Anda di halaman 1dari 80

LANDASAN ETNOPEDAGOGIK

(Paradigma Pendidikan yang di Dasarkan Pada Kebudayaan)

Artikel

Artikel Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Landasan Etnopedagogik

Dosen Pengampu:
Dr. Mamat Supriatna, M. Pd.
Dr. Dian Penisiani, M. Pd.

Disusun oleh:
Ami Haniyah 2113029
Arif Sarifudin 2107124
Raden Ainan Nabila 2105313
Yoonkyung, Eo 2113425

PROGRAM STUDI MAGISTER PEDAGOGIK


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wata’ala. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkat ridho dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan artikel ini. Semoga makalah dapat
memberi manfaat khususnya bagi mahasiswa dan umumnya bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa artikel ini jauh dari kata sempurna dan tidak luput dari
berbagai kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika penulisannya. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan ke arah yang lebih baik,
sehingga artikel ini dapat memberikan manfaat. Akhir kata saya mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang mendukung dan membantu dalam penyusunan artikel ini. Semoga
segala bantuan, dorongan, dan bimbingan yang telah diberikan menjadi nilai ibadah dimata
Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin.

Bandung, Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
ISI
01 UPACARA ADAT KAWIN CAI SEBAGAI PEMBENTUKAN NILAI-
NILAI CINTA LINGKUNGAN MASYARAKAT BABAKANMULYA,
KABUPATEN KUNINGAN
(Ami Haniyah)
........................................................................................................................
1
02 NADRAN SEBAGAI SUMBER PEMBENTUKAN NILAI SOSIAL
MASYARAKAT CIREBON
(Arif Sarifudin)
........................................................................................................................
21
03 ETNOBIOLOGI DALAM TANDUR DI DESA NYALINDUNG,
KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN SUMEDANG
(Raden Ainan Nabila)
........................................................................................................................
41
04 PODEAGI TRADISI ALAT PENGASUH DI KOREA SELATAN
(Yoonkyung, Eo)
........................................................................................................................
66

ii
UPACARA ADAT KAWIN CAI SEBAGAI PEMBENTUKAN NILAI-
NILAI CINTA LINGKUNGAN MASYARAKAT
BABAKANMULYA, KABUPATEN KUNINGAN

Ami Haniyah
amihaniyah@gmail.com
Mahasiswa S2 Pedagogik
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara analitis nilai-nilai cinta
lingkungan masyarakat dari upacara adat Kawin Cai. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi
kepustakaan (literature review) dan studi lapangan, melalui teknik observasi,
wawancara dan studi dokumentasi. Teknik pengolahan data yang digunakan ialah
teknik triangulasi data. Sumber data atau informan adalah ketua adat, kuncen,
sesepuh, pemuka agama, dan satu warga yang mengikuti upacara adat Kawin Cai.
Hasil dari penelitian ini ditunjukkan sebagai upaya penanaman atau menumbuhkan
nilai-nilai cinta lingkungan agar kualitas karakter.
Kata Kunci: Kawin Cai, Nilai Cinta lingkungan

DASAR PEMIKIRAN
Pada hakikatnya manusia telah diberi anugerah oleh Allah SWT berupa akal
dan nafsu yang mendorong manusia untuk menciptakan sesuatu sehingga dapat
mewujudkan cita-cita atau penghargaannya. Sains, teknologi dan seni sebagai hasil
dari perwujudan akal dan nafsu manusia memberikan pengaruh yang begitu luar biasa
sehingga dapat merubah kehidupan manusia baik secara sosial, ekonomi, budaya, dan
lain sebagainya. (Yuyuningsih, 2020).
Media yang paling ekspresif dan estetik biasa digunakan manusia dalam
mengungkapkan dirinya ialah seni dan budaya, yang tidak lain merupakan produk
dari perkembangan hidupnya. Sangat mustahil pada dunia ini ada manusia yang imun
terhadap seni, walaupun sangat terbatas sekali. Pada masing-masing kelompok
budaya masyarakat terdapat beragam serta berbeda-beda seni dan budaya. Dalam seni
budaya sangat erat hubungannya dengan agama, seperti seni dijadikan sebagai media
informasi agama dan media penyampaian pesan moral (Aripudin & Perwira, ‫ت‬.‫)د‬.

1
Dalam kehidupan manusia banyak menjalani aktivitas, dimulai dari aktivitas
pribadi, keluarga, etnis/suku, kelompok dan masyarakat. Pada umumnya kegiatan
yang terjadi dalam kalangan suatu suku atau etnis merupakan warisan turun-temurun
dari para leluhur mereka. Sedangkan sifat dari kegiatan tersebut umunya sakral atau
suci serta bernilai oleh kalangan masyarakat suku atau etnis tersebut (Yuyuningsih,
2020).
Menurut Dinyanti, (2021) salah satu unsur kebudayaan daerah yang bersifat
umum adalah unsur yang berkenaan dengan upacara adat pada suatu daerah. Setiap
daerah tersebut memiliki berbagai macam acara ataupun ritual-ritual dalam
kebudayaan mereka masing-masing. Lingkungan kebudayaan masyarakat tradisional
kaya akan kearifan lokal, namun belum banyak diungkap bagaimana kearifan ini
tumbuh, berkembang dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat. Maka, upacara
adat merupakan salah satu budaya dalam masyarakat yang memiliki peranan penting
dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Salah satu daerah yang masih memiliki upacara adat ialah Kabupaten
Kuningan, tepatnya di desa Babakanmulya. Upacara adat yang masih dilestarikan
oleh masyarakat Babakanmulya yaitu Kawin Cai, untuk pelaksanaannya ini masih
rutih dilakukan setiap tahun Royyani, (2017). Upacara adat Kawin Cai ini memiliki
fungsi serta peran sehingga terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung
didalamnya masih dijaga dan diamalkan dalam kehidupan sehrai-hari, bentuk
kearifan lokal pada Kawin Cai yaitu cinta lingkungan, karena bila mereka tidak
mengelola dengan baik alam ini mereka dianggap lalai atau tidak menghargai Tuhan.
Salah satu sikap menjaga alam yang ditunjukkan oleh masyarakat adat di desa ini
adalah masih terawat dan tetap dipertahankannnya kondisi Balong Dalem Desa
Babakanmulya Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan (Royyani, 2017).
` Perkembangan zaman yang semakin maju ini berdampak terhadap suatu
kebudayaan yang ada di suatu daerah, hal ini dilihat kepada generasi muda sekarang
tidak dapat mengenali kebudayaan serta tidak peduli terhadap kebudayaan termasuk
Kawin Cai. Dalam mengatasi permasalahan generasi muda yang sadar terhadap

2
kebudayaan, ada beberapa Tindakan yang dapat digunakan seperti mengenal
kebudayaan tersebut, memberikan edukasi mengenai pentingnya kebudayaan, serta
mengikutsertakan para generasi muda untuk terlibat dalam kegoiatan tersebut
(Benjamin, 2019).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap budaya Kawin Cai di masyarakat Babakanmulya Kab.Kuningan. Hal ini
dikarenakan budaya Kawin Cai ini dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan
nilai cinta lingkungan. Maka dari itu dalam kesempatan ini peneliti mengambil
penelitian mengenai budaya Kawin Cai dalam membentuk nilai cinta lingkungan
dalam masyarakat Babakanmulya Kab. Kuningan.

TINJAUAN KONSEPTUAL TENTANG KAWIN CAI

A. Pengertian dan Asal-usul Kawin Cai

Uraian tentang asal-usul Kawin Cai bersumber dari tulisan yang berjudul
“Kawin Cai”, yang diperoleh dari artikel yang ditulis oleh Titin Kartini yang diakses
melalui Dinas Kearsipan dan Perpustakaan, Jalan Aria Kamuning, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Pengertian Kawin Cai menurut sumber tertulis tersebut merupakan upacara
adat memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya ketersediaan air untuk
pertanian mencukupi dengan cara mencampurkan air dari mata air Tirta Yatra Balong
Dalem dengan air dari mata air Sumur Tujuh Cibulan.
Asal-usul adanya Upacara Adat Kawin Cai menurut sumber tertulis tersebut
diawali ada seorang petapa bernama Resi Makandria yang terkenal, juga dengan
nama Sang Kebowulan (Sang Tari Wulan). Beliau berasal dari Cikembulan (Cibulan)
yang bertapa di Talaga Balong Dalem Tirta Yatra. Ketika sedang bertapa Resi
Makandria merasa malu karena diejek oleh sepasang burung yang bernama si Uwur-
Uwur dan si Naragati. Burung tersebut bersarang di tempat pertapaannya. Resi
Makandria diejek karena tidak memiliki istri dan keturunan, akhirnya Resi Makandria

3
memohon calon istri kepada Resi Guru Manikmaya dari Kerajaan Kendan. Setelah itu
Resi Guru Manikmaya mengabulkan permohonannya dan merestui putrinya yang
bernama Pwah Aksari Jabung untuk menjadi calon istri. Pwah Aksari Jabung yang
berparas cantik bagaikan bidadari, tapi begawan Resi Makandria tidak bersedia
menerima sebagai calon istri karena Pwah Aksari memiliki paras yang dianggap
terlalu cantik. Sebagai jalan keluar, Pwah Aksari Jabung menjelma menjadi kidang
(kijang) betina dan Resi Makandria menjelma menjadi kerbau bule. Setelah itu,
pasangan ini memiliki keturunan dan diberi nama Pwah Bungatak Mangalengale.
Setelah Pwah Bungatak Mangalengale menginjak dewasa dipersunting oleh Sang
Wreti Kandayun yang mendirikan Kerajaan Galuh. Upacara adat Kawin Cai ini
merupakan bentuk penghormatan dan pemuliaan masyarakat untuk memperingati
peristiwa tersebut. Peristiwa ini terjadi di Telaga Balong Dalem Tirta Yatra yang
menjadi mata air bagi masyarakat Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana,
Kabupaten Kuningan.
Berkaitan dengan asal-usul, Jaja Abdulrahman (tokoh adat Babakanmulya)
mengungkapkan upacara adat ini sebelumnya disebut Mapag Cai (menjemput air)
mengalami perubahan menjadi Kawin Cai sejak tahun 2000-an. Hal ini terkait dengan
strategi Pemerintah Daerah (Pemda) yang hendak menjadikan upacara adat ini
sebagai event pariwisata. Sehingga sumberdaya air jika dimanfaatkan dengan baik
akan berguna untuk berkelanjutan kepentingan jangka panjang oleh masyarakat
sekitar, karena air selain digunakan untuk minum, air juga dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan lainnya, seperti berguna untuk MCK (mandi, cuci, kakus)
membantu mengairi lahan pertanian, berwudhu orang muslim, dan sebagainya. Maka
Kawin Cai merupakan kearifan lokal yang memiliki makna, dengan harapan diberi
limpahan air oleh Tuhan Yang Maha Esa.

B. Aturan dan Syarat Kawin Cai

4
Upacara adat Kawin Cai dihadiri oleh perwakilan delapan kepala desa di
kecamatan Jalaksana diantaranya: Desa Jalaksana, Desa Manis Kidul, Desa
Sadamantra, Desa Padamenak, Desa Ciniru, Desa Gara Tengah, Desa Nanggerang,
dan Desa Japara. Perwakilan dari delapan kepala desa harus menghadiri Kawin Cai
karena sebagai rasa syukur kepada Allah SWT telah memberikan nikmat sumber
mata air dari Balong Dalem yang mengaliri delapan desa tersebut.
Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat bernama Jaja Abdulrahman, syarat
dalam Kawin Cai yaitu menyediakan satu ekor kambing hitam, golok untuk
menyembelih dan memotong kambing, sesajen (sate kambing, kembang tujuh rupa,
kopi pahit, kopi manis, buah-buahan dan hasil bumi seperti selasih, ubi, padi,
singkong, talas, pisang), alat khusus totolok (wadah kendi) yang sudah disimpan
puluhan tahun hanya sebagai simbolis, keris khusus dari tokoh adat, satu kendi untuk
wadah air yang diambil dari sumber air balong dalem yang akan di bawa ke Cibulan
dan satu kendi untuk wadah air yang di ambil dari Cibulan yaitu air tujuh Sumur
(Sumur kejayaan, Sumur keselamatan, Sumur pengabulan, Sumur kemulyaan, Sumur
cisadane (pengasihan), Sumur cirencana (kesaktian), Sumur kemudahan), kain putih
untuk membungkus kendi, ember untuk wadah air dari dukuh dalem dan air tujuh
Sumur Cibulan, gayung plastik untuk mengambil air yang sudah ada diember, gayung
batok kelapa untuk mengambil air di sumber mata air dukuh dalem, tenda untuk
tempat makan-makan bersama masyarakat desa Babakanmulya, mobil pick up untuk
menaruh speaker dan microphone yang akan digunakan untuk solawatan. Syarat
lainnya yang harus dipenuhi dalam upacara adat Kawin Cai yaitu tokoh adat dengan
memakai baju putih, penegak pekerja balong dalem menggunakan baju hitam,
bupati/camat menggunakan kopiah bergeden.
Berdasarkan penjelasan dari Adim Sardim selaku kabag kesejahteraan rakyat
(Kesra) syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi karena sebagai rasa syukur terhadap
Allah SWT sang pencipta, tidak ada unsur musryik (menyekutukan Allah) karena
tidak menyembah terhadap syarat-syarat tersebut tetapi juga dijaga dengan benar,

5
ketika kita menyembah kuasa bukan berarti menyembah terhadap air, pohon, batu, dll
tetapi menyembah yang menciptakan itu.

Gambar 1 & 2: Totolok dan Kendi

Gambar 3: Keris

6
C. Kegiatan Kawin Cai

Uraian tentang kegiatan Kawin Cai bersumber dari tulisan yang berjudul
“Kawin Cai”, yang diperoleh dari artikel yang ditulis oleh Titin Kartini yang diakses
melalui Dinas Kearsipan dan Perpustakaan, Jalan Aria Kamuning, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat, Jaja Abdulrahman sebagai tokoh adat pelaksanaan
Kawin Cai, serta melalui tayangan video YouTube pada channel Kuningan Terkini
dengan judul “Tradisi Kawin Cai”.
Kawin Cai ini dilaksanakan pada saat bulan Oktober pada malam Jumat
kliwon atau tepatnya pada musim kemarau panjang karena sudah menjadi tradisi
turun temurun masyarakat Desa Babakanmulya yang masih mempertahankan nilai
tradisi masyarakat yang terdahulunya. Sebelum kegiatan inti Kawin Cai masyarakat
Babakanmulya membentuk kepanitiaan untuk melaksanakan Kawin Cai, lalu
melakukan koordinasi kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di Kota Kuningan,
masyarakat membuat sesajen (sate kambing, kembang tujuh rupa, kopi pahit, kopi
manis, buah-buahan dan hasil bumi seperti selasih, ubi, padi, singkong, talas, pisang),
pengumpulan serta pengecekkan logistik dalam kegiatan Kawin Cai.

7
Gambar 4: Sesajen hasil bumi
(sumber dokumentasi: https://travel.detik.com/cerita-perjalanan/d-1873923/seni-
budaya-kawin-cai- )

Dalam kegiatan inti upacara adat Kawin Cai terdiri tiga kegiatan pokok.
Pertama adalah pengambilan air dari balong dalem. Air yang diambil tersebut
dianggap sebagai pengantin laki-laki. Kedua adalah pengambilan air dari tujuh
Sumur. Air yang diambil dianggap sebagai pengantin perempuan. Ketiga adalah
proses Kawin Cai, yaitu mencampurkan air yang diambil dari Balong Dalem dan air
yang tadi diambil dari Sumur tujuh. Ketika tiba di Balong Dalem, rombongan
masyarakat juga disambut upacara adat penyambutan tamu, yang dilengkapi lengser,
dan kelompok penari perempuan jelita yang diiringi irama musik dan lagu-lagu
degung. Proses Kawin Cai dilakukan seperti proses perkawinan manusia pada
umumnya. Campuran air tersebut kemudian dituangkan ke mata air Tirta Yatra
Balong Dalem. Selanjutnya adalah proses pengambilan air dari mata air Tirta Yatra
Balong Dalem yang diperuntukan memandikan aparat desa yang dianggap terkait
dengan permasalahan air dan irigasi. Namun, menurut tokoh adat air tersebut dapat
dimandikan kepada seluruh kepala desa.
Setelah upacara selesai, masyarakat Desa Babakan Mulya dan Desa Manis
Kidul, juga masyarakat desa lainnya secara bergantian mengambil air dengan lodong
atau bekong yang terbuat dari bambu untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing
sebagai benih air dan akan dimanfaatkan untuk menyiram lahan pertanian yang
mereka miliki.
Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat bernama Jaja Abdulrahman, kegiatan
dalam Kawin Cai yaitu berdoa dan menyembelih kambing memotong kambing ini
dilakukan pagi hari sebelum dimulainya acara puncak. Pemotongan kambing sendiri
dilakukan dengan tujuan sebagai bentuk syukuran dari upacara adat Kawin Cai ini.
Lokasi yang dijadikan pemotongan kambing ini berada di dekat Batu Kawin di
Balong Dalem. Ada perubahan dalam pelaksanaan pemotongan kambing ini pada

8
dahulu nya pemotongan kambing diambil kepalanya dan dikuburkan di dekat Batu
Kawin Balong Dalem namun untuk sekarang pemotongan kepala kambing dan
penguburannya ini sudah tidak dilaksanakan lagi. Alasan mengapa hal ini terjadi
karena penguburan kepala kambing dinilai tidak cocok dengan nilai ajaran Islam yang
ada di masyarakat dan juga dianggap membuang-buang rejeki, masyarakat membawa
makanan ke tenda yang sudah dipersiapkan, ada sesajen lalu tokoh adat memanjatkan
doa kepada Allah, tokoh adat mengambil air dari sumber mata air balong dalem dan
dimasukan ke dalam kendi, lalu dibawa ke sumber mata air tujuh Sumur Cibulan,
sesampainya di obyek wisata tujuh Sumur Cibulan, tokoh adat mengumandangkan
adzan di depan pintu masuk Sumur tujuh Cibulan, selesai adzan tokoh adat masuk ke
patilasan yang ada di obyek wisata tujuh Sumur serta dilanjutkan dengan berdoa,
mengambil air dari mata air tujuh Sumur Cibulan dan dimasukan kedalam kendi,
membawa air tujuh Sumur Cibulan ke balong dalem dan dinyanyikan lagu solawatan,
menyatukan air dari tujuh Sumur Cibulan ke mata air balong dalem, air yang sudah
disatukan digunakan juga untuk dimandikan kepada tokoh adat, selesai menyatukan
dua sumber mata air, tokoh adat menyampaikan pidato tentang upacara adat Kawin
Cai, setelah upacara adat Kawin Cai selesai di akhiri dengan makan-makan
masyarakat dan tokoh adat, sebagai tanda syukuran atas berakhirnya Kawin Cai.
Dari hasil analisis sumber melalui tayangan video YouTube pada channel
Kuningan Terkini dengan judul “Tradisi Kawin Cai Kuningan Jawa Barat”
menjabarkan bahwa dalam Kawin Cai sebagai kegiatan acara setiap tahun, dengan
tujuan hanya sebagai adat memohon untuk syukuran kepada Allah SWT, agar air
tetap mengalir, subur, untuk masyarakat daerah Babakanmulya dan sekitarnya.
Kawin Cai sebagai acara turun temurun dari masyarakat Babakanmulya dan
sekitarnya yang dilakukan dengan menyampurkan air tujuh Sumur Cibulan serta air
cikahuripan Balong dalem, tidak ada unsur meminta kepada hal-hal mistis tetapi rasa
syukur terhadap sang pencipta Allah SWT. Sehingga timbulnya perhatian masyarakat
Babakanmulya ingin menyaksikan secara langsung proses Kawin Cai. Kawin Cai ini
oleh masyarakat Babakanmulya disederhanakan tetapi tidak mengurangi maknanya.

