Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala
sisa (sekuele) dari demam rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup
jantung. Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang
dimulai dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β
hemoliticus tipe A (contoh: Streptococcus pyogenes), bakteri yang bisa menyebabkan
demam rematik.
Sebanyak kurang lebih 39% pasien dengan demam rematik akut bisa terjadi kelainan
pada jantung mulai dari gangguan katup, gagal jantung, perikarditis (radang selaput
jantung), bahkan kematian. Dengan penyakit jantung rematik yang kronik, pada pasien
bisa terjadi stenosis katup (gangguan katup), pembesaran atrium (ruang jantung), aritmia
(gangguan irama jantung) dan gangguan fungsi ventrikel (ruang jantung).
PJR terdapat diseluruh dunia. Lebih dari 100.000 kasus baru demam rematik
didiagnosa setiap tahunnya, khususnya pada kelompok anak usia 6-15 tahun. Cenderung
terjangkit pada daerah dengan udara dingin, lembab, lingkungan yang kondisi kebersihan
dan gizinya kurang memadai. Sementara dinegara maju insiden penyakit ini mulai
menurun karena tingkat perekonomian lebih baik dan upaya pencegahan penyakit lebih
sempurna. Menurut WHO tahun 2001, dari seluruh kematian akibat penyakit
kardiovaskuler, terdapat 1,96% disebabkan oleh PJR. Menurut laporan Depkes RI tahun
2004, jumlah kematian akibat PJR sebesar 120 orang dari 1.064 penderita PJR yang
dirawat inap diseluruh rumah sakit di Indonesia. Secara Nasional mortalitas akibat PJR
cukup tinggi dan ini merupakan penyebab kematian utama penyakit jantung sebelum usia
40 tahun.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. RA
b. Umur : 11 tahun 10 bulan (1 Juni 2007)
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Nama Ayah : Tn. M
e. Nama Ibu : Ny. R
f. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : Talang Ubi, Muara Enim
i. Dikirim oleh : RS Prabumulih
j. MRS Tanggal : 24 Maret 2019

II. ANAMNESIS
Tanggal : Sabtu, 30 Maret 2019
Diberikan oleh : Penderita dan ibu penderita (autoanamnesis dan
alloanamnesis)

A. Riwayat Perjalanan Penyakit


Keluhan utama : Sesak napas
Keluhan tambahan : Batuk dan sakit kepala
Riwayat perjalanan penyakit :
± 7 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh demam, demam
muncul mendadak, bersifat hilang timbul tanpa diobati. Penderita juga mengeluh
batuk dan nyeri menelan. Batuk dengan dahak berwarna bening. Nyeri sendi yang
berpindah (-), tangan bergetar saat memegang benda (-), sesak (-), jantung
berdebar-debar (-), mual (-), muntah (-), nyeri di perut bagian atas (-), menggigil
(-), berkeringat dingin (-), sesak napas (-), kejang (-), gusi berdarah (-), mimisan
(-), nyeri kepala (-), ruam pada kulit (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Penderita lalu ke Puskesmas terdekat dan diberikan 3 macam obat, yang penderita
dan orang tua tidak ingat.
± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, demam penderita tidak kunjung turun.
Nyeri menelan berkurang, tetapi batuk masih ada. Penderita mulai merasa nyeri
pada lutut dan mata kaki sebelah kiri, nyeri tidak berpindah-pindah. Selain itu
penderita juga merasa sesak napas. Sesak dipengaruhi aktivitas, terutama bila
berjalan jauh. Pasien juga merasa jantung berdebar-debar. Mual (-), muntah (-),
nyeri di perut bagian atas (-), menggigil (-), berkeringat dingin (-), kejang (-), gusi
berdarah (-), mimisan (-), nyeri kepala (-), ruam pada kulit (-). BAB dan BAK tidak
ada keluhan. Penderita dibawa berobat ke RS Prabumulih. Pasien dirawat selama 7
2
hari, dan dirujuk ke RS Muhammad Hoesin untuk evaluasi dan tatalaksana lebih
lanjut.

B. Riwayat sebelum masuk rumah sakit


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
 Kehamilan
Perawatan antenatal : Periksa ke bidan ( 1 bulan 1 kali)
Penyakit kehamilan : Tidak ada
 Kelahiran
 Masa kehamilan : 38 minggu (cukup bulan)
 Partus : Spontan
 Tempat : Di rumah
 Ditolong oleh : Bidan
 Tanggal : 1 Juni 2007
 BB : 2500 gram
 PB : Ibu lupa
 Lingkar Kepala : Ibu lupa
 Kondisi saat lahir : Lahir langsung menangis
 Riwayat KPSW : Tidak ada
 Riwayat ketuban hijau,kental, dan bau : Tidak ada

2. Riwayat Makanan
 ASI : 0 – 5 bulan (1 payudara, setiap bayi menangis,
lamanya ± 15 menit)
 Susu botol : 0 – 24 bulan (3x sehari, ± 50cc)
 Nasi tim/lembek : 6 – 12 bulan (3x sehari, @ 3 sdt)
 Nasi biasa : 12 bulan – sekarang (3x sehari, @ 1 centong nasi)
 Daging : hampir tidak pernah
 Ikan : 2 x seminggu (@ ½ potong ikan)
 Tempe : jarang
 Tahu : jarang
 Sayuran : hampir tidak pernah
 Buah : 1 x seminggu (@ 1 potong buah)
 Kesan : asupan makanan cukup secara kuantitas tapi tidak
cukup secara kualitas

B. Riwayat Imunisasi
Vaksin I II III IV V

√ (2 bulan)
BCG
Skar (+)

DPT √ (2 bulan) √(3bulan) √(4bulan) √(18bulan)

POLIO √ (2 bulan) √(3bulan) √(4bulan) √(5 bulan) √(18bulan)

3
HEPATITIS B √ (2 bulan) √(3bulan) √(4bulan)

HiB √ (2 bulan) √(3bulan) √(4bulan)

CAMPAK √ (9 bulan)

Kesan : imunisasi dasar PPI lengkap

C. Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan
Berat Badan : 25 kg
Tinggi Badan : 145 cm
BB/U : < P5
TB/U : P25 – P50
BB/TB : 25/37 x 100% = 67%
Kesan : Gizi buruk

4
BB/TB= 25/37 x 100% = 67% (<70%, artinya gizi buruk)

Perkembangan
 Berbalik : 3 bulan
 Tengkurap : 5 bulan
 Merangkak : 7 bulan
 Duduk : 8 bulan

