Anda di halaman 1dari 10

Surviving Sepsis Campaign: Pedoman Internasional untuk

Penanganan Spesis dan Syok Sepsis: 2016.


Andrew Rhodes, Laura E. Evans, et al.
Intensive Care Med. 2017. 43: 304–377.

A. RESUSITASI AWAL
1. Sepsis dan syok sepsis merupakan kegawatdaruratan medis, dan kami
merekomendasikan untuk memberikan terapi dan resusitasi secepat mungkin.
2. Kami merekomendasikan, resusitas pada hipoperfusi akibat sepsis, minimal 30
mL/kg cairan kristaloid diberikan melalui intravena dalam 3 jam pertama.
3. Kami merekomendasikan, setelah resusitasi cairan awal, pemberian cairan
tambahan dapat diberikan berdasarkan pemeriksaan status hemodinamik pasien.
Pemeriksaan tersebut melingkupi pemeriksaan klinis dan pemeriksaan fisiologis
(denyut jantung, tekanan darah, saturasi oksigen arteri, laju pernapasan, suhu,
penghasilan urin, dan pemeriksaan lain) serta pemantauan non-invasif atau
invasif.
4. Kami merekomendasikan pemantauan hemodinamik (seperti pemeriksaan
fungsi jantung) untuk menentukan jenis syok jika pemeriksaan klinis tidak
dapat menegakan diagnosis.
5. Kami menyarankan variabel dinamik digunakan untuk memprediksikan respon
tubuh terhadap pemberian cairan.
6. Kami merekomendasikan tekanan arteri rata-rata awal (mean arterial pressure-
MAP) sekitar 65 mm Hg pada pasien dengan syok septik yang membutuhkan
vasopresor.
7. Kami menyarankan pemantauan resusitasi untuk mencapai kadar laktat normal
pada pasien dengan peningkatan kadar laktat sebagai petanda hipoperfusi
jaringan.
Alasan. Resusitasi cairan awal yang efektif sangat penting untuk stabilisasi
pasien yang mengalami hipoperfusi akibat sepsis atau syok septik. Hipoperfusi
akibat sepsis mungkin merupakan manifestasi dari disfungsi organ akut dan/atau
disertai penurunan tekanan darah dan peningkatan kadar laktat serum. Pedoman
sebelumnya telah merekomendasikan protokol resusitasi, disebut sebagai early
goal directed therapy (EGDT), berdasarkan protokol yang dipublikasikan oleh
Rivers [16]. Protokol ini menjelaskan kegunaan “sasaran” berkala tersebut seperti
tekanan vena sentral (CVP) dan saturasi oksigen vena sentral (SCVO2). Pendekatan
ini sedang diuji setelah kegagalan dalam menunjukan penurunan mortalitas pada
RCT di tiga multisenter penelitian [17-19]. Strategi intervensi ini tidak
membahayakan pasien; sehingga penggunaan target sebelumnya masih aman dan
dapat dipertimbangkan. Uji terbaru melibatkan pasien dengan kondisi yang sedikit
lebih stabil (kadar laktal lebih rendah dari nilai batas, SCVO2 sama atau di atas nilai
target saat masuk perawatan, mortalitas lebih rendah). Meskipun protokol ini
sekarang tidak dapat direkomendasikan, tenaga medis masih membutuhkan
pedoman untuk menentukan pendekatan pada pasien yang memiliki mortalitas dan
morbiditas signifikan. Kami merekomendasika kasus tersebut sebagai
kegawatdaruratan medis yang membutuhkan pemeriksaan dan penaganan cepat.
Kami merekomendasikan resusitas cairan awal dimulai dengan 30 mL/kg
kristaloid dalam 3 jam pertama. Volume cairan ini memudahkan tenaga medis
untuk melakukan resusitasi awal sambil mengumpulkan infomasi tambahan
mengenai pasien dan menunggu hasil pemeriksaan status hemodinamik. Meskipun
hanya sedikit literatur menyertakan data kontrol untuk mendukung volume cairan
ini, tetapi penelitian intervensi terbaru menunjukan volume cairan ini sebagai
tahap awal resusitasi, dan bukti observasi mendukung praktik tersebut [20,21].
Rata-rata jumlah cairan yang diberikan secara acak pada uji PROCESS dan
ARISE adalah 30 mL/kg, dan sekitar 2 L pada uji PROMISE [17-19]. Beberapa
pasien akan membutuhkan cairan lebih banyak, dan pada kelompok pasien
tersebut kami menyarankan cairan diberikan berdasarkan pengukuran
hemodinamik.

