Anda di halaman 1dari 33

ARSITEKTUR PERMUKIMAN

“STUDI KASUS DESA ADAT BAYUNG GEDE”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

PUTU SAVITRI DHARMA JYOTI (1605522019)

I WAYAN SUMADI YASA (1605522024)

IDA BAGUS KANAKA KUSUMA (1605522026)

WEDA PENGASTAWAN (1605522035)

TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan Makalah mengenai “Studi Kasus Desa Adat
Bayung Gede” mata kuliah Arsitektur Permukiman. Adapun tujuan penulisan tugas ini yaitu
untuk dapat memahami dan membagi pengetahuan tentang sistem utilitas dan pengaplikasi-
annya pada bangunan.

Dengan dibuatnya tugas ini kami diharapkan mampu mengetahui dan memahami
permukiman Desa Adat Bayung Gede itu sendiri, baik dari segi pola, infrastruktur, dan lain
sebagainya.

Dalam penyelesaian tugas ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama


disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup
baik. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingannya.

Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif, guna menyempurnakan penulisan makalah ini.

Denpasar, 12 Oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................1

KATA PENGANTAR...............................................................................................2

DAFTAR ISI---------------------------------------------------------------------------------3

BAB 1 PENDAHULUAN-----------------------------------------------------------------4

1.1Latar Belakang--------------------------------------------------------------------4
1.2Rumusan Masalah----------------------------------------------------------------5

1.3 Tujuan Penulisan-----------------------------------------------------------------5

1.4 Metode Penelitian----------------------------------------------------------------6

BAB 2 TINJAUAN TEORI---------------------------------------------------------------7

2.1 Konsep Hulu – Teben Desa Adat di Bali-------------------------------7


BAB 3 PEMBAHASAN-------------------------------------------------------------------9

3.1 Konsep Hulu-Teben yang berlaku di Desa Adat Bayung Gede-----------9

3.2 Pola Perumahan Desa Adat Bayung Gede--------------------------------11

3.3 Pola Permukiman Desa Adat Bayung Gede------------------------------17

BAB 4 PENUTUP-------------------------------------------------------------------------19

DAFTAR PUSTAKA----------------------------------------------------------------------30
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman,


perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Rumah adalah
tempat tujuan akhir dari manusia.
Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai
sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992).
Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
yang berupa kawaasn perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai tempat lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
dan penghidupan. Di dalam permukiman, terdapat aspek – aspek penting pendukung
terbentuknya suatu permukiman, yaitu nature (unsur alami), man (individu), society
(masyarakat), shells (tempat), dan network (jaringan).
Pemilihan Desa Bayung Gede yang menjadi obyek dalam judul penelitian ini dilandasi
dengan 3 alasan yaitu aspek religi, aspek letak geografis dan aspek sosial budaya. Aspek
religi diawali dari Bali yang merupakan salah satu daerah yang mempunyai ciri khas
bangunan dan pemukiman yang berorientasi ke arah reliji dan konsep filosofi masyarakat bali
aga. Pola-pola desa adat di Bali telah menjadikan pulau Bali memiliki ciri khas tersendiri
dalam pengembangan pola desa. Arsitektur tradisional Bali tercipta dari hasil akal budi
manusia di mana pengejewantahannya didasari oleh pandangan terhadap alam semesta, sikap
hidup, norma agama, kepercayaan dan kebudayaan masa lalu. Falsafah kehidupan masyarakat
Bali tidak lepas dari ajaran dan kepercayaannya, yaitu: Hindu Dharma. Dalam ajarannya di
katakan bahwa semua makhluk sudah dititahkan hidup dalam alamnya masing-masing dan
hidup dalam kesatuan yang harmonis dengan alamnya (Kumurur & Damayanti, 2009). Aspek
letak geografis, Desa Bayung Gede berada di kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli,
Provinsi Bali Indonesia. Desa ini termasuk salah satu desa kuno yang berada di kabupaten
Bangli, batas administrasi Desa Adat Bayung Gede adalah desa Bantur di bagian utara, Desa
Belacan dan katung di bagian barat, desa Bonyoh dan sekan di bagian selatan dan desa
Sakardadi di bagian timur. Desa Adat Bayung Gede berjarak 67 Km dari kota Denpasar, 5
Km dari kecamatan Kintamani, dan 30 Km dari kabupaten bangli, serta berada 900 meter di
atas permukaan laut yang menjadikan Desa Bayung Gede berhawa sejuk dengan temperatur
udara rata-rata 18,5⁰ Celcius dengan suhu minimum 13,6⁰ Celcius pada malam hari hingga
maksimum 25,1⁰ Celcius pada siang hari. Curah hujan ratarata sebesar 125-200 mm per
tahun. Luas Desa adat Bayung Gede adalah 917 Ha dari kebun sampai pekarangan desa
dengan jumlah penduduk 2160 jiwa yang terdiri dari 560 kepala keluarga pada tahun 2016.
Selain itu, dikarenakan Desa Adat Bayung Gede ini berada di daerah pegunungan, itu
mempengaruhi orientasi dari rumah – rumah pada wilayah tersebut. Orientasi yang dimaksud
disebut hulu – teben. Hulu-Teben merupakan warisan nenek moyang orang Bali pegunungan
dari masa lalu dan sampai saat ini diaplikasikan pada tataran desa adat sebagai bentuk
apresiasi kongkrit terhadap para leluhur (nenek moyang). Pardiman (1986 : 16), Gelebet
(1982 : 12) dan Rahayu (2012 : 44) menyatakan bahwa arah gunung/ketinggian dijadikan
Hulu/Kaja sebagai zona sakral dengan tata nilai utama. Sementara itu, arah laut atau lawan
dari gunung sebagai Kelod Teben bernilai nista atau “rendah”.

1.2. Perumusan Masalah

a. Bagaimana konsep hulu-teben yang digunakan di Desa Adat Bayung Gede?


b. Apa yang membedakan kondisi rumah di Desa Adat Bayung Gede dengan desa
lainnya?
c. Pola apa yang digunakan pada Desa Adat Bayung Gede?
d. Bagaimana tatanan sosial budaya yang berkembang di Desa Adat Bayung Gede?