5
 Berdiri : 10 bulan
 Berjalan : 14 bulan
 Berbicara : 18 bulan
Kesan : Perkembangan sesuai usia

D. Riwayat penyakit yang pernah diderita


Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
Riwayat batuk yang berulang ada
Riwayat alergi disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK (29 Maret 2019)


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :N : 130x/menit, reguler, isi kurang
RR : 20x/menit
S : 36,8 o C
TD : 110/70mmHg
Status : BB: 25 kg BB/U : < P5
Antropometri PB: 145 cm TB/U : P25 – P50
BB/TB : 25/37 x 100% = 67%
Kesan : Gizi buruk
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)
Kepala : Normosefali, rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi

merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) refleks cahaya
(+/+), pupil isokor ᴓ 3mm.
Telinga : Deformitas (-/-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus
(-), nyeri tekan mastoid (-), serumen (+) minimal
Hidung : Deformitas (-), napas cuping hidung (-), deviasi septum (-),
mukosa hiperemis (-), sekret (-)
Mulut :Mukosa bibir lembab, bibir sianosis (-), cheilitis (-)
stomatitis (-), atropi papil (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), uvula ditengah, tonsil T1-T1, detritus
(-), kripta (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Dada : Pulmo:
I : Dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi
subkostal dan interkostal (-)
P : Stem fremitus kanan = kiri normal
P : Sonor pada kedua lapang paru.
A : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

6
Cor
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba, thrill (+)
P : Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas kiri
jantung ICS VI 1 jari medial dari linea axillaris
anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS V
linea parasternalis dextra.
A :HR 130 ×/menit, bunyi jantung I-II (+) normal,
murmur (+) sistolik, gallop (-)
Abdomen :I : Datar, pelebaran pembuluh darah (-)
P : Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
P : Timpani
A : Bising usus (+) 4x/m
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), capillary refill < 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-)

IV. STATUS NEUROLOGIKUS

Lengan Lengan
Fungsi motorik Kaki kanan Kaki kiri
Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks fisiologis Tidak ada kelainan
Refleks patologis Tidak ada kelainan
Gejala rangsang
Tidak ada kelainan
menigeal
Fungsi motorik Dalam batas normal
Nervi craniales Dalam batas normal

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (25 Maret 2019)
Pemeriksaan laboratorium Hasil Rujukan Satuan

HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.6 12-14.4 g/dL
Eritrosit 3.78 4.75-4.85 106/mm3
Leukosit 15.31 4.5-13.5 103/mm3

7
Hemotokrit 29 36-43 %
Trombosit 565 217-497 103/µL
MCV 75.4 75-87 fL
MCH 25 25-31 pg
MCHC 34 33-35 g/dL
RDW-CV 14.90 11-15 %
LED 73 <15 mm/jam
Hitung jenis leukosit
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 1 1-6 %
Neutrofil 74 50-70 %
Limfosit 15 20-40 %
Monosit 10 2-8 %
IMUNOSEROLOGI
PETANDA INFEKSI
CRP Kuantitatif 113 <5 mg/L
ASTO Non reaktif Non reaktif

Pemeriksaan Rontgen Thoraks (15 Maret 2019)

Pada pemeriksaan foto Toraks AP didapatkan:

 Jantung kesan membesar


 Aorta baik, mediastium superior tidak
melebar
 Trakea di tengah
 Hilus kanan dan kiri tidak menebal

8
 Corakan bronkovaskular kedua paru
meningkat
 Tak tampak infiltrate maupun nodul di
kedua paru
 Diaphragma licin
 Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
 Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding
dada baik
Kesan: Kardiomegali

Pemeriksaan Echocardiografi (27 Maret 2019)

Kesan:
Severe mitral regurgitation +
Moderate aorta regurgitation + Mild
tricuspid regurgitation + Moderate
pulmonal regurgitation + Infected
endocarditis

VI. RESUME
Anak laki-laki, usia 11 tahun
dibawa ke RS Prabumulih dengan keluhan utama sesak napas dan keluhan tambahan
batuk dan sakit kepala. ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh
demam, demam muncul mendadak, bersifat hilang timbul tanpa diobati. Penderita
juga mengeluh batuk dan nyeri menelan. Batuk dengan dahak berwarna bening.
Penderita berobat ke Puskesmas terdekat, dan diberi 3 macam obat yang tidak diingat
namanya. ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, demam penderita tidak kunjung turun.

9
Nyeri menelan berkurang, tetapi batuk masih ada. Penderita mulai merasa nyeri pada
lutut dan mata kaki sebelah kiri, nyeri tidak berpindah-pindah. Selain itu penderita
juga merasa sesak napas. Sesak dipengaruhi aktivitas, terutama bila berjalan jauh.
Pasien juga merasa jantung berdebar-debar. Penderita dibawa berobat ke RS
Prabumulih dan dirawat selama 7 hari. Pasien lalu dirujuk ke RS Mohammad Hoesin
untuk evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu 36,8 oC, napas
20 x/menit, nadi 130 x/menit. Pada pemeriksaan keadaan spesifik didapatkan thrill(+),
batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas kiri jantung ICS VI 1 jari medial dari
linea axillaris anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS V linea parasternalis
dextra, kardiomegali (+), murmur (+) sistolik dan gallop (-).
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 25 Maret 2019, diperoleh hasil Hb 9,6
g/dL, RBC 3,78x106/mm3, Leukosit 15.310/mm3, Hematokrit 29% dan Trombosit
565.000/μl. Pada pemeriksaan rontgen thorax tanggal 15 Maret 2019 diperoleh
gambaran jantung yang membesar.

VII. DAFTAR MASALAH


1. Sesak napas
2. Batuk
3. Sakit kepala
4. Gizi buruk

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Decompensatio cordis NYHA II ec. Penyakit Jantung Rematik + Gizi Buruk
2. TBC

IX. DIAGNOSIS KERJA


Decompensatio cordis NYHA II ec. Penyakit Jantung Rematik + Gizi Buruk

X. TATALAKSANA
A. Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan
C. Farmakologis
- Benzatin penisilin G 1 x 900.000 unit iv
D. Diet
Jantung
E. Edukasi

10
- Mengurangi aktivitas fisik dan stres
- Menjelaskan tentang lama pemberian antibiotik profilaksis sekunder dan efek
samping pengobatan
- Menjelaskan perlunya menjaga personal hygiene, terutama kebersihan gigi dan
mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis
- Menjelaskan prognosis penyakit

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

X. FOLLOW UP

Tanggal 30 Maret 2019


S Sesak berkurang, batuk (+), sakit kepala (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 121 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,2oC
Keadaan spesifik Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-),
Kepala epistaksis (-), atrofi papil lidah (-)
Leher JVP (5-2) cm H2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi
Paru intercostal (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (+)
Jantung
Perkusi: Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas
kiri jantung ICS VI 1 jari medial dari linea axillaris
anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS V linea
parasternalis dextra.