Salah satu prinsip penting dalam memahami penanganan pada pasien ini adalah
perlunya pemeriksaan awal yang lengkap dan evaluasi ulang untuk menilai respon
terhadap terapi yang diberikan. Pemeriksaan ini dimulai dengan pemeriksaan
klinis dan penilaian variabel fisiologi yang dapat menjelaskan kondisi pasien
(denyut jantung, tekanan darah, saturasi oksigen arteri, laju pernapasan, suhu,
pengeluaran urin, dan variabel lain yang tersedia). Ekokardiografi dalam beberapa
tahun terakhir telah tersedia dan memudahkan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menilai penyabab masalah hemodinamik pada pasien [22].

Kegunaan CVP saja untuk memantau resusitasi cairan tidak dapat lagi
dilakukan [22] karena kemampuannya terbatas dalam memprediksi respon
terhadap pemberian cairan ketika CVP dalam nilai normal (8-12 mm Hg). Hal
yang sama juga terjadi pada pengukuran statis lain terhadap tekanan atau volume
jantung kiri atau kanan. Pengukuran dinamik dalam menilai kebutuhan pasien
terhadap tambahan cairan telah diajukan untuk meningkatkan manajemen cairan
pada pasien dan juga menunjukan akurasi diagnostik yang lebih baik dalam
memprediksi pasien yang berespon terhadap pemberian cairan dengan
meningkatkan isi sekuncup jantung. Teknik ini dilakukan dengan menaikan kaki
secara pasif, pemberian cairan berlawanan dengan pengukuran isi sekuncup, atau
variasi pada tekanan sistolik, tekanan nadi, atau isi sekuncup untuk mengubah
tekanan intratorakal yang diinduksi oleh ventilasi mekanik [24]. Tinjauan kami
terhadap lima penelitian mengenai penggunaan variasi tekanan nadi untuk
memprediksi respon pasien dengan sepsis atau syok septik terhadap pemberian
cairan menunjukan sensitivitas sekitar 0.72 (95% CI 0.61–0.81) dan spesifisitas
0.91 (95% CI 0.83–0.95); kualitas bukti ini cukup rendah akibat ketidaktepatan
dan risiko bias [24]. Penelitian multisenter terbaru menunjukan keterbatasan
kegunaan pemantauan fungsi jantung saat pemberian cairan di ICU. Meskipun
data mengenai penggunaan pemantauan ini di unit gawat darurat tidak mencukupi,
tetapi ketersediaan alat dan penerapan parameter pada semua kondisi dapat
meningkatkan penggunaan indeks dinamik secara rutin [22,25].

