Anda di halaman 1dari 36

Short Case

PTERYGIUM GRADE III OD

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang

Oleh:

Putri Marissa Khadmillah Irianti Dunda

04084821820047

Pembimbing:
dr. Dian Dameria, Sp.M (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
ii
HALAMAN PENGESAHAN

Short Case
PTERYGIUM GRADE III OD

Oleh:

Putri Marissa Khadmillah Irianti Dunda, S.Ked.


04084821820047

Short case ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 17 September 2018
s.d 22 Oktober 2018.

Palembang, Oktober 2018

dr. Dian Dameria, Sp.M (K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Pterygium Grade III OD”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Mata Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dian Dameria, Sp.M (K)
selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengayaan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................... 2
Identifikasi ................................................................................................ 2
Anamnesis ................................................................................................ 2
Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 3
Diagnosis .................................................................................................. 4
Tatalaksana ............................................................................................... 4
Prognosis .................................................................................................. 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 7
BAB IV ANALISIS MASALAH ........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva


yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik
UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi
lainnya. Secara geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara
beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki
risiko tinggi mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari
Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau,
didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10%
sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.1,2,3

Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya


frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di
Indonesia adalah 35–52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo
didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun
adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain
itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu
penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.2,3

1
BAB II
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Banyuasin
Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2018

2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh mata kanan merah, perih dan berair sejak 3 minggu
yang lalu.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh timbul selaput putih pada mata kanan yang
semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal sejak ± 6 bulan
yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan bertambah.
Os mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan
lain seperti penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat
dalam terowongan (-), sakit kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-)
dan seperti melihat asap (-). Keseharian os selalu menggunakan
motor dan sering terpapar debu dan cahaya matahari. Pasien belum
pernah berobat mata sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat trauma / operasi mata (-)
 Riwayat mata merah sebelumnya (-)
 Riwayat menderita darah tinggi (-)
 Riwayat menderita kencing manis (-)
 Riwayat alergi (-)
2
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga (-)

3. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 75 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 37,5o C
Status Gizi : Baik

b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra

Visus 6/9 6/6


Ph: 6/9
Tekanan intraocular P = N+0 P = N+0

Kedudukan bola
mata (Hirschberg Ortoforia
test)
GBM

Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Terdapat jaringan Tenang

3
fibrovaskular yang berbentuk
segitiga dari kantus media
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk
Kornea segitiga dari kantus media Tenang
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, Refleks Bulat, sentral, Refleks
Cahaya (+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm

Lensa Jernih Jernih


Refleks Fundus RFOD (+) RFOS (+)
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal merah normal
Makula Refleks fovea (+) di sentral Refleks fovea (+) di sentral
Retina Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah
baik

4. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Slit lamp
 Pemeriksaan tonometri

5. Diagnosis Banding
 Pterygium grade III OD
 Pseudopterygium OD
 Pingeukula

6. Diagnosis Kerja
Pterygium grade III OD

7. Tatalaksana
1. Informed Consent
2. KIE
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan rencana
terapi

4
 Menyarankan menghindari debu dan paparan sinar matahari
 Menyarankan memakai kaca mata hitam atau topi lebar saat
beraktivitas di luar rumah pada siang hari.
3. Kombinasi antibiotik dan steroid tetes mata 3x1 OD
4. Rujuk ke dokter spesialis mata untuk saran tindakan pro operasi
pterygium OD dengan teknik konjungtival autograft

8. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

Gambar 1.1. Gambaran Pterygium Okuli Dekstra

Gambar 1.2. Gambaran Okuli Sinistra

5
Gambar 1.3. Gambaran Kedua Okuli

Gambar 1.4. Gambaran Kedua Okuli

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Konjungtiva Dan Kornea

Gambar 3.1.Anatomi Mata

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.1,2
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan posterior tarsus, konjungtiva melipat
ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan
episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.1,2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat
berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara

7
ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan
konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
kapsul tenon dan sklera di bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga
pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2

Gambar 3.2 Konjungtiva

Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral


dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan
konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan
dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm.
Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar
7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar
74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal. Kornea merupakan bagian
mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi
kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui
lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi
limbal.