1.3. Tujuan Penelitian


a. Untuk mengetahui konsep hulu – teben, infrastruktur, pola permukiman dan adat
istiadat yang berlaku di Desa Adat Bayung Gede.
b. Untuk kepentingan penelitian ilmiah

1.4. Metode Penelitian

a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli, Bali yang secara khusus memfokuskan sasaran kepada masyarakat Bali Aga yang
ada di Desa Bayung Gede. Pemilihan Desa Bayung Gede didasari oleh adanya berbagai
kepercayaan dan tradisi yang mengatur hubungan masyarakat Bayung Gede dengan
lingkungannya yang diwujudkan dalam tradisi penggantungan ari-ari di setra ari-ari
yang menunjukkan adanya prinsip-prinsip ekologi yang mengandung kearifan dalam
pelestarian hutan.
b. Sumber dan Jenis Data serta Teknik Penentuan Informan
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari referensi yang relevan
dengan topik permasalahan serta berdasarkan observasi lapangan. Jenis data yang
diperoleh berupa data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan ditunjang dengan
data kuantitatif.

c. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data


Penelitian ini adalah penelitian etnorafi yang bersifat deskriptif-holistik, sehingga
memperoleh gambaran yang lengkap mengenai objek kajian. Penelitian ini menggunakan
metode pemilihan informan secara purposif berdasarkan pada kemampuan dan
pengetahuan masyarakat, metode observasi partisipan, wawancara, studi pustaka dan
analisis data. Penelitian ini menggunakan teknik analisis interaktif Huberman dan Miles
(1994:429) melalui tiga proses yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data
display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclucion).
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan 3 cara
yaitu (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) studi pustaka. Observasi lapangan yaitu
pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Pegumpulan data primer dilakukan dengan (1)
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana penyelidik mengadakan pengamatan
secara langsung terhadap suatu benda, kondisi atau situasi, proses atau perilaku. Dengan
metode observasi, peneliti terjun secara langsung dalam upaya-upaya meningkatkan
penerapan dan pemasaran dalam menghadapi persaingan, diantaranya menggunakan
panca indra dalam mengamati dan memperhatikan objek yangditeliti kemudian mencatat
kejadian yang dianggap penting (Sugiyono, 2007).
Metode observasi lapangan dengan melakukan identifikasi di tempat penelitian,
mengamati perilaku masyarakat, pemetaan kawasan dengan megambil gambar eksisting
dan membuat sketsa tentang data yang diperlukan untuk penelitian ini (2) Wawancara
adalah pertemuan antara dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide melalui
tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu
(Sugiyono, 2007). Wawancara secara mendalammengenai topik yang terkait penelitian
kepada tetua adat desa yang disebut Jero
Kebayan Mucuk bernama I Wayan Tabeng. Data sekunder berasal dari (3) Studi pustaka
merupakan cara pengumpulan data berdasarkan sumber media cetak atau hasil karya
yang tertulis dan telah dipublikasikan kepada masyarakat umum sehingga memiliki nilai
ilmiah yang terjamin. Studi pustaka merupakan acuan terhadap data-data maupun
landasan serta teori-teori yang sangat membantu dalam pengumpulan data-data yang
tidak bisa didapatkan di lapangan. Studi pustaka dari literatur penelitan sebelumnya
terkait topik penelitian untuk mendapatkan data pendukung yang lebih maksimal.

1.6 Sistematika Penulisan


Bab I
Berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang, rumusan permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori, hipotesis,
metodologi, jadwal penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II
Berisi tinjauan teori, pada bagian ini kajian kepustakaan digunakan untuk menemukan
background knowledge terkait obyek dan problema penelitian yang akan dikerjakan.

Bab III
Berisi tinjauan umum desa Bayung Gede dan analisis, pada bagianini memaparkan
secara lebih dalam tentang desa Bayung Gede dan menganalisis data yang di dapat untuk
mengolah pembahasan.

Bab IV
Berisi pembahasan, pada bagian ini membahas hasil penelitian dengan teori serta
memaparkan hasil temuan penelitian.

Bab V
Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian ini menyimpulkan hasil akhir dari penelitian
dan memberikan saran yang menjadi pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Tri Hita Karana
Konsep desa di Bali memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat
adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali, yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, yang secara turun temurun
dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan
tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali
adalah konsep Tri Hita Karana (Dwijendra, 2003). Ajaran Tri Hita Karana adalah salah satu
ajaran dalam agama Hindu yang pada intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara
manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia
dengan lingkungannya (palemahan). Ketiga keseimbangan tersebut merupakan penyebab
terjadinya kebahagiaan. Sebagai salah satu ajaran, Tri Hita Karana
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro
(bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam
alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga
alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah
parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan
(wilayah desa). Demikian pula halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan (pura banjar),
tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada
rumah tinggal jiwa adalah sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan
jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda
bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana
dalam susunan kosmos (Dwijendra, 2003).
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/ angga, memberikan turunan
konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan,
yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga.
Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka
(bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan
secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/ sakral, madya pada posisi tengah dan
nista pada posisi terendah/kotor (Dwijendra, 2003).
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung) sampai
yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki nilai utama;
dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan, Kahyangan Tiga
(utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah
dan manusia (Dwijendra, 2003).
2.2 Pola Hunian

