaan atau patogen eksogen yang diperoleh dari peralatan yang terkontaminasi.
Penggunaan antibiotik yang digunakan untuk Profilaxis ini ialah Ceftriaxone 2 x 2 g.
Ini sesuai dengan guidline dari IDSA penggunaan antibiotik ceftriaxone 2 g.
Penggunaan omeprazole dalam profilaksis stress ulcer dinilai kurang tepat. Karena ada
dalam beberapa penelitian penggunaan Golongan PPI dapat meningkatkan resiko terjadina Ppi.
Adapun sebaiknya penggunaan sukralfat yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya VAP
pada pasien yang menggunakan ventilator. Dalam pasien sukrafat diberikan ketika nilai
leukosit pasien sudah normal. Seharusnya pemberian sukralfat ini bisa dimulai dari awal pasien
menggunakan ventilator sehingga untuk terinfeksi VAP kecil kemungkinan ( Anandani )
Pada pasien teknan darah pasien selalu tinggi diatas 150mmHG. Akan tetapi
pengobatan terhadap hipertensi pasien tidak teratur. Kadang diberi dan kadang tidak. Hal inilah
yang menyebabakn tekanan darah pasien tidak terkontrol dan selalu tinggi.
4.2 DRP Pengobatan
5.1 Kesimpulan
Selama Melakukan Pemantau terapi obat ini didapatkan hasil bahwa ;
1. Penggunaan obat untuk Stroke Hemorragic sudha tepat
2. Penggunaan antibiotik untk pneumonia terllau lama melebihi wkatu yang dianjurkan
3. Pengunaan obat untuk Profilaxis Stress Ulcer untuk mencegah VAP dinilai kurang tepat
4. Pengobatan untuk hipertensi yang tidak optimal
5.2 Saran
Adapun saran yang bisa diberikan yaitu Sebagai seorang apoteker harus rajin
melakukan pemantauan terapi obat kepada pasiennya. Agar terapi obat yang dijalankan bisa
menghasilkan harapan ynag dituju.