11
Auskultasi: HR 121 x/menit. BJ I-II (+) normal, murmur
(+) sistolik, gallop (+)
Inspeksi: cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi: Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Abdomen Perkusi:Timpani
Auskultasi: Bising usus normal, 4 x / menit
Tidak diperiksa
Edema (-), sianosis (-), capillary refill < 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-), clubbing finger (-)

Genitalia
Ekstremitas
A Decompensasio cordis NYHA II e.c. Penyakit Jantung
Rematik + Gizi Buruk
P Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan
Farmakologis
- Benzatin penisilin G 1 x 900.000 unit iv (diberikan
25/3/2019)
- Prednison 4 x 12,5 mg po
- Furosemide 2 x 20 mg iv
- Captopril 2 x 6,25 mg po

Tanggal 31 Maret 2019


S Sesak(-), batuk (+), sakit kepala (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 134 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,6oC
Keadaan spesifik Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-),
Kepala epistaksis (-), atrofi papil lidah (-)
JVP (5-2) cm H2O
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi

12
Paru intercostal (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (+)
Jantung
Perkusi: Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas
kiri jantung ICS VI 1 jari medial dari linea axillaris
anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS V linea
parasternalis dextra.
Auskultasi: HR 134 x/menit. BJ I-II (+) normal, murmur
(+) sistolik, gallop (+)
Inspeksi: cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi: Dinding perut lemas, turgor kulit baik, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Abdomen Perkusi:Timpani
Auskultasi: Bising usus normal, 5 x / menit
Tidak diperiksa
Edema (-), sianosis (-), capillary refill < 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-), clubbing finger (-)

Genitalia
Ekstremitas
A Decompensasio cordis NYHA II e.c. Penyakit Jantung
Rematik + Gizi Buruk
P Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan
Farmakologis
- Benzatin penisilin G 1 x 900.000 unit iv (diberikan
25/3/2019)
- Prednison 4 x 12,5 mg po
- Furosemide 2 x 20 mg iv
- Captopril 2 x 6,25 mg po
- Digoxin 2 x 0,125 mg po
- Spironolacton 2 x 25 mg po
- N-acetylsistein 2 x 200mg po

Tanggal 1 April 2019


S Sesak(-), batuk (+), sakit kepala (-), nyeri perut (+), mual
(+), muntah (-)
O:

13
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 133 x/menit
Pernapasan 21 x/ menit
Temperatur 36,5oC
Keadaan spesifik Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-),
Kepala epistaksis (-), atrofi papil lidah (-)
JVP (5-2) cm H2O
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi
Paru intercostal (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (+)
Jantung
Perkusi: Batas atas jantung linea parasternal ICS II, batas
kiri jantung ICS VI 1 jari medial dari linea axillaris
anterior sinistra, dan batas kanan jantung ICS V linea
parasternalis dextra.
Auskultasi: HR 133 x/menit. BJ I-II (+) normal, murmur
(+) sistolik, gallop (+)
Inspeksi: cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi: Dinding perut lemas, nyeri tekan (+), turgor kulit
baik, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Abdomen Perkusi:Timpani
Auskultasi: Bising usus normal, 5 x / menit
Tidak diperiksa
Edema (-), sianosis (-), capillary refill < 3 detik, akral
hangat (+), nyeri sendi (-), clubbing finger (-)

Genitalia
Ekstremitas
A Decompensasio cordis NYHA II e.c. Penyakit Jantung
Rematik + Gizi Buruk
P Non-farmakologis
Bed rest dan balans cairan

14
Farmakologis
- Benzatin penisilin G 1 x 900.000 unit iv (diberikan
25/3/2019)
- Prednison 4 x 12,5 mg po
- Furosemide 2 x 20 mg iv
- Captopril 2 x 6,25 mg po
- Digoxin 2 x 0,125 mg po
- Spironolacton 2 x 25 mg po
- Antasida 3 x 1 po
- N-acetylsistein 2 x 200mg po
- Omeprazole 1 x 20mg iv

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penyakit Jantung Rematik


3.1.1 Definisi
Penyakit Jantung Rematik (PJR) merupakan kerusakan katup jantung yang
disebabkan oleh respon imun abnormal terhadap infeksi Streptokokus yang terjadi
saat demam rematik sebelumnya. PJR lebih sering terjadi pada pasien yang
mengalami keterlibatan jantung berat pada serangan demam rematik akut.
Walaupun karditis dan deman rematik dapat mengenai perkardium, miokardium
dan endokardium, namun kelainan yang menetap hanya ditemukan pada
endokardium, terutama katup jantung. Katup yang sering terkena adalah katup
mitral dan aorta yang kelainannya dapat berupa insufisiensi tetapi bila penyakit
telah berlangsung lama dapat berupa stenosis.
Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang menyerang multisistem
akibat infeksi dari Streptokokus β-hemolitikus grup A pada faring (faringitis) yang
biasanya menyerang anak dan dewasa muda. Demam rematik menyebabkan

15
terjadinya peradangan yang biasanya terjadi pada jantung, kulit dan jaringan ikat.
Pada daerah endemik, 3% pasien yang mengalami faringitis oleh Streptokokus
berkembang menjadi demam rematik dalam 2 - 3 minggu setelah infeksi saluran
nafas bagian atas tersebut.

3.1.2 Etiologi
Streptokokus adalah bakteri gram positif yang ciri khasnya berpasangan atau
membentuk rantai selama pertumbuhannya. Terdapat sekitar dua puluh spesies
Streptokokus, termasuk Streptococcus pyogenes (grup A), Streptococcus agalactie
(grup B) dan Enterococci (grup D). Secara morfologi, Streptokokus merupakan
bakteri berbentuk batang atau ovoid dan tersusun seperti rantai yang membentuk
gambaran diplokokus atau terlihat seperti bentuk batang. Panjang rantai sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dinding sel Streptokokus
mengandung protein (antigen M, R, dan T), karbohidrat (spesifik untuk tiap grup),
dan peptidoglikan. Pada Streptokokus grup A, terdapat juga pili yang tersusun dari
sebagian besar protein M yang dilapisi asam lipoteikoat. Pili ini berperan penting
dalam perlekatan Streptokokus ke sel epitel.
Banyak Streptokokus mampu menghemolisa sel darah merah secara in vitro
dengan berbagai derajat. Apabila Streptokokus menghemolis sempurn sel darah
merah yang ditandai dengan adanya area yang bersih (clear zone) disebut sebagai
β-hemolitikus. Sedangkan apabila hemolisa dari sel darah merah tidak sempurna
dan menghasilkan pigmen berwarna hijau disebut α-hemolitikus. Dan Streptokokus
lain yang tidak mengalami hemolisa disebut γ-hemolitikus.
Streptokokus β-hemolitikus grup A, seperti Steptococcus pyogenes
merupakan agen pencetus yang menyebabkan terjadinya demam rematik akut.
Tidak semua serotip Streptokokus grup A dapat menimbulkan demam rematik.
Serotip tertentu Streptokokus β-hemolitikus grup A, misalnya serotip M tipe 1, 3, 5,
6, 18, 24 lebih sering diisolasi dari penderita dengan demam rematik akut. Namun,
karena serotip tidak diketahui pada saat diagnosis klinis faringitis Streptokokus,
klinisi harus menganggap bahwa semua Streptokokus grup A mempunyai
kemampuan menyebabkan demam rematik, karena itu semua episode faringitis
Streptokokus harus diobati.