MAP merupakan tekanan penggerak pada perfusi jaringan. Perfusi organ vital
seperti otak atau ginjal dilindungi dari hipotensi sistemik oleh autoregulasi perfusi
regional, di bawah ambang batas MAP, sedangkan perfusi jaringan bergantung
pada tekanan arteri. Pada uji yang dilakukan di satu pusat penelitian [26], titrasi
dosis norepinefrin dari 65 menjadi 75 dan 85 mmHg meningkatkan indeks jantung
(dari 4.7 ± 0.5 menjadi 5.5 ± 0.6 L/menit/m2) tetapi tidak mengubah aliran urin,
kadar laktat arteri, penghantaran dan konsumsi oksigen, PCO2 mukosa lambung,
laju sel darah merah, atau aliran kapiler kulit. Uji lain [27] membandingkan, pada
syok septik yang mendapatkan norepinefrin, titrasi dosis untuk menjaga MAP
pada 65 mmHg dibandingkan dengan dosis yang mencapai MAP 85 mmHg. Pada
uji ini, MAP yang tinggi akan meningkatkan indeks jantung dari 4.8 (3.8 – 6.0)
menjadi 5.8 (4.3 – 6.9) L/menit/m2 tetapi tidak mengubah fungsi ginjal, kadar
laktat arteri, atau kebutuhan oksigen. Uji ketiga yang dilakukan pada satu pusat
penelitian [28] menunjukan perbaikan mikrosirkulasi, yang dinilai melalui densitas
pembuluh darah sublingual dan peningkatan saturan oksigen thenar setelah uji
oklusi, dengan titrasi norepinefrin hingga mencapai MAP 85 mmHg dibandingkan
dengan MAP 65 mmHg. Hanya satu uji multisenter dengan hasil utama adalah
mortalitas dalam membandingkan titrasi dosis norepinefrin untuk mencapai MAP
65 mmHg dibandingkan dengan MAP 85 mmHg [29]. Tidak ada perbedaan
mortalitas yang signifikan pada hari ke-28 (36.6% pada kelompok dengan target
tinggi dan 34.0% pada kelompok dengan target rendah) atau hari ke-90 (43.8%
pada kelompok dengan target tinggi dan 42.3% pada kelompok dengan target
rendah). Target MAP 85 mmHg menunjukan risiko yang lebih tinggi terhadap
aritmia, tetapi pada kelompok pasien dengan diagnosis hipertensi kronik
sebelumnya memiliki penurunan kebutuhan terhadap terapi penggantian ginjal
(RRT) pada MAP yang lebih tinggi. Sebuah uji terbaru pada 118 pasien syok
septik [30] menunjukan bahwa pada kelompok pasien dengan usia lebih dari 75
tahun, mortalitas akan menurun ketika MAP ditargetkan pada 60-65 mmHg
dibandingkan dengan 75-80 mmHg. Kualitas bukti sedang karena estimasi yang
kurang tepat. Sehingga, target MAP 65 mmHg (risiko fibrilasi atrium lebih rendah,
dosis vasopresor lebih rendah, dan mortalitas yang sama) menjadi target awal
MAP dibandingkan dengan MAP yang lebih tinggi. Target ini harus ditentukan
secara individual jika kondisi pasien telah diketahui secara menyeluruh.

Perfusi jaringan tidak ditentukan secara langsung oleh laktat serum [31].
Peningkatan kadar laktat serum dapat menunjukan hipoksia jaringan, peningkatan
glikolisis aerob akibat peningkatan stimulasi beta adrenergik, atau penyebab lain
(seperti kerusakan hepar). Peningkatan kadar laktat berhubungan dengan
perburukan kondisi pasien [32]. Laktat merupakan pemeriksaan laboratorium
standar dengan teknik tetap dalam pengukurannya, sehingga pengkuran kadar
laktat bersifat lebih objektif terhadap perfusi jaringan dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik atau pengeluaran urin. Lima uji kontrol acak (647 pasien)
menilai resusitasi dengan pemantauan laktat pada pasien dengan syok septik [33-
37]. Penurunan mortalitas yang signifikan terlihat pada resusitas dengan
pemantauan terhadap kadar laktat dibandingkan dengan resusitas tanpa
pemantauan kadar laktat (RR 0.67; 95% CI 0.53–0.84; kualitas rendah). Tidak ada
perbedaan pada lamanya perawatan di ICU (rata-rata perbedaan -1.51 hari; 95% CI
-3.65 hingga 0.62; kualitas rendah). Dua meta-analisis lain dengan 647 pasien
yang dilibatkan dalam uji ini menunjukan bukti sedang mengenai penurunan
mortalitas ketika strategi pembersihan laktat dini dilakukan, dibandingkan dengan
perawatan biasa atau dengan strategi normalisasi SCVO2 [38,39].

B. SKRINING SEPSIS DAN PENINGKATAN KINERJA


1. Kami merekomendasikan rumah sakit dan sistem rumah sakit memiliki
program peningkatan kinerja terhadap sepsis, termasuk skrining sepsis pada
pasien dengan kondisi akut, dan pasien dengan risiko tinggi.

Alasan. Peningkatan usaha kinerja pada kondisi sepsis dapat meningkatkan


kondisi pasien [40]. Program peningkatan performa untuk sepsis dilakukan oleh
perwakilan dari multiprofesi (dokter, perawat, farmasi, ahli terapi respirasi, ahli
gizi, administrator) dengan peran dari semua disiplin dalam pengembangan dan
implementasi. Program yang berhasil harus melingkupi pengembangan protokol
dan implementasi, target yang harus dievaluasi, pengumpulan data, dan umpan
balik untuk meningkatkan kinerja tersebut [41]. Sebagai tambahan terhadap usaha
pendidikan berkelanjutan untuk mengenalkan pedoman-pedoman dalam praktik
klinis, pemahaman mengenai usaha tersebut dapat membantu dalam penggunaan
bukti dengan kualitas tinggi dalam mengubah kebiasaan yang sering terjadi [42].