Yang dimaksud dengan rumah dalam arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah
yang terdiri dari beberapa bangunan, oleh tembok yang disebut tembok dikelilingi
penyengker. Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah yang
disebut banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura
kayangan tiga yakni; pura desa, pura puseh, pura dalem. rumah dan Terwujudnya bentuk
terlepas dari dasar perumahan ini, tidak pemikiran yang dilandasi oleh tata kehidupan
masyarakat yang bersumber dari agama Hindu. Dalam falsafah agama Hindu, manusia dan
alam ini diyakini terbentuk oleh lima unsur yang sama yang disebut “ Panca Maha Bhuta”,
yakni : apah (zat cair), bayu (angin), teja (sinar), akasa (ether), pertiwi (zat padat) (Wastika,
2005).
Manusia sebagai mikro cosmos dan alam sebagai makro cosmos yang tidak bisa lepas
keterkaitannya, dimana manusia dilahirkan oleh alam ini, dan selalu akan tergantung dengan
alam.
Di dalam tatwa seperti Tutur Suksema, Tutur Diatmika, Tatwa Jenana, Tatwa Pelepasan,
Komoksan, senantiasa mengajarkan agar kita selalu mengharmoniskan diri dengan alam.
Unsur-unsur bhuana alit dan bhuana agung adalah sama, hanya dalam skala berbeda. Bhuana
agung sebagai wadah dan bhuana alit sebagai isi. Hubungan harmonis antara bhuana agung
dan bhuana alit, memberikan perlambang manik ring cecupu, atau janin didalam rahim,
merupakan hal yang mutlak dan harus dipertahankan untuk ketenangan dan kesetabilan alam.
Hasil hubungan yang harmonis antara wadah dan jiwa, akan menimbulkan tenaga (kaya).
Gabungan dari unsur jasmani, jiwa dan tenaga merupakan sumber kehidupan yang baik dan
sempurna yang disebut ‘Tri Hita Karana” (tiga unsur sumber kebaikan). Jiwa dan jasmani
yang digerakkan oleh tenaga dapat diwujudkan pada suatu tempat. Dalam hubungannya
dengan desa adat maka: 1). Kayangan tiga merupakan jiwa pada karang desa, yang tidak
dipisahkan dari seluruh
kehidupan desa; 2). Krama desa merupakan warga desa atau aparatur desa, merupakan
penggerak atau tenaga yang menghidupi desa; 3). Karang desa adalah teritorial tempat krama
desa melakukan
aktivitas untuk menjaga hubungan harmonis ketiga unsur di atas (Wastika, 2005).
Hubungan hamonis di atas juga bisa diidentikkan dengan : 1). Hubungan manusia dengan
Tuhan; 2). Hubungan manusia dengan sesama manusia; 3). Hubungan manusia dengan
lingkungannya (Wastika, 2005). Pengertian Tri Hita Karana ini tidak hanya berlaku pada desa
adat saja, tercermin juga pada badan lainnya, misalnya pada satu unit rumah tradisional yang
pada umumnya terdiri dari sanggah, natah dan lebuh : 1). Areal sanggah atau merajan adalah
areal persembahyangan untuk memuja Sang Yang Widhi, dan leluhur setiap keluarga; 2)
Areal natah atau halaman tengah adalahuntuk mendirikan rumah untuk tidur dan
melakukanupacara adat dan aktivitas sosial lainnya; 3).Area llebuh adalah untuk meletakkan
bahan-bahan yang tidak terpakai lagi dan lahan peternakan, pertanian (Wastika, 2005).

2.3 Konsep Hulu-Teben

Konsep Hulu-Teben merupakan arsitektur tradisional Bali karena memiliki latar belakang
atau dilatari oleh konsep “keluhuran”, artinya menghormati para leluhur dalam bentuk proses
penanaman mayat, kemudian pengabenan (ritual pembakaran jenazah) dan memukur atau
nyekah (ritual peningkatan status sang roh menjadi roh suci/sang pitara) dan terakhir dengan
upacara ngelinggihang Dewa Hyang atau dewapitara atau meningkatkan sang pitara menjadi
leluhur dan ditempatkan di Sanggah Kemulan/tempat suci di Karang Umah/rumah tinggal
(Ardana, 1982:15).
Kepercayaan pada konsep Hulu-Teben (atas-bawah) yang ditampilkan dalam wujud
meletakkan arah kepala mayat ke arah bukit atau gunung, kepercayaan ini merupakan
keyakinan masyarakat Bali pada masa itu bahwa roh leluhur mereka berada di tempat
ketinggian atau gunung (Mirsha, dkk., 1989: 19). Konsep ini (hulu-teben) sampai sekarang
masih berlaku dalam setiap perencanaan lingkungan perumahan/ perkampungan/desa di Bali.
Penataan desa-desa adat di Bali masih menerapkan konsep Hulu-Teben ini. Parwata (2015;
216) menegaskan bahwa apresiasi pada para leluhur saat ini banyak ditemukan dalam bentuk
Sanggah/Pemerajan atau tempat suci keluarga untuk setiap rumah tinggal, kemudian
berkembang ke Pura Genealogi seperti Pura Dadia, Pura Paibon serta Merajan Alit dan pada
akhirnya menyebar ke Pura Kahyangan Tiga (tiga buah tempat suci sebagai indikator religius
keberadaan sebuah desa adat di Bali).
Pada tataran pola desa adat, Gelebet (1982; 12) menyatakan bahwa desa adat di daerah Bali
pegunungan, menempatkan zona sakral dengan tata nilai utama pada arah gunung sebagai
kaja dan Hulu desa serta arah laut atau lawan dari gunung sebagai kelod/Teben bernilai
“rendah”. Dengan konsep ini, desa-desa pegunungan cenderung berpola linear dengan core
desa sebagai penghubung zona Hulu dan Teben Desa.
Sedangkan di desa dataran di samping berpedoman pada konsep Hulu-Teben berdasarkan
arah gunung-laut (kaja-kelod), juga menempatkan zona Hulu pada arah matahari terbit
sebagai kangin bernilai utama dan matahari tenggelam sebagai zona Teben sebagai Kauh
yang bernilai “nista/rendah”. Dengan kedua kiblat ini, Gelebet (1982:13) menambahkan
bahwa pola desa dataran umumnya berpola perempatan agung atau nyatur desa berupa dua
jalan desa utama menyilang desa Timur-Barat (kangin-kauh) dan Utara-Selatan (kaja-kauh)
membentuk persilangan. Titik persilangan merupakan pusat desa.
Prinsip-prinsip dalam penghormatan terhadap para leluhur di atas yang menjadi pedoman
desain dalam arsitektur tradisional Bali yang diwarisi hingga kini, dimulai dari arsitektur
tradisional Bali pegunungan yang lebih tua berupa Hulu/kaja (arah gunung/ ketinggian
bernilai utama)-Teben/kelod (arah laut bernilai “nista” dan termasuk arsitektur Bali dataran
dengan ditambahkan-nya arah Hulu/kangin (arah matahari terbit bernilai utama)-Teben/kauh
(arah matahari tengelam bernilai “nista’).
BAB 3
TINJAUAN OBYEK