9
Berkaitan dengan tinjauan teoretik Kawin Cai diperoleh penjelasan dari
beberapa sumber referensi, hal ini dapat dilihat melalui ringkasan table perbandingan
tentang Kawin Cai di bawah ini

Tabel 1. Hasil Wawancara dan Jurnal tentang Kawin Cai


No. Komponen Buku/Jurnal Hasil Wawancara
1. Asal Usul Kawin Cai sebagai upacara Kawin Cai sebagai upacara
adat yang dilakukan setiap adat yang dilakukan setiap
tahun oleh masyarakat tahun oleh masyarakat
Babakanmulya dan delapan Babakanmulya dan delapan
desa kecamatan Jalaksana. desa kecamatan Jalaksana.
2. Kegiatan Kawin Cai terdapat 3 Kawin Cai terdapat 3
kegiatan yaitu pembukaan, kegiatan yaitu pembukaan,
inti dan penutup. inti dan penutup.
Dalam kegiatan inti Dalam kegiatan inti terdapat
terdapat pembacaan do’a pembacaan do’a serta upacara
serta upacara adat adat penyambutan tamu, yang
penyambutan tamu, yang dilengkapi lengser, dan
dilengkapi lengser, dan kelompok penari perempuan
kelompok penari jelita yang diiringi irama
perempuan jelita yang musik dan lagu-lagu degung.
diiringi irama musik dan
lagu-lagu degung.
3. Syarat Air tujuh Sumur, air balong Air tujuh Sumur, air balong
dalem, kendi, serta lodong dalem, kendi, serta lodong
atau bekong. atau bekong, totolok, keris, 1
ekor kambing hitam, sesajen
(hasil bumi).
4. Nilai Bentuk rasa syukur Terdapat beberapa nilai yang
terhadap Tuhan Yang Maha penting dalam kehidupan,
Esa karna telah seperti nilai cinta lingkungan,
memberikan air yang begitu nilai gotong royong, nilai
banyak ke desa-desa serta religi serta nilai syukur,
membangun kearifan lokal kebudayaan.
Balong Dalem.

10
PEMBAHASAN TENTANG NILAI DALAM KAWIN CAI

A. Nilai Utama Kawin Cai

Menanamkan prinsip cinta lingkungan merupakan salah satu tujuan kearifan


lokal yang berfungsi untuk membentuk karakter generasi muda yang memiliki
kepribadian dan karakter cinta terhadap kedamaian dan kesejahteraan. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Sibarani, 2014:178 dalam Engel, (2014), bahwa
“kearifan lokal berfungsi sebagai pembentukan kepribadian dan karakter yang baik,
sebagai penanda identitas atau jati diri sebuah komunitas, sebagai elemen perekat
kohesi sosial, sebagai cara pandang (worldview) atau landasan berpikir bersama
sebuah komunitas, dan sebagai dasar berinteraksi anggota komunitas baik secara
internal maupun secara eksternal”.
Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat bernama Jaja Abdulrahman,
bahwasannya terdapat nilai cinta lingkungan pada upacara adat dikarenakan
masyarakat memiliki kepercayaan yang mengharuskan menjaga serta melestarikan
lingkungan dan alam sekitar. Kepercayaan ini berguna agar masyarakat senantiasa
menjaga unsur-unsur alam yang dapat menghasilkan air maupun mencemari air.
Masyarakat dihimbau sejak dahulu agar tidak mengambil dan merusak alam di
sekitaran Telaga Tirta Yatra Balong Dalem. Larangan-larangan tersebut berupa
himbauan kepada masyarakat untuk tidak mencemari lingkungan serta menebang
pohon. Bahkan menurut kepercayaan masyarakat sekitar jika ada masyarakat yang
berani menebang maupun mengambil pohon yang sudah tumbang maka dapat
berakibat buruk bagi siapa pun yang mengambilnya.
Hal ini ditunjukkan sebagai bentuk budaya (kearifan lokal) terlihat dari Kawin
Cai di Babakanmulya dengan mengaplikasikan serta mematuhi seluruh bentuk
kearifan lokal dalam berbagai aturan adat dan tradisi adat serta menghindari

11
perbuatan yang dilarang oleh adat seperti tidak memancing ikan, mencemari air dan
mengambil pohon di Balongdalem.

B. Nilai Pendukung Kawin Cai

Selain daripada nilai utama terdapat nilai lain yang menjadi sumber kearifan
lokal di upacara adat Kawin Cai, salah satu nilai kearifan lokal dari upacara adat
Kawin Cai yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat melalui sistem
kepercayaan yang identik dengan kehidupan masyarakat agraris, yaitu nilai religi,
nilai tata krama, nilai hormat kepada budaya warisan nenek moyang, dan nilai gotong
royong yang melekat pada masyarakat Desa Babakanmulya Kecamatan Jalaksana
Kabupaten Kuningan (Meinda, 2019).
Nilai religi dapat terlihat dalam kegiatan Kawin Cai ketika tokoh adat,
penegak kerja Balong Dalem, bupati/camat serta perwakilan kepala desa masyarakat
kec.Jalaksana mengikuti kegiatan pengambilan air dari balong dalem serta tujuh
Sumur Cibulan, mencampurkan air yang diambil dari Balong Dalem dan air yang tadi
diambil dari Sumur tujuh. Dalam nilai gotong royong terdapat pada penyembelihan
satu ekor kambing hitam, pembuatan sesajen, menerima tamu, serta pengumpulan dan
pengecekkan logistik dalam kegiatan Kawin Cai.

C. Pengembangan Nilai Cinta Lingkungan di Sekolah Dasar

Menurut Indarti ( 2020 ,.‫ )وآخ‬cinta lingkungan adalah suatu tindakan

memerhatikan, menyukai dan penuh tanggung jawab terhadap lingkungan fisik dan
nonfisik terhadap kehidupan seseorang. Mencintai lingkungan tidak serta merta
timbul dalam diri seseorang melainkan tindakan terus menerus yang ditanamkan
dalam sanubari manusia.
Dalam menerapkan nilai cinta lingkungan yang terdapat pada kegiatan Kawin
Cai terhadap peserta didik di Sekolah Dasar dapat dilakukan dengan cara mencintai
lingkungan sekolah karena besar pengaruhnya bagi terbentuknya kepribadian seorang

12
peserta didik. Sekolah sebagai tempat peserta didik belajar, bermain serta
bersosialisasi dengan orang lain. Pembentukan kepribadian anak juga dipengaruhi
oleh teman-teman, guru dan sekolah (Halidin, 2018).
Pada tingkat pendidikan dasar terdapat mata pelajaran IPA (sains) dan
pendidikan kewarganegaraan mampu memberikan pembekalan kompetensi
pengetahuan, sikap dan perilaku. Pada mata pelajaran sains di Sekolah Dasar, standar
kompetensi yang dikembangkan adalah melakukan pengamatan terhadap gejala alam,
menceritakan hasil pengamatannya secara lisan dan tertulis, memahami
penggolongan serta manfaat hewan dan tumbuhan bagi manusia, upaya
pelestariannya, perubahan bumi dan hubungan peristiwa alam dengan kegiatan
manusia. Pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan standar kompetensi
tersebut adalah memahami identitas diri dan keluarga serta mewujudkan sikap saling
menghormati, mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dan
lingkungan tetangga, memahami sejarah, kenampakan alam dan keragaman suku
bangsa di lingkungan kabupaten/kota atau provinsi, memahami wilayah Indonesia,
keadaan sosial negara di Asia Tenggara, mengenal gejala alam yang terjadi di
Indonesia dan negara tetangga serta dapat melakukan tindakan dalam menghadapi
bencana alam dan memahami peranan Indonesia di era global. Dengan materi
tersebut dapat memberikan pembekalan kompetensi pengetahuan, sikap dan perilaku
terhadap nilai cinta lingkungan (Alpusari, 2014)
Pendekatan terhadap peserta didik dapat mengkonkretkan materi-materi
pembelajaran yang masih dianggap abstrak oleh peserta didik. Media merupakan alat
penyampai pesan dari komunikator kepada komunikan. Adanya media pembelajaran
dapat meningkatkan minat belajar bagi peserta didik. Pendekatan pembelajaran
menggunakan media diorama pada pembelajaran subtema ayo cintai lingkungan.
Diorama merupakan media tiga dimensi didalam gambaran tersebut mengenai suatu
suasana atau keadaan yang sebenarnya. Diorama biasanya terdiri atas objek-objek

13
yang ditempatkan pada suatu pentas mini yang berlatar suatu lukisan-lukisan yang
mendukung penyajian Sa’bani ( 2017 ,.‫)وآخ‬.

Disimpulkan bahwa nilai cinta lingkungan diharapkan dapat membuat peserta


didik paham kondisi sesama manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, pentingnya
nilai cinta lingkungan berkaitan dengan Kawin Cai memunculkan peduli terhadap
lingkungan akan menjadi hal utama bagi peserta didik di Sekolah Dasar.

PERKEMBANGAN PENELITIAN PENDIDIKAN NILAI CINTA


LINGKUNGAN

Berikut adalah analisis perkembangan hasil penelitian 10 tahun terakhir


mengenai pendidikan nilai cinta lingkungan di Sekolah Dasar berdasarkan artikel
Strategi pembentukan karakter peduli lingkungan di sekolah adiwiyata mandiri
(Mukminin 2014 ,.‫)وآخ‬, Keefektifan Keterampilan Menulis Poster Dengan

Menggunakan Media Kartun Yang Bermuatan (Wardhani & Sulistyaningrum, 2015),


Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran Ips Di Sekolah Dasar
Sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau (Afandi, 2013) Penanaman
Pendidikan Karakter Cinta Lingkungan Pasca Pandemi Covid-19 Pada Anak Sekolah
Dasar (Jamhariani, 2019), Penanaman Pendidikan Karakter Cinta Lingkungan Pasca
Pandemi Covid-19 Pada Anak Sekolah Dasar (Jamhariani, 2019). Penanaman
Pendidikan Karakter Cinta Lingkungan Melalui Jari Kreasi Sampah Bocah Cilik Di
Kawasan Parangtritis (Harlistyarintica 2017 ,.‫)وآخ‬. Menanamkan Karakter Cinta

Lingkungan Pada Anak Melalui Program “Green And Clean” (Fisher, 2018).
Perkembangan Upacara Adat Kawin Cai Di Desa Babakanmulya Kecamatan
Jalaksana Kabupaten Kuningan Tahun 2007-2018 (Widi Tisa Meinda, 2019),
Pengembangan Ekowisata Situ Cimeuhmal Berbasis Masyarakatdi Desa Banjaran

14
Wetan Kabupaten Bandung (Dienaputra & Rahman, 2021). Penerapan Media Audio
Visual untuk Meningkatan Perilaku Cinta Lingkungan pada Golden Age (Suryani &
Seto, 2020), Menjaga Kelestarian Hutan Dan Sikap Cinta Lingkungan Bagi Peserta
Didik Mi/Sd Di Indonesia (Ahada & Zuhri, 2020).

15
Tabel 2. Perkembangan Penelitian tentang Cinta Lingkungan
No Periodisasi
Aspek
. 2012 - 2015 2016 - 2019 2020 - 2021
1. Objek/ 1.Strategi pembentukan 1. Penanaman Pendidikan 1. Pengembangan Ekowisata
Masalah/Judul karakter peduli lingkungan Karakter Cinta Situ Cimeuhmal Berbasis
Penelitian di sekolah adiwiyata Lingkungan Pasca Masyarakatdi Desa Banjaran
mandiri (Mukminin ,.‫وآخ‬ Pandemi Covid-19 Pada Wetan Kabupaten Bandung
2014) Anak Sekolah Dasar (Dienaputra & Rahman,
2. Keefektifan Keterampilan (Jamhariani, 2019). 2021).
Menulis Poster Dengan 2. Penanaman Pendidikan 2. Penerapan Media Audio
Menggunakan Media Karakter Cinta Visual untuk Meningkatan
Kartun Yang Bermuatan Lingkungan Melalui Jari Perilaku Cinta Lingkungan
(Wardhani & Kreasi Sampah Bocah Cilik pada Golden Age (Suryani &
Sulistyaningrum, 2015). Di Kawasan Parangtritis Seto, 2020)
3. Integrasi Pendidikan (Harlistyarintica ,.‫وآخ‬ 3. Menjaga Kelestarian Hutan
Lingkungan Hidup Melalui 2017). Dan Sikap Cinta Lingkungan
Pembelajaran Ips Di 3. Menanamkan Karakter Bagi Peserta Didik Mi/Sd Di
Sekolah Dasar Sebagai Cinta Lingkungan Pada Indonesia
Alternatif Menciptakan Anak Melalui Program (Ahada & Zuhri, 2020)
Sekolah Hijau (Afandi, “Green And Clean”
2013). (Fisher, 2018).
4. Perkembangan Upacara
Adat Kawin Cai Di Desa
Babakanmulya
Kecamatan Jalaksana
Kabupaten Kuningan
Tahun 2007-2018 (Widi
Tisa Meinda, 2019)
2. Pendekatan/ 1. Pendekatan Kualitatif; 1. Metode deskriptif 1. Metode kualitatif; Tenik
Metode/ Studi Kasus kualitatif ; Studi Pustaka penelitian observasi, serta

16
Teknik (Mukminin 2014 ,.‫)وآخ‬. (Jamhariani, 2019). wawancara (Dienaputra &
Penelitian 2. Penelitian eksperimen 2. Metode berupa bermain, Rahman, 2021).
(Wardhani & bercerita, menyanyi dan 2. Metode deskriptif kualitatif
Sulistyaningrum, 2015). demonstrasi melalui observasi langsung,
3. Metode studi dokumen (Harlistyarintica ,.‫وآخ‬ wawancara dan dokumentasi
(Afandi, 2013) 2017). (Suryani & Seto, 2020).
3. Metode “green and 3. Pendekatan kepustakaan
clean” dilakukan melalui atau studi Pustaka (Ahada &
Program pra Zuhri, 2020).
pembelajaran dikelas
(Fisher, 2018).
4. Metode wawancara
dengan pendekatan
kualitatif (Widi Tisa
Meinda, 2019)
3. Hasil Guna 1. Menumbuh 1. Penanaman pendidikan 1. Pengembangan ekowisata di
Penelitian kembangkan karakter karakter cinta lingkungan sebuah destinasi atau
peduli lingkungan pascapandemi Covid-19 kawasan bertujuan untuk
(Mukminin 2014 ,.‫)وآخ‬. pada anak sekolah dasar menciptakan dampak positif
2. Menentukan keefektifan dapat dilakukan dengan terkait pelestarian faktor
keterampilan menulis menunjukkan bahwa alam, mempertahankan
poster dengan seseorang tersebut peduli unsur lokal sosial budaya dan
menggunakan media akan lingkungan meningkatkan aspek
kartun yang bermuatan sekitarnya yang bisa ekonomis bagi masyarakat
cinta lingkungan ditunjukkan dengan yang berada di sekitarnya
(Wardhani & tindakan dan aksi untuk (Dienaputra & Rahman,
Sulistyaningrum, 2015). senantiasa berupaya 2021).
3. Pendidikan lingkungan mencegah kerusakan 2. Perilaku cinta lingkungan
hidup dapat di pada alam sekitarnya melalui kegiatan membuang
integrasikan ke dalam (Jamhariani, 2019). sampah pada tempatnya

17
pembelajaran IPS di 2. Sikap karakter cinta berkembang sangat baik
sekolah dasar (Afandi, lingkungan sebaiknya (Suryani & Seto, 2020).
2013) ditanamkan sejak usia 3. Sikap peduli lingkungan harus
dini dikarenakan karakter ditingkatkan, etika lingkungan
ini membutuhkan sebuah perlu diterapkan di
proses internalisasi masyarakat dan pendidikan
sehingga ketika dewasa lingkungan hidup terutama
kelak memiliki sikap pada anak-anak sekolah dasar
peduli lingkungan (Ahada & Zuhri, 2020)
disekitarnya dalam hal ini
sampah (Harlistyarintica
2017 ,.‫)وآخ‬.
3. Meningkatkan kesadaran
siswa bahwa lingkungan
yang bersih dan indah
(Fisher, 2018)
4. Masyarakat Desa
Babakanmulya
mengklaim ikut menjaga
dan melestarikan, bahkan
mendorong sepenuhnya
kegiatan upacara adat
kawin cai (Widi Tisa
Meinda, 2019)

18
SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Simpulan

Kawin Cai merupakan sebuah upacara penyatuan air dari dua sumber mata air
yang berbeda yaitu dari sumber mata air Tirta Yatra (Balong Dalem) dan sumber air
Sumur Tujuh Cikembulan (Cibulan). Dilaksanakan dalam satu tahun sekali pada
bulan Oktober malam Jumat kliwon. Sehingga sumber daya air jika dimanfaatkan
dengan baik akan berguna untuk berkelanjutan kepentingan jangka panjang oleh
masyarakat sekitar, karena air selain digunakan untuk minum, air juga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, seperti berguna untuk MCK
(mandi, cuci, kakus) membantu mengairi lahan pertanian, berwudhu orang muslim,
dan sebagainya.
Menanamkan cinta lingkungan merupakan salah satu tujuan kearifan lokal
yang berfungsi untuk membentuk karakter generasi muda yang memiliki kepribadian
dan karakter cinta terhadap kedamaian dan kesejahteraan. Selain daripada nilai utama
terdapat nilai lain yang menjadi sumber kearifan lokal di upacara adat Kawin Cai,
salah satu nilai kearifan lokal dari upacara adat Kawin Cai yang dapat diterapkan
dalam kehidupan masyarakat melalui sistem kepercayaan yang identik dengan
kehidupan masyarakat agraris, yaitu nilai religi, nilai tata krama, nilai hormat kepada
budaya warisan nenek moyang, dan nilai gotong royong yang melekat pada
masyarakat Desa Babakanmulya Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan
Pendekatan terhadap peserta didik dapat mengkonkretkan materi-materi pembelajaran
yang masih dianggap abstrak oleh peserta didik.