8
Fisiologi Kornea

Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium


refraksi dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut
dapat dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang
unik avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut
melalui transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler
perilimbal. Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri.
Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama
bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang
mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks
akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi
secara minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi.

3.2 PTERIGIUM

3.2.1 Definisi

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva


berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra, bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap)
adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk
segitiga (sayap) yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea antara lain
lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. 3-6
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal
dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.

9
Gambar 3.4.Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva
berbentuk segitiga

3.2.2 Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang
dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu
dan kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan
sinar matahari yang kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah,
riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara
khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)

10
yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

3.2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.3,4,7
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigiumadalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga
merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigiumdan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.
4. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
5. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei
lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama

11
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium.

3.2.4 Patogenesis
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus
menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar
UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini.
Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level
intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan
komposisi matriks ekstraselular.3,4,8

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak


dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium
ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian
melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.5,6,8

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab


pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah
satu penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat
menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih
embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program
kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi
berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem
kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis

12
termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat
saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet


yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain,
karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga
mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari
hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.8

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium


seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya
matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal
setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar
di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari.
Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding
bulu mata di daerah temporal.

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,


termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk
mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat
berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor
faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah
dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik
pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi
sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor
(TNF-α) membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip.
IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8
melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan
yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor
(EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth
factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived

13
growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and
insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis.


Diproduksi oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya
stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF
telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus
epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi
imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi


elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang
menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah
degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin
dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik
akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan
ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat


terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell.Limbal stem cell
adalah sumber regenerasi epitel kornea.Defisiensi limbal stem cell
menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan
fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari
defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah
interpalpebra.

14
Gambar 3.5 Patofisiologi Pterigium

3.2.5 Gambaran Klinis Dan Klasifikasi Pterigium


Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar
rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah
nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan.
Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.3-7
15
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga
pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura
interpalpebra. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium(stoker's line).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head)
dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya
kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan
ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah
apex dan membentuk batas pinggir pterigium.8

Gambar 3.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan
terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish:
Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan
lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

Pembagian pterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas


2 tipe, yaitu :8
1. Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterigium(disebut cap pterigium).
2. Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan
terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme
karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga
menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Pembagian lain pterigium yaitu :8


1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis

16
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :


1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 –
4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Gambar 3.7 Derajat Pterigium

17
3.2.6 Diagnosis

- Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai


dari tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan,
pembengkakan, gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan
elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua
mata.3,4

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali


pada intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian
kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan
tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas
okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau
diplopia.

- Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai


perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea.
Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada
daerah temporal, serta di lokasi lainnya.

- Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium


adalah topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan
derajat seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di
sebabkan oleh pterigium.8

3.2.7 Diagnosis Banding


Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium.
Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada
18
kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan
ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat
kimia pada mata.8

a) Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna


kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus.
Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena
kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

Gambar 3.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang
berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.

b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang


merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan
kornea.

19
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari
ulkuskornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissure
palpebra seperti halnya pada pterigium.Pada pseudopterigium juga dapat
diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya
kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudo
pterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan
kista dermoid.

Gambar 3.9. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal


konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam local
20
c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 3.10.OSSN yang searah dengan limbal

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia,


pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spectrum
konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva
yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan
karakteristik berkas dari pembuluh darah pada fissure intra palpebral.
Biasanya pasien datang diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan
sensasi benda asing.

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum

Reaksi tubuh Iritasi atau


Proses penyembuhan kualitas
Sebab
degeneratif dari luka bakar, higienitas air
GO, difteri,dll. yang kurang.