Gambar 3.1 Lokasi Desa Adat Bayung Gede


Sumber : Google Earth

Invasi Majapahit ratusan tahun silam telah menyebabkan polarisasi pada masyarakat Bali.
Dinamika masyarakat Bali berkembang semakin kompleks dengan adanya berbagai proses
pertemuan kebudayaan. Walaupun demikian, di bagian Bali lainnya masih terdapat
masyarakat Bali Aga yang mempertahankan karakteristik kebudayaan masyarakat Bali
sebelum terkena pengaruh invasi Majapahit. Masyarakat Bali Aga atau Bali Mula merupakan
keturunan murni orang Bali asli yang tinggal terasing dan bebas di pegunungan sebagai
tempat pelarian dari orang asing yang ingin menjajah mereka (Covarrubias, 2013). Belahan
Bali Tengah tepatnya di sekitar Gunung Batur merupakan sentral kehidupan masyarakat Bali
Aga, yang berasal dari keturunan ras Austronesia. Salah satu desa Bali Aga di sekitar Batur
adalah Bayung Gede. Thomas A Reuters dalam bukunya “Budaya dan Masyarakat di
Pegunungan Bali” yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 di Jakarta,
menyebutkanbahwa Desa Bayung Gede merupakan desa kunoyang menjadi induk dari
sejumlah desa-desa kuno lainnya di Bangli seperti: Desa Penglipuran,Sekardadi, Bonyoh, dan
desa sekitar lainnya (Reuter, 2005).
Desa Bayung Gede berada di kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, Provinsi Bali
Indonesia. Batas administrasi Desa Adat Bayung Gede adalah desa Bantur di bagian utara,
Desa Belacan dan katung di bagian barat, desa Bonyoh dan sekan di bagian selatan dan desa
Sakardadi di bagian timur. Desa Adat Bayung Gede berjarak 67 Km dari kota Denpasar, 5
Km dari kecamatan Kintamani, dan 30 Km dari kabupaten bangli, serta berada 900 meter di
atas permukaan laut yang menjadikan Desa Bayung Gede berhawa sejuk dengan temperatur
udara rata-rata 18,5p Celcius dengan suhu minimum 13,6p Celcius pada malam hari hingga
maksimim 25,1p Celcius pada siang hari. Curah hujan ratarata sebesar 125-200mm per tahun.
Luas Desa adat Bayung Gede adalah 917 Ha dari kebun sampai
pekarangan desa dengan jumlah penduduk 2160 jiwa yang terdiri dari 560 kepala keluarga.
Ada dua yaitu anggota banjar adat atau anggota penunjang dan anggota desa marek sebagai
pemuka desa yang terdepan atau tetua desa.Saat ini diperkirakan sekitar 31.817,75 ha atau 25
persen dari luas keseluruhan hutan di Bali , yang seluas 127.271,01 ha, mengalami konversi
fungsi lahan. Perubahan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu ulah manusia, terutama dalam
hal pembangunan pariwisata dan faktor alami alam yaitu kebakaran hutan yang seringkali
terjadi di wilayah lereng Gunung Batur dan Agung). Keadaan hutan yang kian
memprihatinkan menimbulkan suatu kesadaran untuk meniru pola pengelolaan. hutan yang
secara turun temurun dipraktekkan oleh beberapa desa di Bali, salah satunya di Desa Bayung
Gede, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Masyarakat Bali Mula Bayung Gede memiliki kepercayaan atau mitos asalusul masyarakat
yang menyebutkan bahwa leluhur mereka berasal dari tued kayu yang dihidupkan dengan
tirta kamandalu oleh bojog putih putra Betara Bayu. Oleh karena asal mereka dari kayu,
maka ketika bayi baru lahir dari rahim ibunya harus dikembalikan kepada asalnya, yaitu
kepada kayu. Kepercayaan ini kemudian diwujudkan dalam ritual penggantungan ari-ari di
setra ari-ari dengan menggantung ari-ari bayi atau saudara si bayi yang disebut dengan
Catur Sanak di pohon bukak (Cerbera manghas).
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Konsep Hulu-Teben yang berlaku di Desa Adat Bayung Gede

Terkait dengan prinsip-prinsip penghormatan terhadap para leluhur di atas yang


terimplementasi dalam bentuk konsep Hulu- Teben, Desa adat Bayung Gede telah
mengadaptasi pakem normatif ini. Hulu desa adat mengarah ke Timur Laut dimana gunung
Batur berada dan Teben desa adat adalah pasangannya ke arah Barat Daya.
Dialog antara prinsip penghormatan terhadap para leluhur dengan sistem sosial budaya
masyarakat desa adat Bayung Gede hasil dari grandtour, nampaknya krama desa adat
Bayung Gede bukan saja melakukan penghormatan terhadap para leluhurnya, melainkan
mereka juga mengapresiasi untuk :
(i) level di atas manusia, tetapi bukanlah para leluhur warga Bayung Gede, seperti mendiang
raja Jaya Pangus dari dinasti Warmadewa dan Dewi Ulun Danu Batur, sang penguasa danau
Batur dan dewi kesuburan,
(ii) sesama level manusia yang masih hidup serta
(iii) level di bawah manusia (binatang/tumbuhan).

Sebelum memasuki konsep hulu – teben di Desa Bayung Gede, perlu diketahui hal yang
memengaruhi konsep tersebut yaitu lokasi tempat yang tinggi dan tempat yang rendah serta
Pura yang terdapat di desa tersebut.
Gambar 3.1 Arah Hulu Teben Desa Adat Bayung Gede
Eksistensi pencapaian ini menjadi kekhasan sistem aksesibilitas menuju ke permukiman
tradisional desa adat Bayung Gede, karena sistem pencapaian imulai dari :
(i) Hulu/Kaja (arah gunung/tempat yang lebih tinggi),
(ii) lewat di halaman Jaba Sisi Pura Desa (halaman terluar Pura Desa) sebagai titik simpul
orientasi, karena dari halaman inilah, orang/warga desa/tamu menentukan niatnya hendak ke
mana dan
(iii) akses terakhir barulah menuju arah Teben/Kelod (arah laut/tempat lebih rendah). Sistem
aksessibilitas ini tidak begitu lazim di daerah Bali, desa adat lainnya umumnya memiliki
akses utama dari zona Teben. Ketidaklaziman akses utama ini justru menjadi kekhasan spasial
permukiman desa adat Bayung Gede.