Implikasi

`Implikasi dari penelitian ini dapat ditinjau sebagai teori dalam penelitian
yang berkaitan dengan Kawin Cai, serta nilai cinta lingkungan, selain daripada itu,
implementasi penelitian ini dapat ditinjau sebagai praktik pembelajaran di sekolah

19
dasar dengan menggunakan pendekatan media diorama sub tema ayo cinta
lingkungan berbasis nilai cinta lingkungan.
GLOSARIUM

Kawin Cai = Mencampurkan air dari mata air Tirta Yatra Balong Dalem dengan air
dari mata air Sumur Tujuh Cibulan (Jaja Subagja)
Mapag Cai = Penjemputan air (Jaja Subagja)
Totolok = Wadah Kendi yang terbuat dari anyaman bambu (Adim Sardim)

REFERENSI
Afandi, R. (2013). Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran IPS
di Sekolah Dasar Sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau. Pedagogia :
Jurnal Pendidikan, 2(1), 98–108. https://doi.org/10.21070/pedagogia.v2i1.50
Ahada, N., & Zuhri, A. F. (2020). Menjaga Kelestarian Hutan Dan Sikap Cinta
Lingkungan Bagi Peserta Didik Mi/Sd Di Indonesia. El Banar : Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran, 3(1), 35–46.
https://doi.org/10.54125/elbanar.v3i1.43
Alpusari, M. (2014). Analisis Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup Pada
Sekolah Dasar Pekanbaru. Primary: Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar,
2(02), 10. https://doi.org/10.33578/jpfkip.v2i02.1957
Aripudin, A., & Perwira, R. ( ‫ت‬.‫)د‬. Aspek Agama dalam Tradisi Seren Taun Studi
Kasus di Cigugur1. Academia.Edu.
https://www.academia.edu/download/65404812/Makalah_Study_Kasus_Sere
n_Taun.pdf
Benjamin, W. (2019). No Tit‫ילי‬le. ‫ في‬ペインクリニック学会治療指針2 (3 .‫)مج‬.
Dienaputra, R. D., & Rahman, C. U. (2021). Pengembangan Ekowisata Situ
Cimeuhmal Berbasis Masyarakat di Desa Banjaran Wetan Kabupaten
Bandung. Jurnal Terapan Pariwisata, 5(2), 84–97.
Dinyanti, S. (2021). Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember
Jember Digital Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember
Jember. Digital Repository Universitas Jember, September 2019, 2019–2022.
Engel. (2014). 済無 No Title No Title No Title. Paper Knowledge . Toward a Media
History of Documents.
Fisher, M. (2018). MENANAMKAN KARAKTER CINTA LINGKUNGAN PADA
ANAK MELALUI PROGRAM “GREEN AND CLEAN”. Polymers Paint
Colour Journal, 194(4475), 42. https://doi.org/10.5771/9783828867246
Halidin. (2018). Pembelajaran Cinta Lingkungan.
Harlistyarintica, Y., Wahyuni, H., -, W., Yono, N., Sari, I. P., & Cholimah, N. (2017).
Penanaman Pendidikan Karakter Cinta Lingkungan Melalui Jari Kreasi
Sampah Bocah Cilik Di Kawasan Parangtritis. Jurnal Pendidikan Anak, 6(1),
20–30. https://doi.org/10.21831/jpa.v6i1.15658

20
Indarti, D., Dewi, H., & Sukma, S. A. (2020). CINTA LINGKUNGAN SEBAGAI
IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER RELIGIUS : SUATU PERSPEKTIF
BERDASARKAN EFESUS 5 : 1-21 Sekolah Tinggi Teologi Excelsius Dunia
pendidikan semakin hari semakin dihadapkan dengan berbagai tantangan yang
mempersulit dan menuntut dalam me. Jurnal Teologi, Misiologi dan
Pendidikan, 4(31), 1–18.
Jamhariani, R. (2019). Penanaman Pendidikan Karakter Cinta Lingkungan
Pascapandemi Covid-19 Pada Anak Sekolah Dasar. Seminar Nasional
Pascasarjana 2020, 2019, 268–272.
Meinda Tisa, W. (2019). PERKEMBANGAN UPACARA ADAT KAWIN CAI DI
DESA BABAKANMULYA KECAMATAN JALAKSANA KABUPATEN
KUNINGAN TAHUN 2007-2018.
Mukminin, A., Iain, A.-A., Thahah, S., & Jambi, S. (2014). Strategi Pembentukan
Karakter Peduli Lingkungan Di Sekolah Adiwiyata Mandiri. XIX XIX(02),
227–252.
Royyani, M. (2017). Upacara Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat: Tradisi Sebagai Basis Pelestarian Lingkungan. Jurnal Biologi
Indonesia, 4(5), 399–415.
Sa’bani1, A. M., Nugraha2, A., & Lidinillah3, D. A. M. (2017). PEDADIDAKTIKA:
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR Penggunaan
Media Diorama pada Pembelajaran Subtema Ayo Cintai Lingkungan di
Sekolah Dasar. 4(1), 29–39.
http://ejournal.upi.edu/index.php/pedadidaktika/index
Suryani, L., & Seto, S. B. (2020). Penerapan Media Audio Visual untuk Meningkatan
Perilaku Cinta Lingkungan pada Golden Age. Jurnal Obsesi : Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 900–908.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.601
Wardhani, E. E., & Sulistyaningrum, S. (2015). Keefektifan Keterampilan Menulis
Poster Dengan Menggunakan Media Kartun Yang Bermuatan. Lingua, 11(1),
1–9. https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/lingua/article/view/8924/5853
WIDI TISA MEINDA. (2019). PERKEMBANGAN UPACARA ADAT KAWIN CAI
DI DESA BABAKANMULYA KECAMATAN JALAKSANA
KABUPATEN KUNINGAN TAHUN 2007-2018.
Yuyuningsih. (2020). Makalah Manusia Sebagai Mahluk budaya, apresiasi terhadap
kemanusiaan dan kebudayaan. 1–6. https://dokumen.tips/documents/makalah-
manusia-sebagai-manajer-alam.html

21
NADRAN SEBAGAI SUMBER PEMBENTUKAN NILAI SOSIAL
MASYARAKAT CIREBON

Arif Sarifudin
arifsarifudin@upi.edu
Mahasiswa S2 Pedagogik
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Artikel ini ditujukan untuk menggambarkan hasil kajian tentang Nadran
sebagai sumber pembentukan nilai sosial pada masyarakat Cirebon. Pendekatan yang
digunakan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi
kepustakaan (literature review), dan studi lapangan melalui teknik observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik pengolahan data yang digunakan ialah
teknik triangulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai sosial
(gotong royong, dan ekonomi) yang menjadi nilai utama dalam nadran, kemudian
terdapat nilai penunjang yang lain, di antaranya: nilai religi, cinta tanah air, dan
persatuan. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sumber dalam pendidikan di Sekolah
Dasar, agar kualitas karakter siswa semakin berkualitas.
Kata Kunci: Nadran, Nilai sosial.

DASAR PEMIKIRAN
Peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dengan budaya, oleh karenanya
manusia dikenal sebagai mahkluk berbudaya. Budaya dalam peradaban manusia
merupakan puncak tertinggi dari eksistensi manusia, sebab budaya merupakan buah
hasil dari pemikiran akal budi manusia, sebagai mahkluk yang berbudaya, manusia
memiliki kemampuan untuk menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan dan
tanggung jawab. Sehingga hal inilah yang akan membentuk identitas suatu
masyarakat. (Nasution, dkk. 2015)
Pembentukan identitas suatu masyarakat melalui budaya sangat
mencerminkan bagaimana hubungan antara keduanya yang sangat erat, bahkan segala
sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Adapun untuk menjadikan budaya dalam lingkup sebuah
negara, maka kebudayaan ini harus memiliki paduan bagi seluruh lapisan kebudayaan
yang mencakup kehidupan bangsa, totalitas kerohanian, kepribadian bangsa,
pandangan hidup, cara berfikir dan sifat. (Setiadi. Hakam, & Efendi. 2017)

22
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki nilai
kekuatan dan kemajemukan dalam budaya, sehingga hal inilah yang membentuk
identitas bangsa Indonesia. Berbagai macam budaya yang dihasilkan oleh masyarakat
dari Sabang sampai Merauke, ribuan bahkan jutaan budaya lahir dari berbagai macam
masyarakat, hal ini menandakan bahwa eksistensi bangsa indonesia tidak dapat
dipandang sebelah mata (Nasution. 2015). Salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki kemajemukan budaya yang cukup tinggi ialah Kota Cirebon.
Kota yang berasal dari kata Caruban yang memiliki arti “campuran” ini
menunjukan identitas daerah yang begitu mencolok. Hal ini dikarenakan Cirebon
merupakan sebuah daerah yang berisikan penduduk yang berasal dari berbagai
macam negeri, suku bangsa, dan lainnya yang menetap dan tinggal di berbagai
penjuru Kota Cirebon. Sehingga hal ini membentuk akulturasi budaya yang begitu
kompleks (Ruspandi & Mulyadi. 2014).
Salah satu budaya yang lahir dari proses akulturasi tersebut ialah Nadran.
Budaya ini sudah turun temurun dari nenek moyang pada masyarakat pesisir utara
Kota Cirebon. Ruspandi & Mulyadi. (2014) mengatakan bahwa banyak masyarakat
awam yang belum sepenuhnya memahami budaya Nadran sehingga menimbulkan
persepsi negatif, seperti anggapan masyarakat luar daerah Cirebon yang menganggap
upacara adat Nadran ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap agama Islam
(musyrik). Hal ini dikarenakan masyarakat awam belum sepenuhnya memahami
esensi dan nilai yang terkandung dalam suatu adat istiadat atau budaya.
Selain banyaknya masyarakat awam yang belum mengetahui esensi nilai dari
Nadran, hal lain mengancam eksistensi Nadran, seperti globalisasi dan digitalisasi di
era moderen ini. Pada masa moderen ini banyaknya komponen kehidupan yang
beralih ke ranah digital sehingga masyarakat cenderung untuk meninggalkan hal-hal
yang bersifat tradisional, salah satunya ialah tradisi Nadran yang semakin tidak
dikenal oleh masyarakat, khususnya mengenai nilai yang terkandung di dalam tradisi
Nadran itu sendiri.

23
Berkaitan dengan masyakat awam yang belum mengetahui nilai Nadran dan
moderenisasi kehidupan masyarakat, Majreha. Surana, & Tsaury. (2018)
mengungkapkan adanya esensi dan urgensi dari budaya Nadran, ia mengungkapkan
bahwa budaya Nadran memberikan kontribusi melalui nilai sosial dan nilai religi
yang terkandung di dalam Nadran, sehingga hal ini dapat membantu pembentukan
nilai di masyarakat.
Berdasarkan dasar pemikiran yang telah disampaikan, pada kesempatan kali
ini peneliti akan mengkaji budaya Nadran sebagai sumber pembentukan nilai sosial
bagi masyarakat Cirebon.

TINJAUAN TEORETIK TENTANG NADRAN

A. Asal-usul Nadran

Asal-usul Nadran menurut Lismawanty. Dwiatmini, & Yuningsih. (2021)


mengatakan bahwa Nadran telah dilaksanakan dari abad ke-4 pada masa kerajaan
Tarumanegara. Dalam pandangannya Nadran sekarang ini merupakan bentuk
akulturasi atau perpaduan budaya dari agama hindu dan Islam. Ketika zaman kerajaan
Tarumanegara yang mayoritas pengikutnya merupakan penganut agama hindu
berupaya untuk mengadopsi ritual agama yang dilaksanakan di sungai Gangga, akan
tetapi seiring berjalannya waktu, agama Islam secara cepat masuk dan menyebar
diwilayah utara pesisir Cirebon.
Pada saat agama Islam mulai menyebar, hal ini menggeser budaya masyarakat
sekitar, ditambah dengan berdirinya kesultanan Cirebon sehingga penyebaran syariat
Islam dengan begitu cepat menyebar ke masyarakat, hal ini dikarenakan para wali,
dan ulama pada zaman itu memanfaatkan budaya sebagai akomodatif dakwah ajaran
Islam, dengan memanfaatkan hal ini para ulama tidak harus menentang apa yang
sudah ada di masyarakat, akan tetapi hanya memodifikasi bagian penting dari budaya
dengan menanamkan ajaran Tauhid, syariat, bahkan nilai keIslaman lainnya. Salah
satunya ialah Nadran yang awalnya bentuk adaptif dari ritual agama hindu, berubah

24
menjadi budaya Islam. Dari hal ini Nadran yang dikenal oleh masyarakat saat ini,
berasal dari bahasa arab, yakni “nadr” yang memiliki arti syukuran (bersyukur).
Asal-usul Nadran pada zaman keIslaman, diungkapkan dalam buku “Warisan
Budaya Tak Benda Kota Cirebon tahun 2020”. Di dalam buku tersebut, diungkapkan
bahwasanya Nadran merupakan tradisi atau kebiasaan yang sudah lama dilaksanakan
oleh masyarakat nelayan di Kota Cirebon. Pada zaman itu tradisi Nadran ditunjukkan
sebagai rasa syukur oleh Ki Gedeng Jumanjati atau yang dikenal dengan Ki Gedeng
Tapa yang merasa bahagia karena putrinya (Nyi Subang Larang) telah berhasil
mendalami Agama Islam kepada Syekh Quro’ yang di dukung oleh Syekh Nurjati,
dari hal ini kemudian Ki Gedeng Tapa mengajak masyarakat untuk memasarkan hasil
mata pencahariannya di Pasar Pasambangan Jati, bentuk rasa syukur ini kemudian
membentuk suatu tradisi arak-arakan. Proses arak-arakan dimulai dari pesantren
Pasambangan Jati menuju arah utara mengarah ke Singhapura (Desa Sinarbaya).
Ketika masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, tradisi pada masyarakat Cirebon
masih dilaksanakan baik itu arak-arakan, sedekah bumi, ngunjung (ziarah) dijadikan
satu di dalam proses tradisi Nadran.
Berkaitan dengan sejarah dan asal-usul dari upacara adat Nadran Isfironi
(2013) membagi sejarah upacara adat Nadran ke dalam tiga periodesasi, yang
pertama ketika zaman kerajaan Hindu, setelah datangnya agama Islam, dan upacara
adat pada masa kini. Ketika zaman kerajaan Hindu diceritakan dalam buku “Negara
Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta mengungkapkan bahwa asal usul
pelaksanaan upacara adat Nadran berawal pada tahun 410 M di masa pemerintahan
Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. Kerajaan taruma sendiri terletak
didekat aliran sungai Citarum. Pada saat itu Raja Purnawarman memerintahkan Prabu
Sentanu untuk memperdalam dan memperbaiki tanggul di aliran Sungai Citarum agar
terlihat mirip dengan sungai Gangga di India, sungai ini pun dinamai dengan sungai
“Gangganadi” perbaikan sungai dan tanggul ini untuk mandi suci. Sungai tersebut
sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota
Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara

25
ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan
pemujaan kepada sang pencipta. Di dalam pelaksanaan Nadran, diiringi dengan
pementasan wayang yang kental dengan hinduisme, dengan tokohnya Mahabarata &
Ramayana dan cerita Budug Basuh yang menceritakan pencarian “Tirta Amerta” (air
kehidupan) oleh para Dewa.
Setelah kedatangan Islam, Nadran tidak lagi dimaknai sebagai penyembahan
kepada Sanghyang Jagat Batara (penguasa alam) akan tetapi lebih dimaknai sebagai
wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para
nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang
berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan
pembacaan do’a yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi yang
diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan
simbolisasi pembagian berkah. Pelarungan (menghanyutkan kepala kerbau) tidak lagi
dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol
pada membuang kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber
kehidupan bagi para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.
Di dalam pelaksanaannya pementasan wayang tetap dilaksanakan, akan tetapi
mengalami perubahan juga dari segi cerita dan tokoh-tokohnya. Jenis wayang yang
ditampilkan pun dari wayang golek sampai dengan wayang kulit dengan pembawaan
cerita “Babad Cirebon”, “Babad walingsa”, dan “Babad Ambiya” atau dengan arti
lain “Sejarah Cirebon”, “Sejarah Walisongo” dan “Sejaran Nabi”. Pementasan
wayang ini ditunjukkan untuk membekali masyarakat dengan nilai rohaniyah. Selain
daripada itu Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan
atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan
menggantinya dengan nilai-nilai positif.
Pada fase ketiga, sejarah Nadran, dalam periodesasi sekarang ini hampir sama
dengan pada waktu kedatangan agama Islam, dan tidak ada perubahan yang begitu
berarti, dengan artian lain, Nadran dari pesisir utara Cirebon masih kental dengan
tradisinya. Kalaupun ada perubahan atau penambahan agenda pada saat sekarang ini

26
cenderung bersifat opsional, atau disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan dan
kemampuan masyarakat.