Program pengembangan kinerja pada kondisi sepsis dapat ditujukan pada


pengenalan dini sepsis melalui usaha skrining dan peningkatan penanganan pasien
yang telah teridentifikasi mengalami sepsis. karena terapi pencegahan sangat sulit
dilakukan, sehingga skrining sepsis berhubungan dengan penanganan awal
[43,44].

Skrining sepsis berhubungan dengan penurunan mortalitas pada beberapa


penelitian [20,45]. Implementasi rekomendasi merupakan tahapan untuk
meningkatkan kinerja yang bertujuan untuk meningkatkan manajemen [46].
Berkas SSC (Surviving Spesis Campaign) disusun secara terpisah dari pedoman
dalam hubungan dengan pendidikan dan perbaikan kerja sama dengan Institute for
Healthcare Improvement [46]. Berkas SCC yang didasari oleh pedoman
sebelumnya telah diadopsi oleh National Quality Forum Amerika Serikat serta
diadaptasi oleh sistem kesehatan Amerika Serikat. Berkas SSC telah direvisi pada
tahun 2015 agar sejalan dengan bukti yang ada dan usaha nasional Amerika
Serikat.

Dari berbagai macam program yang berbeda, tema utama dari program
tersebut adalah perbaikan pada penanganan sepsis dan pedoman praktik seperti
SSC [8]. Meta-analisis dari 50 penelitian observasional menunjukan program
pengembangan kinerja berhubungan dengan peningkatan penyesuaian dengan SSC
serta penurunan mortalitas (OR 0.66; 95% CI 0.61-0.72) [47]. Penelitian terbesar
dilakukan untuk menguji hubungan antara penyesuaian terhadap berkas SSC
(berdasarkan pedoman tahun 2004) dengan mortalitas. Sebanyak 29,470 pasien
dari 218 rumah sakit di Amerika Serikat, Eropa, dan Amerika Selatan diobservasi
selama 7.5 tahun [21]. Mortalitas yang lebih rendah terlihat pada rumah sakit
dengan pemenuhan yang lebih tinggi terhadap berkas SCC. Mortalitas rumah sakit
secara keseluruhan menurun sekitar 0.7% setiap 3 bulan ketika rumah sakit
berpartisipasi dalam SCC, berhubungan dengan penurunan lama perawatan
sebesar 4% untuk setiap 10% peningkatan penyesuaian dengan berkas SSC.
Keuntungan ini juga terlihat pada spektrum lebih luas. Sebuah penelitian terhadap
1794 pasien dari 62 negara dengan sepsis berat (sekarang disebut sebagai “sepsis”
setelah definisi Sepsis-3 [1]) atau syok sepsis menunjukan penurunan angka
kematian sebesar 36-40% di rumah sakit dengan penerapan berkas SSC selama 3
atau 6 jam [48]. Rekomendasi ini sesuai dengan kriteria sebelumnya sebagai BPS
(best practice statement). Metode pengembangan kinerja bervariasi pada setiap
penelitian; sehingga tidak ada pendekatan yang direkomendasikan untuk
pengembangan kinerja.

C. DIAGNOSIS
1. Kami merekomendasikan kultur mikrobiologi yang tepat (termasuk darah)
dikumpulkan sebelum memulai terapi antimikroba pada pasien dengan
kecurigaan sepsis atau syok sepsis.
Kultur mikrobiologi rutin selalu dilakukan dengan dua kultur darah (aerob dan
anaerob).

Alasan. Sterilisasi kultur dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam setelah
pemberian dosis pertama antimikrob yang tepat [49,50]. Pengumpulan kultur sebelum
pemberian antimikroba dapat meningkatkan biakan pada kultur, sehingga
memudahkan identifikasi patogen. Isolasi organisme infeksi memudahkan deeskalasi
terapi antimikroba. Deeskalasi terapi antimikroba merupakan cara pemberian
antibiotik yang sering dilakukan, dan mengurangi angka resistensi mikroorganisme,
efek samping yang lebih kecil, dan biaya yang lebih murah [51]. Beberapa penelitian
retrospektif menunjukan pengumpulan kultur sebelum pemberian terapi antimikroba
dapat meningkatkan kondisi pasien [52,53]. Deeskalasi juga dapat meningkatkan
kondisi pasien pada beberapa penelitian observasional [54,55]. Pengumpulan kultur
sebelum pemberian terapi antimikroba harus sesuai dengan risiko mortalitas akibat
keterlambatan pemberian terapi pada pasien dengan kecurigaan sepsis atau syok
sepsis yang memiliki risiko kematian [56,57].