Konsep Hulu-Teben Desa Adat Bayung Gede dibangun dari hasil reduksi editis terhadap tiga
tema empiris. Sebuah konsep arsitektur tentang “sesuatu” yang berpasangan, bukan
bertentangan/dikhotomi dan saling melengkapi. Dalam konteks ini “sesuatu itu” mampu
mengatur tata letak :
(i) Upperengga Desa Sudha Desa Adat pada zona Hulu bersifat religius/ suci,
(ii) Upperengga Desa Mala Desa Adat pada zona Teben adat bersifat profan/”kotor” dan
(iii) Paumahan/Karang Umah di antara zona Hulu dan Teben bersifat “semi” antara suci dan
“kotor” Pengaturan zona Hulu, Jero Dukuh dan para Pengikutnya sebagai pendiri desa adat
Bayung Gedetelah mengadaptasi keluhuran para leluhur mereka sebagai bentuk apresiasi,
seperti:
(i) Pura Kawitan dari klan Pasek Kayu Selem, pecahan soroh/klan dari desa adat Trunyan
dan Tegal Suci/ Penangsaran, untuk ritual Meanin/
peningkatan status sang roh menjadi roh yang disucikan atau Sang Pitara (bentuk apresiasi
warga desa terhadap leluhur dengan kategori level di atas manusia),
(ii) Tegal Suung (bentuk apresasi warga desa dengan kategori di atas manusia dan bukan
leluhur, yaitu Dewi Ulun Danu Batur, sang dewi kemakmuran dan sang penguasa danau
Batur)
(iii) Pura Kahyangan Tiga (level tertinggi manifestasi Tuhan, diiringi oleh bentuk apresasi
terhadap mendiang Raja Jaya Pangus pada level di atas Manusia dan
bukan leluhur).
(iv) Pura Gebagan untuk memingit/menyembunyikan Krama Truni/warga desa perempuan
belum menikah dari kejaran Krama Truna (para jejaka) pada ritual sabha lampuan/ritual akhil
balik dari masa remaja ke jenjang kedewasaan sekaligus sebagai syarat pra nikah (kategori
level sesama manusia). Sementara itu, zona Teben juga mengadaptasi unsure satu Pura
Kahyangan Tiga, yaitu Pura Dalem + Setra Gede,
akan tetapi nomal pengetahuan leluhur warga desa adat Bayung Gede menambah beberapa
spasial yang menjelma menjadi anomali arsitekrur desa adat dan sekaligus merupakan
kekhasan arsitektur desa adat Bayung Gede, seperti ;
(i) Setra Ari-ari, kuburan untuk plasenta karena ari-ari adalah jenazah sehingga tidak boleh di
tanam di Karang Umah/ areal perumahan tradisional. Bentuk penghormatan terhadap
leluhur dan mendiang Raja Jaya Pangus
(ii) Setra Rare, kuburan untuk balita yang belum tanggal gigi seri pertama kali, dan
(iii) Setra Pengerancab, kuburan untuk mereka yang: (a) salahpati atau akibat kecelakaan,
(b) ulahpati atau bunuh diri dan (c) cacat fisik/mental, kedua Setra ini (ii) dan (iii) sebagai
bentuk apresiasi terhadap luluhur/level di atas manusia).
(iv) Pura Dalem Pelampuan, sebuah Pura yang tidak terkait dengan ritual kematian
(Beatanem maupun Meanin). Pura ini terkait dengan ritual Sabha Lampuan atau ritual akil
balik (kategori sesama manusia) dan apreasi kepada mendiang Raja Jaya Pangus
(level di atas manusia sebagai saksi).
(v) Karang Sisian, penjara adat untuk mereka yang menikah dengan status memisan/ sepupu
(kategori level sesama manusia) dan
(vi) Karang Lumbaran (spasial khusus untuk misa/sapi putih Bali (kategori di bawah level
manusia/binatang dan tumbuhan).
4.2 Pola Perumahan Desa Adat Bayung Gede
Tata Pekarangan Rumah

Gambar 3.2 Tata Pekarangan Rumah Desa Adat Bayung Gede

Sumber : Windu, 2008

Pada awalnya rumah di Desa Bayung Gede memiliki pola dan bentuk yang sama. Setiap
pekarangan terdiri dari 4 bangunan yaitu: Jineng, Bale Pepingitan, Paon, dan Merajan.

A. Jineng

Gambar 3.3 Jineng


Sumber : Windu, 2008

Letak Jineng/Lumbung masyarakat desa ini juga cukup berbeda dari tradisi
masyarakat Bali pada umumnya. Dimana biasanya masyarakat Bali biasanya
meletakan jineng di bagian tenggara rumah mereka,sedangkan masyarakat Bayung
Gede meletakan Jineng mereka menggunakan orientasi pintu masuk rumah. Dimana
Jineng selalu diletakan dekat dengan pintu masuk.

B. Bale Dangin
Bale dangin di desa tradisional Bali pada umumnya terletak di Timur rumah. Namun
di Desa Bayung Gede, bale ini disebut dengan Bale Pepingitan/Bale Adat yang
terletak di belakang jineng. Tidak seperti Bale Dangin pada umumnya yang terbuka,
Bale Dangin di Bayung Gede tampilannya tertutup oleh dinding yang terbuat dari
anyaman bambu. \Ukuran bale ini kecil dan tidak terlalu tinggi.
Gambar 3.4 Bale Dangin
Sumber : Windu, 2008

Fungsi Bale Dangin pada umumnya adalah sebagai tempat melangsungkan upacara
Manusya Yadnya. Namun di Desa Bayung Gede ini Bale Pepingitan berfungsi sebagai
tempat menyimpan barang-barang keagamaan, dan untuk menyimpan barang-barang
yang digunakan untuk melakukan upacara adat. Selain itu bale ini juga digunakan
untuk melakukan upacara mewinten.

C. Paon
Paon dalam unit rumah di Desa Bayung Gede serupa dengan Bale Dauh pada
masyarakat tradisional Bali lainnya. Persamaannya adalah bangunannya tertutup
namun fungsinya adalah untuk memasak (Paon).
Selain untuk memasak fungsi bale ini juga sebagai tempat untuk membaringkan
mayat sementara sebelum mayat dikebumikan di kuburan. Dimana hal ini
biasanya terjadi di Bale Dangin pada masyarakat Bali pada umumnya.