B. Syarat Nadran
Setiap tradisi atau kebudayaan yang masih dijalankan oleh masyarakat sampai
saat ini tidak terlepas dari syarat atau aturan, sehingga pelaksanaan tradisi di
masyarakat berjalan dengan lancar. Berkaitan dengan hal ini, Mulyadi (tokoh
masyarakat) kampung Cangkol Tengah, Lemahwungkuk, Kota Cirebon
mengungkapkan bahwa tradisi Nadran merupakan kebiasaan masyarakat Cirebon
pada zaman dulu yang masih dilaksanakan sampai saat ini, sehingga tradisi Nadran
ini bersifat tidak wajib untuk dilaksanakan jika kondisi di masyarakat tidak
memungkinkan, dengan arti lain sunah untuk dilaksanakan, bahkan baiknya terus
dilaksanakan sebagai bentuk local wisdom masyarakat Cirebon.
Tradisi Nadran di Cirebon, memiliki beberapa syarat atau aturan
pelaksanaan, Mulyadi mengungkapkan bahwasanya syarat atau aturan ini harus
dijalankan selama proses kegiatan Nadran berlangsung selama tiga hari tiga malam,
syarat-syarat tradisi Nadran di Kota Cirebon diantaranya ialah: pembuatan perahu
ancak, menyiapkan hasil bumi (sesajen), kepala kerbau, air kembang tujuh rupa, dan
ruwat (pagelaran wayang kulit).
Perahu ancak (perahu kecil) yang dibuat untuk proses pelarungan
(melepaskan sesajen dan kepala kerbau dan hasil bumi atau sesajen ke tengah laut),
mulai dirakit sekitar satu bulan sampai dengan satu minggu sebelum hari H tradisi
Nadran dilaksanakan, prahu ancak sendiri terbuat dari kerangka kayu bambu dan
dilapisi dengan Styrofoam agar mudah mengapung dan mampu menahan bobot hasil
bumi dan kepala kerbau yang akan dilarungkan, akan tetapi bahan tersebut tidak
ramah untuk lingkungan khususnya biota laut, maka para nelayan mengganti
Styrofoam tersebut dengan kertas semen yang lebih ramah lingkungan. Bahkan Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cirebon membuat lomba untuk pembuatan prahu
ancak di daerah-daerah yang melaksanakan Nadran di Kota Cirebon dengan

27
memperhatikan kriteria kerapian, keunikan, sampai dengan kelengkapan isian hasil
bumi yang dimuat ke dalam perahu ancak.

Gambar 1: Perahu ancak Kampung Cangkol, Lemahwungkuk, Kota Cirebon

Selesai merakit perahu ancak, para nelayan kemudian mempersiapkan atau


mengumpulkan hasil bumi dan menyembelih kepala kerbau, sebagaimana dijelaskan
pada paragraf sebelumnya, isian prahu ancak menjadi salah satu penilaian yang
dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cirebon, sehingga hal ini
memberikan semangat kepada para nelayan untuk memenuhi prahu ancak tersebut
dengan hasil buminya.

Gambar 2 & 3: Hasil bumi dan kepala kerbau yang disusun ke dalam perahu ancak
(Sumber dokumentasi: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cirebon)

28
Penyembelihan kepala kerbau dilakukan pada hari pelaksanaan tradisi
Nadran, kerbau yang dipilih harus kerbau jantan yang sudah dewasa, akan tetapi
penyembelihan kepala kerbau ini tidak bersifat wajib, dalam arti lain mengharuskan
adanya kepala kerbau di dalam sesajen, hal ini disesuaikan dengan kondisi ekonomi
masyarakat sekitar yang ikut berdonasi untuk kegiatan Nadran ini, jika keadaan
ekonomi tidak memungkinkan untuk menyembelih seekor kerbau maka, masyarakat
sekitar menggantinya dengan dua ekor kambing.
Sebelum perahu ancak dilarungkan ke tengah laut, masyarakat, nelayan,
tokoh adat dan ulama yang hadir pada kegiatan tradisi Nadran melakukan do’a
bersama terlebih dahulu, pada kegiatan do’a inilah para nelayan menyiapkan air
kembang untuk dido’akan juga. Pada saat perahu ancak telah dilarungkan dan para
nelayan kembali ke tepi pantai untuk membasuh kapal/perahu ikan mereka dengan air
do’a atau air kembang yang sudah dido’akan sebelumnya. Hal ini dipercayai oleh
para nelayan sekitar agar mendapat keberkahan hasil tangkapan ikan ataupun
keberkahan lainnya. Isian sesajen, kepala kerbau, do’a bersama dan membasuh
kapal/perahu nelayan ini, menjadi ciri khas Nadran di Kota Cirebon yang masih
kental dengan syarat agama, dan menjadikannya berbeda dengan Nadran pada
umumnya di pesisir laut Jawa.
Selain, itu semua, terdapat syarat mutlak di dalam tradisi Nadran yang tidak
bisa diganggu gugat, syarat tersebut ialah pagelaran atau pertunjukan wayang kulit
yang disebut dengan ruwat.

C. Kegiatan Nadran
Kegiatan Nadran diungkapkan oleh Bapak Iman Fachrurochman (Kepala Biro
Kebudayaan Kota Cirebon), Bapak Mulyadi selaku tokoh masyarakat kampung
Cangkol, sekaligus ketua pelaksanaan tradisi nadran di kampung Cangkol, Kelurahan
Lemahwungkuk, Kota Cirebon, dan melalui observasi melalui tayangan video
YouTube pada channel Gigi Priadji Rivai dengan judul “Nadran Cirebon” juga
channel SALSABILA Art dengan judul “Nadran Pesisir, Samadikun, Cangkol,

29
Kejawanan Kota Cirebon”. Dari hal ini diungkapkan bahwasanya Nadran ini menjadi
tradisi atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Cirebon. Tradisi
Nadran rutin dilaksanakan setiap tahunnya dan bertepatan dengan hari jadi Kota
Cirebon, yakni bulan Muharam. Beliau mengungkapkan tidak semua wilayah di
Cirebon melaksanakan Nadran, hal ini merujuk pada kondisi geografis wilayah
tersebut, di Kota Cirebon sendiri terdapat tiga wilayah yang melaksanakan tradisi
Nadran, diantaranya ialah kampung Cangkol, Pesisir, dan Samadikun.
Berkaitan dengan proses kegiatan tradisi Nadran, Iman Fachrurrochman
mengungkapkan bahwa kegiatan di dalam tradisi Nadran cukup panjang, dimulai
tahap persiapan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi proses kegiatan. Pada tahap
persiapan ini para nelayan membentuk suatu kelompok panitia untuk
penyelenggaraan Nadran sekitar satu bulan sebelum hari H kegiatan, setelah
kepanitiaan terbentuk kelompok nelayan ini kemudian melakukan koordinasi dengan
pihak-pihak yang terlibat di dalam tradisi Nadran, seperti para tokoh adat,
budayawan, pemerintah setempat, dan polisi air. Pada tahap persiapan satu minggu
sebelum hari H panitia merakit ancak (perahu kecil) sebagai wadah hasil bumi, dan
kepala kerbau yang akan dilarungkan ke laut.
Pada pelaksanaan hari H, ancak yang sudah diisi dengan hasil bumi dan
kepala kerbau akan diarak terlebih dahulu. Setelah melakukan arak-arakan para
nelayan, masyarakat, tokoh adat, dan kiyai melakukan do’a bersama, sebelum
melakukan proses pelarungan ancak. Setelah itu peserta Nadran mengantarkan ancak
ke laut dengan perahu nelayan untuk proses pelarungan, pada kegiatan ini diawasi
langsung oleh polisi air untuk berjaga-jaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Setelah melarungkan ancak, para nelayan kembali lagi ke tepi laut untuk membasuh
perahu/kapal mereka dengan air kembang yang telah di do’akan ketika do’a bersama.
Pada malam harinya para nelayan, masyarakat sekitar dan tokoh adat
mengadakan pertunjukan wayang kulit (ruwat), sekaligus sebagai penutup dari
rangkaian acara Nadran. Ruwat ini diartikan sebagai media ngidung (mengaji) bagi
masyarakat agar mendalami agama Islam melalui cerita “Budug Basuh” yang

30
diperagakan dalam pagelaran wayang kulit, dengan tokohnya Senopati Aswatama
(dewa laut) dan Dewi Sri (dewa padi). Kisah ini diceritakan ketika Dewi Sri yang
sedang mencari pasangan meminta dijodohkan dengan seseorang kepada gurunya
yakni Batara Guru, kemudian sang Batara Guru bertemu dengan Senopati Aswatama.
Senopati Aswatama merupakan anak dari Dorna. Setelah peperangan Batara Yudha,
Aswatama menyelinap ke perkemahan Pandawa, dan membinasakan keturunan
Pandawa sehingga dikutuk menderita penyakit dengan usia yang panjang, sehingga
tersiksa dengan penyakitnya. Setelah itu, senopati Aswatama berkelana kelautan dan
menjelma sebagai raja ikan (dewa laut) yang sering meneror para nelayan dan dikenal
sebagai Budug Basuh. Ketika Dewi Sri dan Budug Basuh (Aswatama) bertemu
mereka merasa cocok, akan tetapi Dewi Sri mulai menghindar setelah mengetahui
Budug Basuh yang mengidap penyakit budug, hingga akhir hayat Dewi Sri yang
menolak menikah dengan Budug Basuh, akan tetapi Budug Basuh terus mengejar
Dewi Sri, sampai ikut mengakhiri hidupnya dan berikrar kepada batara guru bahwa ia
akan memiliki Dewi Sri di akhirat. Kelak kedua tokoh ini menjelma sebagai padi dan
ikan. Dalam pandangan masyarakat, kisah mereka ini secara simbolis akan bertemu di
piring sebagai nasi dan iwak (ikan)/lauk makan dan memberikan kenikmatan ketika
kita memakan nasi dengan ikan.
Berkaitan dengan tinjauan teoretik Nadran diperoleh penjelasan yang dari
beberapa sumber referensi, hal ini dapat dilihat melalui ringkasan tabel perbandingan
tentang Nadran di bawah ini.
Tabel 1. Hasil Wawancara dan Jurnal Tentang Tradisi Nadran
No. Komponen Buku/Jurnal Hasil wawancara
5. Asal Usul Nadran sebagai upacara Nadran sebagai tradisi atau
ritual yang dilakukan oleh kebiasaan yang dilakukan
masyarakat Cirebon setiap tahun oleh masyarakat
Cirebon.
6. Kegiatan Upacara buang saji Kegiatan tradisi nadran
(membuang sesajen ke dimulai dari tahap persiapan,
tengah laut). pelaksanaan, dan evaluasi.
Arak-arakan menjadi Dalam pelaksanaan terdapat
kegiatan yang bersifat acara inti, yakni: arak-arakan,

31
tambahan agar semakin do’a bersama, pelarungan,
menarik masyarakat dan dan ruwat.
wisatawan yang berkunjung.
7. Syarat Kepala kerbau, sesajen, kain Ancak, kepala kerbau, sesajen
kafan, rujak wuni. (hasil bumi), ruwat
8. Nilai Bentuk implementasi rasa Terdapat beberapa nilai yang
syukur, sedekah laut untuk penting dalam kehidupan,
meminimalisir bencana seperti nilai sosial (gotong
yang menimpa. royong, kerja sama,
Semangat kebangsaan, dan ekonomi), nilai religi, nilai
cinta tanah air terhadap syukur,
pelestarian budaya
masyarakat lokal.

PEMBAHASAN TENTANG NILAI DALAM TRADISI NADRAN

A. Nilai Sosial dalam Tradisi Nadran


Nilai yang terkandung di dalam tradisi Nadran begitu sakral, sehingga sampai
saat ini masyarakat Cirebon masih melaksanakan dan mewariskan tradisi yang sudah
berusia 17 abad. Akan tetapi masih banyak persepsi masyarakat awam yang salah
beranggapan budaya Nadran yang mengandung kemusyrikan, (Majreha. Surana, &
Tsaury. 2018). Padahal persepsi masyarakat awam ini tidaklah benar, dan berbanding
terbalik dengan apa yang sebenarnya, Iman Fachrurrochman (Kepala Biro
Kebudayaan, Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Cirebon) membantah anggapan masyarakat yang belum memahami tradisi Nadran
tersebut. Dalam pandangannya tradisi Nadran memiliki sumber nilai, religi, karakter,
sosial, dan nilai-nilai lainnya yang membentuk identitas masyarakat Kota Cirebon.
Selain dari pada itu, Nur’aeni. Wakidi. & Basri (2013) mengungkapkan
bahwa budaya Nadran di Kota Cirebon memiliki nilai yang dapat membentuk
identitas masyarakat di sana, nilai tersebut diantaranya ialah nilai religi, gotong
royong, rasa syukur, dan nilai lainnya. Pandangan lainnya mengenai budaya Nadran
dan nilai-nilai yang terkandungnya diungkapkan oleh Subarman (2014) yang
mengungkapkan bahwa budaya Nadran dapat mempengaruhi perubahan sosial

32
masyarakat melalui nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya Nadran. Sehingga
hal ini mengindikasikan nilai edukasi di dalam suatu budaya.
Pandangan serupa, diungkapkan oleh Asteja, dkk (2020) Bahwasanya tradisi
Nadran memiliki nilai yang sangat penting bagi masyarakat sekitar, nilai tersebut
berupa nilai sosial berupa solidaritas antar nelayan, dan masyarakat, sehingga
menumbuhkan kesadaran sosial hal ini terlihat dari adanya tindakan dan perilaku
sosial dalam tradisi Nadran, seperti gotong royong, kerjasama, dan kepedulian.
Nilai sosial tersebut terinternalisasi di dalam seluruh proses rangkaian
kegiatan tradisi Nadran. Seperti nilai gotong royong dan kerjasama, saling berbagi,
kepedulian ketika mempersiapkan kegiatan tradisi Nadran, perakitan prahu ancak,
pengumpulan hasil bumi dari masyarakat sekitar yang akan dijadikan sesajen untuk
proses pelarungan. (Saeful, Achdiani, & Abdullah. 2017)
Nilai sosial lainnya yang terdapat di dalam tradisi Nadran ialah nilai ekonomi,
hal ini diungkapkan oleh Mulyadi (tokoh masyarakat kampung Cangkol, Kelurahan
Lemahwungkuk, Kota Cirebon), bahwasanya nilai ekonomi tercerminkan melalui
hasil bumi yang terkumpul untuk dijadikan sesajen pada proses pelarungan, semakin
banyak dan komplit hasil bumi yang dikumpulkan maka berbanding lurus dengan
keadaan ekonomi masyarakat, begitupun sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa
tradisi atau budaya dalam suatu masyarakat akan selalu terikat dengan sistem sosial
yang ada di dalamnya. Nilai ekonomi dalam tradisi Nadran juga diungkapkan oleh
Imam Faturrchman, yang mengungkapkan bahwasanya nilai ekonomi terdapat di
dalam kegiatan arak-arakan, dalam kegiatan ini secara historis sejarah ataupun
kontemporer saat ini masih melekat dengan nilai ekonomi, karena saat kegiatan ini
masyarakat dianjurkan untuk, memamerkan (berjualan) barang dagangannya. Hal ini
pun tetap berlangsung ditambah dengan bentuk apresiasi dinas Kepemudaan,
Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon yang menjadikan tradisi Nadran
ini sebagai festival budaya nasional, sehingga menarik wisatawan dalam negeri atau
luar negeri yang tertarik dengan tradisi Nadran.

33
B. Nilai Penunjang Nadran
Selain nilai sosial yang terdapat dalam tradisi Nadran, terdapat nilai lain, nilai
tersebut ialah nilai religi yang terbentuk dari rasa syukur masyarakat, dan nelayan
Kota Cirebon. Nilai ini terlihat dalam rangkaian kegiatan tradisi Nadran, doa bersama
(tawasul & tahlil) sebelum proses pelarungan sesajen dan kepala kerbau ke tengah
laut. Tidak hanya itu, proses pelarungan juga dimaknai sebagai rasa syukur
masyarakat sekitar dan nelayan dari hasil bumi ataupun laut (perikanan) mereka
mensedekah-kan kembali kepada alam, sehingga dengan rasa syukur yang terus
terpupuk masyarakat dan nelayan memiliki keyakinan bahwa hasil yang akan didapat
pun akan semakin bertambah (Mustaqim. 2020)
Selain dari pada nilai religi, terdapat nilai lainnya yang terinternalisasi di
dalam tradisi Nadran, nilai tersebut ialah nilai semangat kebangsaan, cinta tanah air.
Nilai sebangat kebangsaan terlihat di dalam proses kegiatan pelarungan. Dalam
kegiatan tersebut masyarakat, nelayan, tokoh masyarakat & tokoh adat mengiringi
proses pelarungan sesajen dan kepala kerbau ke tengah laut dengan puluhan perahu
nelayan, mereka yang terlibat dalam hal ini seakan seperti keluarga sendiri, tidak
membedakan siapapun, ras atau etnis manapun. Adapun nilai cinta tanah air, terlihat
dengan jelas dari masyarakat Kota Cirebon yang sampai saat ini masih melestarikan
tradisi Nadran. Bahkan tradisi Nadran di Kota Cirebon dianggap sebagai tradisi yang
masih sakral akan nilai. Dari perkembangannya tradisi Nadran juga tidak mengalami
perubahan yang begitu berarti, perubahan ini hanya terlihat ketika terjadinya proses
peralihan dari zaman hindu-budha ke zaman keIslaman yang di pimpin oleh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). (Majreha, Surana, & Tsaury. 2018)

C. Pengembangan Nilai Sosial di Sekolah Dasar


Pengembangan nilai sosial tidak hanya dilakukan melalui kegiatan
dimasyarakat, seperti melalui berbagai macam tradisi, adat-istiadat atau kegiatan
budaya lainnya yang sudah tentu mengandung nilai edukatif melalui nilai yang

34
terinternalisasi di dalamnya. Begitupun dengan nilai sosial dalam konteks ini, tidak
hanya terinternalisasi di dalam kegiatan tradisi Nadran, akan tetapi harus mampu
dikembangkan dalam sistem pendidikan, dimulai dari pendidikan dasar.
Berbagai komponen pendidikan, pada dasarnya dapat dikembangkan
seoptimal mungkin guna mencapai tujuan pendidikan, seperti halnya komponen
pendidikan (pendekatan, trategi, model pembelajaran, media, materi, dan lain
sebagainya) Pendekatan sosial-budaya merupakan penghampiran dan
pengorganisasian materi yang menghadirkan copy (potret) riil kehidupan masyarakat
sehari-hari, baik dimensi sosial maupun budayanya secara komprehensif ke dalam
kelas, dalam suasana yang terbuka, actual, dan factual. Melalui penghadiran potret riil
dimensi sosial-budaya kedalam kelas, diharapkan peserta didik merasa belajar dalam
realitas kehidupannya sehari-hari, sehingga tidak mengalami shoch-learning situation
(Hutama. 2016).
Model pengorganisasian materi, model pembelajaran, dan perangkat penilaian
berwawasan sosial-budaya merupakan sebuah “pengembangan kurikulum
operasional” yang mengakomodasi nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat lokal,
regional, dan nasional secara komprehensif dalam keseluruhan aspeknya (Hutama.
2016), sehingga dalam penerapannya di dalam kelas akan mengkondisikan peserta
didik untuk mencapai apa yang dikenal dengan literasi sosial-budaya sesuai dengan
esensi dari pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar.
Hal ini penting dilakukan, dengan harapan bahwa melalui nilai-nilai budaya
yang dimiliki masyarakat, lewat proses pembelajaran akan menjadi nilai-nilai yang
dihayati dan diinternalisasi oleh peserta didik sebagai warga masyarakat secara
individual. Preposisi di atas, sejalan dengan penekanan yang diberikan oleh Somantri
(2004) bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar harus mampu menjembatani dan
memfungsionalkan segala aspek sosial dan budaya masyarakat dalam proses
pembelajaran yang kondusif, sehingga peserta didik mempunyai ketahanan dan
literasi terhadap masalahmasalah sosial dan budaya masyarakatnya.