16
Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes.
Apabila tidak ada antibodi spesifik tipe-M, organisme ini mampu bertahan terhadap
proses fagositosis oleh polimorfonuklear. Protein M dan antigen pada dinding sel
Streptokokus memiliki peranan penting dalam patogenesis demam rematik.

3.1.3 Patogenesis
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik,
yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host
(manusia), dan faktor lingkungan. Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan
bagian atas dan melekat pada jaringan faring. Adanya protein M menyebabkan
organisme ini mampu menghambat fagositosis sehingga bakteri ini dapat bertahan
pada faring selama 2 minggu, sampai antibodi spesifik terhadap Streptokokus
selesai dibentuk.
Protein M, faktor virulen yang terdapat pada dinding sel Streptokokus,
secara immunologi memiliki kemiripan dengan struktur protein yang terdapat
dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup jantung
(laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan nukleus kaudatus
(lysogangliosides) yang terdapat diotak . Adanya kemiripan pada struktur molekul
inilah yang mendasari terjadinya respon autoimun pada demam rematik. Kelainan
respon imun ini didasarkan pada reaktivitas silang antara protein M Streptokokus
dengan jaringan manusia yang akan mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang
telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin dan antibodi spesifik yang secara
langsung menyerang protein tubuh manusia yang mirip dengan antigen
Streptokokus. Seperti pada korea Sydenham, ditemukan antibodi pada nukleus
kaudatus otak yang lazim ditemukan terhadap antigen membran sel Streptokokus.
Dan ditemukannya antibodi terhadap katup jantung yang mengalami reaksi silang
dengan N-acetylglucosamine, karbohidrat dari Streptokokus grup A, membuktikan
bahwa antibodi bertanggung jawab terhadap kerusakan katup jantung.
Genetik juga berperan terhadap kerentanan terjadinya demam rematik,
namun mekanisme yang pasti belum diketahui. Resiko terjadinya demam rematik
setelah faringitis oleh Streptokokus, pada mereka yang mempunyai kerentanan
secara genetik, adalah sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang tidak rentan
secara genetik. Telah diidentifikasi suatu alloantigen pada sel B dari 75% penderita

17
demam rematik, sedangkan hanya didapatkan 16% pada yang bukan penderita.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa antigen HLA-DR merupakan petanda
PJR.
Akhirnya, faktor lingkungan berhubungan erat terhadap perkembangan
demam rematik. Kebersihan lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal,
sarana kesehatan yang kurang memadai juga pemberian antibiotik yang tidak
adekuat pada pencegahan primer dan sekunder demam rematik, meningkatkan
insidensi penyakit ini.

3.1.4 Manifestasi Klinis


Terdapat periode laten selama 3 minggu (1-5 minggu) antara infeksi
Streptokokus dengan munculnya manifestasi klinis demam rematik. Namun pada
korea dan karditis, periode latennya mungkin memanjang sampai 6 bulan. Gejala
faringitis Streptokokus umumnya tidak spesifik, hanya dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan antibodi terhadap Streptokokus. Manifestasi klinis demam
rematik yang paling sering dijumpai adalah demam dan poliarthritis. Poliarthitis
didapati pada 60-75% kasus dan karditis pada 50-60%. Prevalensi terjadinya
korea bervariasi antar populasi, yakni antara 2-30%. Sedangkan eritema
marginatum dan nodulus subkutan jarang dijumpai, sekitar kurang dari 5% kasus
demam rematik.
1) Manifestasi Mayor
 Karditis
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam
rematik akut dan menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium
akut penyakit. 40-60% pasien demam rematik akut berkembang
menjadi PJR. Karditis ini mempunyai gejala yang nonspesifik meliputi
mudah lelah, anoreksia, demam ringan, mengeluh nafas pendek,
nyeri dada dan arthalgia. Karena manifestasi yang tidak spesifik dan
lamanya timbul gejala, setiap pasien yang datang dengan manifestasi
lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis.
Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi harus
selalu dilakukan. Pasien yang pada pemeriksaan awal tidak dijumpai
adanya karditis harus terus dipantau sampai tiga minggu berikutnya.
Jikalau karditis tidak muncul dalam 2-3 minggu pascainfeksi, maka

18
selanjutnya ia jarang muncul.
Miokardium, endokardium dan perikardium juga sering terlibat
dalam karditis. Miokarditis biasanya terjadi dengan adanya
takikardi, pembesaran jantung dan adanya tanda gagal jantung.
Perikarditis sering dialami dengan adanya nyeri pada jantung dan nyeri
tekan. Pada auskultasi juga sering dijumpai adanya bising gesek yang
terjadi akibat peradangan pada perikardium parietal dan viseral. Bising
gesek ini dapat didengar saat sistolik maupun diastolic.Diagnosa karditis
ditegakkan dengan menemukan 1 dari 4 kriteria dibawah ini:
a) Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi yang
menunjukkan adanya insufisiensi aorta atau insufisiensi mitral saja,
tanpa adanya bising jantung organik tidak dapat disebut sebagai
karditis.
b) Perikarditis (bising gesek, efusi perikardium, nyeri dada, perubahan
EKG).
c) Kardiomegali pada foto toraks, dan
d) Gagal jantung kongestif
 Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi yang paling sering dari demam
rematik, terjadi pada sekitar 70% pasien demam rematik. Arthritis
menunjukkan adanya radang sendi aktif yang ditandai nyeri hebat,
bengkak, eritema dan demam. Nyeri saat istirahat yang menghebat pada
gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi-sendi besar seperti, sendi lutut, pergelangan kaki,
siku, dan pergelangan tangan. Arthritis rematik bersifat asimetris
dan berpindah-pindah (poliarthritis migrans). Peradangan sendi ini dapat
sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada
sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, arthritis sembuh dalam 1
minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Arthritis
demam rematik ini berespon baik dengan pemberian asam salisilat.
 Korea Sydenham
Korea Sydenham terjadi pada 13-34% kasus demam rematik dan
dua kali lebih sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan
keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,
dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari korea ini cukup lama,