D. Merajan
Letak Merajan/Sanggah pada rumah tradisional masyarakat Bayung Gede sangat
berbeda dengan konsep masyarakat Bali pada umumnya. Pada umumnya Merajan
rumah masyarakat Bali terletak di wilayah Utama Mandala (Utara), sedangkan pada
rumah masyarakat Bayung Gede ini, Merajan terletak di bagian belakang rumah
dengan orientasi pintu masuk sebagai bagian depannya.
Gambar 3.6 Merajan DEsa Bayung Gede
Sumber : Windu, 2008

Dengan kata lain, jika pintu masuk berada pada timur rumah maka merajan akan
berada pada bagian barat rumah dan jika pintu masuk berada pada bagian selatan
rumah maka merajan akan terletak di bagian utara rumah, dan begitu pula sebaliknya.

Perubahan Arsitektural

Secara morfologis keadaan Desa Adat Bayung Gede tidak mengalami perubahan yang berarti.
Perubahan hanya terjadi pada penambahan pasar dan sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama di bagian selatan desa. Namun dari hasil inventarisasi menunjukkan bahwa sebagian
material bangunan telah berubah. Bangunan yang pada awalnya dibangun dari bahan bambu
70% telah berubah dengan material buatan seperti batako atau dinding permanen lainnya.
Demikian juga atap, 90% telah berubah menjadi seng, genteng atau sirap. Gaya bangunanya
juga banyak yang berubah. Style Bayung Gede banyak yang diganti dengan style Gianyar.
Inventarisasi juga menunjukkan bahwa kehidupan sosial, ritual, dan budaya masih relatif
terpelihara. Namun berubahnya pola bermukim penduduk yang sebagian besar meninggalkan
desa ini untuk menetap di pondok dapat mengancam keberlangsungan fisik desa. Selain
kosong karena ditinggalkan penghuninya, secara fisik rumah-rumah menjadi kumuh dan
rusak. Kemunduran keunikan arsitektur Desa Bayung Gede disebabkan karena kurangnya
rasa memiliki dari penduduk setempat dan permasalahan sanitasi dan air di desa ini.
Partisipasi dari seluruh masyarakat baik internal maupun eksternal juga sangat kurang
sehingga perubahan terus berlangsung. Perlu diciptakan strategi agar penduduk kembali
menetap ke desa ini.
Dari aspek fungsi tipologi bangunan di Desa Bayung Gede juga tidak terlalu signifikan.
Fungsi utama tetap hunian namun dilengkapi dengan fungsi-fungsi baru sebagai pelengkap
kebutuhan hidup masa kini seperti: penambahan garase mobil, warung

Gambar 3.7 Perubahan fungsi fasad rumah

Sumber : Windu, 2008

Selain fungsi unit-unit bangunan dalam hunian banyak yang telah melakukan perubahan baik
bentuk maupun materialnya. Berikut beberapa bentuk perubahan bangunan dalam unit hunian

A. Penyengker dan angkul-angkul (kori) Bentuk angkul-angkul dan penyengker awalnya


sangat sederhana. Dengan ketinggian yang relatif pendek dan berbahan tanah pol-
polan.
Gambar 3.8 Perubahan angkul – angkul
Sumber : Windu, 2008

Saat ini beragam bentuk penyengker dan angkul-angkul menghiasi koridor Desa
Bayung Gede.
B. Jineng Selain penyengker dan angkul-angkul yang berubah, bangunan jineng juga
telah banyak mengalami perubahan.

Gambar 3.9 Perubahan Jineng


Sumber :Windu, 2008

Perubahan dilakukan baik dalam penggunaan material (seng untuk penutup atap) juga
perubahan posisi ( di lantai 2).

C. Bale Pepingitan dan Paon Bale Pepingitan dan Paon juga banya yang berubah bauk
bentuk maupun material. Banyak penghuni yang lebih menyukai arsitektur “Gianyar”
dari pada arsitektur lokal.
Gambar 3.10 Perubahan Paon Bale Pepingitan
Sumber : Windu, 2008
Maka banyak bale yang hadir dengan penuh ukiran dan menggunakan bahan paras.

4.3 Pola Permukiman Desa Adat Bayung Gede


Pola Pemukiman Desa Adat Bayung Gede
Pola pemukiman masyarakat Bayung gede sendiri menggunakan pola liner yang acak,
untuk pemukimannya sendiri masing-masing rumah memiliki pola yang sama namun
arah orientasi yang berbeda-beda. Kepercayaan masyarakat Bayung gede yaitu
menggap bahwa arah jalan merupakan arah teben (tidak suci), sedangkan area yang
jauh dari jalan merupakan area yang suci. Jalan utama desa yang membentang dari
utara ke selatan merupakan pusat yang tidak hanya berfungsi sebagai sirkulasi umum,
tetapi juga berfungsi sebagai ruang terbuka yang menghubungkan pintu masuk
pekarangan setiap rumah. Posisi jalan lebih rendah dari unit hunian yang mengapit
jalan desa
Gambar 3.11 Pola Permukiman Desa Adat Bayung Gede
Sumber : Dokumentaasi Pribadi
Hal unik lainnya yang terdapat pada pemukiman penduduk di desa Bayung Gede
adalah sirkulasi dan akses dari dan menuju masing-masing rumah. Akses utama
adalah jalan besar yang dapat di akses dari arah pura Bale Agung ataupun jalan utama
di luar desa . Jalan tersebut berukuran cukup besar dengan dan dibuat dengan susunan
batu-batu alam. Dari jalan utama tersebut akses untuk menuju masing-masing rumah
dapat melewati sebuag gang yang tidak lebih dari 1 meter, akses ini terdapat tiap
beberapa rumah yang merupakan akses menuju rumah-rumah di luar jalan utama.