35
Pendekatan pembelajaran berbasis sosial-budaya lokal terbukti efektif dalam
mencapai tujuan pembelajaran, bahkan terdapat kelebihan yang dimiliki oleh
pendekatan pembelajaran sosial-budaya diantaranya ialah: dapat mensitmulus
kecerdasan majemuk pada anak, meningkatkan hasil belajar IPS, menguatkan
karakter dan nilai sosial dalam praktik pembelajaran, dan dapat memupuk perilaku
individu yang multikultural di era globalisasi dan revolusi industri 4.0. (Widiastuti.
2012; Suharianta. Syahrudin. Renda. 2014; Setyawan. 2019).
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran berbasis sosial-budaya tidak
dapat dipandang sebelah mata, karena di era revolusi industri saat ini terkenal dengan
era dekonstruksi, era penurunan kualitas kemanusiaan, moral, dan budaya. Oleh
karena itu, pentingnya pendekatan pembelajaran berbasis sosial-budaya sangat perlu
diterapkan, mengingat identitas Indonesia sendiri ialah negara yang multikultural, dan
multi-budaya (Setiawan. 2019). Berkaitan dengan tradisi Nadran yang pada
hakikatnya ialah cerminan multikultural masyarakat Cirebon dengan berbagai suku,
ras dan agama yang melebur dalam tradisi Nadran harus terinternalisasi di dalam
proses pembelajaran, dan dengan pendekatan tersebut diharapkan mampu
membentuk, menumbuhkan, dan menguatkan nilai sosial, nilai budaya, dan nilai
multikultural, sehingga dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia.

36
PERKEMBANGAN PENELITIAN PENDIDIKAN NILAI SOSIAL
Berikut adalah analisis perkembangan hasil penelitian 10 tahun terakhir tentang pendidikan nilai sosial di Sekolah
Dasar berdasarkan
Tabel 2. Perkembangan Penelitian
Periodisasi
No. Aspek
2012 - 2015 2016 - 2019 2020 – Sekarang
1. Objek/Masalah/ 1. Pengembangan 1. Implementasi nilai-nilai 1. Pengembangan desain
Judul Penelitian pendidikan karakter sosial dalam membentuk pembelajaran tematik
berwawasan konservasi perilaku sosial siswa SD. pada tema Indahnya
nilai-nilai sosial. (Oktavianti, Sutarjo. & keberagaman di
(Rachman. 2013) Atmaja. 2016) negeriku berbantuan
2. Pergumulan Islam 2. Konsep tujuan LKS budaya lokal
dengan budaya lokal di pendidikan Islam berorientasi model
Cirebon (perubahan perspektif nilai-nilai pembelajaran kooperatif
sosial masyarakat dalam sosial kultural (Rohman jigsaw untuk siswa
upacara Nadran di desa & Hairudin. 2018) sekolah dasar (Tando,
Astana, Sirnabaya, 3. Analisis nilai-nilai Laksana, & Awe. 2021)
Mertasinga, Kecamatan pendidikan karakter 2. Pengaruh model
Cirebon Utara) berbasis kearifan lokal pembelajaran
(Subarman. 2015). pada pesta laut Nadran etnopedagogi dan
(Majreha. Surana. & keterampilan sosial
Tsaury. 2018). terhadap perkembangan
4. Bentuk solidaritas karakter siswa di era
masyarakat nelayan di pandemic. (Wanhar. &
kelurahan kesenden Hasibuan. 2021)
2. Pendekatan/Metode/1. Studi literatur 1. Kualitatif interpretatif 1. Pengembangan (Model
Teknik Penelitian 2. Studi literatur deskriptif Dick & Carey)

37
2. Studi literatur 2. Kuasi Eksperimen
3. Studi Literatur desain faktorial 2x2,
4. Studi literatur dengan teknik analisis
anova 2 jalur
3. Hasil Guna 1. Upaya pelestarian 1. Mengetahui 1. Pengembangan Rencana
Penelitian (konservasi) atau implementasi nilai-nilai Pelaksanaan
pembudayaan nilai sosial sosial pada proses Pembelajaran (RPP)
dalam masyarakat pembelajaran IPS dan dengan tema
2. Mendeskripsikan kepada menganalisis perilaku keberagaman di
masyarakat mengenai sosial di sd negeriku berbantuan
makna nadran dan faktor2. Implementasi pendidikan LKS budaya lokal.
perubahan sosial dalam Islam dalam kehidupan 2. Melihat pengaruh model
upacara ritual nadran. sosio-kultural di pembelajaran
masyarakat etnopedagogi dalam
3. Nilai karakter di dalam meningkatkan
tradisi Nadran. keterampilan sosial &
4. Nilai-nilai filosofis dalam karakter siswa
tradisi Nadran

38
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Simpulan
Nadran merupakan tradisi atau kebiasaan nenek moyang yang masih
dilakukan oleh masyarakat Cirebon, nadran dilaksanakan setiap satu tahun sekali,
tepatnya di bulan muharam, terdapat tiga wilayah yang melaksanakan tradisi nadran,
diantaranya: kampung Cangkol, pesisir dan kampung samadikun. pelaksanaan nadran
dilakukan dengan mempersiapkan perahu ancak yang akan membawa sesajen, dan
kepala kerbau ketika proses pelarungan, kemudian melakukan koordinasi dengan
pihak yang terkait, kegiatan tradisi nadran dimulai dari proses arak-arakan, kemudian
melakukan doa bersama, setelah itu melakukan pelarungan dan diakhiri dengan
ruwat atau pengajian dari pagelaran wayang kulit. Nilai sosial yang terkandung di
dalam tradisi nadran tidak hanya diimplikasikan melalui tradisi nadran saja, akan
tetapi harus mampu terinternalisasi dalam praktik kehidupan sehari-hari, salah
satunya ialah melalui pendidikan, di dalam proses pembelajaran yang menggunakan
pendekatan berbasis sosial-budaya, sehingga nilai sosial dapat mengkristal di dalam
individu ataupun kelompok masyarakat
Implikasi
Implikasi dari penelitian ini dapat di tinjau sebagai teori dalam penelitian yang
berkaitan dengan nadran, dan nilai sosial, selain daripada itu, implementasi penelitian
ini dapat ditinjau sebagai praktik pembelajaran di sekolah dasar dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran berbasis nilai dan budaya lokal.
GLOSARIUM
Ancak = Perahu kecil yang dibuat untuk membawa sesajen dan kepala
kerbau dalam tradisi nadran
Pelarungan = Upacara pelepasan sesajen dan kepala kerbau yang sudah dimuat ke
dalam perahu ancak
Nadran = Tradisi masyarakat Kota Cirebon yang dilaksanakan oleh para
nelayan sekitar.
Ruwat = Pembersihan pada perahu agar suci dan bersih, terhindar dari
marabahaya. (Mustaqim. 2020)

39
REFERENSI
Hutama, F.S. (2016) Pengembangan Bahan Ajar IPS Berbasis Nilai Budaya Using
Untuk Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Indonesia. 5 (2). 113-125.
Isfironi, M., \& Sari, D. P. (2016). Tradisi Islam Lokal Pesisir Cirebon. dalam
Islamic Akademika: Jurnal Pendidikan dan KeIslaman, 8(2).
Lismawanty, A., Dwiatmini, S., & Yuningsih, Y. (2021). Makna Simbolis Upacara
Ritual Nadran Empang di Desa Karangsong Kabupaten Indramayu (Kajian
Simbol dan Makna). Jurnal Budaya Etnika, 5(2), 99-122.
Majreha, R. S., Surana, D., & Tsaury, A. M. (2018). Analisis Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Pesta Laut Nadran (Studi Deskriptif-
Analitis Nilai-nilai Karakter pada Tradisi Pesta Laut Nadran di Dusun
Kradenan Desa Gebang Ilir Kecamatan Gebang Kabupaten
Cirebon). Prosiding Pendidikan Agama Islam, 87-93.
Mustaqim, A. dkk. (2020). Warisan Budaya Tak Benda Kota Cirebon. Tahun 2020.
Cirebon: Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (DKOKP)
Kota Cirebon
Nurai'ni, N., Wakidi, W., & Basri, M. (2014). Tradisi upacara Nadran pada
masyarakat nelayan Cirebon di Kelurahan Kangkung Bandar
Lampung. PESAGI (Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah), 2(6).
Oktaviyanti, I., Sutarto, J., & Atmaja, H. T. (2016). Implementasi nilai-nilai sosial
dalam membentuk perilaku sosial siswa sd. Journal of Primary
Education, 5(2), 113-119.
Rachman, M. (2013, June). Pengembangan pendidikan karakter berwawasan
konservasi nilai-nilai sosial. In Forum ilmu sosial (Vol. 40, No. 1).
Rival. G. P. (2021). Nadran Cirebon. Chanel Youtube. Diakses pada 26 April 2022
melalui: https://youtu.be/dJEZJCLdnhQ
Ruspandi, J. (2014). Fenomena geografis di balik makna toponomi di Kota
Cirebon. Jurnal Geografi Gea, 14(2).
Salsabila Art. (2021). Nadran Pesisir, Samadikun, Cangkol, Kejawanan Kota
Cirebon. Chanel Youtube. Diakses pada 26 April 2022 melalui:
https://youtu.be/eLRDn_oGnkw
Saeful, D.R., Achdiani, Y. & Abdullah, M,N,A. (2017). Bentuk Solidaritas
Masyarakat Nelayan di Kelurahan Kesenden. SOSIETAS, 7(2).
Setyawan, B.W. (2019). Metode Pembelajaran Berbasis Budaya Jawa dalam Rangka
Menyukseskan Pendidikan Multikultural di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal
Pancasila dan Kewarganegaraan (JPK). 4(3). 1-12.
Subarman, M. (2015). PERGUMULAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL DI
CIREBON (Perubahan Sosial Masyarakat dalam Upacara Nadran di Desa
Astana, Sirnabaya, Mertasinga, Kecamatan Cirebon Utara). Holistik, 15(2).
Suharianta, Gd. Syahrudin, H. Renda. N,T. (2014). Pengaruh Metode Pembelajaran
Simulasi Berbasis Budaya Lokal Terhadap Hasil Belajar IPS. Jurnal Mimbar
PGSD Universitas Ganesha. 2(1).

40
Somantri, N. (2004). Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Tando, F., Laksana, D. N. L., & Awe, E. Y. (2021). Pengembangan desain
pembelajaran tematik pada tema indahnya keberagaman di negeriku
berbantuan LKS budaya lokal berorientasi model pembelajaran kooperatif
jigsaw untuk siswa sekolah dasar. Jurnal Pendidikan Dasar
Flobamorata, 2(1), 126-135.
Wanhar, F. A., & Hasibuan, A. M. (2021). PENGARUH MODEL
PEMBELAJARAN ETNOPEDAGOGI DAN KETERAMPILAN SOSIAL
TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER SISWA DI ERA
PANDEMI. ELEMENTARY SCHOOL JOURNAL PGSD FIP
UNIMED, 11(3), 236-245.
Widyastuti, S. (2012). Pembelajaran Proyek Berbasis Budaya Lokal untuk
Menstimulasi Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan
Anak. 1(1). 59-72.

41
ETNOBIOLOGI DALAM TANDUR DI DESA NYALINDUNG,
KECAMATAN CIMALAKA, KABUPATEN SUMEDANG

Raden Ainan Nabila


Nabilaainan369@gmail.com
Mahasiswa S2 Pedagogik
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Artikel ini ditujukan untuk menggambarkan hasil kajian tentang kegiatan
tandur sebagai bagian dari etnobiologi di Desa Nyalindung, Kabupaten
Sumedang. Tujuan dari artikel ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai dalam
tandur yaitu kerja keras, kerja sama, kebersamaan, ketelitian dan rendah hati.
Metode yang digunakan adalah metode kajian Pustaka, kajian lapangan dengan
observasi/survey dan wawancara. Artikel ini mendeskripsikan hasil penelitian
dengan menganalisis secara mendalam mengenai Tandur sebagai etnobiologi
sunda dari buku, jurnal, atau karya tulis ilmiah lainnya yang dianggap relevan,
dan juga penggambaran kegiatan Tandur di masyarakat melalui survei dan
observasi. Hasil penulisan ini ditunjukkan sebagai upaya pelestarian budaya dan
mengenalkan masyarakat Indonesia tentang nilai budaya dan sejarah yang
tertanam pada proses bercocok tanam di daerah sunda.
Kata Kunci: Tandur, Etnobiologi

DASAR PEMIKIRAN
Kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia dari dulu hingga kini memiliki
wujud yang beraneka ragam jenis dan bentuknya. Wujud kebudayaan itu,
dibangun atas dasar sistem nilai, ide, norma, mengandung makna yang kuat dan
merupakan suatu cerminan atau gambaran unsur-unsur kehidupan dan adat istiadat
masyarakatnya. Menurut Murdock, Malinowski, dan Kluckhon (dikutip oleh
Sugeng, 2016: 38) bahwa masyarakat di muka bumi ini memiliki tujuh unsur
kebudayaan yang bersifat universal, seperti (1) bahasa; (2) sistem teknologi; (3)
sistem mata pencaharian hidup; (4) organisasi sosial; (5) sistem pengetahuan; (6)
religi; (7) dan kesenian.
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat menjadi
corak kebudayaan berbagai suku-suku bangsa di Indonesia. Salah satu corak
kebudayaan itu seperti pada bidang perikanan, peternakan, dan pertanian
khususnya bercocok tanam. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh petani dalam
suatu kelompok masyarakat umumnya diperoleh dari nenek moyang mereka
terdahulu, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Pengetahuan yang diperoleh

42
dalam bentuk lisan biasanya disampaikan dari mulut ke mulut dan pada waktu dan
situasi tertentu. Artinya, transfer ilmu tentang dunia pertanian biasanya tidak
dilakukan di sembarang waktu karena berbagai unsur-unsur kepercayaan nenek
moyang yang menganggap sakral serta meyakini bahwa ilmu itu tidak sembarang
orang yang dapat menerimanya kecuali memiliki garis keturunan dan terdapat
pula waktu-waktu tertentu yang dipilih untuk mewariskan ilmu mereka, misalnya
pada sepertiga malam.
Bercocok tanam padi di sawah seperti yang sudah disampaikan
dipemaparan sebelumnya merupakan salah satu unsur kebudayaan universal point
ke 3 yaitu, sistem mata pencaharian hidup dan merupakan salah satu corak
kebudayaan dibidang pertanian. Kegiatan bercocok tanam ini merupakan kegiatan
bertani yang dikerjakannya tidak dengan begitu saja, tetapi ada cara dan bentuk
kebiasaan tertentu terutama yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Nyalindung.
Contohnya dalam pelaksanaan berbagai ritual khususnya pada bidang pertanian,
tidak terlepas dari adanya berbagai unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, petani pada saat akan memulai
bercocok tanam, biasanya melihat tanda-tanda alam dengan memadukan
pengalaman-pengalaman mereka pada tahun-tahun sebelumnya.
Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini membuat kebiasaan-
kebiasaan masyarakat dalam bercocok tanam mulai mengalami perubahan,
walaupun tidak semua perubahan membawa dampak buruk, tetapi terkadang
perubahan dapat menghilangkan kearifan lokal yang ada di suatu daerah. Kearifan
lokal tersebut tentunya memiliki nilai nilai positif yang sebaiknya tetap
dilestarikan dan dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik melakukan penelitian
terhadap kebiasaan Tandur yang dilakukan oleh petani di Desa Nyalindung
Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. Hal ini dikarenakan budaya Tandur
ini merupakan bagian penting dari perkembangan ilmu bertani dan juga memiliki
nilai-nilai moral yang baik untuk dimiliki oleh peserta didik yang dimana dalam
setiap langkahnya bahkan alat-alat bertaninya itu memiliki arti penting yang
melambangkan suatu nilai yang bermanfaat dan berharga dalam kehidupan sehari-

43
hari, khususnya untuk pembelajaran biologi yang didalamnya membahas tentang
pangan dan jenis tanaman, supaya peserta didik semakin memahami bagaimana
perkembangan pangan terjadi, bagaimana masyarakat memanfaatkan tanda-tanda
alam dalam melakukan aktivitasnya atau pekerjaannya, dan juga menghargai
nilai-nilai yang terkandung disetiap langkah dalam bertani yang dilakukan oleh
masyarakat tradisional supaya nilai penting tersebut tidak punah.

TINJAUAN KONSEPTUAL TENTANG TANDUR

A. Asal-usul dan Pengertian TANDUR

Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia terutama di Subang


Jawa Barat masih menggunakan teknik tradisional dengan cara di aseuk atau
ngaseuk (menanam benih setelah tanah dilubangi dengan batang kayu/tongkat).
Ngaseuk masih dilakukan sampai sekarang akan tetapi untuk menanam benih padi
sudah tidak lagi menggunakan aseuk terkecuali menanam padi varietas huma di
lahan sawah tadah hujan. Menurut sejarah teknik ngaseuk ini dilarang oleh
pemerintah kolonial militer Jepang pada masa penjajahan Jepang di Indonesia,
dan digantilah dengan sistem menurut garis lurus jarak antar bibit padi 20 cm. Hal
ini ditujukan untuk mengatasi rendahnya tingkat produktivitas padi.
Dijelaskan dalam buku Mobilitas dan Kontrol karya Aiko Kurasawa
(1993:8-9) memaparkan bahwa di Jawa sebelum perang, petani menanam padi
secara acak (tidak menurut garis lurus) di sawah, dan Jepang menemukan bahwa
hal itu merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat produktivitas padi. Mereka
memerintahkan petani untuk mengikuti cara Jepang. Setelah serangkaian
percobaan yang dilakukan oleh para insinyur pertanian Jepang, ditemukan bahwa
jarak tanam yang ideal diantara bibit dari kebanyakan daerah Jawa, dengan
tatanan lingkungannya serta bagi jenis padi yang ada, ialah 20 cm. Cara tanam ini
dilakukan dengan berjalan membungkuk mundur, oleh karena itu disebut tandur
atau tanam mundur, cara ini dilakukan agar benih padi yang telah ditanam tidak
terinjak oleh kaki petani yang menanamnya.
Petani yang sudah lama menggunakan teknik ngaseuk pada masa kolonial
Belanda mendapatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan aturan

44
pemerintah Jepang. Akan tetapi pada kenyataannya inovasi teknik tersebut
membuahkan hasil bahkan sampai hari ini masih tetap dilakukan oleh masyarakat
yang ada di Seluruh Indonesia. Pada masa penjajahan militer Jepang, “petani
menduduki status peringkat kedua (setelah samurai)” Kurasawa (1993:21). Secara
teoritis petani pada masa itu menikmati kedudukan yang lebih tinggi daripada
pedagang dan pengrajin, sekalipun kedudukan ekonomi mereka sesungguhnya
yang terendah.