19
sekitar 3 minggu sampai 3 bulan dari terjadinya demam rematik. Gejala
awal biasanya emosi yang labil dan iritabilitas. Lalu diikuti dengan
gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan dan inkoordinasi
muskular. Semua otot dapat terkena, namun otot wajah dan
ekstremitas adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat
dengan adanya stress dan kelelahan namun menghilang saat pasien
beristirahat. Emosi pasien biasanya labil, mudah menangis,
kehilangan perhatian, gelisah dan menunjukkan ekspresi yang tidak
sesuai. Apabila proses bicara terlibat, pasien terlihat berbicara
tertahan-tahan dan meledak-ledak.Meskipun tanpa pengobatan, korea
dapat menghilang dalam 1-2 minggu. Namun pada kasus berat,
meskipun diobati, korea dapat bertahan 3- 4 bulan bahkan sampai 2
tahun.
 Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada demam
rematik yang terjadi kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal,
makular, berwarna merah jambu atau kemerahan dengan tepi
eritema yang menjalar dari satu bagian ke bagian lain, mengelilingi kulit
yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, dengan
bagian tengah yang terlihat lebih pucat, muncul paling sering pada
batang tubuh dan tungkai proksimal namun tidak melibatkan wajah.
Eritema biasanya hanya dijumpai pada pasien karditis, seperti halnya
nodulus subkutan.
 Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus.
Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku,
ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit
kepala dan di atas kolumna vertebralis (Carapetis, 2010). Ukuran
nodul bervariasi antara 0,5-2 cm, tidak nyeri, padat dan dapat bebas
digerakkan. Kulit yang menutupinya dapat bebas digerakkan dan pucat,
tidak menunjukkan tanda peradangan. Nodul ini biasanya muncul pada
karditis rematik dan menghilang dalam 1-2 minggu.

20
2) Manifestasi Minor
Demam hampir selalu terjadi pada poliarthritis rematik. Suhunya

jarang mencapai 40oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu,
walau tanpa pengobatan. Arthralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-
tanda objektif (misalnya nyeri, merah, hangat) juga sering dijumpai. Arthalgia
biasa melibatkan sendi-sendi yang besar.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam rematik akut dengan
gagal jantung oleh karena distensi hati. Anoreksia, mual dan muntah
juga sering muncul, namun kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau
akibat keracunan salisilat. Epistaksis berat juga mungkin dapat terjadi. Pada
penderita yang belum diobati, biakan usapan faring sering positif bakteri
Streptokokus hemolitikus. Titer antisteptolisin-O (ASTO) akan meningkat.
Kadar antibodi ini akan mencapai puncak sekitar satu bulan pascainfeksi
dan menurun sampai normal setelah sekitar 2 tahun, kecuali pada
insufisiensi mitral yang dapat bertahan selama beberapa tahun. Laju endap
darah juga hampir selalu meningkat, begitu juga dengan protein C-reaktif.
Pada pemeriksaan EKG, sering menunjukkan sinus takikardia,
namun terkadang dapat dijumpai normal. Pemanjangan interval P-R terjadi
pada 28-40% pasien. Pemanjangan interval P-R ini tidak berhubungan
dengan kelainan katup atau perkembangannya.

3.1.5 Diagnosa
Demam rematik dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, dapat
sendiri atau bersama-sama. Tidak ada satu manifestasi klinis atau uji laboratorium
yang cukup khas untuk diagnostik, kecuali korea Sydenham murni, dan karena
diagnosis harus didasarkan pada kombinasi beberapa temuan. Semakin banyak
jumlah manifestasi klinis maka akan semakin kuat diagnosis.
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria untuk
diagnostik yang didasarkan pada manifestasi klinis dan penemuan laboratorium
sesuai dengan kegunaan diagnostiknya. Manifestasi klinis demam rematik dibagi
menjadi kriteria mayor dan minor, berdasarkan pada prevalensi dan spesifisitas
dari manifestasi klinis tersebut.
Dasar diagnosis pada pasien demam rematik: (1) Highly probable (sangat
21
mungkin) yaitu jika ditemui 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor
ditambah 2 manifestasi minor disertai bukti infeksi Streptokokus β-hemolitikus
grup A yaitu dengan peningkatan ASTO atau kultur positif. (2) Doubtful
diagnosis (meragukan) yakni jika terdapat 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi
mayor ditambah 2 manifestasi minor namun tidak terdapat bukti infeksi
Streptokokus β-hemolitikus grup A. (3) Exception (pengecualian) yakni jika
diagnosis demam rematik dapat ditegakkan bila hanya ditemukan korea saja atau
karditis indolen saja.
Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan melanjutkan penggunaan
kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk demam rematik serangan
pertama dan serangan rekuren demam rematik pada pasien yang diketahui
tidak mengalami penyakit jantung rematik. Untuk serangan rekuren demam
rematik pada pasien yang sudah mengalami penyakit jantung rematik, WHO
merekomendasikan menggunakan minimal dua kriteria minor disertai adanya
bukti infeksi SGA sebelumnya.

Tabel 1. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan
Penyakit Jantung Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria
 Demam rematik serangan pertama  Dua mayor atau satu mayor dan dua
minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
 Demam rematik serangan rekuren  Dua mayor atau satu mayor dan dua
tanpa PJR minor ditambah dengan bukti infeksi
SGA sebelumnya
 Demam rematik serangan rekuren  Dua minor ditambah dengan bukti
dengan PJR infeksi SGA sebelumnya
 Korea Sydenham  Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SGA
 PJR (stenosis mitral murni atau  Tidak diperlukan kriteria lainnya
kombinasi dengan insufisiensi mitral untuk mendiagnosis sebagai PJR
dan/atau gangguan katup aorta)

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor


 Karditis  Klinis
 Poliartritis migrans - Artralgia
 Korea - Demam

22
 Eritema marginatum  Laboratorium
 Nodulus subkutan - Peningkatan reaktan fase akut yaitu:
LED dan atau CRP yang meningkat
- Interval PR yang memanjang

ASTO (Anti Streptolisin Titer O)