Kami merekomendasikan kultur darah dikumpulkan sebelum pemberian terapi


antimikroba awal jika kultur dapat dikumpulkan secara tepat waktu. Tetapi, rasio
antara risiko dan keuntungan mendukung pemberian antimikroba segera mungkin jika
tidak memungkinkan untuk melakukan kultur. Sehingga pada pasien dengan
kecurigaan sepsis atau syok sepsis, kultur mikrobilogi rutin harus dilakukan sebelum
pemberian terapi antimikroba awal dari bagian tubuh yang dicurigai sebagai sumber
infeksi potential. Kultur tersebut dapat dikumpulkan dari luka, cairan serebrospinalis,
urin, luka, sekret respiratorik, dan cairan tubuh lain, tetapi tidak untuk sampel yang
membutuhkan prosedur invasif seperti bronkoskopi atau pembedahan terbuka.
Penentuan sampel kultur membutuhkan pertimbangan dari tim dokter. “Pan culture”
dari semua bagian tubuh yang dapat dikultur tidak dapat dilakukan (kecuali jika
sumber sepsis secara klinis belum diketahui), karena tindakan ini dapat menyebabkan
penggunaan antimikroba yang tidak tepat [58]. Jika anamnesis dan pemeriksaan klinis
menunjukan lokasi infeksi spesifik, kultur dari bagian tubuh lain (kecuali darah) tidak
dibutuhkan. Kami mengusulkan keterlambatan pemberian terapi antimikroba yang
dapat dilakuakan adalah 45 menit pada saat kultur sedang dilakukan.

Dua atau lebih kultur darah (aerob dan anaerob) direkomendasikan sebelum
pemberian antimikroba baru pada semua pasien yang dicurigai mengalami sepsis
[59]. Semua kultur darah yang dibutuhkan diambil pada waktu yang bersamaan.
Kultur darah tidak memberikan hasil yang maksimal jika diambil atau disimpan
dengan suhu yang tidak tepat [60,61]. Metode pengambilan dan pengantaran sampel
darah yang tepat dijelaskan pada pedoman lain [61,62].

Satu set kultur darah harus diambil dari kateter intravaskuler pada pasien
dengan kecurigaan sepsis dengan kateter intravena (yang digunakan > 48 jam)
dimana lokasi infeksi belum diketahui atau adanya kecurigaan infeksi yang
disebabkan oleh kateter intravaskuler. Hal ini dilakukan untuk menilai infeksi yang
menyebar dari kateter ke dalam aliran darah. Data tidak sesuai akibat perbedaan
waktu yang digunakan untuk menunggu hasil positif dari kultur darah (volume kultur
darah yang sama dari akses pembuluh darah menunjukan hasil positif lebih dari 2 jam
sebelum kultur darah perifer) [63-65].

Penting diingat bahwa pengambilan kultur darah dari kateter intravaskuler jika
ada kemungkinan infeksi akibat kateter tidak menyingkirkan pilihan untuk melepas
kateter segera mungkin.

Pada pasien tanpa kecurigaan infeksi akibat kateter dan adanya kecurigaan
sumber infeksi lain, minimal satu kultur darah harus diambil dari pembuluh darah
perifer. Tetapi, tidak ada rekomendasi mengenai lokasi pengambilan kultur darah.
Pilihan yang dapat dipertimbangkan adalah: a) semua kultur diambil dari pembuluh
darah perifer dengan cara venipuncture, b) kultur diambil dari alat intravaskuler yang
berbeda tetapi tidak dari, lumen yang berbeda pada kateter intravaskuler yang sama,
atau c) kultur diambil dari beberapa lumen pada satu alat intravaskuler [66-70].
Kedepannya, metode diagnostik molekuler dapat membantu menegakan
diagnosis infeksi yang lebih cepat dan lebih tepat dibandingkan dengan teknik yang
sekarang digunakan. Tetapi, meskipun berbagai teknologi telah dikembangkan,
pengalaman klinis masih terbatas, dan validasi tambahan dibutuhkan sebelum
merekomendasikan metode tersebut sebagai teknik tambahan atau pengganti untuk
teknik kultur darah standar [71-73].

Anda mungkin juga menyukai