Anda di halaman 1dari 3

“Ritual” bakar gereja kembali terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi,

Provinsi Riau. Di hari pertama umat Muslim menjalankan ibadah puasa,


tiga gereja di kabupaten tersebut dibakar. Yaitu, Gereja Pentakosta di
Indonesia (GPdI), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dan Gereja
Methodist Indonesia (GMI). Motifnya relatif sama, ratusan massa
mendatangi gereja, menyiramnya dengan bensin lalu membakar rumah
peribadatan umat Kristen itu. Berdasarkan informasi, pembakaran yang
dilakukan oleh ratusan massa tersebut diduga karena bangunan belum
mengantongi izin dan aktivitasnya mengganggu ibadah puasa.

Pembakaran gereja mengatasnamakan rakyat bukan pertamakalinya


terjadi di kabupaten ini. Pada bulan April 2011 lalu, satu bangunan gereja
juga hangus di lalap si jago merah. Pelakunya adalah massa pendukung
salah satu calon Bupati yang kecewa karena “jago-nya” kalah. Atas dasar
kekesalan itu, gereja yang dimanfaatkan umat Katolik Kuantan Singingi
itupun dimusnahkan.

Sejak beberapa tahun terakhir, aksi semena-mena mengatasnamakan


rakyat kerap dialamatkan kepada gereja-gereja di Provinsi Riau. Pada
tahun 2005 lalu misalnya, sedikitnya ada belasan gereja yang dibongkar
paksa atau dilarang aktivitasnya. Ironisnya lagi, beberapa kasus ada yang
sampai mengunakan cara intimidasi. Lagi-lagi, perizinan menjadi alasan
pembenar mereka menghalangi orang untuk berbakti pada Tuhannya.

Masalah izin ini memang kerap dijadikan alasan utama. Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur cara
pendirian rumah ibadah lebih berperan sebagai alat pemaksa dibandingkan
memberi jalan yang memudahkan warga negara berbakti pada Tuhannya.
Hal ini sangat ironis mengingat hubungan manusia dengan Tuhan justru
menjadi dasar negara yang paling utama di Pancasila.

Buktinya saja, beberapa kasus pembakaran, perusakan, pelarangan


pembangunan rumah ibadah yang terjadi di negeri ini selalu saja
dilandaskan pada alasan aturan tersebut. Seolah-olah, peraturan yang
dibuat manusia itu mempunyai kuasa yang lebih penting daripada
hubungan seorang umat dengan Tuhannya. Bahkan seakan dipandang
melebihi kuasa Sang Khalik itu sendiri. Lebih parahnya lagi, protes dan
aksi anarkis tersebut datang dari sekelompok warga yang pongah dengan
kemayoritasannya di negeri ini. Padahal, satu nilai yang menunjukkan
besarnya sebuah negara adalah kemampuan masyarakatnya untuk saling
menghargai. Termasuk menghargai perbedaan.

Masalah izin ini juga menimbulkan hambatan besar bagi umat Kristen di
Indonesia untuk memiliki rumah ibadah. Karena, fakta di lapangan, sangat
sulit bagi umat Kristen untuk mendapatkan izin tersebut. Kalaupun
pemerintah setuju, warga sekitar kerap enggan memberi izin dengan
alasan mengganggu ketentraman. Seakan-akan, keberadaan gereja di
lingkungan itu ditujukan sebagai markas penjahat. Sebaliknya, ketika
masyarakat menunjukkan sikap baik dilandasi toleransi yang tinggi, giliran
aparatur pemerintah yang pongah dengan fanatisme berlebihannya.

Itulah sebabnya muncul suatu istilah pada umat Kristen, tempat hiburan
malam jauh lebih gampang mendapat izin dibandingkan gereja. Bahkan,
tempat-tempat maksiat bisa lebih eksis berdiri daripada sejumlah gereja di
Provinsi Riau. Padahal, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, pemerintah daerah ini mengayomi dan menjamin semua elemen
masyarakat mendapat hak-hak dasarnya. Termasuk hak untuk beragama
dan beribadah sesuai agamanya.

Berbagai protes mungkin sudah diteriakkan terkait kasus-kasus seperti ini.


Bahkan, beberapa umat beragama lainnya menunjukkan keprihatinan yang
amat sangat. Satu contoh yang paling menonjol pernah ditunjukkan oleh
Almarhum Gus Dur yang dikenal mempunyai perhatian besar pada semua
anak-anak bangsa. Meskipun orang yang dia perhatikan itu tak menjalani
pilihan yang sama dengannya dalam meyakini Tuhan.

Namun, dari semua protes itu, jarang sekali berakhir adil bagi semua pihak.
Sebagai contoh, jarang sekali pelaku-pelaku pembakaran gereja yang
ditangkap dan di proses secara hukum. Kalaupun ada, diyakini hanya
segelintirnya saja. Penanganan yang sangat longgar inilah yang membuat
sekelompok orang tersebut leluasa menabur kebencian pada umat Kristen
dan memusnahkan gereja. Kalau saja aparat hukum maupun pemegang
roda pemerintahan mau bersikap tegas, mungkin kejadian seperti ini masih
bisa diminimalisir.

Melihat semua masalah ini, tak ada cara lain selain memberi kebebasan
yang luas serta menjamin seluruh warga negara untuk beribadah. Negara
harus mempunyai komitmen tinggi agar rakyatnya benar-benar meyakini
Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana diamanatkan Pancasila. Tentunya
salah satu instrumen untuk membuktikan itu adalah memberikan
keleluasaan pada warga negara yang juga umat Tuhan untuk beribadah
sesuai keyakinannya masing-masing.

Kecemasan dan sikap antipati yang negatif pada keberadaan umat agama
tertentu di suatu daerah sebaiknya dihilangkan dalam pikiran seluruh
masyarakat. Karena, agama bukanlah main-mainan yang dengan
mudahnya dihancurkan. Melainkan sebuah anugerah Sang Khalik agar
manusia menyadari keberadaannya yang begitu luarbiasa di dunia ini.
Jadi, daripada kita berbuat semena-mena atas dasar fanatisme negatif
pada umat beragama lain, jauh lebih baik jika kita mensyukuri Berkah
Tuhan pada kehidupan kita selama ini. Bersyukur pada kesempatan yang
diberikan Tuhan pada kita untuk menikmati dan memaklumkan perbedaan
yang ada di tengah lingkungan kita. Setuju atau tidak, segala perbedaan
yang ada di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Karena siapa yang
mempunyai kuasa yang lebih tinggi mengaminkan itu kecuali DIA?

Menghargai perbedaan memang perlu. Apalagi di tengah masyarakat yang


majemuk seperti di Indonesia. Perbedaan memang kerap menimbulkan
silang pendapat, tapi tidak harus disikapi dengan emosional dan
mengedepankan tindakan-tindakan anarkis bukan?

Anda mungkin juga menyukai