Streptokokus merupakan bakteri gram positif yang memiliki banyak grup
(A-H dan K-O). Organisme ini memproduksi enzim, dimana streptokokus grup C,
D, dan A memproduksi enzim yang sama, yaitu streptolisin O. Streptolisin O
merupakan toksin hemolitik oksigen-labil yang menyebabkan hemolisis pada sel
darah merah.
Ketika tubuh terinfeksi oleh salah satu grup streptokokus tersebut, tubuh
memproduksi antibodi terhadap toksin streptolisin O yang disebut sebagai
antistreptolisin O atau ASO. Titer ASO merupakan tes yang digunakan untuk
mengukur kadar antibodi ini dalam serum darah. Kadar antibodi ini mulai
meningkat pada minggu ke 1-3 setelah infeksi streptokokal, mencapai puncak pada
minggu ke 3-5, kemudian perlahan menurun dan kembali pad akadar normal dalam
6-12 bulan, sehingga hasil tes positif dapat mengindikasikan adanya infeksi yang
sedang berlangsung ataupun mendukung penegakan diagnosis komplikasi post
infeksi streptokokus. Tes ulang perlu dilakukan pada 10 hari setelah tes pertama
untuk melihat peningkatan titer.
Banyak manusia terpapar oleh bakteri streptokokus tanpa menunjukkan
gejala, sehingga keberadaan ASO sendiri tidak dapat mengindikasikan adanya
penyakit, namun titer dalam kadar lebih dari 166 Todd unit secara umum dianggap
sebagai peningkatan yang nyata dan dianggap sebagai ASO positif pada dewasa.

3.1.6 Tata Laksana


Semua pasien demam rematik akut harus menjalani tirah baring, jika
mungkin di rumah sakit. Lama dan tingkat tirah baring tergantung pada sifat dan
keparahan serangan. Pasien harus diperiksa setiap hari untuk menemukan valvulitis
dan untuk memulai pengobatan dini apabila terjadi gagal jantung. Karena karditis
hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, maka pengamatan
ketat harus dilakukan selama masa itu.

23
Tabel 2. Pedoman Tirah Baring dan Rawat Jalan pada Pasien Demam Rematik
Hanya Karditis Karditis
Karditis Berat
Artritis Ringan Sedang
Tirah baring 1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu Selama masih
terdapat gagal
jantung kongestif
Ambulasi bertahap 1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
(boleh rawat jalan
bila tidak mendapat
steroid)

Eradikasi Streptokokus merupakan syarat utama dalam pengobatan demam


rematik akut, sedangkan pengobatan lain bergantung pada manifestasi klinis
penyakit. Pengobatan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan cara
pengobatan faringitis Streptokokus, yakni:
 Benzatin penicillin G, dosis tunggal
- Untuk BB ≥ 27 kg: dosis 1,2 juta unit, dan
- Untuk BB ≤ 27 kg : dosis 600.000-900.000 unit
 Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin 50.000 Iµ/kgBB selama 10
hari
 Jika alergi terhadap penisilin dapat digunakan:
- Sefalosporin spektrum sempit: sefaleksin, sefadroksil
- Klindamisin: 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maks. 1,8 g/hari)
selama 10 hari
- Azitromisin: 12 mg/kgBB/hari dosis tunggal (dosis maks. 500 mg) selama 5
hari
- Klaritomisin: 15 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis (maks. 250 mg/hari) selama
10 hari
- Eritromisin 40 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 kali sehari (dosis maksimum
1g/hari) selama 10 hari
 Alternatif lain:
- Penisilin V (Phenoxymethylpenicilin) oral: BB > 27 kg 2-3 x 500 mg
BB ≤ 27 kg 2-3 x 250 mg
- Amoksisilin (oral): 50 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (maks. 1 g) selama 10
hari

24
Pengobatan antiradang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut
demam rematik. Pada pasien arthritis, manifestasi akan berkurang dengan
pemberian obat antiradang (salisilat atau steroid). Pada pasien karditis terutama
karditis berat, aspirin sering kali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa
tidak enak serta takikardia, sehingga harus ditangani dengan steroid, misalnya
prednisone. Kriteria beratnya karditis adalah: (1) Karditis minimal, jika tidak jelas
ditemukan adanya kardiomegali. (2) Karditis sedang apabila dijumpai kardiomegali
ringan, dan (3) Karditis berat apabila jelas terdapat kardiomegali yang disertai
tanda gagal jantung.

Tabel 3. Panduan Obat Anti Inflamasi


Karditis Karditis Karditis
Hanya Artritis
Ringan Sedang Berat
Prednison - - 2-4 mgg* 2-6 mgg*
Aspirin a. 100 mg/kgBB/hr
dalam 4-6 dosis (2
mgg)
b. Kemudian dosis 3-4 mgg** 6-8 mgg 2-4 bln
dikurangi menjadi
60 mg/kgBB/hari
(4-6 mgg)
Dosis:
Prednison : 2 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis selama 2 minggu dan diturunkan
sedikit demi sedikit (tapering off ) dengan pengurangan dosis harian
sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari.Bila penurunan ini dimulai, aspirin 75
mg/kgbb/hari dalam 2 minggu dan dilanjutkan selama 6 minggu
Aspirin : 100mg/kgbb/hari dibagi dalam 4-6 dosis; setelah minggu ke-2 dosis
aspirin diturunkan menjadi 60 mg/kgbb/hari.

Pada pasien korea yang ringan, umumnya hanya membutuhkan tirah baring.
Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan
korea. Obat yang paling sering diberikan adalah fenobarbital dan haloperidol.
Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6-8 jam. Haloperidol dimulai

25
dengan dosis rendah (0,5mg), kemudian dinaikkan sampai 2,0 mg tiap 8 jam,
bergantung pada respon klinis. Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg tiap 8
jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat
berat dapat diberikan steroid.

3.1.7 Pencegahan
Pencegahan primer demam rematik berarti mengeradikasi Streptokokus saat
terjadi infeksi saluran pernafasan bagian atas (faringitis) dengan pemberian
antibiotik yang adekuat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya demam rematik
akut. Diagnosis faringitis yang tepat sangat diperlukan untuk dapat memberikan
terapi antibiotik yang tepat juga. Antibiotik akan efektif mengeradikasi
Streptokokus dari saluran pernafasan atas dan mencegah demam rematik, apabila
diberikan dalam 9 hari sejak munculnya gejala faringitis.
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya demam rematik
berulang dan penyakit jantung rematik. Pencegahan sekunder ini wajib dilakukan
pada pasien yang pernah mengalami demam rematik baik dengan atau tanpa
adanya gangguan pada katup jantung. Untuk pencegahan sekunder digunakan:
 Benzatin penisilin G:
BB ≤ 27 kg = 600.000 unit
Setiap 3 atau 4 minggu, i.m
BB > 27 kg = 1,2 juta unit
 Alternatif lain:
Penisilin V : 2x 250 mg, oral
Sulfadiazin : BB ≤ 27 kg 500 mg sekali sehari
BB > 27 kg 1000 mg sekali sehari
Bila alergi terhadap Penisilin dan Sulfadiazin dapat diberikan:
- Eritromisin
- Klaritomisin
- Azitromisin
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada
berbagai faktor, yakni: waktu serangan, jumlah serangan demam rematik
sebelumnya, usia pertama kali terkena demam rematik, ada atau tidaknya PJR, ada
atau tidaknya riwayat keluarga yang menderita PJR, tingkat sosioekonomi dan
keadaan lingkungan lainnya (WHO, 2004). Makin muda saat terkena demam

26
rematik, makin besar kemungkinan kumat, namun setelah pubertas kemungkinan
kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi pada 5 tahun pertama.
Pasien dengan karditis lebih mudah kumat daripada pasien tanpa karditis.