4.4Tatanan Sosial Budaya Desa Adat Bayung Gede

 Budaya Penguburan fetus Setra Ari -Ari


Sistem kekerabatan masyarakat Bayung Gede menggunakan prinsip patrilineal.
Warisan dan tanggung jawab dalam sebuah extended family akan diberikan kepada
anak laki-laki paling bungsu, sementara anak-anak lainnya yang lebih dewasa dan
sudah menikah harus keluar dari lingkungan desa. Masyarakat Bayung Gede yang
juga memperkenankan adanya perkawinan eksogami, hal tersebut menimbulkan
implikasi yang berkaitan dengan adanya penambahan Ongkara ataupun aksara bali
dalam tradisi penggantungan ari-ari di Bayung Gede. Pengetahuan yang diperoleh
dari hasil internalisasi suami ataupun istri yang berasal dari luar Desa Bayung Gede
juga ingin diterapkan pada keturunan, walaupun terdapat perbedaan kebudayaan
dalam kehidupan pasangan suami istri tersebut
Desa Bayung Gede memiliki hutan adat yang ditumbuhi pohon bukak, oleh karenanya
hutan adat ini dianggap tempat yang keramat, hanya ada di beberapa tempat di bali
yang di tumbuhi oleh pohon bukak ini, salah satunya adalah di desa Bayung Gede.
Hutan yang sekaligus menjadi kuburan ari-ari ini terletak di sebelah selatan desa
Bayung Gede. Hutan bukak ini berfungsi sebagai kuburan ari-ari bagi bayi yang baru
lahir. Ari-ari tersebut dimasukan ke dalam batok kelapa dan digantungkan di pohon
bukak, oleh karena itu hutan ini menjadi hutan adat yang dilestarikan secara turun-
temurun dan dilindungi oleh awig-awig desa.
Mitos di Bayung Gede mengisahkan bahwa manusia pertama di Bayung Gede terlahir
dari tued kayu atau pangkal pohon yang diperciki tirta kamandalu oleh bojog putih
putra dari Betara Bayu, sehingga mengandung pesan bahwa masyarakat harus
senantiasa menghormati alam semesta sebagai Bhuana Agung dan menghargai alam
sebagai ibu yang melahirkan dan
memelihara manusia. Mitos ini mengandung kepercayaan kosmologi mengenai
kelahiran dan kematian, terutama konsep reinkarnasi sang numadi yang dikenal
dengan istilah Catur Sanak. Di Bayung Gede pohon merupakan sesuatu yang keramat,
terutama pohon bukak yang merupakan simbol ibu niskala dari Catur Sanak. Mitos
tued kayu ini dijadikan pedoman masyarakat dalam melaksanakan ritual
penggantungan ari-ari di setra ari-ari yang memiliki makna mengembalikan Sang
Catur Sanak atau empat saudara si bayi kepada ibu niskala yang diwujudkan oleh
pohon bukak. Ari-ari bayi dianggap sebagai sesuatu yang komel atau kotor sehingga
tidak bisa dikubur di dalam pekarangan rumah, karena dianggap akan mengotori
pekarangan rumah selamanya dengan akibat segala bentuk upacara yang melibatkan
paduluan saih enembelas tidak bisa dilaksanakan di dalam rumah tersebut.
Masyarakat Bayung Gede memiliki hubungan yang erat dengan alam lingkungannya.
Hubungan ini diperkuat dengan adanya kepercayaan terhadap konsep Bhuana Agung
dan Bhuana Alit yaitu konsep bahwa manusia adalah refleksi dari alam semesta serta
konsep Panca Maha Bhuta yang menjelaskan bahwa manusia dan alam semesta
terdiri dari lima unsur yang sama yaitu pertiwi (unsur padat, tanah dan tulang), apah
(unsur cair, samudra dan darah), teja (unsur panas, matahari dan suhu tubuh), bayu
(unsur gas, udara dan nafas), akasa ether, angkasa dan seluruh lubang/rongga pada
tubuh manusia). Hubungan erat ini juga tercermin dari berbagai ritual yang
dipersembahkan kepada hewan dan tumbuhan yaitu tumpek wariga, tumpek kandang
dan upacara padi. Hutan setra ari-ari dianggap sebagai miniatur alam semesta yang
terdiri dari berbagai makhluk hidup serta sebagai tempat Peleburan unsur Bhuana
Alit dan Bhuana Agung dalam kaitannya sebagai kawasan setra ari - ari.

 Pendidikan dan Kepercayaan


Masyarakat Bayung Gede yang awalnya hanya berinteraksi dan beraktifitas di
pegunungan sekitar desa kini telah mampu berinteraksi dengan masyarakat luas dan
memiliki aktifitas yang semakin intensif dilakukan di luar desa, seperti adanya
masyarakat Bayung Gede yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di kota-
kota besar di Bali atau mencari pekerjaan di luar desa Bayung Gede. Hal ini wajar
karena masyarakat dan kebudayaan bersifat dinamis dan terus berubah (Dewi,
2015). Pendidikan masyarakat Bayung Gede terutama dalam bidang agama, yang
dipelajari secara formal setelah berdirinya sekolah-sekolah dalam pekarangan desa
menimbulkan dampak pengertian akan budaya yang secara tidak langsung
mempengaruhi adat desa. Seperti yang disampaikan oleh Jero Kebayan Mucuk, Desa
Bayung Gede telah ada lama sebelum masuknya agama hindu, sehingga memiliki
konsep kepercayaan Bali Mula yang masih sangat kental diantaranya : (1) Bayung
Gede kurang memiliki penamaan terhadap manifestasi Tuhan (2) Mereka tidak
menjalankan upacara kremasi (3) Mereka tidak menempatkan relevansi warna
terhadap dewa-dewi dalam pembuatan sesajen (4) Mereka tidak memiliki kasta (5).
Mereka tidak memiliki ketabuan tentang mengkonsumsi sapi (6) Mereka tidak
memiliki hubungan dengan pendeta Brahmana. Bayung Gede juga masih
mempertahankan kepercayaan animisme yang meyakini bahwa setiap benda di alam
semesta yang memiliki roh, dan kepercayaan terhadap leluhur nenek moyang, hal ini
dibuktikan dengan adanya sanggah sebagai tempat untuk menghormati roh leluhur
dan pejuang desa.