B. Aturan dan Perlengkapan TANDUR

Berdasarkan wawancara dengan bapak Sata Jaya Disastra selaku penyuluh


pertanian madya Sumedang pada 18 April 2022, untuk aturan Tandur itu sendiri
tidak ada aturan yang mengikat, yang penting proses penanaman padi dilakukan
dengan cara mundur dan sesuai dengan garis yang telah dibuat oleh petani, waktu
yang terbaik untuk menanam padi adalah di musim hujan, karena padi merupakan
jenis tanaman yang membutuhkan banyak air diawal pertumbuhannya. Jika
mengandalkan curah hujan maka penanaman padi dalam setahun bisa dilakukan
satu sampai dua kali, tetapi jika sudah menggunakan sistem irigasi penanaman
dalam setahun bisa dilakukan sebanyak tiga kali.
Perlengkapan untuk Tandur adalah yang pertama Cangkul atau dalam
Bahasa sunda adalah Pacul yang Fungsi utama cangkul adalah untuk membelah,
membalik, memecah, dan juga menggemburkan tanah. Itulah mengapa sebelum
sebuah lahan ditanami padi atau tanaman lain, tanahnya akan dicangkul terlebih
dahulu supaya lebih gembur dan hasil tanaman akan lebih baik, cangkul
digunakan untuk mengubah kondisi tanah keras menjadi lebih subur.  Tanah di
balik balikkan dengan cangkulan kemudian apabila telah turun hujan maka
suburlah tanah yang telah dicangkul tersebut.

45
Gambar 1. Pacul/Cangkul
(Sumber: ayoguruberbagi.kemendikbud.go.id,19 April 2022 )

Tahap kedua dalam mengolah tanah dilakukan dengan menggunakan


garu(garpu rumput). Hasilnya, tanah akan menjadi jauh lebih gembur dan rata,
tata kelola air menjadi jauh lebih baik, tanaman liar yang menganggu dan
berpotensi merusak hasil pertanian juga hancur.
Ada beberapa jenis garu yang biasa digunakan:
Garu Sisir -> Garu sisir lazim digunakan pada tanah bongkah untuk
membuatnya lebih subur. Namun, penggunaannya akan lebih optimal pada saat
lahan pertanian tersebut masih basah setelah diolah menggunakan alat pembajak

Gambar 2. Garu Sisir


(Sumber: web.ipb.ac.id, 19 April 2022)

46
Garu Piring -> Garu ini dimanfaatkan untuk memangkas rumput pada
permukaan tanah yang akan ditanami, menghancurkan lapisan tanah sehingga
lebih lembut dan siap untuk ditanami. Setelah benih disebar, garu piring juga
dapat digunakan untuk menutup biji tersebut agar sepenuhnya tertimbun tanah.

Gambar 3. Garu Piring


(Sumber: researchgate.net, 19 April 2022)
Garu Paku -> Memiliki gigi-gigi yang menyerupai paku, garu jenis ini
dimanfaatkan untuk meratakan serta menghaluskan tanah setelah dibajak. Apabila
telah masanya untuk menyiangi tanaman yang baru tumbuh, para petani juga bisa
menggunakan alat ini.

47
Gambar 4. Garu Paku
(Sumber: maxindonesia.com, 19 April 2022)

Untuk panen ada arit atau dalam Bahasa Indonesia adalah sabit yang
berfungsi untuk memotong.

Gambar 5. Arit/Sabit
(Sumber: salamdian.com, 19 April 2022)
Gebotan atau Rak peluruh bulir padi yang terbuat dari kayu atau bambu
setinggi empat kaki yang diletakkan di tanah. Meja rak yang juga untuk
meluruhkan bulir padi. Material pembuatnya adalah bambu yang dibelah dengan
jarak kurang lebih sekitar 1 sampai 2 cm. Di bagian samping dan belakang,
umumnya ditutup menggunakan plastik, tikar, terpal, atau alat lainnya yang ada di
sekitar tempat merontokkan bulir padi. Sedangkan, untuk bagian depannya tetap
dibiarkan terbuka.

Gambar 6. Gebotan
(Sumber: 1001indonesia.net, 19 April 2022)

Dan yang terakhir adalah giribig atau tikar yang terbuat dari anyaman
bambu berfungsi untuk alas saat menjemur gabah sebelum dikupas menjadi beras.

48
Gambar 7. Giribig

C. Proses TANDUR

Berdasarkan wawancara yang telah disebutkan sebelumnya. Sebelum


semua proses Tandur dilaksanakan, tentunya diperlukan pengumpulan tenaga
manusia untuk melakukan kegiatan tersebut, biasanya buruh tani yang membantu
membajak dan menanam padi sudah bersepakat dalam penentuan waktu bertani,
sehingga pemilik lahan sudah tidak perlu mencari-cari orang untuk membantu
mereka. Buruh tani tersebut biasanya adalah warga sekitar, tetapi saat ini pemuda
desa lebih memilih untuk bekerja di kota atau memilih pekerjaan lain yang secara
ekonomi bisa lebih membantu, karena untuk buruh tani hanya diupah maksimal
50 ribu untuk satu kegiatan, maka sulit untuk mendapatkan regenerasi buruh tani.
Untuk proses menanan padi itu ada tujuh langkah, yang pertama adalah proses
persiapan media tanam, pemilihan bibit, persemaian, penanaman atau tandur,
perawatan lahan, pencegahan hama dan penyakit, dan pemanenan, berikut adalah
detail dari langkah pra dan pasca tandur.

Persiapan media tanam


Media tanam untuk menanam padi haruslah disiapkan minimal dua
minggu sebelum penanaman. Persiapan dilakukan dengan mengolah tanah sebagai
media tanam. Tanah harus dipastikan bebas dari gulma dan rumput liar. Jangan
sampai pertumbuhan tanaman padi terganggu karena harus berbagi nutrisi dan air

49
dengan rumput-rumput liar. Jika sudah bebas dari tanaman liar, basahi tanah
dengan air lalu lakukan pembajakan. Pembajakan dilakukan untuk
mempersiapkan tanah dalam keadaan lunak dan gembur serta cocok untuk
penanaman. Setelah melalui pembajakan, kembali media tanam digenangi dengan
air. Air diberikan dalam jumlah banyak untuk menutupi seluruh lahan dengan
ketinggian hingga 10 cm. Biarkan air pada media tanam terus menggenang. Air
yang menggenang selama dua minggu akan menyebabkan media tanam menjadi
berlumpur dan racun pun dapat hilang karena ternetralisir.

Gambar 8. Pembajakan sawah


(sumber: starfarm.co.od, 22 Mei 2022)

Pemilihan bibit
Bibit pada tanaman padi harus melalui pengujian terlebih dahulu untuk
menentukan kualitasnya. Pengujian dilakukan dengan merendam sekitar 100 butir
benih padi dalam air. Setelah dua jam periksalah benih tersebut. Cara menanam
benih padi yaitu dengan Pemeriksaan benih dilakukan dengan mengidentifikasi
perubahan pada benih. Jika terdapat lebih dari 90 butir benih atau lebih dari 90%
benih mengeluarkan kecambah, maka artinya benih tersebut berkualitas unggul
dan bermutu tinggi. Tentu benih yang berkualitas unggul dan bermutu tinggi
inilah yang layak untuk dibudidayakan. Sedangkan jika benih tidak menunjukkan
tanda seperti yang disebutkan di atas, artinya benih tersebut tidak disarankan

50
untuk dibudidayakan. Setelah menentukan benih yang akan dijadikan bibit, maka
dapat dilakukan persemaian segera.

Gambar 9. Merendam benih padi


(sumber: gdm.id, 22 Mei 2022)

Persemaian
Persemaian dilakukan setelah menentukan bibit yang unggul. Bibit unggul
tersebut kemudian akan disemai di wadah persemaian. Wadah persemaian terlebih
dahulu harus disiapkan. Kebutuhan wadah semai diberikan dalam perbandingan
sebesar 1 : 20. Misalkan akan menggunakan lahan sawah sebesar 1 hektar maka
wadah persemaiannya sekitar 500 m2. Lahan pada wadah persemaian haruslah
juga berair dan berlumpur. Berikan pupuk urea dan pupuk TSP(triple super
phospat) pada lahan persemaian dengan dosis masing-masing 10 gr per 1 m 2. Jika
lahan persemaian sudah siap, sebarkan benih yang telah berkecambah dengan
merata.

Gambar 10. semai padi


(sumber: cybex.pertanian.go.id, 22 Mei 2022)

51
Tandur
Proses tandur dilakukan setelah benih pada proses persemaian telah
tumbuh daun sempurna sebanyak tiga hingga empat helai. Jangka waktu dari
persemaian ke bibit siap tanam umumnya sekitar 12 hingga 14 hari saja. Jika
sudah siap tanam, pindahkan bibit dari lahan semai ke lahan tanam. Pemidahan
dilakukan dengan hati-hati dan tidak merusak tanaman. Penanaman dilakukan
pada lubang-lubang tanam yang telah disiapkan. Khusus untuk tanaman padi
dalam satu lubang dapat ditanam dua bibit sekaligus. Penanaman dilakukan
dengan memasukkan bagian akar membentuk huruf L agar akar dapat tumbuh
dengan sempurna. tandur dilakukan dengan tujuan supaya tanaman padi tertanam
secara lurus dan sejajar. Ketika menanam padi dengan langkah mundur, petani
dapat melihat dan menyesuaikan barisan benih tersebut. Cara menanam padi yaitu
ibu jari, telunjuk dan jari tengah memegang pangkal batang dekat akar benih lalu
ditancapkan ke dalam tanah. Ada juga yang dilakukan dengan berjalan
membungkuk kedepan, akan tetapi penamaan ini tidak berubah masih tetap saja
tandur. Benih padi tersebut ditanam di antara pertemuan garis lurus yang
memanjang dan memotong pada satu petak sawah, sehingga tampak rapih dan
berbaris sesuai dengan garis caplakan (penggaris sawah). Kedalaman bibit
ditanam pun ditentukan berkisar pada rentang 1 cm hingga 15 cm dan penanaman
ini dilakukan dengan cara berjalan mundur supaya tanaman yang sudah ditanam
tidak terinjak oleh penanam.

Gambar 11.Tandur
(Sumber: budaua-indonesia.org, 22 Mei 2022)

52
Pencegahan hama dan penyakit
Hama dan penyakit dapat dicegah dengan memberikan pestisida.

Gambar 12.Pemberian pestisida


(Sumber: desapandean.com, 22 Mei 2022)

Pemanenan
Panen dilakukan dengan tanda-tanda padi yang sudah menguning dan
merunduk. Gunakan sabit gerigi untuk memanen dan letakkan hasil panen pada
tikar dengan merontokkan beras dari dalam bulir-bulir padi yang ada.

Gambar 13. Panen padi


(Sumber: salamadian.com, 22 Mei 2022)

PEMBAHASAN TENTANG ETNOBIOLOGI DALAM TANDUR

A. Nilai Utama dalam Tandur

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Wiwin Yulianti, SP selaku guru


agribisnis tanaman pangan dan dasar-dasar budibaya tanaman di SMK PPN
Tanjungsari Sumedang, berikut adalah nilai-nilai yang terkandung dalam tandur.

53
1. Nilai Kerja Keras
Kerja keras merupakan segala sesuau yang dikerjakan dengan sungguh-
sungguh tanpa mengenal lelah dan putus asa. Kerja keras menjadi ciri karakter
yang harus dimiliki oleh setiap individu sebagai makhluk sosial. Sejak dini, nilai
kerja keras harus diajarkan kepada diri anak hingga kelak dewasa dapat menjalani
kehidupan tanpa menyerah. Seperti dalam kehidupan bercocok tanam padi, kerja
keras sangat dibutuhkan dalam menjalankan aktivitas tersebut. Misalnya, dalam
membajak sawah, membersihkan ledeng yang membutuhkan kerja keras yang
tinggi. Nilai kerja keras dapat menumbuhkan etos kerja yang tinggi dalam diri
setiap manusia.
Nilai kerja keras yang ditunjukkan oleh masyarakat petani padi di
masyarakat Nyalindung, Sumedang merupakan wujud tanggung jawab terhadap
dirinya, keluarga, dan terlebih kepada Tuhan. Nilai kerja keras senantiasa
diharapkan dapat menjadi salah satu cerminan masyarakat umum dalam menjalani
aktivitas kehidupannya.
2. Nilai Kerja Sama
Kerja sama merupakan interaksi antara manusia yang satu dengan manusia
lainnya. Dalam budaya tradisi bercocok tanam Di Desa Nyalindung, dapat dilihat
kerja sama yang terjalin antara warga masyarakat yang satu dengan warga
masyarakat lainnya. Nilai kerja sama itu dilihat pada saat petani membajak sawah
dan menanam padi. Tanpa adanya kerja sama dalam melakukan hal tersebut maka
akan menghambat penyelesaian pekerjaan itu. Nilai kerja sama atau gotong
royong harus tetap dijunjung tinggi agar dalam menyelesaikan suatu pekerjaan
akan terasa ringan serta dapat meningkatkan nilai sosial yang sekarang ini mulai
memudar yang dipengaruhi oleh modernisasi. Gambaran nilai persatuan dan kerja
sama dapat dilihat saat proses menentukan waktu yang tepat untuk memulai
mempersiapkan kebutuhan bercocok tanam. Selain itu, juga tergambar pada saat
sedang mengadakan pembersihan saluran air secara bersama-sama.
3. Nilai Kebersamaan

54
Nilai kebersamaan merupakan wujud nilai yang tumbuh dan berkembang
dalam suatu kelompok masyarakat. Kebersamaan itu dapat tercipta jika timbul
kesadaran bermasyarakat yang tinggi di dalam diri setiap manusia. Nilai
kebersamaan yang dapat dilihat dalam kegiatan Tandur ini adalah saat istirahat
siang para buruh tani bersama-sama menyantap makan siang disebelah sawah
yang sedang mereka kerjakan. Nilai ini dapat meningkatkan kesadaran
bermasyarakat bahwa sebagai manusia kita hidup secara berdampingan tanpa ada
celah antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hingga saat ini,
nilai kebersamaan itu harus tetap dijaga dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
kebersamaan dengan keluarga, lingkungan sekitar, dan masyarakat secara umum.
4. Nilai Ketelitian
Ketelitian adalah hal yang dibutuhkan oleh seluruh manusia untuk
menjalankan aktifitas sehari-hari , teliti berarti memeriksa secara saksama,
sedangkan ketelitian adalah kesaksamaan atau kecermatan, ketelitian ini
dipengaruhi beberapa factor diantaranya adalah konsentrasi, factor persiapan,
kesehatan, usia, dan asupan makanan atau obat obatan. Dalam Tandur ketelitian
sangatlah dibutuhkan, karena jika ada yang tidak teliti dan menanam padinya ada
yang terlewat maka sudah dipastikan akan menghambat pekerjaannya, lebih fatal
lagi bisa menyebabkan kerusakan pada bibit padi yang telah ditanam karena bibit
padi terkubur oleh lumpur yang naik saat diinjak oleh petani. Oleh sebab itu
biasanya pemilik lahan sawah yang menyewa jasa buruh tani menyiapkan
makanan ringan untuk dimakan sebelum bekerja atau saat sedang rehat sejenak
untuk minum, diharapkan dengan perut yang kenyang, para buruh tani dapat
meningkat konsentrasinya dan dengan otomatis ketelitiannyapun meningkat.
5. Rendah Hati
Perlu diketahui bahwa Tandur hanya bisa dilakukan dengan merunduk.
Jika kita tidak merunduk maka bagaimana caranya kita akan menancapkan padi ke
tanah. Oleh karenanya, melalui cara tandur tersebut, diajarkan bahwa, sebagai
manusia, hendaklah kita harus merunduk ( rendah hati ), artinya tidak sombong
dan congkak.