Tidak dapat Dapat


Sonde dimasukkan dimasukkan -
dibawahnya dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak Tidak

Usia Dewasa Anak-anak Dewasa dan

21
anak-anak

Subkonjunctiva
Terbatas pada
yang dapat Bisa terjadi
Lokasi konjuntiva
mencapai darimana saja
bulbi
kornea

3.2.8 Penatalaksanaan 1,5,8


Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi
menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien
menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau
perubahan dalam fungsi visual.

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical


lubricating drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal
drops), serta sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortiko
steroid topikal anti-inflamasi (misalnya, PredForte1%) bila gejala lebih
intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk
mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan,


yang dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada


apeks,collum dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium
tersebut dibedah dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan
22
collum pterigium yang telah menyerang kornea sering dihilangkan
dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi bidang
diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus
mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan
stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya


mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.
Kekambuhan pterygium merupakan pertumbuhan kembali jaringan
fibrovaskuler konjungtiva ke kornea pada bekas pembedahan. Pterygium
dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan operasi pengangkatan
ditemukan pertumbuhan kembali jaringan pterygium yang disertai
pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea .
Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi disebutkan
antara 1-2 bulan sesudah pengangkatan.

Ada beberapa teknik operasi yang dilakukan pada eksisi


pterygium, pada dasarnya tindakan operasi yang dilakukan dengan dua
cara yaitu, mengangkat pterygium dengan membiarkan luka bekas
pterygium terbuka ( Bare sclera ), dan mengangkat pterygium kemudian
luka pterygium ditutup dengan graft ( transplantasi ).

Masing-masing teknik operasi yang ada memiliki kelebihan dan


kekurangan. Idealnya operasi tersebut haruslah simpel, cepat, tingkat
komplikasi dapat diterima, tingkat rekurennya rendah dan bagus secara
kosmetik. Sayangnya belum ada teknik yang memenuhi semua kriteria
tersebut.

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan


pterigium:

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali


konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima
karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai
40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
23
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.
(misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
Konjungtival limbal graft diperkenalkan oleh Kenyon et al pada
tahun 1985. Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang
sama untuk menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya
memiliki resiko paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai
graft. Angka kekambuhan dilaporkan 5,3% pada 57 pasien (41 pterigium
rekuren, 16 pterigium primer) dengan rerata follow up 24 bulan. Teknik
transplantasi konjungtiva-limbus autograft yang sering digunakan adalah
teknik jahitan dengan vicryl 8.0 atau dengan nylon 10.0. Graft konjungtiva
dapat menimbulkan komplikasi minor seperti edema graft, dellen
korneosklera. Komplikasi berat berupa astigmat kornea, hematoma,
granuloma kapsul tenon, nekrosis graft dan disinsersi muskulus
ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa waktu operasi relatif lebih lama
dan rasa tidak nyaman setelah tindakan.
Prosedur conjunctival limbal graft adalah sebagai berikut :
- dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera
- Bola mata diposisikan lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva
bulbi superior
- Blunt scissor Wescott digunakan untuk insisi konjungtiva bulbi
superior, undermind dengan diseksi tumpul dan sisakan kapsul
tenon.

24
- Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga terjadi sedikit
pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan
terbuka.
- Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien,
jahit dengan vicryl 8.0 atau nylon 10.0
- Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid selama 4-6
minggu untuk mengatasi inflamasi

Teknik Mc. Reynolds


Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva
dilakukan dengan cara ;
a. Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan di bawah
konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan sklera, yang lebarnya
disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang semula, sehingga
diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke kornea.
b. Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah
di bawah konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera.
c. Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea
dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.
Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds. Yaitu:
1. Neher : pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di
fiksasi pada episklera.
2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari
pterigium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut,
kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya
seperti sayap.
3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan
jaringan pterigium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup
konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea yang terbuka.
Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru.

25
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas.
Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal, masing-masig
dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.
5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva
kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium.
Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai
penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau
membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan
cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi


masalah yakni sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan
dengan berbagai langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi
penyakit. Hal ini mungkin secara luas diklasifikasikan sebagai metode
medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode pembedahan.