Tabel 4. Durasi Pencegahan Sekunder yang disarankan (WHO, 2004)


Kategori Lama pemberian setelah serangan terakhir
Demam rematik dengan karditis dan Selama 10 tahun atau sampai usia 40 tahun,
penyakit jantung residual (kelainan pada beberapa kondisi (risiko tinggi terjadi
katup persisten) rekuren) dapat seumur hidup

Demam rematik dengan karditis Selama 10 tahun atau sampai usia 21 tahun
tetapi tanpa penyakit jantung
residual (tanpa kelainan katup)

Demam rematik tanpa karditis Selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun

2.2 DECOMPENSATIO CORDIS


2.2.1 Definisi
Decompensatio cordis atau gagal jantung adalah suatu keadaan dimana
jantung tidak mampu untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.

2.2.2 Patofisiologi
Jantung normal dapat merespon penigkatan kebutuhan metabolisme
menggunakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan cardiac output. Ini
meliputi: respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor,
pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap
peningkatan volume, vasokonstruksi arteri renal dan aktivasi sistem renin-
angiotensin, dan respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dari reabsorpsi
cairan. Mekanisme gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas

27
jantung sehingga curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep
curah jantung baik: CO = HR x SV (CO: Cardiac Output/curah jantun, HR: Heart
Rate/frekuensi jantung, SV: Stroke Volume). Bila curah jantung berkurang, sistem
saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi
jaringan , maka volume sekuncup jantung yang mempertahankan curah jantung.
Pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot
jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat
dipertahankan. Tiga faktor yang mempengaruhi volume sekuncup adalah preload,
kontraktilitas, dan afterload.

2.2.3 Tanda dan Gejala


 Tanda
 Mekanisme kompensasi
 Takikardi
 Kardiomegali
 Kongesti vena pulmonal
 Takipnea
 Sesak napas
 Retraksi subkostal
 Wheezing pada bayi
 Kongesti vena sistemik
 Hepatomegali
 Distensi pembuluh darah di leher
 Edema pergelangan kaki
 Berkurangnya keluaran jantung (cardiac output)
 Ekstremitas dingin
 Berkurangnya kualitas/isi nadi
 Pengisian kapiler lama
 Gejala
 Bayi
 Pola makan buruk
 Gagal tumbuh kembang
 Napas pendek
 Keringat berlebihan
 Infeksi rekuren saluran perapasan bawah
 Anak-anak besar dan dewasa
 Malaise
 Napas pendek saat aktivitas
 Toleransi untuk berolahraga yang berkurang
 Penambahan berat badan (retensi cairan)
 Orthopnea

28
2.2.4 Alur Diagnosis Decompensatio Cordis
Dalam menegakkan diagnosis, diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang meliputi foto dada, elektrokardiografi, ekhografi,
analisis gas darah, dan melihat petanda biologis gagal jantung.
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai adanya:
 Sesak napas, terutama saat beraktivitas
 Sering berkeringat (Peningkatan tonus simpatis)
 Ortopnea : Sesak nafas yang mereda pada posisi tegak
 Dapat dijumpai mengi
 Edema di perifer atau pada bayi biasanya di kelopak mata

Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik, antara lain:
Kompensasi karena fungsi jantung yang menurun maka akan tampak:
 Takikardia
 Irama galop
 Peningkatan rangsangan simpatis, keringat dan kulit dingin/ lembab
 Kardiomegali
 Gagal tumbuh
Tanda kongesti vena pulmonalis (gagal jantung kiri)
 Takipnea
 Ortopnea
 Wheezing atau ronki pada auskultasi paru
 Sesak nafas terutama saat beraktivitas
Tanda kongesti vena sistemik (gagal jantung kanan)
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Edema perifer: palpebra udem pada bayi, udem tungkai pada anak,
 Hepatomegali: kenyal dan tepi tumpul
Pemeriksaan penunjang
 Elektrokardiogram (EKG): pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan
pada semua pasien diduga gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai
pada gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%)

29
 Foto Toraks: merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal
jantung akut dan kronik
 Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien
diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit,
trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes
fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai
tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang
dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi,
meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan
diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB
(Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA) ada 4 kelas, yaitu:
 Kelas I: Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
 Kelas II: Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas
 Kelas III: Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
 Kelas IV: Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa keluhan. Terdapat gejala
saat istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
Tabel 5. Klasifikasi Framingham
Kriteria Mayor Kriteria Minor
 Sesak saat tidur terlentang  Edema tungkai bawah
 Sesak terutama malam hari  Batuk-batuk malam hari
 Peningkatan tekanan vena jugularis  Sesak napas saat aktivitas
 Ronki basah halus sehari-hari
 Pembesaran jantung  Pembesaran hari
 Edema paru  Penurunan kapasitas vital 1/3
 Gallop S3 dari normal
 Waktu sirkulasi memanjang >25  Efusi pleura

30
detik  Takikardia
 Refluks hepatojugular
 Penurunan berat badan karena
respons dengan pengobatan
Menurut klasifikasi Framingham, diagnosis gagal jantung didasarkan pada
adanya 2 kriteria mayor, atau adanya 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.
Kriteria Framingham memiliki sensitivitas yang baik tetapi spesifisitas-nya kurang
baik yaitu sensitivity 96% dan specificity 78%.