55
B. Nilai/Kearifan Pendukung Tandur

Menurut wawancara dengan bapak Wikarmadinata dan ibu Kaswati selaku


petani yang telah mengenal bertani dari tahun 1952 dan mulai serius Bertani pada
tahun 2000 didapatkan hasil sebagai berikut.
Penggunaan Garu menunjukan pandangan masyarakat Desa Nyalindung bahwa
dengan menggunakan alat tersebut sebenarnya dengan tidak langsung petani
sudah menyebarkan pupuk hewani yang berasal dari kotoran kerbau yang
berfungsi untuk menyuburkan tanah.
Penggunaan ani-ani atau entem berfungsi memisahkan padi dari
batangnya. Alat ini mencerminkan bahwa Ketika petani memotong padi caranya
harus satu persatu supaya padi dapat tepisah dengan batangnya secara rapi, dalam
hal ini mencerminkan bahwa manusia harus melaksanakan segala aktivitas orang
sunda yang berpegangan bahwa manusia melaksanakan tujuan hidup yang baik
guna mencapai kesempurnaan, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian
kecil dari alam semesta, hal ini berkaitan dengan pandangan hidup manusia secara
pribadi dan pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam. Juga Pada
warga tradisional Sunda percaya tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk
memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang
dapat disembunyikan di telapak tangan karena mereka percaya bahwa Dewi Sri
Pohaci yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam
akbar seperti arit atau golok. Selain itu berada kepercayaan bahwa padi yang akan
dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan
lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.
Menurut keyakinan para petani, proses tandur ini harus diawali oleh sang
pemilik atau penggarap lahan. Pemilik lahan mengawali proses tandur dengan
cara menancapkan bibit padi sejumlah tujuh tancapan. Angka tujuh memiliki
makna kultural yang melambangkan pertolongan. Dalam bahasa Jawa angka tujuh
disebut pitu yang disimbolkan sebagai pitulungan „pertolongan‟. Hal ini
mengandung maksud agar dalam kehidupan selalu mendapat pertolongan dari

56
Tuhan Yang Maha Esa. Makna tandur sebenarnya adalah ‟tanam‟ untuk semua
jenis tanduran „tanaman‟, bukan hanya padi. Namun, tandur dalam proses
penanaman padi ini dapat dikatakan memiliki kekhasan atau makna khusus,
meskipun pada praktiknya juga menandai verba menanam. Istilah tandur, menurut
petani di Boja, merupakan akronim tanem karo mundur. Petani menanam padi
dengan gerakan mundur. Jadi penanaman dimulai dari bidang tanam depan, lalu
mundur. Makna kultural istilah tandur ini adalah simbol penghormatan pada Dewi
Sri atau Dewi Padi. Dengan berjalan mundur, para petani tidak merasa
membelakangi sang Dewi. Selain itu, tandur juga dapat dimaknai sebagai bentuk
penghormatan sekaligus pengawasan pemimpin yang terjun di masyarakat luas
terhadap rakyatnya. Pemimpin menanam kebajikan bagi rakyatnya dan tidak
membelakangi rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin diharapkan peduli dan tidak
abai pada rakyatnya.
Salah satu contoh ilmu Jawa adalah ngelmu tandur (ilmu menanam padi).
Menanam padi tidak sekedar menancapkan benih padi di tanah, setelah itu selesai.
Tidak sesederhana itu menurut pengetahuan Jawa. Tandur adalah laku hidup,
yang pada setiap bagian atau rangkaiannya memiliki makna atau hikmah
tersendiri. Berikut beberapa di antaranya:
1.      Tandur itu harus dilakukan secara mundur
Kalau secara maju, tentu padi yang sudah ditanam akan terinjak-injak dan
rusak. Walaupun mundur, sebenarnya mereka maju, dalam arti nantinya petani
akan memperoleh kemajuan. Yaitu akan memanen padi, akan bisa makan nasi,
atau padinya dijual untuk kebutuhan lainnya.
Demikian halnya dalam hidup, adakalanya kita harus mundur (mengalah).
Mengalah untuk menang, mengalah untuk kebaikan bersama. Suami-istri yang
sering bertengkar biasanya karena kedua-keduanya selalu ingin menang, tiada
yang mau mengalah. Juga sering adanya tawuran pelajar, perang antarkampung,
bahkan perang antarnegara; karena didasari nafsu ingin menang dan mengalahkan
yang lain.
2.      Tandur itu harus dilakukan dengan njengking (merunduk)

57
Jika dilakukan dengan berdiri, tentu bibit padinya tidak bisa tertanam.
Sudah merunduk, mundur, dan juga capek tentunya. Hikmah yang dapat kita petik
adalah bahwa untuk meraih segala sesuatu haruslah kerja keras. Ini sudah
sunnatullah (hukum alam). Tidak ada kamus hidup yang instan. Bim salabim,
main sulap, memelihara tuyul, cari pesugihan, dll. Sebaliknya, orang yang tidak
mau bekerja keras dan ingin serba instan, ujung-ujungnya ya korupsi, menipu,
berjudi, dan semacamnya.
3.      Tugas manusia sekedar menyemai, menanam, dan menyiangi
Setelah bibit padi ditanam dan disiangi, maka tugas selanjutnya diambil-alih oleh
Tuhan. Tuhanlah yang akan menumbuhkan padi menjadi lebat dan tinggi,
menumbuhkan biji-bijinya. Setelah bekerja keras, manusia memasrahkan
segalanya kepada Tuhan (tawakkal). Ini bermakna spiritual, inti dari keimanan
seseorang.
Jika sudah bertawakkal, apapun hasilnya, bagus atau tidak panennya, akan ia
terima dengan lapang dada dan senang hati. Ia tidak akan kecewa atau sedih.
Karena ia sadar sepenuhnya bahwa manusia tiadalah punya kuasa, hanya bisa
berikhtiar. Juga sebaliknya, jika panennya bagus, pun manusia tidak boleh
sombong dan membanggakan diri serta melupakan peran dan kerja Tuhan.

C. Pengembangan Etnobiologi di Sekolah Dasar

Biologi sebagai bagian dari sains memerlukan pemahaman konsep dan


pengalaman nyata yang harus diamati peserta didik secara langsung. Hal ini dapat
direalisasikan melalui kegiatan praktikum dan studi lapangan. Kegiatan praktikum
biologi disekolah maupun studi lapangan diluar sekolah merupakan bagian
integral untuk mendukung pemahaman konsep dan sikap ilmiah peserta didik
dalam pembelajaran biologi. Kegiatan praktikum diperlukan agar peserta didik
memperoleh pengalaman belajar secara konkrit untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri serta meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
Tujuan kegiatan studi lapangan agar peserta didik dapat mendeskripsikan
berbagai jenis obyek biologi yang ada di wilayah setempat serta meningkatkan
pemahaman konsep biologi. Peningkatan sikap peserta didik dalam melaksanakan

58
studi lapangan dapat terjadi karena kegiatan tersebut melibatkan banyak indera
yang berperan, sehingga tidak hanya mendengarkan tetapi juga peserta didik yang
beperan aktif karena peserta didik yang langsung melakukan beberapa indera
beperan, juga dapat menganati kegiatannya secara langsung.
Etnobiologi pada penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
konsep peserta didik tentang materi pembelajaran tumbuhan, terutama nilai moral
dalam tandur, juga memunculkan karakter cinta lingkungan dan dapat
melestarikan budaya lokal.
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi di era globalisasi, penyebaran informasi dapat diakses dengan mudah
dan cepat di seluruh dunia, dan berakibat mempermudah masuknya nilai-nilai
budaya luar ke negara berkembang termasuk Indonesia.Adanya perbedaan budaya
dapat menjadi ancaman bagi kelestarian nilai-nilai budaya lokal. Sikap
individualistik yang muncul di eara globalisasi, merupakan kesalahan dalam
merespons globalisasi dan bisa berakibat lenyapnya budaya lokal. Hal ini
diindikasikan dengan mulai memudarnya budaya lokal pada generasi muda dan
adanya kecenderungan generasi penerus untuk mengikuti budaya dari luar
Yang bisa dilakukan untuk merealisasikan artikel ini adalah dengan
mengajak siswa siswi SD studi lapangan ke sawah pada saat musim tanam padi
atau tandur, kemudian siswa siswi diberi waktu untuk mengamati para petani
yang sedang tandur, kemudian guru memberikan pemaparan tentang nilai nilai
yang terkandung dalam kegiatan tandur.

PERKEMBANGAN PENELITIAN PENDIDIKAN NILAI TANDUR


Berikut adalah analisis perkembangan hasil penelitian 10 tahun terakhir
tentang pendidikan etnobiologi

59
Tabel 1. Perkembangan Penelitian
No Periodisasi
Aspek
. 2012 - 2015 2016 - 2019 2020 -
1. Objek/Masalah/ 1.Etnobotani di Indonesia dan 1. Pengaruh Praktikum 1. Pengaruh model pembelajaran
Judul Penelitian Prospek Pengembangannya Biologi Berbasis etnopedagogi dan keterampilan
(Marina Silalahi-2015) Etnobiologi terhadap sosial terhadap perkembangan
Pemahaman Konsep karakter siswa di era pandemic.
2. Cerminan Budaya Pada Materi Biologi dan (Wanhar. & Hasibuan. 2021)
Lesikon PErkakas Pertanian Pelestarian Budaya Lokal 2. Pengembangan sumber belajar
Tradisional Dalam Bahasa (Siti Sunariyati, Suatma, berbasis studi etnobotani tentang
Sunda: Studi Etnolinguistik Yula Miranda-2018) keragaman pemanfaatan jenis
Di Desa Pangauban, 2. Etnobotani di indonesia tumbuhan pada area lahan basah
Kecamatan Pacet, Kabupaten dan prospek talang kelapa banyuasin.
Bandung Pengembangannya (Khotimah Lasmita Sari-2020)
(Nurshopia Agustina-2013) (Devi Komalasari-2018) 3. Pengembangan Modul Biologi
3.Etnobiologi dan Sma Kelas X Berbasis
Keragaman Budaya di Pengetahuan Etnobotani
Indonesia Masyarakat Trenggalek,
(Johan Iskandar-2016) Tulungagung dan Ponorogo untuk
4. Makna kultural pada Meningkatkan Hasil Belajar
istilah Bidang pertanian Siswa
padi di desa (Siti Aziszah, Iis Nur Asyiah,
boja,Kabupaten kendal, Pujiastuti-2021)
jawa tengah (sebuah
tinjauan etnolinguistik) (tri
wahyuni-2017)

5. Pengetahuan lokal petani

60
dalam tradisi
Bercocok tanam padi oleh
masyarakat tapango
Di polewali mandar
(fatmawati p-2019)
2. Pendekatan/ 1. Studi Literatur 1. Kuasi Eksperimen 1. Kuasi Eksperimen
Metode/Teknik 2. Case study 2. Studi Literatur 2. metode Research and
Penelitian 3. Studi Literatur development
4. Studi Literatur 3. Studi Literatur, Research and
5. Penelitian Qualitatif development

3. Hasil Guna 1. Upaya mengenalkan 1. Dengan praktikum 1. Melihat pengaruh model


Penelitian etnobotani pada masyarakat berbasis etnobiologi pembelajaran etnopedagogi dalam
Indonesia membantu peserta didik meningkatkan keterampilan sosial
2. Klasifikasi, deskripsi dan memahami konsep pada & karakter siswa.
cerminan gejala kebudayaan biologi, karena pngetahuan 2. mengetahui aspek etnobotani
berdasarkan lesikon perkakas local yang ada disekitar warga, dan menyatakan bahwa
pertanian tradisional peserta didik dapat etnobotani warganya dapat
meningkatkan etnobiologi digunakan untuk proses
yang diharapkan dapat pembelajaran.
bertahan sampai generasi 3. Penerapan etnobotani teruji
berikutnya valid, efektif dan praktis untuk
2. Meningkatkan meningkatkan pemahaman siswa
pemahaman pengetahuan siswi tentang biologi.
local yang telah mulai
hilang tergerus arus
globalisasi dan diharapkan
akan lahir etnobotanis-

61
etnobotanis baru dari
kalangan mahasiswa yang
berkolaborasi dengan
peneliti bidang kedokteran,
pembudidaya tanaman,
farmasi, dan pertanian
3. Mengulas pemanfaatan
dan pengelolaan
keragaman hayati oleh
masyarakat tradisional
dengan contoh kajian
etnobiologipengelolaan tata
ruang pada orang Sunda
serta pengaruh perubahan
iklim pada tanggapan
petani tradisional, dan
ulasan normatif tentang
peranan etnobiologi bagi
pembangunan multikutural
di Indonesia.
4. Mendeskripsikan istilah-
istilah bidang pertanian
padi dan makna kultural di
Desa Boja, Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah.
Makna kultural yang
terkandung dalam istilah-
istilah bidang pertanian

62
padi yang memiliki
teladan, sifat-sifat terpuji
dan motivasi hidup
tercermin dari simbol-
simbol dalam istilah-istilah
tersebut.
5. Menjelaskan bagaimana
petani local memanfaatkan
gejala-gejala lingkungan
untuk bercocok tanam dan
menjelaskan makna dan
nilai dalam bercocok tanam
padi di daerah penelitian.

63
SIMPULAN DAN IMPLIKASI

A. Simpulan

Tandur merupakan singkatan dari tanam mundur, walaupun banyak yang


mengira bahwa kata tandur adalah bahasa sunda tapi ternyata hal ini keliru.
Namun demikian, kata tandur sudah digunakan oleh masyarakat secara turun
menurun karena dibuat oleh bangsa Jepang pada masa penjajahan Jepang.
Kegiatan tandur disetiap daerah mungkin akan berbeda cara pelaksanaannya,
tetapi pada intinya kegiatan ini adalah kegiatann menanam padi pada lubang yang
telah sesuai dengan garis-garis yang telah dibuat oleh petani. Untuk di Desa
Nyalindung sendiri kegiatan tandur ini dilaksanakan satu atau dua kali dalam
setahun. Nilai yang terkandung dalam tandur yaitu nilai kerja keras, kerja sama,
kebersamaan, ketelitian dan rendah hati, dapat diperkenalkan dan ditanamkan
kepada peserta didik melalui proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan
berbasis etnobiologi dan etnobotani, sehingga nilai-nilai tersebut dapat melekat
dan tetap berlanjut hingga generasi penerus.

B. Implikasi

Implikasi dari artikel ini dapat ditinjau sebagai teori dalam penelitian yang
berkaitan dengan tandur dan nilai yang terkandung di dalamnya, selain itu
implementasi artikel ini dapat ditinjau sebagai praktik pembelajaran di sekolah
dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis etnobiologi.

GLOSARIUM
Arit = Pisau pemangkas
Aseuk = Kayu bulat panjang berujung tajam, untuk membuat lubang di
lahan yang akan ditanami benih
Ceplakan = Penggaris sawah (Sata Jaya)
Gebotan = Rak peluruh bulir padi yang terbuat dari kayu atau bambu
setinggi empat kaki yang diletakkan di tanah
Giribig = Tikar bambu
Pacul = perkakas petani berupa lempeng baja tipis dengan tangkai
panjang untuk menggali, mengaduk, dan membalik tanah; cangkul;
Tandur = Tanam padi

64
REFERENSI

Agustina, nurshopia (2013) CERMINAN BUDAYA PADA LEKSIKON


PERKAKAS PERTANIAN TRADISIONAL DALAM BAHASA
SUNDA :STUDI ETNOLINGUISTIK DI DESA
PANGAUBAN,KECAMATAN PACET, KABUPATEN BANDUNG. S1
thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.
Alexiades, M.W and J.W. Sheldon. (1996). Selected Guidelines for
Ethnobotanical Research: A Field Manual. Bronx : The New York
Botanical Garden.
Anderson E. N. (2011).Ethnobiology: Overview of a Growing Field, Department
of Anthropology, University of California, Riverside, CA2011 by Wiley-
Blackwell. All rights reserved, Published by John Wiley & Sons, Inc.,
Hoboken, New Jersey, Published simultaneously in Canada.
Balick, M and P.A. Cox. (1997). Plants, People, and Culture: The Science of
Ethnobotany. New York: Scientific American Library.
Cotton, C.M. (1996). Ethnobotany: Principles and Applications. England: John
Willey and Sons.Ltd.
Cunningham, A.B. (2001). Applied Ethnobotany: People, World Plant Use &
Conservation. London and Sterling: Earthscan Publication
Fatmawati. (2019). Pengetahuan lokal petani dalam tradisi Bercocok tanam padi
oleh masyarakat tapango Di polewali mandar. Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Selatan. (https://media.neliti.com/)
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Penerbit KANISIUS
(Anggota IKAPI).
Hakim., L. (2014). Etnobotani dan Manajemen KebunPekarangan Rumah:
Ketahanan Pangan, Kesehatan dan Agrowisata. Retrieved
fromhttps://biologi.ub.ac.id/w content/uploads/2015/11/ETNOBOTANI-
dan MANAJEMENKEBUN-PEKARANGAN-RUMAH.pdf
Iskandar, J. (2016).Etnobiologi dan Keragaman Budaya di Indonesia.Jurnal
Umbara Vol 1 no 1. Koenig. J.A (2011) Assessing 21th Century Skills.
The National Academics Press. Wshington DC. (www.nap.edu)
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 19 April 2022].
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 22 April 2022].
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 10 Mei 2022].
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 22 Mei 2022].
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at:
http://kbbi.web.id/pusat, [Diakses 23 Mei 2022].
Magnani, N (2016). Reconstructing Food Ways: Role of Skolt Sami Cultural
Revitalization Programs in Local Plant Use Journal of Ethnobiology Mar
2016 : Volume 36 Published by: Society of Ethnobiology

65
Sunariyati, S., Miranda. Y., Suatma.(2017). The Development Of Biology
Practice In High School Based On Ethnobiology. Edusains.Volume 9, No
2, 212 -221.
Wanhar, F. A., & Hasibuan, A. M. (2021). PENGARUH MODEL
PEMBELAJARAN ETNOPEDAGOGI DAN KETERAMPILAN
SOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER SISWA DI
ERA PANDEMI. ELEMENTARY SCHOOL JOURNAL PGSD FIP
UNIMED, 11(3), 236-245.

66
PODEAGI TRADISI ALAT PENGASUH DI KOREA
SELATAN

Yoonkyung, Eo
yoonkyungeo@gmail.com
Mahasiswa S2 Pedagogik
Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Podeagi adalah alat gendongan bayi tradisional yang digunakan di Korea
Selatan, sehingga bayi dapat diangkat ke atas dengan melilitkan Podeagi pada
anak menggunakan tali panjang. Podeagi lampin adalah alat yang berguna untuk
membesarkan bayi yang telah digunakan sejak lama di Korea. Terbuat dari kain
dan berbentuk seperti selimut bayi kecil, sangat baik untuk merawat bayi saat ibu
melakukan pekerjaan pertanian dan pekerjaan rumah tangga.
Baru-baru ini, di Korea, penggunaan Podeagi menurun karena penggunaan
kereta dorong sebagai gantinya. Kegunaan Podeagi diakui dan populer di
Amerika Serikat dan Eropa. Podeagi berhubungan dengan cara pengasuhan anak
(parenting). Oleh karena itu, perlu dipelajari budaya parenting tradisional Korea,
khususnya yang berkaitan dengan Podeagi.
Studi ini menggunakan metode studi literatur yang bersumber dari artikel,
foto, makalah penelitian, dan observasi dari tayangan stasiun penyiaran utama di
Korea dari akhir abad ke-18 hingga 2000 tentang pengasuhan tradisi di Korea.
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji pengaruh
penggunaan kain gendongan oleh orang tua terhadap pekerjaan rumah tangga,
stabilitas psikologis, pembentukan hubungan antara orang tua dan bayi, serta
mengkaji kegunaan penggunaan Podeagi khususnya dari perspektif psikologi
pendidikan sebagai kajian etnopedagogik.
Kata Kunci: Podeagi, Parenting.