 Sistem Pemerintahan
Masyarakat Bayung Gede menerapkan 2 sistem pemerintahan yaitu sistem
pemerintahan dinas dan sistem pemerintahan adat. (1) Sistem pemerintahan dinas
meliputi kepentingan yang berkaitan dengan wilayah administratif desa Bayung Gede
yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Sistem pemerintahan dinas memiliki Tugas
dan kewajiban untuk mengurus hal-hal yang bersifat kedinasan dan administrasi,
misalnya mengurus masalah ijin pembangunan proyek, tata ruang, tata lingkungan,
data kependudukan, dan program-program yang terkait oleh sistem kepemerintahan
negara. (2) sistem pemerintahan adat adalah sistem pemerintahan yang sudah
diterapkan sejak dahulu saat pertama kali desa dibangun. Sistem pemerintahan ini
dikenal dengan nama Ulu Apad yang terdiri dari 164 anggota krama desa marek.
Dalam keanggotaan krama desa marek sendiri terdapat 16 anggota yang inti dipimpin
oleh seorang tetua desa yang disebut Jero Kebayan Mucuk. Pemilihan anggota krama
desa marek ini berdasarkan senioritas pada waktu pelaksanaan perkawinan, hingga
anak laki-laki terakhir di keluarganya melangsungkan upacara pernikahan. Sistem
pemerintahan adat memiliki tugas dan kewajiban untuk mengurus hal-hal yang
bersifat adat atau kebudayaan setempat berdasarkan awig-awig desa diantaranya
adalah memimpin upacara adat, mengatur dan mengurus persiapan upacara adat,
menyiapkan perlengkapan adat, menjaga dan melestarikan awig-awig desa,
memberikan ijin atas perubahan yang terdapat di dalam tata ruang pekarangan desa,
memberikan sanksi adat dan tugas lainnya berdasarkan awig-awig desa. Pola
pemerintahan ini akan diwariskan kepada anak lakilaki keturunan anggota krama desa
marek desa Bayung Gede secara turuntemurun. Sehingga setiap orang tua dari
anggota krama desa marek pasti pernah terlibat menjadi pengurus desa dan dapat
membantu pengurus adat dibawahnya dalam hal meminta pendapat maupun kejelasan
akan peraturan-peraturan desa atau dapat dikatakan sebagi penasehat desa.
BAB 5
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang telah dihimpun penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa :
Konsep Hulu-Teben desa adat Bayung Gede bukan hanya terkait dengan bentuk
penghormatan terhadap leluhur semata (Pura Kahyangan Desa + Setra Gede), melainkan
sistem sosialbudaya spesifik sebagai latar belakangpemicu munculnya kekhasan konsep
tersebut. Beberapa bentuk appresiasi lain di luar konteks leluhur (level di atas manusia, level
sesama manusia dan level di bawah manusia). Selain itu, arsitektur pada Desa Bayung Gede
memiliki perbedaan yang mencolok dengan arsitektur pada Desa Bali Aga lainnya, yaitu dari
segi Bale, terdapat hanya 2 Bale yaitu Paon dan Bale Dangin. Namun diiringi dengan
perkembangan jaman, mulai ada perubahan pada struktur dan fungsi bangunan, seperti bagian
bangunan utama dipergunakan untuk fungsi lain yaitu warung dan garasi. Morfologi Desa
Adat Bayung Gede terdiri dari rangkaian tempat suci yang berada di pusat desa, hunian dan
kuburan. Kuburan desa ini sangat unik karena tidak ada bangunan dan juga terdapatnya
kuburan ari-ari. Upacara pengabenan tidak disertai dengan pembakaran mayat. Mayat
dikubur. Morfologi hunian juga berbeda dengan desa di dataran Bali. Jenis bangunan terdiri
dari jineng, bale, dapur, dan merajan. Berbeda denga letak merajan di tempat lain, merajan di
desa ini terletak dibagian dalam dari pekarangan rumah. Bukan berdasarkan arah mata angin.
Namun keunikan tersebut tidak membuat penduduk berusaha untuk mempertahankannya.
Dari 301 unit rumah sebagian besar telah berubah. Hal tersebut ditunjukkan dari 56 sampel
semuanya sudah berubah. Baik angkul-angkul, jineng, dapur maupun bangunan bale.
Bangunan yang relatif bertahan adalah Merajan.

5.2 SARAN
Agar perubahan yang terjadi tidak membuat desa ini makin lama makin kehilangan jati
dirinya beberapa tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Membentuk organisasi yang melibatkan pihak internal dan eksternal demi menyelamatkan
kehancuran identitas desa
2. Mendidik masyarakat untuk mencintai keunikan desanya
3. Membantu membuat panduan perubahan pekarangan dan bangunan
4. Menghimpun bantuan teknis dan finansial untuk mengkonservasi desa
5. Membentuk organisasi pengelola pariwisata desa
DAFTAR PUSTAKA

Gelebet, I Nyoman, 1988.Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Depddikbud.


Manik, Yuda. 2007. Pengaruh Demografi, Gaya Hidup, dan Aktivitas Terhadap
Transformasi Tipo-Morfologi Hunian Tradisional di Desa Bayung Gede, Bali. Tesis
Arsitektur ITB.
Siwalatri, Ni Ketut Ayu. 2014. Makna Sinkronik Arsitektur Bali Aga di Kabupaten Buleleng
Bali
Windu, Gede Laskara. 2008. Arsitektur Vernakuler Desa Bayung Gede, Bangli.
Tamiarta, Putu, 2003, Penataan Desa Bayung Gede Sebagai Upaya Konservasi, Landasan
Konsepsual Perancangan Tugas Ahir, Prodi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Udayana,
Denpasar.
Tri Adiputra, IGN., 2013, Kajian Spatial pada Permukiman Tradisional di Desa Adat
Bayung Gede dan Hubungannya dengan Upacara Keagamaan, Tugas Mandiri pada Program
S3 Prodi Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta.
ARSITEKTUR PERMUKIMAN

“STUDI KASUS DESA ADAT BAYUNG GEDE”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

PUTU SAVITRI DHARMA JYOTI (1605522019)

I WAYAN SUMADI YASA (1605522024)

IDA BAGUS KANAKA KUSUMA (1605522026)

WEDA PENGASTAWAN (1605522035)

I PUTU GDE ARYA TEJA DANANJAYA (1519251072)

TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2018

Anda mungkin juga menyukai