Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang

disebabkan oleh Salmonella typhi . Penyakit menular ini masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat di dunia khususnya negara-negara berkembang ,

termasuk Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan

menyebabkan 216.500 – 600.000 kematian . (Hyde , 2014)

Insiden demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia

Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (insidens

>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) . Insiden demam tifoid yang

tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) berada diwilayah

Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (Kecuali Australia dan Selandia Baru); serta

yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian

dunia lainnya . (Widodo , 2014)

Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar

81,7/100.000 penduduk untuk semua umur dengan sebaran menurut kelompok

umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun),

180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun) serta jumlah kematian

1
2

lebih dari 20.000/tahun . Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak

adalah pada kelompok usia 2-15 tahun. (Purba et al , 2016)

Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI

tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola

penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081

kasus) . Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar di Indonesia , kasus

demam tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun

dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6%–

5,0% . (Widodo , 2014; Rampengan, 2013)

Menurut laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 di provinsi Lampung

menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid dengan gejala tertinggi terdapat di

Way Kanan (2,5%) dan terendah di Tulang Bawang (0,3%) . Bandar Lampung

merupakan salah satu daerah endemis demam tifoid walaupun dalam Riskesdas

bukan termasuk kota dengan prevalensi demam tifoid tertinggi (1%) . (Riskesdas,

2007).

Insidensi infeksi merupakan pola yang selalu berubah sehingga menjadi

salah satu alasan mengapa studi tentang penyakit infeksi sangat menarik .

Sanitasi, higienitas dan vaksinasi yang dapat menurunkan tingkat insidensi

penyakit tifoid cenderung masih sulit diterapkan di negara berkembang termasuk

Indonesia, sehingga penggunaan antibiotik dinilai sebagai cara yang paling

efektif. (Mirza, 2000)

Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi

yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62%
3

antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang

sebenarnya tidak memerlukan antibiotik . Menurut Centers for Disease Control

and Prevention , setiap tahun di Amerika Serikat terdapat dua juta orang terinfeksi

oleh bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik dan setidaknya 23.000 orang

meninggal setiap tahun sebagai akibat langsung dari resistensi ini. Data

menunjukkan 86 % rumah tangga menyimpan antibiotik tanpa resep dengan

provinsi Lampung tertinggi kedua yaitu 92% setelah Kalimantan Tengah (93,4%)

, hal ini menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang manfaat, penggunaan,

juga dampak dari penggunaan antibiotik masih lemah sehingga hal tersebut

menjadi persoalan serius karena tingkat penggunaan antibiotik di Indonesia sudah

cukup memperihatinkan. (Pemenkes, 2011 ; Riskesdas , 2013)

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat akan menambah beban pemilihan

antibiotik terhadap strain yang resisten dan dapat menunda dimulainya terapi yang

benar . Oleh sebab itu , penggunaan obat secara rasional penting untuk mencegah

terjadinya peningkatan resistensi terhadap pemakaian antibiotik yang tidak

prosedural dan tidak terkontrol .(Mandal et al 2006:15)

Sistem Anatomical Theraupetic Chemical / Defined Daily Dose

(ATC/DDD) merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat yang

saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam pengembangan penelitian

penggunaan obat untuk meningkatkan kuantitas penggunaannya . Pada tahun 1996

WHO menyatakan sistem ATC/DDD sebagai standar pengukuran internasional

untuk studi penggunaan obat . Metode DDD diasumsikan sebagai rata-rata dosis

perhari untuk obat yang digunakan sebagai indikasi utama pengobatan pada orang
4

dewasa. Nilai DDD kasaran dapat mengidentifikasi seberapa potensial terapi

harian dari pengobatan yang diperoleh, terdistribusi atau yang dikonsumsi.

(Birkett , 2002 ; Carolina dan Widayati , 2014).

Berdasarkan pembahasan di atas tentang masih sangat tingginya angka

kejadian demam tifoid di Indonesia , tingginya angka kejadian resistensi terhadap

penggunaan antibiotik , serta kurangnya penelitian tentang metode DDD maka

penulis tertarik melakukan penelitian ini untuk melihat seberapa rasional profil

penggunaan antibiotik di tempat penelitian berlangsung yaitu di Puskesmas Rawat

Inap Panjang , yang secara garis besar memiliki beberapa faktor predisposisi

untuk kejadian demam tifoid .

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas maka didapatkan rumusan

permasalahan yang akan diangkat oleh penulis , sebagai berikut : “Bagaimana

profil penggunaan antibiotik dengan metode Defined Daily Dose (DDD) pada

pasien demam tifoid di Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung

periode Juli-November 2016 ?”


5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan

antibiotik dengan metode Defined Daily Dose (DDD) pada pasien demam

tifoid di Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung periode Juli-

November 2016 .

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik pasien demam tifoid di Puskesmas Rawat Inap

Panjang , Bandar Lampung periode Juli-November 2016

2. Mengetahui kuantitas pola penggunaan antibiotik dengan metode Defined

Daily Dose (DDD) pada pasien demam tifoid di Puskesmas Rawat Inap

Panjang , Bandar Lampung periode Juli-November 2016

3. Mengetahui ketepatan indikasi penggunaan antibiotik pada pasien demam

tifoid di Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung periode Juli-

November 2016

4. Mengetahui distribusi frekuensi antibiotik pada pasien demam tifoid di

Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung periode Juli-November

2016

5. Mengetahui ketepatan cara atau rute pemberian antibiotik pada pasien

demam tifoid di Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung

periode Juli-November 2016


6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan khususnya dibidang kesehatan tentang profil penggunaan

antibiotik dengan metode Defined Daily Dose (DDD) pada pasien demam

tifoid yang rasional sehingga diharapkan kedepan dapat menurunkan

angka resistensi terhadap penggunaan antibiotik .

1.4.2 Manfaat Praktisi

1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka

meningkatkan pengetahuan dan kualitas hidup masyarakat tentang segala

jenis antibiotik yang dapat digunakan secara tepat dengan mengetahui

dosis , penggunaan , lama pemakaian , cara pemberian yang sesuai dengan

anjuran dari pihak tenaga kesehatan

2. Memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam upaya mengoptimalkan

penggunaan antibiotik pada pasien rawat jalan demam tifoid di Puskesmas

Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung .


7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1 Judul Penelitian

Profil Penggunaan Antibiotik Dengan Metode Defined Daily Dose

(DDD) Pada Pasien Demam Tifoid di Puskesmas Rawat Inap Panjang ,

Bandar Lampung periode Juli-November 2016

1.5.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini diambil dari data sekunder berupa rekam

medik penderita demam tifoid di Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar

Lampung dari bulan Juli-November 2016

1.5.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan bulan Maret 2017 sampai dengan

selesai di Puskesmas Rawat Inap Panjang , Bandar Lampung .

Anda mungkin juga menyukai