DASAR PEMIKIRAN

Parenting adalah cara mengasuh dan mendidik. Mengasuh anak


(parenting) menurut APA (American Psychological Association) adalah suatu
pola pengasuhan anak oleh orang dewasa (tidak terbatas dengan hubungan
biologis) yang memiliki tiga tujuan utama:
1. Memastikan anak-anak selalu dalam keadaan sehat dan aman.
2. Mempersiapkan anak-anak agar tumbuh menjadi produktif.
3. Menurunkan/ mewariskan nilai-nilai budaya.
Dalam budaya Korea untuk mewujudkan ketiga tujuan tersebut dan untuk
melestarikan nilai-nilai budaya, salah satu kegiatan parenting adalah
menggendong anak/bayi sampai usia 2 (dua) tahun dengan menggunakan

67
Podaegi. Penggunakan Podeagi memiliki berbagai nilai-nilai pendidikan
khususnya terkail fisiologis dan psykologis sesuai usia perkembangan anak.
Maka, Podeagi sebagai alat menggendong anak dalam mengasuh anak (parenting)
perlu memperhatikan persyaratan / kriteria tertentu sehingga penggunakan
Podaegi memiliki nilai-nilai manfat untuk pendidikan.
Untuk itu, penulis tertarik menulis karya tulis tentang Podaegi karena
kekhawatiran manfaat / nilai-nilai pendidikan dalam penggunaan Podeagi
berkurang karena munculnya berbagai produk yang dianggap lebih inovatif atau
modern.

TINJAUAN KONSEPTUAL

A. Asal-usul dan Pengertian Podaegi

Podeagi berasal dari bahasa Korea yang berarti “selimut kecil untuk anak
kecil” dan digunakan untuk menutupi atau menggendong anak (National Institute
of Korean Language [NIKL], n.d.). Pengertian ini mengacu pada selimut yang
digunakan untuk menutupi dan dibentangkan kepada anak, bukan hanya untuk
menggendong anak. Podaegi biasa digunakan oleh ibu saat mencuci piring atau
memasak sambil menggendong bayi di dalam rumah. Waktu ibu berbelanja di
pasar atau di mall dan jalan-jalan di taman, dimana pun bisa digunakan Podaegi.
Podaegi mulai digunakan oleh orang Korea sejak lama, Namun, dalam buku
menjahit profesional pertama yang diterbitkan pada tahun 1925, “Chosun Sewing
Jeonseo”, dikatakan bahwa Podaegi sangat diperlukan untuk mengasuh seorang
anak, dan bahwa untuk mengasuh seorang anak, setidak-tidaknya harus ada tiga
ukuran meliputi besar, sedang, dan kecil. (Kim, 2007). Pada tahun 1929, Dong-A
Ilbo menulis, "Di tempat dengan angin sejuk, perlu untuk tidur berselimut seperti
Podeagi di atas perut.” (“when everyone sleeps”, 1929). Pada tahun 1981,
berdasarkan artikel (“Go in the rainstorm”, 1981) pada koran Kyunghyang
Shinmun melaporkan, “Saya mengeluarkan Podeagi yang cukup besar untuk
ditebarkan dan menutupi seorang dewasa.”

68
B. Bentuk, Jenis dan Bahan

Podeagi terbuat dari kain katun atau kain sutera, memiliki penutup luar
dan penutup dalam. Dibuat dengan menumpukan dua lapisan kain di dalam dan di
luar, dan menempatkan 3 cm kapas di antara kedua lapisan, lalu menjahitnya
dalam garis horizontal dan vertikal (Wie, n.d.) Podeagi terbuat dari kain
berbuntuk “segi empat dengan tali yang terhubung pada dua ujung disudutnya
dengan sejajar, sebagai manadi gambarkan dalam gambar 1 berikut:

Gambar 1. Podeagi
(Sumber: www.nfm.go.kr. Tahun 2019)

Podeagi menggunakan bahan/meterial dari kain katun supaya terasa halus


di kulit anak. Materi yang digunakan memiliki ukuran bervariasi. Berdasarkan
data dari beberapa musium di Korea, variasi, ukuran panjang dan lebar serta
sumber data tentang Podeagi dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

69
Tabel 1. Ukuran Podeagi
(Sumber: https://doi.org/ 10.12940/jfb.2020.24.1.60/Types and Transition of Korean Traditional
Baby-Carrier , Tahun:2020)

Podeagi digunaan dengan cara melilitkan pada punggung anak dengan


posisi perut anak menempel pada punggung ibu, kemudian tali Podeagi dililitkan
untuk mengikat anak pada badan ibu. Lilitan tali diposisikan ke atas bahu ibu, ke
arah depan, kemudian dililitkan lagi ke belakang untuk menopang dan mengikat
badan anak. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut. Podeagi bisa juga
digunakan untuk menggendong anak dari depan sehingga tubuh anak dengan ibu
saling menempel pada bagian depan.

PEMBAHASAN TENTANG NILAI DALAM PENGGUNAAN PODEAGI

Podeagi digunakan dengan cara melilitkan pada punggung anak dengan


posisi perut anak menempel pada punggung ibu, kemudian tali Podeagi dililitkan
untuk mengikat anak pada badan ibu. Lilitan tali diposisikan ke atas bahu ibu, ke
arah depan, kemudian dililitkan lagi ke belakang untuk menopang dan mengikat
badan anak. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut:

Gambar2. Cara menggunakan Podeagi.


(sumber:https://m.ilyo.co.kr/?as=article_view&entry_id=44184 /

70
koran Ilyo di korea Selatan, Tahun 1912)

Podeagi bisa juga digunakan untuk menggendong anak dari depan


sehingga tubuh anak dengan ibu saling menempel pada bagian depan.

PEMBAHASAN TENTANG NILAI DALAM PENGGUNAAN PODEAGI

A. Nilai Utama

Nilai utama penggunaan Podeagi adalah mengikat ibu dan anak secara
fisik sehingga ada kontak tubuh saat digendong. Kontak fisik ini menimbukan
tumbuhnya secara psikologis rasa aman dan nyaman baik pada anak maupun ibu.
Di Korea umumnya, anak diasuh oleh ibunya, hanya +1% yang diasuh
pembantu. Hal ini berdampak positif, karena pola pengasuhan langsung oleh
orang tuanya yang sudah pasti menghendaki pola pengasuhan yang terbaik.
Penggunaan Podeagi juga memberikan rasa aman karena posisi ibu lebih
tinggi daripada anaknya, sehingga memudahkan pengawasan. Selain itu, kontak
erat fisik antara ibu dan anak menyebabkan anak merasa hangat suhu badannya
tidak ke dinginan dimanapun berada.

B. Nilai Pendukung
Material yang digunakan dalam pembuatan Podeagi harganya tidak begitu
mahal dibandingkan menggendong menggunakan alat yang lebih moderen seperti
dorongan anak (stroler) yang memiliki harga lebih mahal, sehingga bernilai lebih
ekonomis. Podeagi juga dapat dibuat sendiri sesuai keinginan ibu. Modelnya pun
sederhana, tapi tétap melindungi anak.
Kain yang digunakan bisa menggunakan bahan lokal dari Korea, tidak
memerlukan bahan import dari negeri lain. Dengan demikian penggunaan
Podeagi turut melestarikan produk lokal Korea yang merupakan kekayaan budaya
Korea.

C. Pengembangan Nilai Dalam Pendidikan

71
Melalui berita pada Korea koran Joongangilbo tanggal 14, Februari. 2012
di Korea, dijelaskan beberapa negara yang telah menggunakan Podeagi dan juga
telah membuat alat menggendong yang lebih moderen seperti di Amerika,
menyatakan bahwa Podeagi lebih baik untuk membangun komunikasi ibu dan
anak baik secara fisik maupun psikis. Menurut teori Attachment oleh John
Bowlby (Gyeongsun, Park. 2010) menyatakan bahwa kontak fisik antara ibu dan
bayi itu penting dalam membangun nilai-nilai pendidikan sepanjang anak pada
pola pengasuhan orang tua.
Undang-Undang Perlindungan Bayi dan Anak (Tahun1991) di Korea yang
mengatur tentang perlindungan dan pendidikan bayi dan anak kecil yang sulit
diterima? Oleh walinya. Undang-undang tersebut diundangkan untuk melindungi
jiwa dan raga bayi dan balita dan mendidik mereka dengan cara yang baik untuk
membina anggota masyarakat yang sehat, dan untuk memajukan kesejahteraan
bayi dan anak kecil serta keluarganya dengan memastikan bahwa ekonomi dan
sosial wali dan kegiatannya berjalan lancar (Pasal 1). Dengan menetapkan bahwa
tidak hanya pemerintah daerah tetapi semua warga negara bertanggung jawab atas
pengasuhan bayi dan anak yang sehat (Pasal 4). Dengan demikian, pentingnya
pengasuhan anak untuk bayi dan balita ditekankan, dan negara secara aktif
mengintervensinya dan mempromosikannya sebagai kebijakan nasional karena
masa depan bangsa hanya terjamin ketika generasi masa depan bayi dan anak
diasuh dengan baik (Metode perawatan bayi, Ensiklopedia Doosan, Tahun 2004).
Di Korea, sistem SMS (Short Message Service) telah dibuat untuk segera
memberi tahukan semua warga tentang topan atau kebakaran melalui ponsel.
Melalui media ini, semangat. anda dapat menginformasikan tentang perlindungan
dan pendidikan anak dan memandu cara mengajukan permintaan bantuan. Dan
seorang pekerja sosial di setiap kantor distrik akan mengawasi dan mengelola
pekerjaan tersebut.
Metode pengasuhan tradisional Korea, dengan Podaegi, menghargai
kontak fisik antara ibu dan bayi. Melalui kontak fisik, seperti seorang ibu yang
menggendong bayinya di punggungnya, menggendong anaknya, dan tidur
dengannya di punggungnya, dia mengembangkan ikatan dengan bayinya. Kontak

72
fisik tersebut merupakan dasar untuk membentuk keterikatan antara ibu dan bayi.
(Kwang-ho Kim, 2012).
Menurut Teori Erik Erikson tentang tahap perkembangan psikososial
adalah pengalaman realistis yang dihadapi setiap orang. Ini menjelaskan bahwa
dengan mengatasi krisis yang dihadapi pada setiap tahap, manusia menjadi lebih
dewasa dan mencapai hasil yang diinginkan. Hasil baik yang diperoleh, dengan
berhasil mengatasi krisis di setiap tahap menjadi pendorong untuk mengatasi jenis
krisis lainnya di tahap berikutnya. Di sisi lain, jika anda tidak dapat mengatasi
krisis dengan baik, anda tidak akan bisa mengatasi krisis yang datang nanti, dan
anda tidak akan bisa dewasa sebagai manusia, sehingga anda akan hidup tidak
bahagia dan tidak sehat.
Penggunaan Podaegi di Korea biasanya digunakan untuk menggendong
bayi hingga berumur sekitar dua tahun, atau dari 0 sampai 24 bulan.
Menurut Erik Erison, perkembangan psikososial anak dibagi menjadi
beberapa tahapan. Tahap pertama (Erik Erikson dalam psikologi perkembangan)
adalah Bayi (0-18 bulan). Ini adalah tahap krisis kepercayaan dan
ketidakpercayaan. Ketika seorang bayi merasa bahwa dunia ini aman, ia menjadi
penuh harapan dan memiliki keberanian untuk menjelajahinya. Sebaliknya, saat
bayi cemas, ia merasa takut.
Tahap kedua adalah 'otonomi vs. rasa malu & ragu'. Ini adalah tugas
perkembangan untuk sekitar usia 18 bulan sampai 24 bulan, yang sekarang
ditandai mulai berjalan dan menjelajahi dunia. Kemandirian muncul ketika anda
dengan bebas menjelajahi dan mengenali lingkungan dan merasakan pencapaian,
tetapi pada tahap ini jika orang tua terlalu mengontrol bayi dan memarahi atau
menakut-nakuti bayi, bayi akan mempunyai rasa malu dan ragu. Tahapan

73
psikososial digambarkan pada gambar perkembangan psikososial sebagaimana
gambar 3.
Gambar 3 Teori Erik Erikson tentang tahap perkembangan psikososial
 Sumber :  http://myteachersalley.blogspot.com/2017/06/eriksons-theory-of-psycosocial.html
Kecemasan membuat mereka ragu-ragu untuk menjelajahi dunia, dan
ketika ada masalah, mereka tidak dapat menanggapi masalah secara fleksibel dan
bereaksi berlebihan terhadap masalah tersebut. Pada tahap ini masih ada beberapa
ibu yang masih menggendong bayi dengan Poadegi untuk menambah
kenyamanan dan mengurangi kecemasan anak yang digendongnya.
J.Bowlby dan Mary Ainsworth, (2010) mengembangkan “teori
Attachment” tentang pengalaman komprehensif bayi. Attachment adalah ikatan
emosional yang dimiliki bayi dengan pengasuh utama (ibu).
John Bowlby (1969). Teori keterikatan menjelaskan bahwa pengalaman
awal bayi memiliki efek mendalam pada bagaimana mereka berhubungan dengan
oranglain sepanjang hidup mereka. Jika anda terobsesi dengan orang, itu adalah
fenomena yang terjadi karena anda tidak mempercayai orang. Karena mereka
tidak memiliki pengalaman keterikatan yang sehat ketika mereka masih bayi,
mereka menjadi obsesif dan curiga terhadap orang-orang ketika mereka menjadi
dewasa. Dengan Podaegi dibangun keterikatan ibu dan anak yang memiliki efek
mendalam bagaimana hubungan ibu dan anak.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, serta dengan adanya Undang
Undang tentang pengasuhan anak di Korea dan berbagai teori yang mendukung
tentang pengasuhan anak, menunjukkan ada upaya-upaya pengembangan nilai
psikososial yang diterapkan dalam pengasuhan anak menggunakan alat gendong
Podeagi di Korea.
PERKEMBANGAN PENELITIAN PENDIDIKAN TENTANG
PENGASUHAN ANAK

Tabel 2. Perkembangan Penelitian tentang Pengasuhan anak


menggunakan Podeagi
Periodisasi
No. Aspek
2012 - 2015 2016 - 2019 2020 - 2022
1. Objek/Masalah/Judul Judul: Perdana Judul: Sendok Judul: Types

74
Penelitian Dokumenter EBS tanah emosional and
Masa depan lama, dan sendok emas Transition of
rahasia emosional, Korean
pengasuhan traditional
tradisional baby carrier
2. Pendekatan/ 1. Analysis video 1. Analysis video 1. Observes
Metode/Teknik 2. Literatur 2. Literatur ke Museum
Penelitian review review 2. Literatur
review
3. Hasil Guna Melalui Penyebab Memperkenal
Penelitian pengasuhan kecemasan, kan/
melalui bedong, pandemi yang menginforma
keterikatan melanda Generasi sikan bahwa
terbentuk dengan Y, adalah Podeagi
ibu dan anak, dan masalah adalah alat
stabilitas emosi, keterikatan. Salah menggendong
harga diri, dan satu solusinya anak yang
kecerdasan adalah dengan baik yang
emosional anak membentuk merupakan
dibangkitkan. keterikatan hasil/ produk
dengan dari
menggunakan kebudayaan
kain lampin. Korea.

Berdasarkan beberapa kajian beberapa penulis, menunjukkan pentingnya


membangun keterkaitan hubungan ibu dan anak melalui pola pengasuhan dengan
menggendong bayi atau anak. Melalui bedong, keterikatan terbentuk dengan ibu
dan anak, dan stabilitas emosi, harga diri, dan kecerdasan emosional anak
dibangkitkan.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Simpulan
Podeagi meupakan alat menggendong anak yang memilik nilai kearifan
berdasarkan budaya Korea.
Nilai Kearifan yang ditimbulkan dalam dalam penggunaan Podeagi adalah
tumbuhnya efek psikologis/ psikososial yaitu rasa aman dan nyaman baik pada
ibu maupun anak. Secara fisiologís menyehatkan karena suhu tubuh ibu
menghangatkan anak.

75
Podeagi merupakan alat yang digunakan dalam pola pengasuhan anak
yang memiliki nilai ekonomis, dengan model sederhana, harga relatif murah
namun bernilai tinggi dalam melestarikan produk budaya Korea

GLOSARIUM
Podeagi : Berasal dari bahasa Korea 'selimut kecil untuk anak kecil' dan
digunakan untuk menutupi atau menggendong anak.(National Institute of
Korean Language [NIKL], n.d.)

Parenting: Secara harfiah, arti parenting adalah pengasuhan anak. Parenting style
bisa dimaknai sebagai pola asuh anak. Menurut American Psychological
Association (APA), dengan tujuan untuk memastikan keselamatan dan
kesehatan buah hati, mempersiapkan anak untuk menjalani masa
depannya agar kelak bisa menjadi orang dewasa yang produktif,
mewariskan nilai-nilai kultur dan budaya yang telah ada turun temurun.
Menurut jurnal Frontiers in Psychology, pengertian parenting menurut
para ahli adalah sikap dan perilaku orangtua terhadap anak-anak beserta
perasaan emosional di mana perilaku orangtua dapat diekspresikan

REFERENSI

Cheone, (2019), Type Podaegi. (n.d.). Figure 17, from


https://www.nfm.go.kr/common/data/ home/relic/detailPopup.do?
seq=PS0100200100105235 000000
Go in the rainstorm. (1981, September 30). 비바람속 으로 떠나가다 (181) [Go
in the rainstorm (181)]. The Kyunghyang Shinmun. Retrieved June 10,
2019, from https://newslibrary.naver.com
Gyeongsun, Park. (2010) John Bowlby and Attachment Theory. The Journal of
the Korean Association of Psychotherapy 2010 Vol. 2 No. 1 109-119
Seoul, Korea Selatan
Jaehwi Han dan Eunjin Lee. 2020. Types and Transition of Korean Traditional
Baby-Carrier. Journal Fashion business. Vol. 24, No. 1:60-74, Feb. 2020,
Seoul, Korea Selatan
Kim, S. (2007). 조선재봉전서 [Joseonjaebongjeonseo]. Seoul: Minsokwon.
Kwang-Ho Kim dan Mi-Jin Cho. (2012). Masa Depan Lama, Rahasia Pengasuhan
Tradisional, Buku Singa, Seoul Korea Selatan
Seong-ae Choi dan Byeok Cho, (2018). Sendok Tanah Emosional dan Sendok
Emas Emosional, Seoul: Hainaim Press, Korea Selatan.
When everyone sleeps. (1929, June 22). 여름에는 누구나 잠이 만히 올 때
[When everyone sleeps a lot in the summer]. Dong-A Ilbo. Retrieved June
10, 2019, from https://newslibrary.naver.com
Yuri Choi.(2013). Pengasuhan tradisional_ Kebenaran dalam Podeagi. Pola asuh
tradisional yang membangkitkan naluri keterikatan otak ibu-1.
https://www.brainmedia.co.kr/BrainTraining/12054 pada 09 Mei 2022
Seoul, Korea selatan
https://www.joongang.co.kr/article/7363934 14, Feb, 2012

76
https://www.stella-maris.sch.id/blog/parenting-adalah/
https://100.daum.net/encyclopedia/view/14XXE0042126

77

Anda mungkin juga menyukai