Gambar 2.11 Tindakan Operatif pada Pterigium

26
Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk


mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar
peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi
faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada
studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium
primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah
keuntungan dari teknikini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian
konjungtiva bulbar. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas
sklera, dengan membran basal menghadap keatasdan stroma menghadap
kebawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem
fibrin untuk membantu transplantasi membran amnion menempel
jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam
autograft konjungtiva.

Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering


digunakan sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi
pterigium. Beberapa alternatif medis lainnya, seperti5-fluorouracil dan
daun orubisin, juga telah dicoba.

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah


kekambuhan pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat
kekambuhan yang berhubungan dengan terapi mitomycin C secara
signifikan lebih rendahdibandingkandenganeksisi bare sclera. Pada
dasarnyadua bentukaplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan aplikasi
intraoperatif pada spons bedah yang direndam dalam larutan mitomycin
C diterapkan secara langsung ke sclera setelah eksisi pterigium,dan
penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagaiobat tetes mata.
Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan terkait penggunaan
27
mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda secara
signifikan.

3.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan
penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada
konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot
ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap
terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi,
jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari
diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani
eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial
adalah penyebab paling umum dari diplopia.

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat


meliputi:Scleradan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul
beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa
kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah


rekurensi.Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar
50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15%
dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi
membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi
ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat
terjadi.

3.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas
kembali.3,4,8

28
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu
masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan
termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun
transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6
bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar
sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi terpapar sinar matahari.

29
BAB IV

ANALISIS KASUS

Tn. K usia 41 tahun datang dengan keluhan timbulnya selaput putih pada
mata kanan yang semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal sejak ± 6
bulan yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan bertambah. Os
mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan lain seperti
penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat dalam terowongan (-), sakit
kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-) dan seperti melihat asap (-). Keseharian
os selalu menggunakan motor dan sering terpapar debu dan cahaya matahari.
Pasien belum pernah berobat mata sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dalam batas normal.
Sedangkan dari pemeriksaan status oftalmikus didapatkan visus VOD 6/9 dan
VOS 6/6. Pada konjungtiva kanan didapatkan pterigium grade III , sedangkan
konjungtiva tidak ditemukan kelainan.
Diagnosis pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari hasil pemeriksaan fisik mata kanan didapati jaringan
fibrovaskular berwarna putih pada berbentuk segi tiga dari kantus media dengan
puncak melewati limbus lebih dari 2mm. Pada mata kiri tidak terdapat kelainan.
Berdasarkan literatur, pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskuler konjungtiva bulbi patologik yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segi tiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke puncak pterygium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan
kerusakan epitel kornea dan membran bowman.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):

 Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


 Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea

30
 Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan .

Pada kasus ini Tn. K didiagnosis dengan pterigium grade III OD.Indikasi
operasi pterigium yaitu pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya
gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (>3-4mm),
pergerakan bola mata yang terganggu dan bersifat progresif dari pusat kornea.
Pada pasien ini, terdapat indikasi untuk dilakukan operasi pada mata kanan karena
menyebabkan gangguan penglihatan. Pada pasien ini diberikan obat tetes mata
dengan kombinasi antibiotik dan steroid sebagai lubricant pada mata yang kering
dan teriritasi karena kondisi lingkungan.
Edukasi yang dilakukan adalah menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya, rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi dan prognosis prnyakit
yang diderita, serta menyarankan pasien memakai kacamata hitam atau topi lebar
saat beraktivitas di luar rumah saat siang hari.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan,


Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Penerbit Widya Medika. 2002.
2. Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G.
Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Jakarta: Penerbit Widya Medika.2002.
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan:
Departemen Ilmu Kesehatan mata FKUSU. 2009.
4. Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Di Sekitar Universitas Sumatera
Utara (Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2011.
5. Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996.
Hal: 40-2.
6. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
7. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity,
And Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.
8. Pterygium. Diunduh dari http://www.repository.usu.ac.id
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : CV. Sagung Seto; 2002.

32

Anda mungkin juga menyukai