Tabel 6. Klasifikasi Ross untuk Menentukan Derajat Gagal Jantung Pada Anak
0 1 2
Berkeringat dingin Kepala kepala dan badan kepala dan badan
waktu aktivitas waktu aktivitas
Takipneu Jarang kadang-kadang Sering
Pola nafas Normal retraksi Dispneu
Laju nafas (x/menit)
 0-1 tahun <50 50-60 >60
 1-6 tahun <35 35-45 >45
 7-10 tahun <25 25-35 >35
 11-14 tahun <18 18-28 >28
HR (x/menit)
 0-1 tahun <160 160-170 >170
 1-6 tahun <105 105-115 >115
 7-10 tahun <90 90-100 >100
 11-14 tahun <80 80-90 >90
Jarak tepi hepar dari <2 cm 2-3 cm >3 cm
batas kostae
- Tanpa gagal jantung : 0-2 poin
- Gagal jantung ringan : 3-6 poin
- Gagal jantung sedang : 7-9 poin
- Gagal jantung berat : 10-12 poin

2.2.6 Tatalaksana
1. Istirahat di tempat tidur, posisi setengah duduk. Bayi ditidurkan dengan posisi
30-45 derajat.
2. Berikan oksigen (2-4 L/menit)
3. Berikan cairan ¾ kebutuhan normal perhari. Bila terdapat anemia berat berikan
transfusi darah (packed cell) terlebih dahulu, jumlah: 5-10 cc/kgBB diberikan
selama 2-3 jam
4. Medikamentosa:
a. Diuretika (furosemid) 1-2 mg/Kg/ kali iv diberikan dua kali per hari
b. Digitalisasi

31
Digitalisasi awal digoksin 30-50 ʮg/ KgBB sehari peroral dengan cara
pemberian:
 ½ dosis diberikan pertama kali
 ¼ dosis 8 jam kemudian
 ¼ dosis diberikan 16 jam setelah dosis pertama
Dosis pemeliharaan digoksin (oral) 10-20 ʮg/ Kg diberikan ada hari
kedua dan seterusnya. Indikasi digitalis: takikardia, atrial flutter,
kardiomiopati.
Untuk dekompensasi dengan NYHA derajat I-III dapat langsung dengan
dosis pemeliharaan. Hati-hati pemberian digitalis pada DR/PJR,
bronkopneumonia. Digitalis tidak boleh diberikan pada stenosis aorta,
stenosis pulmonal, koarktasio aorta, anemia (Hb< 6g%).
c. Vasodilator
Diberikan pada:
Dapat diberikan kaptopril oral, dengan dosis 0,1-2 mg/KgBB/kali
dengan dosis maksimum 6 mg/KgBB/hari (dipilih dosis
rendah).diberikan dalam tiga kali pemberian.
5. Atasi penyakit utama atau penyakit penyerta (RHD), bronkopneumonia,
anemia, CHD, dan lain-lain.
6. Diet rendah garam
7. Pengawasan yang ketat terhadap gejala klinik untuk menilai:
 Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas
 Berat badan
 Tekanan vena jugularis
 Pembesaran hati, edema
 Produksi urin dalam 24 jam

2.2.7 Prognosis
Tergantung faktor pencetus/ penyebab yang mendasari;
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
 Ad fungsionam : dubia ad malam

32
BAB IV
ANALISIS KASUS

Anak laki-laki, usia 11 tahun dibawa ke RS Prabumulih dengan keluhan utama


demam dan keluhan tambahan batuk dan nyeri menelan. Keluhan demam > 7 hari dapat
dipikirkan demam rematik akut, tifoid, malaria, TBC, serta endokarditis infektif. Demam
merupakan kriteria minor untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung rematik. Selain
itu, dari anamnesis, penderita mengeluh nyeri pada lutut dan mata kaki (arthritis) yang juga
merupakan kriteria minor pada penyakit jantung rematik. Sedangkan untuk menegakkan
diagnosis penyakit jantung rematik yaitu memenuhi 2 kriteria mayor atau 2 minor + 1
mayor. Pada kasus ini, kriteria mayor didapat dari anamnesis yaitu berupa takikardi,
murmur dan kardiomegali (karditis sedang). Jadi, berdasarkan anamnesis dapat dicurigai
bahwa pada pasien ini menderita penyakit jantung rematik.
Decompensatio cordis atau gagal jantung adalah suatu sindrom klinis kompleks
sebagai hasil dari setiap gangguan struktural atau fungsional terhadap pengisian ventrikel
atau ejeksi darah. Pada pasien ini ditemukan adanya takikardi (HR> 100), kardiomegali,

33
gizi buruk, batuk, sesak napas yang merupakan tanda-tanda dari decompensatio cordis.
Namun, saat anamnesis pasien mengatakan bahwa sesak yang ia rasakan hanya terjadi
ketika sedang beraktivitas berat seperti berjalan jauh. Berdasarkan hal tersebut
decompensatio cordis pada pasien ini diklasifikasikan sebagai NYHA II.

DAFTAR PUSTAKA

Beirnsten, D. 2016. Rheumatic Heart Disease. In Behrman, R.E., Kliegman, R., and Arvin,
A.M.Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 21st. Philadelphia: Elsevier.

Carapetis JR, McDonald M, Wilson NJ. Acute rheumatic fever. Lancet 2005;366:155–68.

Gewitz, M.H., Baltimore, R.S., Tani, L.Y., Sable, C.A., Shulman, S.T., Carapetis, J.,
Remenyi, B., Taubert, K.A., Bolger, A.F., Beerman, L. and Mayosi, B.M.,
2015. Revision of the Jones Criteria for the diagnosis of acute rheumatic fever
in the era of Doppler echocardiography: a scientific statement from the
American Heart Association. Circulation, 131(20), pp.1806-1818.

Ho, K.K., Pinsky, J.L., Kannel, W.B. and Levy, D., 1993. The epidemiology of heart
failure: the Framingham Study. Journal of the American College of
Cardiology, 22(4 Supplement 1), pp.A6-A13.

Mirabel, M., et al. Prevention of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease.

34
Circulation. 2014:130. p e36-e37.

Shulman, ST. 2016. Rheumatic Fever. In Behrman, R.E., Kliegman, R., and Arvin,
A.M.Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 21st. Philadelphia: Elsevier.

Subdivisi Departemen IKA RSMH. Dekompensatio Cordis. 2016. Panduan Praktik Klinik
(PPK) Divisi Kardiologi. Palembang: Departemen Kesehatan Anak RSUP. Dr.
Mohammad Hoesin.

Subdivisi Departemen IKA RSMH. Penyakit Jantung Rematik. 2016. Panduan Praktik
Klinik (PPK) Divisi Kardiologi. Palembang: Departemen Kesehatan Anak
RSUP. Dr. Mohammad Hoesin.

World Health Organization, 2004. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease : A
Report of a WHO Expert Consultation, Geneva 29 October - 1 November
2001. Geneva: World Health Organization.

35

Anda mungkin juga menyukai