Oleh:
04084821820047
Pembimbing:
dr. Dian Dameria, Sp.M (K)
Short Case
PTERYGIUM GRADE III OD
Oleh:
Short case ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 17 September 2018
s.d 22 Oktober 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai “Pterygium Grade III OD”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Mata Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dian Dameria, Sp.M (K)
selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan pengayaan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................... 2
Identifikasi ................................................................................................ 2
Anamnesis ................................................................................................ 2
Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 3
Diagnosis .................................................................................................. 4
Tatalaksana ............................................................................................... 4
Prognosis .................................................................................................. 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 7
BAB IV ANALISIS MASALAH ........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
BAB II
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : WNI
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Banyuasin
Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2018
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh mata kanan merah, perih dan berair sejak 3 minggu
yang lalu.
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh timbul selaput putih pada mata kanan yang
semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal sejak ± 6 bulan
yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan bertambah.
Os mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan
lain seperti penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat
dalam terowongan (-), sakit kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-)
dan seperti melihat asap (-). Keseharian os selalu menggunakan
motor dan sering terpapar debu dan cahaya matahari. Pasien belum
pernah berobat mata sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma / operasi mata (-)
Riwayat mata merah sebelumnya (-)
Riwayat menderita darah tinggi (-)
Riwayat menderita kencing manis (-)
Riwayat alergi (-)
2
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga (-)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 75 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 37,5o C
Status Gizi : Baik
b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Kedudukan bola
mata (Hirschberg Ortoforia
test)
GBM
3
fibrovaskular yang berbentuk
segitiga dari kantus media
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
Terdapat jaringan
fibrovaskular yang berbentuk
Kornea segitiga dari kantus media Tenang
dengan puncak melewati
limbus lebih dari 2mm
BMD Sedang Sedang
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Pupil Bulat, sentral, Refleks Bulat, sentral, Refleks
Cahaya (+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Slit lamp
Pemeriksaan tonometri
5. Diagnosis Banding
Pterygium grade III OD
Pseudopterygium OD
Pingeukula
6. Diagnosis Kerja
Pterygium grade III OD
7. Tatalaksana
1. Informed Consent
2. KIE
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan rencana
terapi
4
Menyarankan menghindari debu dan paparan sinar matahari
Menyarankan memakai kaca mata hitam atau topi lebar saat
beraktivitas di luar rumah pada siang hari.
3. Kombinasi antibiotik dan steroid tetes mata 3x1 OD
4. Rujuk ke dokter spesialis mata untuk saran tindakan pro operasi
pterygium OD dengan teknik konjungtival autograft
8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
5
Gambar 1.3. Gambaran Kedua Okuli
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
7
ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan
konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
kapsul tenon dan sklera di bawahnya.1,2
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga
pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2
8
Fisiologi Kornea
3.2 PTERIGIUM
3.2.1 Definisi
9
Gambar 3.4.Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva
berbentuk segitiga
3.2.2 Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,
tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang
dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu
dan kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan
sinar matahari yang kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3,4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah,
riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.3
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara
khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)
10
yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
11
kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium.
3.2.4 Patogenesis
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus
menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar
UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini.
Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level
intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan
komposisi matriks ekstraselular.3,4,8
12
termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat
saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
13
growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and
insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).
14
Gambar 3.5 Patofisiologi Pterigium
Gambar 3.6.(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan
terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish:
Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan
lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
16
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata.
17
3.2.6 Diagnosis
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan penunjang
a) Pinguekula
Gambar 3.8. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang
berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.
b) Pseudopterigium
19
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari
ulkuskornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissure
palpebra seperti halnya pada pterigium.Pada pseudopterigium juga dapat
diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya
kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudo
pterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan
kista dermoid.
21
anak-anak
Subkonjunctiva
Terbatas pada
yang dapat Bisa terjadi
Lokasi konjuntiva
mencapai darimana saja
bulbi
kornea
Terapi Konservatif
Terapi pembedahan
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
24
- Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga terjadi sedikit
pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan
terbuka.
- Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien,
jahit dengan vicryl 8.0 atau nylon 10.0
- Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid selama 4-6
minggu untuk mengatasi inflamasi
25
4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas.
Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal, masing-masig
dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.
5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva
kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium.
Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai
penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau
membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).
6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan
cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.
26
Transplantasi Membran Amnion
Terapi adjuvant
3.2.9 KOMPLIKASI5,8
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan/atau pengurangan
penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada
konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot
ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap
terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi,
jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari
diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani
eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial
adalah penyebab paling umum dari diplopia.
3.2.10 PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas
kembali.3,4,8
28
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu
masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan
termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun
transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6
bulan pertama setelah operasi.3,4,8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar
sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi terpapar sinar matahari.
29
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. K usia 41 tahun datang dengan keluhan timbulnya selaput putih pada
mata kanan yang semakin lama terasa semakin meluas dan mengganjal sejak ± 6
bulan yang lalu. Tiga minggu sebelum datang ke poli keluhan bertambah. Os
mengeluh mata kanan merah (+), perih (+), berair (+). Keluhan lain seperti
penglihatan mata kabur (-), kotoran mata (-), melihat dalam terowongan (-), sakit
kepala (-), gatal (-), silau saat melihat (-) dan seperti melihat asap (-). Keseharian
os selalu menggunakan motor dan sering terpapar debu dan cahaya matahari.
Pasien belum pernah berobat mata sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dalam batas normal.
Sedangkan dari pemeriksaan status oftalmikus didapatkan visus VOD 6/9 dan
VOS 6/6. Pada konjungtiva kanan didapatkan pterigium grade III , sedangkan
konjungtiva tidak ditemukan kelainan.
Diagnosis pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari hasil pemeriksaan fisik mata kanan didapati jaringan
fibrovaskular berwarna putih pada berbentuk segi tiga dari kantus media dengan
puncak melewati limbus lebih dari 2mm. Pada mata kiri tidak terdapat kelainan.
Berdasarkan literatur, pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskuler konjungtiva bulbi patologik yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segi tiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke puncak pterygium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan
kerusakan epitel kornea dan membran bowman.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):
30
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan .
Pada kasus ini Tn. K didiagnosis dengan pterigium grade III OD.Indikasi
operasi pterigium yaitu pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya
gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (>3-4mm),
pergerakan bola mata yang terganggu dan bersifat progresif dari pusat kornea.
Pada pasien ini, terdapat indikasi untuk dilakukan operasi pada mata kanan karena
menyebabkan gangguan penglihatan. Pada pasien ini diberikan obat tetes mata
dengan kombinasi antibiotik dan steroid sebagai lubricant pada mata yang kering
dan teriritasi karena kondisi lingkungan.
Edukasi yang dilakukan adalah menjelaskan kepada pasien mengenai
penyakitnya, rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi dan prognosis prnyakit
yang diderita, serta menyarankan pasien memakai kacamata hitam atau topi lebar
saat beraktivitas di luar rumah saat siang hari.
31
DAFTAR PUSTAKA
32